24. False Perception
Aku tak menggubris Farrel yang setengah memohon. Jika ia tak berniat jujur, ia akan terus membuang waktuku dengan alasan-alasan bodoh; argumen tanpa dasar; hingga alibi yang tidak valid. Lebih baik aku mengecek satu per satu map yang berisi data pribadi mahasiswa, mencari bagian yang robek atau kusut akibat 'diobrak-abrik', atau bagian yang menyajikan data mahasiswi korban kekerasan seksual belakangan ini.
"Anya, sumpah. Gue gak tau apa-apa kalau ada benda yang ilang. Gue siap ganti rugi, tapi tolong percaya, gue gak ngambil apa pun di sini," katanya lagi dengan lembut.
Sekali lagi, aku tak acuh. Aku fokus mengecek isi map, sebab data mahasiswa yang bukan korban masih halus kertasnya.
"Anya, please." Farrel sedikit merengek, ia beranjak dari tempatnya dan berdiri tepat di depan wajahku.
"Gue cuma perlu tau lo ngapain di sini, bukan lo siap ganti rugi atau enggak." Aku berdecak kesal. "Gue masih sabar by the way. Beberapa detik setelah ini gue bisa aja bikin lo sakit hati, atau gak menghargai lo sebagai manusia lagi."
Pandanganku kembali fokus pada isi map biru usai mendelik tajam kepadanya. Map biru ini rupanya berisi data mahasiswa angkatan Rida, yang setahun di bawahku. Segera kucari nama Rida di bagian huruf R, dan ... voila! Berkas milik Rida terdapat di bagian paling belakang, persis paling belakang.
Berkas milik Caca pun, sama. Caca bernama asli Salsa Asyafa, yang seharusnya berada di deretan 'sa', bukan di deretan 'si'.
Jadi, benar. Pelaku mengambil data korban dari map, lalu diletakkan kembali dengan asal. Namun, di map kuning yang berisi data mahasiswa angkatanku, berkas tersusun dengan rapi. Tidak ada kusut yang terlihat baru, apalagi berkas yang tercecer.
Hipotesis kedua, kaki tangan pelaku ada di angkatanku. Sebab ia bisa saja mengakses kontak korban dari grup angkatan.
"Lo masih gak mau jawab, Farrel?" tanyaku lagi. "Lo di sini ngapain? Bantuin pelaku buat dapet kontak korbankah?"
"Eh, kok lo jadi mikir ke sana, sih, Nya? Tuduhan lo palsu, tau gak?"
"Enggak," jawabku tengil. "Lo gak bisa jawab pas gue tanya lagi apa di sini. Kebetulan juga, gue baru tau kalau berkas identitas mahasiswa ikom ini berantakan. Gak rapi kayak semestinya."
"Ya Tuhan." Cowok itu mengusap wajahnya kasar. Menatapku sebentar sambil mengatur napas.
Ia frustasi. Berarti tuduhanku memang salah. Kalau Farrel pelakunya, ia akan panik atau bertindak gegabah, atau membuat alibi yang meyakinkan.
Kemudian ia mendekati lemari kabinet dan membukanya lebih lebar. Di sekat ketiga lemari kabinet, ia mengeluarkan kopi dan cokelat yang dilakban, juga tertulis Buat Anya, lalu ia letakkan di atas meja—tempatku memeriksa map.
"Gue abis nyimpen ini buat cewek yang gue suka. Soalnya, dia gak akan mau nerima ini kalau tau dari gue, walaupun cokelat kacang almond selalu jadi moodbooster buat dia."
Pandanganku kosong. Otakku tak percaya dengan yang barusan telingaku dengar. Anya, cewek yang dia suka? Aku maksudnya? Dia suka padaku? Farrel? Mantanku dulu?
"Jelas bukan Dito yang ngasih lo cokelat, Anya. Itu gue. Lo ditipu Angga," katanya lagi.
Aku tertawa miris. "Gue gampang banget ditipu, ya?"
"Sumpah, Anya. Gue cuma nyimpen cokelat sama kopi ini!"
"Dan kado teror?"
"Astagaaa," keluhnya frustasi. "Kalau emang gue yang bikin kado teror itu, lo boleh geledah kosan gue. Sekalian kamar 921 apartemen Angkasa yang dulu gue tempatin, kosan Zidan anak elektro yang kamarnya sering gue inepin. Gih, Nya, geledah. Cari buktinya sampe lo puas!"
Ia berkata jujur. Setidaknya, begitu intuisiku. Orang yang bohong tidak mungkin bicara lancar dan berekspresi sinkron dengan gestur tubuhnya. Farrel tak melakukan gerakan kecil yang bodoh, atau melirikkan matanya barang sedikit. Ia tidak jahat, untuk saat ini.
"Gue masih suka sama lo, Anya," katanya pasrah. "Gak ada lagi yang bisa gue lakuin kalau bukan ngasih ini diem-diem." Lagi, ia menunjuk kopi dan cokelat di atas meja.
Kutatap wajahnya nanar. Dulu, kupikir bersama dengannya, akan menjadi selamanya. Ternyata ia hampir memberiku kehancuran yang sebenarnya. Perlu waktu hitungan tahun untukku selamat dari patah hati, untukku lebih mencintai diri sendiri, dan memilah siapa yang akan kupercayai. Saat aku sudah seperti saat ini, dengan mudahnya ia berkata 'masih suka'?
"Gue tau, lo pasti anggap gue ini berengsek—"
"Oh, ya jelas! Apa namanya kalau bukan berengsek?" potongku. "Gak inget apa dulu lo selingkuh? Sekarang kok enteng banget, ya, bilang masih suka? Kesannya lo lagi nguji, apa gue ini masih bisa dibegoin atau enggak."
Ia tak menjawab bersamaan dengan sorot matanya melemah. Urat-urat di wajahnya yang menonjol kini tak lagi menampak.
Aku tak percaya, kata-kata dramatis nan menggelikan itu terucap saja dari mulutku.
"Gue emang salah udah ninggalin lo, tapi gue enggak selingkuh, Anya."
Aku memang sengaja meladeninya, ingin melihat bagaimana lelaki ini mengakui kesalahannya. Ternyata, kata "tapi" membuat pengakuannya terkesan palsu.
"Maaf, Anya," katanya lemah. Pandangannya tertunduk seiring dengan bahunya yang merosot.
"Basi, Rel." Sayangnya, aku tak bisa menemukan rasa iba untuk ditunjukkan kepadanya. "Gue benci banget bahas hal ini, tau gak?"
"Tutup pintu dululah kalau mau ribut." Suara pintu ditutup menginterupsi. Tak jauh dari sana, Musa dan Bayan berdiri menatap kami penuh arti.
"Ah, sial." Tanpa sadar, umpatan itu terucap dari mulutku. Kalau mereka berdua mendengar percakapan kami, sudahlah! Dijamin aku akan menjadi bahan ejekan ketika nongkrong nanti. "Lo berdua ngapain, sih, ke sini?"
"Makanya lo kalau ada yang chat tuh gercep napa. Si Japi mau ngasih draf berita yang baru, biar sekalian di-up," sahut Musa. Dengan santai cowok itu mendekat, dan duduk di salah satu bangku. "Lanjut aja ngobrolnya, gak apa-apa, gue kepo."
Kan, sudah kubilang aku akan jadi bahan ejekan. Ini baru Musa, belum yang lain. Sial.
"Jadi, urusan pribadi kalian tèh ini?" kata Bayan. "Anjir, untung kita dateng, ya, Mus. Jadi bisa jagain pintu."
"Hooh, Yan. Kayak lo ternyata, ada cinta yang belum selesai."
"Jèh, lain cerita atuh saya mah." Bayan kemudian menutup pintu, dan berjalan mendekat. "Sekarang aku paham kenapa kalian tèh ribut terus."
"Gue udah tau, sih, sebenernya kalau Anya ini mantanan sama Farrel." Musa ikut menyahuti, "Jadi, lo pada masih mau ngobrol berdua gak? Santuy, sih, kita cuma tinjau berita doang."
Farrel melirikku melalui ekor matanya, seolah siap dengan apa yang akan kuputuskan. Bukan tanpa alasan Musa memberi ruang untukku, secara halus ia ingin agar tidak ada keributan karena masalah pribadi ketika diskusi berlangsung.
🌻🌻🌻
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top