Rayuan Mau(t)

[Alohaaa! Silakan membaca lengkap novel ini di Karyakarsa, ya. Terdiri dari 5 chapter dengan total 52 halaman. Ada kode voucher yang masih untuk kalian pakai, ya. Liat gambar yang aku sematkan di bawah ini. Happy reading semua!]

"Mas, Ikar! Tunggu, Mas!" Tembikar menoleh dengan panggilan itu.

Melihat Mauria yang memanggil-manggil, Tembikar jelas tidak bisa mengabaikan. Bukan karena gadis itu berharga baginya, melainkan karena Mauria adalah anak dari kepala desa dimana Tembikar sedang ditugaskan sekarang.

"Iya, kenapa, Dek Mau?"

Mauria tampak merona hanya dengan satu kalimat balasan dari Tembikar.

Sejujurnya Tembikar risih dengan keberadaan Mauria yang begitu antusias kepada pria itu. Terlalu antusias, terlalu menyebalkan bagi Tembikar. Namun, karena gadis lugu dan berisik itu adalah anak dari kepala desa, maka Tembikar tidak memiliki alasan untuk berani mendorong Mauria jauh-jauh begitu saja.

"Mas Ikar, semalam habis ngobrol sama Mas Angga, ya?" tanya Mauria.

Angga adalah kakak sepupu Mauria. Bagi Tembikar, Angga lebih normal dibanding Mauria untuk diajak ngobrol. Jauh sekali berbeda, hingga Tembikar memang bisa berbincang banyak. Apalagi mengingat Angga yang memang sepantaran dengan Tembikar, jadi cara pandangnya lebih cocok.

"Iya, kenapa memangnya, Dek Mau?"

Dengan gaya malu-malu Mauria mengikat dua tangannya di belakang. Gaya bicara Mauria inilah yang membuat Tembikar geli.

"Aku denger, loh, Mas. Aku tahu percakapan kamu sama Mas Angga yang bahas kalo kamu cari istri yang bisa ngurus rumah dan keluarga. Nggak fokus kerja. Aku bisa, loh, Mas. Aku masuk kandidat yang cocok buat kriteria itu."

Sontak saja punggung Tembikar menjadi menegang. Dia tidak percaya bahwa anak gadis kepala desa ini tidak berpikir matang sebelum mengatakan hal tersebut pada Tembikar. Nggak tahu malu banget ini bocah.

"Eh ... kamu nguping berarti?"

Mauria mengerutkan keningnya. "Kok, nguping, sih, Mas? Aku nggak nguping. Kan, Mas Ikar sama Mas Angga ngobrolnya di depan rumah bapakku. Ya, kedengeran."

Memang tidak salah juga Mauria mengatakan hal demikian. Bagian depan rumah kepala desa yang digunakan untuk mengobrol banyak muda mudi adalah tempat yang nyaman. Untuk yang bagian ronda malam juga termanjakan, sebab suguhannya sangat murah hati.

Untuk pekerja seperti Tembikar yang memang tadinya bekerja di Jakarta dan harus mengirit di daerah orang, suguhan makanan dan minuman di sana membuatnya bisa lebih aman mengeluarkan uang. Meskipun memang di desa tidak ada yang menarik untuk dibeli dan cenderung lebih murah, tapi tidak membuat Tembikar mau begitu mudahnya menggunakan uang. Yang paling penting, tidak perlu diragukan lagi bahwa anggota keluarga perempuan kepala desa itu sangat jago membuat hidangan-hidangan enak.

"Ah, iya. Pasti kamu kedengeran, ya."

Jujur saja, Tembikar tidak tahu harus membalas bagian itu bagaimana. Dia yakin bahwa tidak ada yang lebih menyenangkan selain memiliki istri yang tidak bocah banget seperti Mauria ini.

"Cuma itu?" ucap Mauria bingung.

"Hah?" balas Tembikar lebih bingung.

"Mas Ikar cuma 'ah, iya, kamu pasti denger, ya,' gitu? Nggak ada reaksi lainnya?"

Tembikar berulang kali menutup dan membuka mulutnya dengan ragu. Bukan apa-apa, dia ditempatkan di desa oleh perusahaannya bekerja karena dia melakukan pelanggaran saja. Jika nantinya dia memang bekerja dengan baik tanpa ada masalah di kantor cabang ini, maka dia tidak perlu lagi berada di sana. Jika itu terjadi, maka Tembikar tidak perlu bertemu lagi dengan Mauria.

Sudah jelas Tembikar ingin menjawab bahwa dia tidak tertarik dengan kesediaan Mauria. Namun, dia tidak mungkin bersikap sejahat itu. Tapi dia juga tidak ingin berbohong bahwa dia mau. Please, gue harus ngapain???

"Dek Mau, sejujurnya saya menyimpan nama lain di hati saya. Saya nggak mau membuat kamu berharap lebih. Jadi, saya minta maaf, ya. Tolong jangan berakhir menutup hatimu, kamu masih punya banyak kesempatan untuk bersama pria yang kamu cinta dan mencintai kamu sebenar-benarnya."

Itu penolakan yang paling manusiawi, kan?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top