19. (Not) The Worst
"Kita harus ke FISIP."
Kupikir, ideku itu akan segera disetujui tanpa berpikir panjang. Nyatanya, semua orang di ruangan ini menatapku ragu. Bukankah sudah ditemukan titik terang? Pelakunya kemungkinan besar adalah Dito, kan?
"Sebenernya gue udah lama curiga sama Dito, cuma dia, kan, penyendiri banget, gue jadi sedikit ragu. Tapi, sinyal pelaku yang kedeteksi di FISIP bikin gue yakin sekarang," jelasku lagi. Barangkali mereka memikirkan keraguan yang sama, karena Dito terlihat anti sosial.
"Kenapa lo curiga sama dia?" tanya Musa dengan raut menyelidik.
"Kopi sama cokelat buat gue yang suka ada di kabinet di sekre, itu dari dia."
Semua orang sedikit terkejut, tetapi mereka masih menatapku sangsi.
"Ya, emang belum ada buktinya, sih. Kalian tau sendiri kalau Dit—"
"Jadi lo berasumsi kalau orang yang ngirim kado teror sama orang yang selalu ngasih lo kopi dan cokelat itu adalah satu? Maksudnya orang yang memang pelaku pelecehan ini?" Farrel menyela ucapanku.
Atensiku teralihkan padanya. Farrel menunggu jawabanku dengan wajah yang begitu serius, sangat serius, lebih dari biasanya.
"Ya. Make sense, kan?" jawabku.
"Tapi lo tau dari mana kalau Dito orangnya?"
Tatapannya sangat dalam hingga membuatku ragu untuk berargumen kembali.
"Gue tau dari Angga, sih."
"Kenapa Angga yakin kalau Dito yang ngasih itu?"
"Ya ... dia kayaknya ngeliat si Dito."
"Kayaknya?"
Aku mengangguk usai mengalihkan pandangan dari Farrel. Meski begitu, ia masih tak bergeming, masih dalam ekspresi dan sorot mata yang sama. Sikapnya yang begitu membuatku sedikit tegang, dan hening dari yang lainnya pun membuat atmosfer di ruangan ini menjadi 'dingin'.
"Hei, Nya. Kenapa 'kayaknya'? Angga enggak cerita lebih jauh?" Farrel bertanya lagi.
"Ya, enggak. Hadiah kecil itu juga keliatannya cuma iseng, maksud gue enggak ada maksud jelek."
"Terus kenapa lo enggak tanya ke Angga? Kenapa dia mastiin itu dari Dito?"
"Udah."
"Apa katanya?"
"Dude? Seriously?" Aku menatapnya tak percaya dan sedikit jengah. "Kenapa lo seribet itu sama hipotesis ini, sih? Lo ada bukti kuat kalau Dito bukan pelakunya?"
"Enggak. Gue justru highlight hipotesis lo yang sepakat sama Angga kalau Dito yang ngasih kopi itu," jawab Farrel dengan tegas.
"Apa urusannya sama lo?"
"Gue harus tau kenapa lo percaya sama tuduhan Angga."
"Urusannya apa sama lo? Lo gak suka liat gue deket sama Angga?"
Musa berdehem dengan keras seolah meminta perhatian. "Lo berdua ... ada masalah pribadi?"
"Maranèh kalau perlu waktu buat ngobrol mending di balkon." Bayan menyahuti. "Saya masih harus nentuin bukti kalau pelakunya memang si Dito."
"Iya, lo berdua ngapa, sih? Cinlok?"
Raut penasaran Bulet seketika lenyap begitu Bayan menjepretkan karet, tepat di keningnya. Cowok itu meringis di sebelahku, memang salahnya, sih, bicara sembarangan.
"Oke!" Farrel menaikkan nada bicaranya, dan tidak melepaskan sorot mata tajamnya padaku. Lagi, kami berdua menjadi pusat atensi. "Kita ke FISIP sekarang, bawa Dito ke sini. Semua bakal jelas kalau ada klarifikasi dari Dito."
Sepertinya Bayan benar, aku memang perlu bicara berdua dengan Farrel. Bisa jadi kami terbawa ego masing-masing, tentang emosi personal yang tercampur dengan masalah pelecehan seksual ini. Sebabnya, kutarik ia menuju balkon kamar Bayan, dan menutup pintu kaca agar suara kami tidak terlalu terdengar ke dalam, meninggalkan begitu saja Bayan, Musa, dan Bulet yang menatapku jengah.
"Lo kenapa?" Pertanyaan itu kutembakkan langsung kepadanya. "Gue tau lo enggak sepakat sama tuduhan gue ke Dito bukan karna kurang bukti, kan? Lo setuju buat ke FISIP juga karena mau nunjukin kalau gue salah udah percaya ke Angga."
Ia masih mematung dengan raut yang sama.
"Bener, kan?" tanyaku lagi.
"Ya. Bener. Gue mau buktiin yang dibilang Angga itu salah. Dito bakal jadi korban fitnah karena lo percaya sama Angga."
"Kenapa lo yakin Angga salah? Dia senior gue, loh. Dia lebih sering nongkrong di sekre HMK juga!"
"Gue ketua HMP yang setiap hari nongkrong di sekre, yang juga setiap hari liatin ruang sekre HMK di depannya!"
"Terus apa yang lo liat?!"
Farrel mengembuskan napasnya panjang setelah tercenung mendapati sorot mataku yang tajam. Ekspresinya melunak, seolah ia berhasil menurunkan emosinya pada ketenangan. Dengan nada yang melembut ia berkata, "Gue gak harus jelasin. Lo manusia, yang hakikatnya percaya apa yang mau dipercaya. Dan gue tau, lo belum bisa percaya sama omongan gue."
"Lo terlalu bertele-tele. Emang sesusah itu, ya, buat lo jujur ke gue, Rel?"
"Nope," katanya seraya berjalan menuju pintu balkon. "Gue cuma gak mau buang energi aja. Lo masih benci ke gue, kan?"
Tidak. Aku tidak membencinya. Aku hanya tidak suka berada di dekatnya, malas, tidak mau berinteraksi, pokoknya ... aku ingin menghindarinya. Apa yang begitu adalah benci?
"Gak usah dipikirin." Ia lalu mendekat lagi, dan menyentuh bahuku. "Yang di dalem pada nungguin tuh," sambungnya seraya membalikkan tubuhku untuk mengajak kembali ke dalam kamar Bayan.
Di sana, semua orang tertuju padaku yang berjalan dengan Farrel di belakang. Tangannya berada di pundakku, seperti tengah mendorong troli belanja. Dasar!
"Udah selesai kalian?" tanya Musa.
"Udah," jawab Farrel, ia lantas berdiri di sampingku. "Sorry, ya. Gue sama Anya emang ada urusan pribadi."
Aku menatapnya sinis, Farrel tersenyum simpul seolah bangga dengan 'urusan' yang dimaksud. Ah, profesionalisme diriku masih kalah dengan gengsi dan ego. Payah.
Baru aku duduk kembali di tempat semula, pintu kamar Bayan yang tidak tertutup rapat dibuka lebar dengan sekuat tenaga. Derit pintu itu mengejutkan seisi ruangan, terlebih dengan kehadiran Zafi yang rambutnya berantakan tertiup angin.
Ia datang sedikit terengah, seperti habis berlari dari depan komplek ke sini. "Lo pada udah liat Twitter?" katanya tanpa basa-basi.
Senyap yang kami tunjukkan membawanya masuk ke dalam kamar Bayan, membiarkan pintu terbuka lebar. "Di menfess kampus lagi rame bahas thread yang dibikin Roberto. Katanya ada anak ikom yang hamil ditinggal cowoknya, udah minta tolong advokasi tapi kagak ada respon."
Zafi terengah-engah, matanya masih fokus pada ponselnya yang beberapa detik kemudian diletakkan di meja kopi. "Ini bener? Lo semua diemin korban? Atau si Roberto ngada-ngada?"
"Kèla, kèla." Bayan bersuara meminta atensi. "Kamu yakin itu akun Roberto?"
"Yakin, lah! Orang gue mutualan!"
"Ngaco tu bocah, Jap!" Musa menyahut, "Orang dia ogah ngadu ke Anya, malah ngadu ke Bulet."
Bulet meringis kesal seraya menggaruk kepalanya. "Anying rarudet kieu, Yan!" katanya pada Bayan. Aku tak yakin apa maksudnya, yang jelas ia mengeluh kesal.
Semua lantas terdiam. Apalagi ketika ponsel Bayan berdering, menampilkan nama Pak Yanto yang meneleponnya. Pasti dosen antik itu telah mendengar kabar ini.
Bayan menghela napas panjang. "Kalem, guys," katanya, mengabaikan dering telepon tersebut. "Mus, tolong siapin rapat virtual. Undang si Jessy, Nopal, sama si Roberto. Saya bakal ngulur waktu biar Pak Yanto enggak ngamuk dulu."
🌵🌵🌵
Maranèh = kalian (kasar)
Kèla = sebentar (sedikit kasar)
Anying rarudet kieu = anj* bikin pusing gini
🌻🌻🌻
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top