26. This Is!
"Gue tau lo badmood, Anya. Makanya coba lo pikir-pikir lagi, deh, sopan gak kayak begitu?"
"Maksud lo apaan, sih?!"
"Lo gak ngerti-ngerti dari tadi, ya? Sini ikut gue!"
Farrel menarik tanganku, menyeretku keluar ruangan. Berulang kali aku memberontak; berteriak meminta dilepaskan, tetapi ia bersikap tak acuh, bahkan terus membawaku menjauh dari ruang sekretariat.
Di belakang, Zafi mengikuti kami dengan tergopoh-gopoh. Sial, jadi ini rencananya. Kami bertiga melarikan diri dari ruang sekretariat.
"Ah, anjrit. Gue capek!" Zafi mengeluh. Kami sudah berada di luar gedung, dan berhenti sejenak untuk mengambil napas. "Si ... siapa tuh yang pake PDH? Ngikutin sampe tangga, anjrit!"
"Oh, si Daniel," sahutku sedikit terengah. Lumayan juga setengah berlari dari lantai tiga dan menuruni tangga. "Lo bisa lepasin tangan gue gak? Ini udah jauh dari mereka!"
Farrel terkekeh dan menyeringai saat aku menepis tangannya dengan kasar, sementara Zafi malah tertawa mengejek. "Gue dari tadi pengen ngakak liat lo, kayak bocah diseret bapaknya suruh mandi."
"Emang dia mah gila!" ketusku.
Cowok yang kusebut gila justru terkikik. "Gila juga gara-gara lo, Nya."
Aku bergidik ngeri. Sepertinya ia memang benar-benar tidak waras, ucapannya ngawur tanpa arah.
"Najis bucin!" hardik Zafi, "Buruan kita ke rumah Bayan. Takut ketauan!"
"Bentar, gue kabarin Bayan-Musa dulu kalau kita ke sana."
***
Setelah berjalan sekitar lima belas menit, kami bertiga tiba di kamar Bayan. Bulet pun sudah di sana begitu Zafi meneleponnya, sebab rasanya canggung dan agak tidak sopan jika hanya kami bertiga di kamar Bayan.
"Jadi ini kado keempat?" ujar Farrel yang kubalas dengan anggukan.
Seperti biasa jika berkumpul, kami duduk saling berhadapan dan dipisahkan meja kopi. Agak jauh, di sisi kami, terdapat papan tulis yang biasa dipakai Bayan untuk mencatat kata kunci dalam kasus ini, yang teranyar dan yang kami soroti sekarang adalah tiga kalimat dari surat yang selalu ada dalam kado teror.
"Ini Angga yang kasih? Dia nemu di sekre?"
Pertanyaan Zafi pun kujawab dengan anggukan. Ia sepertinya begitu penasaran sekaligus takut, sejak tadi kado tersebut dipegangnya dengan ragu.
Tangan Zafi beralih untuk mengamati lebih lanjut paper bag motif hati yang tergeletak di lantai. Selanjutnya ia leluasa meraba setiap detail tas kertas yang memuat kado barusan. "Ini pengirimnya An. Siapa, An?"
"An?" Aku mengerutkan alis, merebut paper bag dari tangan Zafi. Rupanya di bagian tali terdapat gantungan kertas bertuliskan To: Anya, From: An.
Lagi-lagi berbeda dengan kado teror sebelumnya. "Biasanya nama pengirim tuh kayak nama olshop, terus ditempel pake kertas di atas tutup kado. Ini beda banget sama tiga kado teror sebelumnya, tapi warna kotak sama pitanya sama plek-ketiplek," ucapku.
"Itu tiga kado teror yang lo maksud, Nya?" Bulet menunjuk tiga kotak kado yang berjejer di atas lemari Bayan. Sengaja diletakkan di sana atas usul Bayan sendiri.
"Iya, Bul."
"Ya udah gue buka yang ini aja, ya," kata Farrel seraya mendekatkan kado tersebut ke dekatnya. Sedikit ia angkat kado itu, digoyangkannya, untuk mendengar suara dari isinya. "Ringan, terus gak ada bunyi. Kayak kosong."
Deskripsi singkat dari Farrel tidak membuatku tenang, malah semakin menambah rasa penasaran juga khawatir.
Pita hitam di atas kado tersebut berbentuk bunga, biasanya berbentuk pita biasa yang ditempel pada tutup kado.
Kado terbuka. Aku, Zafi, dan Bulet kompak mendekati Farrel untuk melihat isinya. Hanya terdapat dua amplop berwarna merah, menyaru dengan warna dari kotak kado tersebut.
Tanpa ragu kuambil salah satu amplop tersebut, saat membukanya jariku tergores hingga cukup mengeluarkan banyak darah. Di balik lipatan amplop tersebut rupanya ditempel silet.
"Sial," desisku sambil meringis. Tentu saja, semua orang di ruangan ini terkejut.
"Ini, tisu!" Zafi berseru, kotak tisu didekatkannya kepadaku. Kusumpal banyak-banyak ujung jempolku agar pendarahan berhenti, sembari mengabaikan rasa ngilu karena goresannya cukup dalam. "Kok bisa, sih?"
"Ada silet di baliknya," jelasku singkat.
"Ya ampun, Anyaku. Bentar, ya, aku ambil kotak obat dulu." Bulet bergegas pergi dengan raut yang begitu cemas.
Farrel mengambil amplop barusan, dan mengeluarkan isinya yang berupa selembar foto, dan selembar kertas bertuliskan seperti tautan juga barcode. Sepertinya, barcode tersebut mengandung tautan yang sama.
"Itu foto apa, Rel?" tanyaku. Ia tak menjawab, dan memasukkan foto tersebut ke dalam saku celananya.
Cowok itu mengambil amplop yang lainnya, kemudian beranjak menuju meja belajar Bayan di sebelah lemari dan mencari sesuatu.
"Lo ngapain, Rel? Itu foto apaan, deh?" ujar Zafi yang juga tak disahuti.
Aku dan Zafi menatapnya penuh tanya. Ia duduk di kursi belajar, membelakangi kami, entah melakukan apa sendirian. Rahangnya mengeras seolah memaksa diri untuk bungkam, gerak pupil matanya pun seolah jengah; sepertinya ia marah.
Perhatianku dan Zafi teralihkan begitu Bulet membawa kotak obat. Zafi membantuku membersihkan luka, sementara Bulet pergi lagi ke dapur. Katanya, Mama Bulet sudah membuat kue untuk kami.
Begitu Zafi selesai membungkus jempol tangan kananku dengan plester, aku menyadari bahwa Farrel menulis sesuatu di papan tulis. Tepatnya menambah daftar kalimat dari surat dalam kado teror.
"Only me can help you." Zafi membaca kalimat yang ditulis Farrel. "Apa maksudnya dah?"
"Itu isi surat dari kado terornya, Za," sahutku pelan.
"Oh, anjrit. Tengil amat?!" Ia sedikit memekik. "Terus, itu yang sebelah kiri nama pengirimnya? Yang Ashoe, N-jinc, Your Moderfaker?"
Aku mengangguk.
"Waah, udah gila!" Zafi melenguh lagi. "Ditambah si An, ya. Bentar, kok jadinya ANYA?"
Aku mengerutkan dahi, "Anya? Gue?"
"Baca dah huruf depannya. A, N, Y, A. Jadi ANYA!"
Benar juga. Kenapa pelaku membuat nama samaran dari ejaan namaku? Bukankah sejauh ini pelaku selalu menunjukkan ciri khas narsistik, yang biasanya ingin disorot eksistensinya?
"Tuh, kalau yang isi surat huruf depannya D, I, T, O. Dito? Si Dito yang itu?"
Dear Anya, you belong to me.
In the name of God, You are gorgeous.
This little brother missing you already.
Only me can help you.
Benar. Dito. Tapi, mengapa bisa?
"Berarti Angga bener. Dito emang pelakunya."
Farrel berbalik badan, menatapku tajam. "Dito tersangka utama sekarang. Tapi, Angga belum tentu bener."
"Belum tentu gimana, sih, Rel? Kalau lo ngatain Angga begitu karna sebel sama dia mending diem."
"Cara dia berargumen kalau Dito pelakunya aja gak jelas, bukti juga gak ada. Udahlah, gue gak mau bahas Angga," katanya cuek. "Lo pernah bilang biasanya Dito jam segini masih ada di FISIP, kira-kira dimana?"
"Di internet access. Lo mau ke FISIP? Ayo, gue ikut."
"Gak," tolaknya sinis.
"Gak bisa. Gue harus ikut. Dito bukan orang yang gampang lo ajak ngomong."
"Terus, lo bisa apa? Lo emang terapis dia?" Farrel bersungut-sungut, rona wajahnya memerah kelam. Benar, ia kesal. "Bisa diem dulu gak, Nya? Lo ngerti kalau korban tuh pihak yang rentan gak sih?"
🌻🌻🌻
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top