[20] Rayuan Mantan Idaman

Selamat berbuka puasa. Sampai jumpa di projek selanjutnya.

*** 

Apa yang udah lo lakukan, Kushi?

Mengapa harus ada dendam di antara kita? Bukannya gue bilang, gue lebih dewasa dari dia? Di KTP usiaku jauh lebih tua. Kenapa justru kepancing, sih, untuk balas dendam juga? Kushi bego! Salahnya Kaza Ganteng apa? Bukannya kemarin lo udah seneng dengar ceritanya si Bocil, Ci? Kaza muji elo. Kaza bilang suka—lewat ceritanya Hangga. Kazasaki akhir-akhir ini sudah berubah. Nggak ada lagi tuh ujaran sekejam jempol netizen. Kenapa lo cuekin dia?

Argh!

Mari kita pikirkan. Kaza ternyata enggak menikah dengan Ayesha si malaikat gagal kawin, eh, kawin, mah, sudah. Oke, jangan ngatain lagi, Kushi. Say her name. Ayesha. Kazasaki bukan bapak dari bayinya Ayesha. Terus kenapa dia nggak jadi menikah kalau emang ingin menolong Ayesha?

Apa Kaza benar-benar ingin melakukannya cuma karena dendam dia sama gue?

Dan di sinilah aku. Gagal tidur hingga pukul satu malam. Kaki ini datang dengan sendirinya di depan unit nomor 146.

Ketuk enggak?

"Uci!"

"Kushi!" ralatku.

Aku kaget waktu dia tiba-tiba buka pintu dan teriak namaku. Tapi aneh banget di telinga ini dipanggil begitu sama dia.

"Why?"

"Ada yang mau gue tanyakan."

"Bukan yang itu," katanya dengan tangan tetap memegang daun pintu. Biar apa?

"Yang mananya?"

"Kenapa gak boleh dipanggil Uci?"

"Gak apa-apa. Boleh masuk?" tunjukku ke dalam. Ruangannya terang benderang. Sepertinya, Kaza juga belum tidur waktu aku berdiri di depan pintunya. Terus kenapa dia bisa tahu aku ada di depan? Feeling?

Dia tampak mempertimbangkan. Lalu anaknya Pak Apan itu menelengkan kepalanya sembari membuka pintu selebar-lebarnya, kemudian dia kasih ganjelan sepatu. Biar apa?

Batinku langsung nyeletuk, "Biar kalo gue khilaf, dia bisa langsung lari."

Sialan!

Dengan penuh gaya—mengibaskan rok panjang ala-ala tuan putri, aku masuk dan langsung menuju sofa milik Kaza. Kulipat kaki jadi bersila. Posisinya enak banget buat dengar cerita.

"Duduk, Za."

Dia menggeleng-geleng disertai mengeluarkan decakan halus. Tak urung dia tetap duduk juga sesuai perintahku.

"Ada apa?" tanyanya.

"Kok ada apa?"

"Kamu datang ke sini mau ngomong sesuatu bukan? Bentar—" Kaza berdiri, "Minum apa, Ci?"

Aku menyipitkan mata dan mengacungkan telunjuk padanya. "Ya gitu aja, bener. Panggil aku Cici biar sopan."

"Enggak!" teriaknya.

Suaranya apa nggak kedengaran sampai lantai unitku tuh? Banter amat.

"Teh chamomile. Oke?" Kazasaki memperbaiki tone-nya.

Kalau dia bersikeras ingin menyajikan tamunya ini minum, apa boleh buat. Aku mengangguk. Tak sampai aku ketiduran, Kaza balik lagi dengan satu gelas bertatakan yang dia letakkan di meja tepat depan aku duduk. Dia sepertinya belum mau bicara sebelum aku menyentuh minuman itu. Baiklah, aku habisin sekalian.

"Jodoh itu ketika kamu dan dia saling memikirkan di waktu yang sama."

Mendengar dia bicara seperti itu, minumanku menyembur keluar. Udah susah-susah ditiup juga. "Stres, Za?" kataku menjadi kesal. Apa-apaan itu barusan?

"Karena setiap waktu kita saling memikirkan, artinya kita emang jodoh."

"Dih. Gini deh. Coba lo cerita yang jelas. Itu waktu tiba-tiba ada di kampung aku, kamu lagi ngapain? Kamu tahu 'kan, aku pulang supaya bisa melupakan kamu? Oh, bukan dari sana. Kamu buru-buru banget mau menikahi si Malai—tunangan kamu yang udah hamil—Ayesha. Kenapa gak jadi? Kamu enak, ya, main-main sama perasaan orang."

"Iya, itu salahku." Dia mengangguk. Pandangannya lurus ke bawah, bukan kepadaku.

"Lanjut." Auraku cukup bikin dia ciut gak, sih? Kapan lagi?

"Intinya dia bukan jodohnya aku," kata dia yang sepertinya sudah final, langsung pada kesimpulan.

Mana penjelasannya? Aku sejak tadi ingin minta penjelasan dari dia. Anaknya Pak Apan kenapa, sih? Kaza kalau bukan ngomel dengan seluruh kalimat sadis, malah jadi pendiam banget. Dia malas-malasan ngomong. Apa aku salah neror dia tengah malam?

"Gak paham."

Kaza nengok ke mukaku. Lalu dia garuk-garuk alis. "Ya itu, pernikahannya dibatalkan. Rencananya mau langsung bicara sama kamu, tapi kamunya pulang ke kampung. Aku tidak tahu kamu asalnya dari mana. Satu-satunya yang pernah ke sana Om Vegas."

"Lo tanya sama dia?" Aku ragu Vegas mau ngasih.

Kazasaki mengangguk. "Katanya rumah di kampung tidak pakai nomor. Aku mesti cari sendiri. Sampai di sana aku tersesat."

Tuh kan! Waktu itu Vegas menemui aku di jembatan, sih. Mungkin dia pun sedang mencari dan gak sengaja bertemu. Eh, sama dengan Kaza. Bedanya, Vegas aku ajak ke rumah. Kaza aku tinggal di tengah jalan. Betul-betul posisinya Kaza lagi di tengah jalan untuk memungut handphone-nya yang aku lempar.

"Menemui aku untuk bilang kalau kamu nggak jadi nikah? Lalu habis itu apa?"

"Kamu pura-pura gak tahu atau beneran tidak tahu, Ci?"

"Aku gak tahu. Emang aku Cullen, bisa baca pikiran?"

"Aku mau menyambung hubungan kita, Uci."

Aku berdiri membelakangi Kaza lebih dahulu agar terlihat keren. Berbalik lagi kepadanya dan menyipitkan mata, "April mop gak sih waktu itu? Beruntung aku gak baper duluan lihat kamu di sana 'kan? Aku udah kebal, Za. Kamu mau telanjang depan aku, aku gak akan iyain kamu. Palagi cuman datang jauh-jauh dan jadi gembel di kampung aku. Gak bakalan aku bisa lupa perjuangan aku yang banting tulang mendapatkan kesempatan dari kamu, tapi malah diludahi."

"Kamu gak usah dendam segitunya. Cinta kamu makin dalam nantinya, Ci."

"Makin dalam tenggelamnya maksudo lo?"

Kaza tertawa. "Tehnya diminum, Ci, sebelum dingin."

Aku langsung patuh. Waktu satu seruputan masuk ke lambung yang membuatnya hangat, aku baru tersadar. Wah, hipnotisnya Kaza masih ampuh ke otakku. Disuruh minum aja patuh, apalagi kalau nanti disuruh buka paha. Astaga, otak perawan. Tak sengaja aku malah melirik ke bibir Kaza yang merah banget. Apakah hanya kesintingan otakku saja malam ini, sehingga Kaza kelihatan makin tampan di bawah pijar lampu tengah malam?

Kaza juga berdiri. "Kamu mau nanyain itu aja ke sini malam-malam, Ci?" Cara Kaza melihatku, di balik mulu matanya itu sungguh memorak-porandakan ketegaran imanku. Ingat, mantan ganteng bukan hanya Kaza seorang. Harusnya aku sudah kebal.

"Kamu harap aku jawab apa?" Mancing banget itu loh, Kushi. Ini gila. Penjelasan bocil benar-benar membuat aku berani. Apa iya Kaza sudah melihat aku sebagai perempuan lagi? Aku tidak ingin menebak-nebak, harus memastikannya sendiri. Untuk itulah aku berada di sini karena mata ini tak kunjung terpejam sebelum tahu kebenarannya. Maaf, pertahanan Uci untuk tak mengejar-ngejar cinta hanya bertahan ... di lidah. Semoga Unta gak tahu gue masuk ke apartemen mantan pukul satu malam.

Kaza melihat jam dinding, kemudian menutup pintu secara rapat. Ya, pintu itu tak lagi diganjal oleh sepatu sialan. Aku berdebar kencang seperti perawan akan dieksekusi. Kaza lagi-lagi melihat jam, lalu ke meja pada teh yang belum aku habiskan, dan juga ke tubuhku. Ya Allah ya Tuhan, aku khilaf malam ini saja, diizinkan tidak?

"Hm. Aku siapkan kamu sesuatu yang enak dan panas?" Suara Kaza sangat seksi waktu menyebut kata 'panas' dan aku tak mampu menjawab perkataannya itu.

Tiba-tiba unit Kaza yang cukup luas bagaikan cuma selebar meja. Tubuhku berkeringat tanpa bisa dicegah. Apalagi saat Kaza memegang pundakku dan mendorongku hingga terduduk di sofa. Tak ada hal yang bisa mengatasi betapa hangat rahimku sekarang. Aku siap, demi—

"Kamu tunggu di sini dulu. Aku gak akan lama." Kaza mengedip sebelum undur diri meninggalkanku dalam keadaan setengah sarap.

Astaga! Aku menggeleng-geleng. Menggigit-gigit bibir. Menggoyang-goyangkan kaki. Kali ini dadaku debarannya paling parah selama aku hidup. Mengalahkan panasnya waktu Kaza mengusapkan tangannya ke .... Tidak! Aku justru semakin berkeringat ketika mengingat kejadian sembrono itu. Saat Kaza mengusap balsem ke mataku sampai aku tidak bisa membuka mata selama berjam-jam.

Bukan Kaza jahat. Dia khawatir banget karena engsel kakiku keseleo akibat stiletto. Kazasaki mengelus-elus kakiku pakai balsem sampai aku meneteskan air mata saking nikmat usapannya. Dia menjadi lebih panik melihatku menangis lalu mengusap mataku dengan tangannya yang terkontaminasi oleh balsem urut.

Dengan sekali gerakan kepala, ingatan suram itu ambyar. Ditambah suara air keran dari arah dapur menggerakkan pikiranku untuk menyusul Kaza saja. Lalu terdengar Kaza memotong-motong sesuatu di atas talenan. Aku menelan ludah dan berjalan pelan saat mencium aroma wangi bawang goreng. Perutku membuat kode demo.

"Kenapa datang? Tunggu aja di sana. Ini gak lama juga jadi," kata Kaza yang memakai apron putih bergaris-garis hitam. Dia menjadi lebih tampan dan seksi dengan pakaian ala Chef Juna itu.

"Kalau sendirian, pikiran aku berkelana yang enggak-enggak."

Kaza mengedip-ngedipkan matanya akibat bawang merah.

"Baru kali aku melihat orang main di dapur sama penggorengan tengah malam." Aku duduk di salah satu kursi tak jauh dari Kaza berjibaku.

"Kalau kamu mau, tiap malam boleh melihat aku beraksi. Kamu juga yang enak kok. Masakan aku dijamin lezat, kata Hangga."

"Gak usah ngobrol dan cepat selesaikan. Udah manggil-manggil dari tadi, gak tahan lagi bayi-bayiku."

Kaza mengangguk. Lalu mengaduk-aduk centong dalam panci.

"Kapan kamu belajar masak?"

Kaza tak menjawab. Oke, aku salah. Seharusnya tidak membuat dia melakukan hal lain denganku saat dia tengah fokus seperti itu.

"Jadi." Kaza datang dengan semangkuk bening sop ayam. Jagung muda, kentang, wortel, dan juga bakso disatukan semua dalam kuah. Namun, aromanya semakin membuat perutku demonstrasi.

"Mau pakai nasi, Uci?"

Aku cepat menggeleng. "Aku coba, ya?" Aku langsung mengambil sendok.

"Ini enak banget. Hangat di perut."

"Dihabisin." Kaza telah melepas apron dan duduk di depanku dengan bertopang dagu. "Aku ingin melakukan semua hal untuk meminta maaf dari kamu. Selama ini aku sudah berbuat terlalu jahat."

Aku terbatuk. Kaza segera mengambil air minum dan memberikan kepadaku.

"Makanya, tengah malam mainan panci?" kataku setelah tenggorokan tak sakit lagi.

Kazasaki mengangguk. "Kamu gak punya salah. Aku yang banyak salahnya. Kamu selalu gigih untukku, sedangkan aku menampik semua usaha kamu, pura-pura enggak tertarik. Aku berpikir aku telah belajar untuk jadi dewasa. Ternyata masih kekanakan setiap di hadapanku itu kamu."

"Intinya kamu udah menyesal?"

"Sangat, Ci. Aku sangat amat menyesal dan membodohi diri sendiri. Setelah kejadian di kantor kamu, aku tertampar kenyataan. Ah, aku ternyata sudah bukan Kaza-nya Uci lagi. Aku mau malu sama kamu. Emang bego sih, Kaza. Seharian ini aku kepikiran gimana supaya kamu bisa sama aku lagi. Kamu pasti bersedia memaafkan aku, tapi bukan itu saja yang aku inginkan."

Kazasaki menatapku di balik bulu matanya lagi. Tatapan neon yang menembak jantungku. Deg-degannya parah karena ditatap sayu gitu.

Jakun Kaza bergerak sebelum dia bicara lagi. "Ci kamu masih punya lowongan untuk aku? Demi semua koleksi video saru Yuka yang aku tonton diem-diem, aku masih perjaka. Belum pernah begituan, apalagi sampai menghamili orang, Ci. Aku sehat dan dijamin kamu aman sama aku."

Gila, ini Kazasaki sedang menyesal atau stand up comedy? Lagi minta maaf atau pamer kepercayaan diri? Kazasaki yang kemarin ini omongannya susah aku pahami, sekarang berbicara gamblang tanpa ada lagi yang dia tutup-tutupi. Ingin bersamaku, meski dia belum bilang apa sebabnya. Berarti ... satu lagi, Za. Gue ingin dengar satu hal dari lo.

"Aku memang belum semapan Bang El. Percayalah, Ci, aku gak bakalan bikin kamu hidup susah. Warisan dari Pak Apan bakalan ke aku, Ci. Yuka Cuma dapat percikannya aja. Aku ikhlas dan senang banget kalau kamu mau balikan sama aku, bukan hanya jadi pacar. Menjadi suami kalau kamu iyakan. Dengan senang hati aku terima janda kamu, Uci."

Itu aja sudah cukup, Za. Tak perlu aku pura-pura nolak kalau hal yang sangat aku citakan untuk masa depan rahimku mengajak untuk bersama-sama.

"Za. Aku gak jadi makan loh ini. Dari tadi kamu ngomong, muntahin semua keluh kesah kamu, aku gak berani nelen, takut keselek. Aku boleh kan ngenyangin perut dulu?"

Kaza menahan tanganku. "Ci, jangan begitu. Masa kamu gak ingin mempertimbangkan perasaanku?" Kaza menggeleng dan menaikkan nada suaranya, seperti orang baru mendapatkan dopping, "Karena kamu giniin aku, aku makin yakin untuk membulatkan tekad mendapatkan kamu. Gak akan aku biarkan kamu dipeluk Om Vegas lagi. Kamu harus cinta lagi kepadaku karena aku gak pernah gak cinta sama kamu. Dari dulu."

Maaf, sop ayam dan kawan-kawan. Aku gak tertarik lagi kepada kalian. Makhluk tak bersayap di hadapanku ini jauh lebih menggiurkan untuk dimakan. Aku membanting sendok ke dalam mangkuk. Berdiri dan berjalan ke Kaza sebanyak tiga langkah. Aku menciumnya duluan!

***

TAMAT

Sumsel, 3 April 2022

Terima kasih untuk penantian panjang.

Extra part akan tayang di Karyakarsa atas judul Rayuan Mantan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top