2. Giving Try

"Ya udah, Nya, lo ayoin aja dulu ajakan si Angga itu."

Dia adalah Winda. Teman satu indekosku, kami hanya berbeda kamar seperti halnya aku dengan Zafrina. Namun, aku dan Winda berbeda jurusan.

"Males, Win," sahutku asal.

"Males kenapa, deh? Aneh lo, Nya. Kalau gue teleponan sama Budi, lo suka iri, kan?"

"Kadang-kadang, sih."

"Ya udah!" Winda meninggikan suaranya. "Nih, ya. Kan, kata lo si Angga ini nyebar gosip kalau kalian jadian. Terus, lo bilang juga si Angga orangnya baik dan punya pengaruh di himpunan. Artinya, dia bisa disegani, otomatis dia juga bisa lindungin lo dari racunnya mulut-mulut DPM pas mumas."

"So, menurut lo, gue harus deketin Angga biar LPJ gue aman di mumas?"

"Itu poin bonus. Poin utamanya, kalau hari ini lo jalan sama Angga, lo bisa tanyain langsung ke dia perihal gosip yang kesebar," ujar Winda serius, "jadi bahan omongan orang itu ... gak enak, Nya."

"Iya, sih."

"Sengaja mengabaikan banyak hati juga ... bukan ciri perempuan berkelas."

Aku hanya termenung mendengar perkataan terakhir Winda. Seperti sebuah tamparan. Yaa ... jika dipikirkan lagi, memang benar katanya, aku terlalu banyak menolak lelaki bahkan sebelum mereka benar-benar membuktikan perasaannya untukku. Aku lupa, mereka juga punya perasaan. Setiap ada lelaki yang mendekat, aku selalu membangun dinding yang begitu tinggi, yang sulit ditembus, dan mungkin secara tidak langsung hal itu melukai harga diri mereka.

"Nih, ya, Anya. Sejauh gue kenal lo, gue tau lo itu bukan orang yang gak peka. Justru, lo tuh peka banget. Pas ada cowok nih, yang mulai perhatian ke lo, yaa ... maksud gue perhatian ke arah asmara, ya. Lo langsung, deh, pake mode pura-pura enggak tau, pura-pura enggak peka, dan itu tuh bisa bikin cowok yang deketin lo capek, ngerasa gak dihargai," sambungnya.

Sedangkan aku masih tak menjawab. Kosa kata di kepalaku hilang begitu saja.

"Gue ke kamar dulu, ah. Mau nyuci." Winda bangkit dari posisi telungkupnya. "Pikirin lagi ajakan si Angga, Nya," usai berkata begitu, Winda  benar-benar kembali ke kamarnya, dan meninggalkan sampah botol plastik bekas minuman di lantai kamarku.

Aku menghela napas panjang, lalu merebah di atas kasur. Omongan Marlena mendadak menyahut di kepalaku, tentang bagaimana jika lelaki yang pernah "kutolak" malah berbuat jahat di belakangku. Menyebar rumor bahwa aku perempuan yang terlalu jual mahal, misalnya, atau hal lain yang menjatuhkan citraku sebagai perempuan.

Memang pikiran yang terlalu negatif. Tetapi, kemungkinan buruk itu bisa saja terjadi, kan?

Rasanya lelah, dan aneh. Kenapa aku seperti dipaksa untuk membuka hati? Apakah salah untuk memilih tetap sendiri? Atau ... benar juga kata mereka, aku ini belum bisa move on sepenuhnya?

Kini aku pun mulai terpikirkan hal lain: mengabaikan lelaki. Semestinya, kalaupun aku ingin menolak, aku harus memberi kesempatan, dan berterus terang tentang penolakanku. Benar kata Winda, aku tak bisa berlindung di balik sikap pura-pura yang selama ini secara tak sadar kulakukan.

Ponselku berdering, sebuah pesan masuk dari Sinta. Ia bilang, rencana kami untuk mengobrol soal evaluasi kegiatan diundur ke hari besok, sebab ia harus mengerjakan tugas yang deadline-nya mendadak.

Baiklah. Artinya, aku memang harus bertemu Angga sore nanti.

***

Zafrina dan Winda terus mengintip dari atas balkon, seperti anak-anak yang melihat sapi kurban digiring ke tempat pemotongan ketika Angga menjemputku di depan indekos. Aku tak sanggup lagi menegur mereka, biarlah aku menelan rasa malu. Angga juga sepertinya tak terganggu.

"Dadah, Anya!"

"Pulangnya bawa martabak, ya!"

"Jangan galak-galak, ya, Nya!"

Lantas aku memandang dua orang itu dengan tatapan yang sangat tajam. Gila, kenapa mereka bisa berkata yang tak penting, sih?

Dan, ya, mereka malah tertawa puas ketika aku melotot murka.

"Nya, udah?" ujar Angga di balik seat kemudi. Aku mengangguk, lalu segera masuk ke dalam mobilnya.

Agak lain si Angga ini. Fakultas psikologi, kan, masih di lingkungan kampus, dan jarak indekosku ke sana tidak sampai satu kilometer. Menyempitkan tempat parkir saja pakai mobil segala.

Sekitar lima menit perjalanan, akhirnya kami tiba di kafe kecil ini. Tidak terlalu kecil, sih, karena punya tiga lantai. Angga mengajakku untuk duduk di lantai dua, tepat di dekat jendela.

"Mau pesen apa, Nya?" tawarnya.

"Vanilla latte."

"Itu aja?"

"Sama cookies, deh."

"Enggak pesen makanan berat?"

Aku menatap Angga heran, kenapa terlalu banyak bertanya, sih?!

"Pasta gitu, enggak mau? Lagi diet?" katanya lagi.

"Kalau diet gue pesennya salad kali."

Angga tersenyum simpul, "Iya juga. Yaa, maksud aku, kan, ini udah jam makan malam gitu."

Oh, ya, benar juga. "Belum laper," sahutku.

"Oke." Angga mengangguk. Kemudian ia menuliskan menu yang dipesannya, dan diberikan kepada waiter yang sedang menunggu pesanan kami.

"Oh, iya, Nya. Kesibukan kamu apa aja selain ikut BEM?" Angga memulai obrolan.

"Volunteer-an, sih. Tapi jarang ada agenda di lapangan."

"Nah, ada rencana ikut BEM univ enggak?"

"Aduh, Bang, kalau lo mau menginisiasi gue buat ikut BEM univ, gue mau balik aja, deh." Aku tertawa, bercanda. "Ikut BEM univ, enggak dulu kayaknya. Semester lima mau fokus kuliah aja, paling ikut-ikut magang nantinya."

Angga tertawa pelan. "Ikut aja, sih, lanjutin aku di biro sosial politik lagi."

"Enggak, makasih. Cukup gue mumet di divisi sospol himpunan, gantiin lo juga, kan."

Kemudian obrolan kami berlanjut soal organisasi, soal sifat dosen yang seolah berubah di semester tua, dan lainnya yang tak jauh dari dunia perkuliahan.

Selama obrolan itu juga, aku memendam rasa penasaranku kenapa Angga menyebarkan gosip bahwa kami berpacaran. Menahan diri untuk tidak bertanya, kenapa ia tidak berterus terang saja jika benar-benar menaruh hati padaku.

Hingga hari mulai berubah petang—hampir malam. Si Angga ini belum ada membahas ke arah sana, tentang gosip yang beredar dan perasaannya. Baiklah, sepertinya memang harus aku duluan yang bertanya.

"Bang, gue mau nanya, deh," ucapku.

Angga sedikit mendongak, "Iya, Nya?"

"Lo tau gak, anak-anak himpunan pada mikir kita pacaran? Kok, bisa, ya? Maksudnya, yaa, di depan mereka, kan, kita biasa aja. Enggak yang berduaan atau gimana-gimana."

Ia lantas terdiam seperti terpaksa menelan biji salak. Aku tahu ia gugup sekarang, tingkahnya tiba-tiba minum air putih cukup banyak, dan membenarkan posisi duduk yang tidak bermasalah.

Hadeh.

"Kamu risih, Nya?" sahutnya.

"Risih, sih, lunayan. Cuma aneh aja, lebih ke heran gitu. Kok bisa orang-orang mikir ke sana? Kita, kan, gak pernah asik berduaan," jawabku seraya tertawa pelan.

"Kalau aku ... hmm ... ngajak kamu pacaran beneran, rish enggak?"

Boom! Pergerakan yang cepat dari Angga, cukup membuatku sedikit terkejut, dan sepertinya ia sadari hal itu.

"Eh, kalau risih gak apa-apa, Nya. Cuma nanya aja," katanya sedikit gelagapan.

"Enggak, kok. Santai, Bang. Cuma, yaa, agak kaget aja." Aku tertawa garing.

Angga menggaruk kepala belakangnya. "Hehe, sorry, Nya."

"Kok, sorry, sih? Santai aja."

"Tapi serius, gimana kalau kita pacaran beneran?"

Aku benar-benar berpikir, berusaha bersikap tenang agar tidak salah berucap. "Hmm, mungkin kalau sekarang ... belum bisa, ya. Bukan gimana-gimana juga, sih. Kita, kan, belum kenal lebih jauh, ya. Takutnya nanti lo kaget ada tingkah gue yang nyebelin, yang enggak bisa lo toleransi. Kan, ujungnya malah nyakitin."

Angga terdiam cukup lama. Ia mengangguk-ngangguk di tengah keheningan kami berdua. Suasana mendadak canggung.

"Jadi ... kalau pedekate dulu, gak apa-apa?"

Astaga. Astaga. Astaga. Kepalaku mulai riuh oleh ucapan ini itu yang disarankan para sahabatku.

"Yaa ... gak apa-apa."

🌻🌻🌻

BEM = Badan Eksekutif Mahasiswa
DPM = Dewan Perwakilan Mahasiswa
LPJ = Laporan Pertanggungjawaban
Mumas = Musyawarah mahasiswa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top