23. Step Forward

"Jadi, kenapa thread-nya Roberto dihapus?"

Pertanyaan itu keluar dari mulut Angga. Tak sengaja aku bertemu dengannya di lobi gedung fakultas, dan akhirnya kami duduk di bangku untuk membahas masalah tersebut.

"Kalau mau dihapus, mestinya langsung buat pernyataan resmi benar atau tidaknya. Kalau begini hasilnya cuma nimbulin asumsi, mending kalau output-nya positif. Kalau dikiranya pengurus HMK membungkam korban, gimana?"

Aku mengembuskan napas panjang. Sebenarnya aku memilih untuk bungkam, tetapi beberapa orang menuntutku untuk menjelaskan kembali duduk perkaranya dari awal. "Justru ini juga upaya meminimalisasi kegaduhan, Bang. Di Instagram HMK, kan, udah diumumin kalau masalah ini sedang dikaji. Asumsi yang muncul itu, ya, biar ajalah. Sekalian jadi data riset presentase kepercayaan mahasiswa ikom terhadap HMK dalam menangani kasus. Bisa jadi evaluasi juga ke depannya, kan?"

"Iya, sih. Tapi ada baiknya kalian kabarin ke demisioner atau alumni, lah. Supaya pada bantu mengendalikan massa, biar gak dikira sotoy. Kan, ini urusannya nama baik jurusan sama almamater."

Aku menenggak air dari botol minumku, menunjukkan isyarat kepada Angga bahwa aku tak lagi tertarik dengan percakapan ini. Ditambah, aku benci jika harus menyeret demisioner atau alumni. Memang mereka senior yang membimbing, tetapi terkadang terlalu mengintervensi hingga menyarankan sesuatu yang tidak relevan dengan realitas di lingkup kampus.

"Pantes kamu rada murung belakangan ini, Nya. HMK lagi kacau, ya?"

"Enggak juga," sahutku tak minat.

"Terus, kenapa dong?"

"Privasi."

Angga diam. Tatapannya lurus kepadaku, sedang kualihkan pandangan pada hal lain.

"Oh, ya udah," katanya tiba-tiba. Ia lalu menyodorkanku sebuah paper bag bermotif hati. "Ini, tadi aku nemu di sekre. Di dalemnya box gitu, ada nama kamu sebagai penerima."

Di dalam paper bag itu, tersapat kotak berwarna merah dengan pita hitam di atasnya. Ini kado teror lagi, yang dikemas jauh lebih baik daripada tiga sebelumnya. Meski sedikit tegang, kuambil kado tersebut dari tangan Angga dengan raut wajah normal.

"Itu apaan, sih, Nya?" tanyanya usai kado tersebut ada di tanganku.

"Enggak tau, palingan hadiah-hadiah kecil."

"Emang itu dari siapa?"

Aku menggeleng. "Gak tau juga."

"Dari secret admirer? Wah, aku banyak saingan ternyata, ya, haha." Angga tertawa hambar.

Melihatnya begitu, aku menyadari ada sesuatu yang berbeda. Jujur saja, aku takut ia kecewa atau berpikir aku akan menyakitinya. Meskipun, memang, aku belum menemukan hal yang dapat menjadi alasan agar aku menerimanya.

"Bang Angga," panggilku. "Sorry, kalau gue selama ini kesannya ngasih harapan. Gue sendiri gak ngerti sama yang gue mau, dan gue gak pengen nyusahin siapapun buat memenuhi ego gue doang."

"Maksudnya?"

"It will be better if you find another one. Gue gak maksa buat lo pergi, tapi juga gak bisa jamin apa-apa kalau lo tetep tinggal."

Lagi, Angga diam. Ia lurus menatapku seperti tengah menyaring pikirannya hendak berkata apa. "Jadi, selama ini gue sia-sia, dong?"

"Enggak juga. Lo temen makan yang asik. Tapi, gue gak bisa lebih, Bang. Masalahnya di gue, bukan lo."

"Bukan di Farrel masalahnya?"

"Farrel?"

"Ketum HMP. Belakangan ini lo juga sering bareng dia, kan?"

Aku hanya mampu mengembuskan napas panjang. Sudah kuduga, pasti hal ini akan terjadi. Angga akan menyeret nama lain jika aku ingin menjauh darinya.

"Ada yang bilang ke gue, manusia itu hakikatnya percaya apa yang mau dia percaya. Gue udah jujur, gak masalah lo mau percaya atau enggak." Aku berdiri dari tempatku duduk. "Sorry banget, gue harus cabut. Banyak hal yang harus gue kerjain. Kita bisa ketemu lagi lain waktu. Dah, Bang Angga."

Dengan yakin aku melangkah pergi. Entah yang kubuat ini keputusan tepat atau tidak, aku hanya ingin mengurangi interaksi dengan orang tanpa harus berbohong lagi.

Dan, hubungan yang menurutku sedikit benefitnya, adalah dengan Angga.

***

HMK SEDANG TIDAK BAIK-BAIK SAJA!

Aku membuang napas panjang sambil merobek kertas bertuliskan kalimat tersebut di depan pintu ruang sekretariat. Tidak dapat dipungkiri, beberapa mahasiswa yang bukan pengurus ikut mengkritisi kasus yang disebarkan melalui utas Roberto. Seperti yang tadi dikatakan Angga, akan ada banyak asumsi terhadap HMK. Mungkin, inilah salah satunya: organisasi kami bermasalah.

Wajar. Perkara kekerasan seksual memang sedang gencar dibahas dimana-mana, dan menjadi salah satu isu sensitif yang membuat darah mereka yang waras mendidih.

Sebagai perwakilan HMK, rasanya aku ingin menjadi angin pembawa kabar, lalu berembus ke dalam telinga mereka yang ragu; bahwa utas Roberto adalah bohong. Sayangnya, aku tak punya peri-peri kecil yang dapat mengubahku secara ajaib menjadi tiupan angin. Aku hanya punya dua tangan dan satu mulut, yang kugunakan untuk menanggapi pemikiran mahasiswa lain secara umum, dan menunggu arahan Bayan selanjutnya.

Tetapi, percakapan dengan Lena tadi pagi membuatku sedikit nakal. Tanpa arahan Bayan, atau sepengetahuan siapapun, aku memutuskan untuk pergi ke ruang sekretariat sendirian. Tepat ketika ruangan tersebut tidak ada orang. Arsip data mahasiswa sejak tujuh tahun terakhir ada di sana, tersimpan baik di dalam kabinet kayu dengan map plastik berwarna beda setiap angkatannya.

Baru meraih kenop, pintu malah terbuka karena ditarik dari dalam.

Aku terperanjat. Apalagi saat melihat sosok yang baru saja keluar dari ruang sekretariat, yang lebih terkejut daripada aku.

"Lo abis ngapain?" tanyaku.

Farrel, orang yang membiarkan pintu ruang sekretariat terbuka dan diam di ambangnya, menggaruk belakang kepala seraya tersenyum kikuk.

"Di dalem ada siapa?" tanyaku lagi. Ia masih tak bergeming, dan tetap tersenyum aneh.

"Lo ... mau masuk?" katanya.

"Iyalah!" Kubuka pintu semakin lebar, hingga ada jarak yang cukup untukku menerobos masuk ke dalam.

Di dalam sini, tidak ada siapapun. Lantas, sedang apa Farrel di ruang sekretariat HMK?

Cowok itu rupanya berbalik badan, membelakangi pintu. Ia memandangku dengan wajah yang memucat.

Kuhampiri dirinya dan berkata, "Jujur. Lo abis ngapain sendirian di sini?"

"Enggak ngapa-ngapain. Sumpah."

"Terus lo cuma gabut keluar masuk sekre HMK begitu aja?"

"Ya, kurang lebih begitu."

"Lemari kabinet HMK gak pernah kebuka kayak begitu, Farrel." Aku menunjuk lemari kabinet yang tidak tertutup rapat. Sudah menjadi peraturan tak tertulis bagi pengurus HMK, untuk mengunci kembali lemari kabinet. Mengingat engsel pintu lemari sudah tidak berfungsi dengan baik. "Gak ada anak HMK yang biarin kabinet tua itu gak dikunci, Rel. Lo beneran gak mau jawab jujur?"

"Gue ... nungguin lo, Nya."

Farrel menungguku? Di ruang sekretariat?

"Ya ampun, lo nunggu gue? Makasih banget, lho, udah luangin waktu. Sorry, ya, gue baru dateng," sahutku dengan nada yang dibuat imut. "Gak ada alesan yang lebih make sense? Farrel?"

"O ... oke. Gue bisa jelasin. Anya, gue mohon, ini gak kayak yang lo bayangin."

🌻🌻🌻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top