[19] Rayuan Implisit Mantan
Welcome back, aku. Nggak ada yang nyambut, biar diri sendiri saja yang antusias di sini. 😊 Selama tiga minggu lalu, Kasev terpenjara, gak bisa nulis apalagi jalan-jalan lihat dunia luar. Padahal di sana kota, tapi dipisah oleh tembok derita. Balik ke sini, kampung yang sering mati lampu, justru terasa bebas. Yey. Okeee, kayaknya gak perlu cerita ini, ya, cuss lanjut baca kisah Uci aja, ya gess.
Cerita lain sudah tamat dan sudah dapat pemenang ya gess, selamat kepada para pemenang. Semoga bukunya segera terbit.
Ayo segera revisi, nanti aku yang hias bukunya. 😊😊
[19] Rayuan Implisit Mantan
”Tante Uci!”
Pangeranku yang titidnya disunat dan sudah sehat berlari dari lantai atas. Bukan terbang. Masih menuruni anak tangga. Kedua tanganku terentang siap menerima pelukan bocah yang aku rindu. Hangga Devanda, putra satu-satunya Yuka Sierra, kelihatan sangat tampan dan sepertinya makin dewasa semenjak enggak ketemu. Apa mungkin perasaanku saja? Badannya lebih tegap dan berisi dibandingkan satu bulan yang lalu.
”Ponakan kesayangan,” panggilku saat dia makin dekat.
”Tante! Aku bisa bikin Tante Uci ketawa lagi!”
Hangga menempelkan sesuatu ke pinggangku. Senjata apa yang dia bawa? Aku memekik dan tertawa ketika sesuatu yang bergetar Hangga tekan ke pinggangku. Rasa geli luar biasa membuat tungkai tidak mampu menyangga beban tubuh. Aku terduduk dan si Hangga masih terus melakukan aksi untuk membuatku ketawa.
”Ngga, udah! Geli, mau pipis! Berhenti, Hangga. Please!”
Alat itu dilepaskan dari tubuhku. Hangga mencium benda itu dengan ekspresi lebay.
”Oh, Tuhan. Untung kemih Tante habis dikosongin. Tapi lihat ini rok Tante Uci udah kocar-kacir. Jangan liat!”
Aku membenari rok pendek yang naik sampai lipatan paha. Benar-benar deh anak kutil satu itu bisa bikin aku kejang-kejang.
”Apa sih itu tadi? Kalau mau ngerjain, kasih kode dong. Kamu bukan Ibuk Yuka yang kalau deket dia Tante sudah siap lahir batin dicelakain.”
Hangga memamerkan dua buah alat mirip ubur-ubur nan lentur. Panel kecil ditekannya sehingga alat itu bergerak-gerak seperti orang kesetrum di televisi. Waktu getarannya berhenti, benda itu seperti sayuran yang layu.
”Te kita ngobrol serius, yuk.” Hangga menarik tanganku ke lantai dua, menuju kamarnya. Tiba di ruangan penuh gambar Captain Amerika, Hangga menutup dan mengunci pintu.
”Tante duduk di sana,” tunjuknya pada bangku belajar depan meja yang penuh mobil-mobilan mini.
Ckck bukannya ini meja seharusnya ditempati buku-buku, ya. Aku duduk di sana dan Hangga mengambil tempat di ujung tempat tidur. Posisi kami berhadapan.
”Serius banget nih sepertinya.” Kulipat lengan depan dada.
”Hangga mau tanya. Tante Uci jawab yang jujur.”
Aku mengangguk dan untuk lebih meyakinkan aku menyertakan kata ‘iya.’
”Tante Uci perginya karena sedih?”
Aku merasakan perhatian istimewa dari bocah yang lahir dari rahimnya Yuka ini. Sebenarnya lihat ekspresi Devanda Bocah yang sok dewasa, aku ingin ketawa. Dia terlalu drama. Karena tak ingin bikin ponakan tampan kecewa, aku jawab jujur sesuai request-nya. Dia menarik napas perlahan begitu melihat aku mengangguk.
”Tante tuh nggak perlu pergi jauh-jauh. Hangga bisa kok mengusir kesedihan Tante Uci.”
Hangga, kesayanganku.
”Iya, maafin Tante Uci. Kamu pasti bisa menghibur Tante.”
Hangga Devanda mengangguk tegas. ”Nih lihat. Aku belinya di toko luar negeri. Biruwen ini bisa bikin orang menangis jadi ketawa.”
Jadi, alat yang mirip urat saraf itu namanya biruwen dan belinya di luar Indonesia. Oh my Allah, Hangga ini dewasanya nanggung. Aku pikir mau ngusir sedih dengan hiburan receh ala dia. Ah, yang penting niatmu, Bocah Ganteng.
”Tante suka? Bisa Hangga bagi. Nih, buat Tante Uci aja.” Alat yang sangat berjasa, menurutnya, itu diberikan kepadaku.
”Terima kasih. Lucu, ya, warna warni kayak cendol.”
”Disimpan yang baik, Te. Kalau sedih, pakai biruwennya.”
Aku mengangguk menahan perasaan ingin ngakak. Ada-ada aja idenya bocah satu ini.
”Tante. Om Kaza curhat dengan Hangga. Ini rahasia loh, tapi sama Tante Uci, pasti Hangga bagi. Kitakan sweet friend.”
Aku memajukan punggung. Inikah yang dia bilang mau ngomong serius?
”Ceritain, Ngga. Memangnya Om Kaza ngomong apa aja ke kamu?”
Hangga menepuk tangannya sekali. Kakinya dinaikkan ke tempat tidur untuk bersila.
”Pertamanya marah dulu.”
”Hah?”
”Waktu itu Om Kaza marah-marah. Gak tahu sama siapa. Ibuk bilang Om Kaza stres karena mau nikah. Kata Ibu Yuka jangan didekati, nanti Hangga kena banting. Gini Te, ‘Bodoh! Dasar bego! Hidup yang guna dikit bisa nggak sih? Tuhan nggak mungkin nyiptain kepala tanpa otak. Pasti di dalamnya ada, tapi nggak dipakek. Kan bego banget!’ Ngomel pokoknya.”
”Itu mah dia. Bego!” umpatku ikutan kesal. ”Menurutmu, siapa tuh? Dia ‘kan? Nggak mungkin Tante dong yang bego? Nggak mungkin kamu, Ibu Yuka, Ayah. Om kamu yang bodoh. Galak lagi.”
”Nggak tau Hangga, Te. Ceritanya dimulai dari sana.”
Aku berdeham.
”Lanjut, ya.”
Aku mengangguk.
”Kenapa kamu suka sama Tante Uci, Ngga?” Hangga membesarkan suaranya. ”Om Kaza nanya gitu. Duduk di tempat Tante itu,” tunjuknya.
”Pasti karena cantik. Iya ‘kan?” Sepertinya Hangga memparodikan kata-kata Kazasaki.
Aku dibilang cantik dong sama mantan paling galak. Ternyata sudut-sudut bibirku melebar tanpa disengaja. Lalu aku kembali serius mendengarkan cerita keponakan tampan.
”Kata Om Kaza, dulu Om Kaza juga senang karena Tante Uci cantik banget. Rambutnya panjang, harum. Badannya lembut. Empuk. Apa iya, Te?”
Apa-apaan itu tadi? Jangan bilang Kaza merusak otak polos keponakannya sendiri. Menjawab Hangga, aku hanya mengangkat bahu.
”Katanya Tante lucu. Kalau ngambek, kayak anak kecil. Om Kaza merasa jadi orang dewasanya deh. Senyum-senyum sendiri waktu cerita sama aku, Tante. Oh iya, Te! Om Kaza bilang Tante Uci tuh baik banget. Kalau dijahati Ibu, nggak mau balas. Aku setuju. Tante Uci baiknya kelewatan trus jadinya bodoh. Om Kaza juga cerita waktu dia marah ke Tante waktu aku nginap. Hangga jelasin loh, Tante, kalau sebenarnya Hangga yang minta. Hangga suruh Om Kaza minta maafnya Tante Uci. Tante Uci kan nggak salah, kok dimarah-marahin si Om Upil.”
”Belum ada tuh dia minta maaf. Tapi makasih banyak udah belain Tante Uci. Jadi terharu nih Tante, pengen peluk.”
Waktu tanganku sudah siap menerima pelukannya, Hangga menggeleng dengan bibir dikatupkan.
”Nggak boleh pelukan loh.”
Eh bocah kenapa? Oh, dia pikir dia sudah dewasa mentang baru disunat.
”Laki-laki sama perempuan nggak boleh berpelukan loh. Apalagi dalam kamar.”
”Ponakan Tante udah besar.” Aku mendatanginya, menepuk-nepuk puncak kepalanya. Banyak sekali perubahan semenjak dia kutinggalkan.
”Tante kehilangan pelukan di pinggang dong. Lagian kamu sudah tinggi juga, nggak bisa peluk pinggang Tante Uci seperti dulu.”
”Hehe.” Hangga dan pujian. Bibirnya nyengir lebar-lebar. ”Benar Tante. Hangga tinggi seperti Om Kaza. Nanti bisa deketin Kak Faya deh. Terus Kak Faya nggak boleh dipeluk laki-laki lain selain Hangga.”
”Faya itu siapa, Ngga? Dia yang kamu maksud 'cewek tua pasangannya cowok muda' waktu itu?”
Anggukannya mantap banget. Posisi kaki masih bersila. Tangan pun dia silang di dada. ”Kak Faya jauh Hangga tetap sayang. Nanti cerita sama Ibu pelan-pelan biar Ibu nggak benci sama Kak Faya. Kak Faya itu kata Ayah, anaknya mantan pacar Ayah. Ibu nggak sreg.”
Oh, mantan yang pernah tekdung sama Elrangga. Ampun! Rasain lo, Yuka. Yang satu ini gue dukung Hangga.
”Tante jadi penasaran sama Kak Faya. Apa dia cantik?”
Anggukannya bisa-bisa bikin kepala copot dari leher. Semangat banget, Bro.
”Om Kaza bagi-bagi tips loh untuk ngerayu Kak Faya, tapi aku nggak mau bagi tahu Tante Uci. Cuma untuk cowok, nggak ada hubungannya sama Tante Uci. Nah iya, satu lagi kata Om Kaza.”
Otak Hangga diracun omnya.
”Rahasia banget loh. Aku nggak dikasih tahu.”
”Rahasia orang jadi rahasia bersama kalau ceritanya sama kamu.”
Hangga mengerucutkan bibirnya. ”Tante kalau sama Ibu Yuka nggak mau balas. Takut banget iya, Tan? Katanya kalau sama Om Kaza, Tante selalu balas. Nggak takut, malah mulai duluan. Ini tuh kata Om Kaza kiat-kiat supaya cewek suka sama kita. Memangnya maksudnya gimana loh?”
Gigit!
”Terus kapan kamu kenalkan Kak Faya sama Tante?”
Sekarang giliran si geleng-geleng. ”Tante, Om Kaza suka loh sama Tante Uci.”
Wow! Ada mercon di dalam dada. Duh jantung gue.
”Om Kaza bilang kalau cerita tentang Tante Uci, kangennya bisa hilang. Tapi lama-lama makin rindu loh. Dia mau nyari Tante Uci, tapi dia nggak tahu. Katanya kalau ketemu, mau dipeluk. Hangga nggak boleh memeluk Tante Uci lagi. Om Kaza masih boleh memeluk Tante Uci? Bukannya kata Ibu Yuka, Tante Uci pacarnya Opa Pegas. Tante sukanya sama Opa atau Om Kaza?”
”Siapa bilang Tante pacarnya Om Pegas?!”
***
Informasi dari Hangga Devanda bin Dovan Elrangga kutelan mentah-mentah. Benar atau tidaknya, cerita itu betul-betul bikin aku nyengir sepanjang hari. Perasaan jadi berbunga-bunga. Bayangkanlah Kazasaki bercerita tentang aku yang baik-baik kepada keponakannya. Siapa pun juga tahu gimana jahatnya mulut dia ketika bicara kepadaku. Kalau bukan sindir, ya, bentak. Sinis terus kalau didekati. Dan apa benar kedatangan Kaza waktu itu karena dia rindu?
”Ekhem.” Bos baru berdiri bersedekap depan mejaku.
”Saya tahu kamu cantik, jadi nggak perlu tebar pesona. Saya sudah suka walau tanpa disenyumin kamu.”
Apaan sih, Pak Bos yang meresahkan.
”Waktunya makan siang, Nona Kushi. Berhentikan dulu pekerjaanmu. Kamu ngetik apa?”
Cepat aku sadar bahwa kerjaanku dari tadi cuma menekan-nekan keybord tanpa arah. Aku segera berdiri dan menarik tangan Vegas menjauh.
”Duh, lapar. Makan, makan.”
Kesempatan itu tidak dilewatkan Vegas. Tanganku digenggam erat. Tak peduli kepada siapa pun yang kami temui sekeluarnya dari ruangan Vegas.
”Syukurlah. Lo udah nggak marah lagi.”
Vegas berbisik ketika kami berada dalam lift. Kedua matanya menatapku tanpa raut bercanda. Dia serius sekali sampai-sampai tanganku dialiri kehangatannya.
Sepanjang hari kemarin mengingat Kazasaki Ardhana. Aku lupa bahwa sebelum ke rumah Yuka, perasaanku kepada bos ini sedang kesal. Dia berlagak posesif kepadaku yang sudah mengikrarkan hubungan kami sebagai teman biasa.
”Nggak usah pegang-pegang. Gue masih bete.”
”Gue bayarin makan sepuasnya. Maafin, ya?”
”Uci!” Bukan Vegas. Dia tidak menyebut nama panggilan dari Mas Unta itu.
Aku menoleh. Suaranya tentu aku hafal. Hanya untuk memastikan ini bukan ilusi akibat memikirkan dirinya.
”Mau ke mana Om dengan Uci?” Kazasaki, ya, dia sudah sampai di depanku dan Vegas.
”Makan siang dengan aku, ya. Nggak apa kan pegawainya aku pinjam sebentar, Om?”
”Santuy banget ente bicara begitu, Kaza? Yakin gue bisa dipinjam dengan mudah? Hey, kalaupun lu anggap gue barang, gue mahal.”
Tangan Vegas yang tadinya aku lepas, kupegang kembali.
”Sayangnya pegawai Om nggak mau tuh. Makan sendirian nggak apa-apa ya, Za.” Vegas nyeletuk.
Boleh nggak sih gue tampol nih orang? Cukup gue aja yang bikin Kaza kelihatan sedih, dia nggak perlu ikut-ikutan!
Vegas membenarkan posisi jemari kami yang bertautan. Terlihat wajahnya puas menginjak harga diri Kaza.
Impulsif! Hatiku enggak tega menyaksikan bulu mata anaknya Pak Apan berkedip-kedip saat wajahnya ditolehkan ke samping. Cuping telinganya memerah. Tanda-tanda aku baru saja mempermalukan dia yang mungkin saja datang dengan pedenya ke sini menganggap ajakannya sudah pasti dijawab iya. Seakan semua berjalan sesuai kehendaknya. Ingin pergi dan datang sesuka hatinya.
***
Bersambung
SL, 2 Mei 2021
Selamat hari pendidikan Nasional
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top