12. There's No Safe Space

Aku mengamati kembali tiga lembar foto yang terdapat di dalam kotak kado misterius barusan. Ketiganya diambil baru-baru ini, mungkin sekitar dua atau tiga hari yang lalu. Itu pun, diambil di hari yang sama, karena aku menggunakan baju yang sama.

"Lo masih gak curiga sama orang terdekat kita, Nya?" tanya Musa serius. Zafi dan Rahma yang juga berada di kamarku seketika memusatkan atensinya kepada cowok itu. "Pelakunya tau lo anak FISIP, dan juga tau lo ngekos di Jalan Nangka. Lo bukan orang yang teledor, Nya, lo pasti ngeh kalau ada yang buntutin dari jarak segini. Ini gak nyampe dua puluh meter gue yakin, kecuali pelakunya pake DSLR."

"Bener juga, sih, Mus. Anya intuisinya kuat," tambah Zafi. "Tapi lo pada curigain siapa, deh?"

"Mus, Nya, jangan bilang ini ada kaitannya sama kasus si Diva itu?"

Zafrina menatap Rahma penuh heran, sementara raut gelisah begitu terlukis di wajah Rahma saat ucapannya menyedot atensi kami. "Kenapa, sih, kalian harus sembunyiin kasus ini? Kenapa gue harus tau dari orang lain, sih?" kata Rahma lagi.

"Ra, kita, kan, udah bahas ini tadi." Musa berkata pelan. Sekarang aku mengerti, pasangan kekasih itu meributkan hal ini di kamar Zafi tadi, dan mungkin karena masalah ini juga Rahma tidak menghadiri rapat mendadak sore hari.

"Gini, gini, lo semua tenang dulu." Kali ini aku bersuara.

Belum sempat menyampaikan pendapat, Zafi membentakku lebih dulu. "Enteng bener lo bilang tenang! Ini lo diancem, Anya. Gue gak tau kasus Diva apa, tapi sekarang lo lagi diincer!"

"Ya, makanya lo semua tenang dulu!" sahutku dengan nada agak meninggi. "Lo mau pada bantu gue, kan?"

Mereka bertiga diam. Menatapku dengan kesal, gelisah, khawatir, dan perasaan buruk lainnya yang ditutupi hening.

"Ini ancaman, gue tau. Pelaku minta di-notice sama gue, mungkin ini orang yang sama yang ngelecehin anak ikom, dan dia tau, gue pun lagi ngincer dia. Tapi coba kita liat dari perspektif yang lain, kado ini bisa jadi bumerang buat pelaku."

"Bumerang gimana maksud lo?" tanya Zafi ketus.

"Gini, sekarang kita udah pegang ciri-ciri pelaku, kan? Orang yang tau betul HMK, dan kenal Bang Willy. Dari kado teror ini, kita bisa tau apa motifnya." Aku menunjukkan surat kecil yang bertuliskan Dear Anya, you belong to me. Kertas itu pun menjadi pusat perhatian saat ini.

Kalimat sebaris itu menujukkan apa yang diinginkan pelaku: diriku. Meski belum spesifik, setidaknya terlihat ada unsur rasa ingin memiliki atau menguasai pelaku terhadap targetnya.

"Kita juga bisa cari tau siapa yang punya motif itu. Gue yakin, dia gak akan cuma sekali ini aja ngirim kado ginian. Pelakunya narsis, dia pengen diakui dan ditakuti. Kado ini bisa jadi medium buat kita komunikasi sama dia," tambahku.

Zafi berdecak. Ia mendengkus kemudian berkata, "Gila. Lo bukan detektif, anjir. Urusan begini kita laporin ke polisi aja kenapa, sih? Bapaknya Winda juga lawyer, beliau pasti bantu."

"Gak bisa, Jap," kata Musa, "Kalau lapor polisi, resikonya bakal lebih chaos. Kita mesti rapiin bukti dulu buat ngebuka jalan, baru bisa hukum pelakunya."

"Ih, tapi kado ini juga bisa bikin Anya jadi tumbal!" Rahma berseru, suaranya pelan, namun urat-urat di dahinya sampai menonjol. Wajahnya semerah tomat, juga dihiasi bulir keringat.

Aku melenguh. "Gue tau, lo semua khawatir. Kalau dengan numbalin gue bisa nyelametin banyak perempuan, kenapa enggak? Kemungkinan buat gue selamat juga fifty-fifty. Lagian, lo semua bakal ada terus buat gue, kan?"

***

Dua hari setelah mendapatkan kado teror itu, hariku berlalu dengan tenang. Tidak ada aduan baru, tidak ada kecurigaan baru, juga tidak ada temuan baru. Sejujurnya ketenangan itu tak membuatku benar-benar lega, rasanya masih seperti terjebak di dalam lubang dengan seberkas cahaya dan kolam air. Bisa bertahan hidup, tapi lama-lama bisa gila.

Di hari Jumat ini, jadwal kuliahku selesai pada pukul empat sore. Waktu yang tepat untuk mengunjungi kedai ayam geprek, karena belum terlalu ramai. Aku memutuskan untuk makan di sana, sebab sejak siang tadi perutku belum bertemu nasi.

Sebelum meninggalkan gedung fakultas, tanganku ditarik hingga langkahku terhenti. Jantungku seperti meledak, sudah kusiapkan otot kaki jika suatu tendangan dibutuhkan.

Rupanya Angga. Ia sudah di hadapanku tanpa melepaskan tangannya. Setidaknya aku bisa bernapas lega.

"Mau balik, ya?" katanya yang kuhadiahi anggukan. "Belakangan ini kamu keliatan murung, lagi mikirin apa, sih?"

"Hah? Murung? Enggak, kok. Cuma rada capek aja, tugas kelompok makin banyak. Jadi, yaa ... begitulah," dustaku.

"Bohong banget." Angga terkekeh. "Kalau ada yang ganggu, bilang aja, Nya. Aku pasti bantu, kok."

Aku tersenyum simpul, seandainya ia membantu pun hasilnya akan lebih runyam. Angga pasti akan membawa aliansi BEM untuk mendemo Pak Yanto.

"Denger-denger sekarang lagi banyak orang geblek. Kemaren anak cewek sosiologi ada yang jadi korban stalking, sampe minta tolong supir taksi buat ngaku jadi bapaknya." Tiba-tiba Angga bertutur tentang stalker, agak mirip dengan teror yang kudapat. "Kamu hati-hati, ya, Nya. Kalau bisa jangan sendirian," imbuhnya.

"Hm, oke."

"Orang-orang makin gak waras, Nya. Ngerasa paling jago, padahal yang jago, kan, cuma ayam. Iya gak?"

Aku tertawa pelan. Kurang lucu, tapi bisa-bisanya Angga terpikirkan ke sana.

"Nah, ketawa begitu, kan, cantik." Ia tersenyum lebar. "Nih, cokelat ada gambar ayam jagonya. Sorry aku gak bisa anter balik, atau ajak jalan hari ini. Anggap aja cokelat ini temen di perjalanan kamu, ya."

"Waduh, repot banget. Thanks a lot!" sahutku agak berseru setelah menerima sebatang cokelat dengan pita hitam di atasnya.

"Sama-sama," kata Angga. "Aku duluan, ya. Ada perlu sama temen di kafe depan. Dah, Anya. Kalau udah sampe kosan kabarin, oke?"

Aku mengangguk. "See you."

Kemudian Angga berlalu dengan melangkah mundur sambil tersenyum. Setelah beberapa meter, barulah badannya berbalik dan berjalan setengah berlari.

Aku mengembuskan napas pelan. Kalau benar ada mahasiswi sosiologi yang di-stalking, artinya kejahatan yang mengincar perempuan telah terjadi di fakultas.

Getar ponsel membuatku terperanjat, rupanya Musa menelepon. "Anya, lo dimana?" katanya dengan napas yang memburu.

"Di lobi. Kenapa, Mus?"

"Lo tau Rida? Angkatan dua belas, anak UPM bimbingannya Japi. Udah dua hari dia gak kuliah gara-gara hapenya dibombardir bokep, kabarnya dia juga di-stalking sampe ke kosannya. Sekarang pun dia gak ada kabar sama sekali."

Aku terhenyak. Otakku berhenti berpikir, dan memberi sinyal untuk segera pergi.

"Bentar, tapi lo udah makan siang?"

"Udah, kok, Mus."

"Gua gak mau denger lo sakit, ya, Nya. Terserah lo jawab jujur atau enggak," katanya tegas. "Gini, gue ada urusan penting sekarang. Lo temenin Japi ke kosan Rida, ya. Dia ke lobi FISIP bentar lagi."

"Ya, oke, Mus."

Setelah itu panggilan dimatikan. Aku berbalik badan untuk mencari tempat duduk di lobi fakultas, agar Zafi mudah menemukanku. Ayam geprek yang sejak tadi terbayang, kini seolah menguap dari kepala. Pikiranku hanya tertuju pada Rida, disertai degup jantung yang memburu mengiringi harap-harap nan cemas.

Semoga Rida masih hidup.

🌻🌻🌻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top