[18] Rayuan Agresif Mantan

[18] Rayuan Agresif Mantan

Sebenarnya, aku nggak bisa lanjut cerita ini karena banyak hal. Pertama, kalian pasti akan mikir ’apa sih tujuan cerita ini?’ Kisahnya nggak ada value. Jika dibandingkan sama teman-teman yang ikut event ini, kisah Kushi ini yang paling nggak jelas. Nggak ada konflik dan mana itu hal baik yang bisa diambil? Kedua, pasti banyak yang aneh, apa pun itu. Aku terlalu memaksakan diri. Sebenarnya, pembaca Kasev sudah mengenali aku dari lapak-lapak terdahulu. Kapan aku mulai berhenti. Yah, yang tetap ikutin cerita ini akan Kasev rangkul, kuucapkan mani kamsamida (nggak tahu tulisannya, cuma yah, artinya moga tersampaikan). Dua aja ya alasannya. Jadi ... Apa Kasev akan mogok juga seperti para pendahulu Kushi? Krik krik krik.
Insya Allah Kasev akan menyelesaikan tugas ini. Jadi, apa pun akhir kisah Kushi nanti, saya mohon, maklumi ini. Sebatas inilah kisah yang dapat saya sajikan. Semoga kalian mau memaklumi keterlambatan selesainya kisah Kushi dan cerita Kasev yang lain.

Mari membatik ...

🐦🐦🐦

”Sahabatku!!! Rindu!!!”

Orang mana yang teriak-teriak di lorong sepi ini? Teriakan itu disertai ketukan sepatu kuda berlari. Tuk tuk tuk tuk. Vegas? Sahabat? Putus satu tali imron—

”Hancur dah badan gue diseruduk gajah belalai di bawah. Lepasin sih bau.”

Bau yang menggoda nasib perjomloan.

”Kelayapan ke mana lo? Ditelepon nggak ada nomernya. Minta gue bawakan satu lagi—”

Tanganku melambaikan ponsel baru yang membuat Vegas segera membolak-balik benda itu. ”Yang gue beli dikemanakan? Tukar tambah dengan ini?”

”Jadi yang ini lebih mahal?”

Suara nada dering nyaring melantun dengan gegap gempita di gedung sepi ini. Vegas mengembalikan telepon pintarku dan memegang gawainya sendiri.

”Simpan tuh kontak gue. Pin paling atas.”

”Siapa elo.” Aku melanjutkan kegiatan yang diintervensinya, membuka pintu apartemen ini. Vegas mengekor di belakangku.

Sebagai tamu, aku sediakan minuman teristimewa untuk Vegas. Air minum hangat kuku direbus langsung dari keran lalu dicampur es batu balok yang tinggal satu.

”Udah alih pekerjaan jadi CCTV juga?” tanyaku setelah mengenyakkan pinggul ke sofa tunggal di seberangnya.

”Ngapain jadi tukang CCTV?” Vegas menepuk-nepuk tempat di sisinya. ”Duduknya tolong agak berdekatan di sini bersebelahan. Gue udah divaksin kok.” Kedua tangan merentang di sisi tubuhnya. Kaki kanan disilangkan ke kaki kiri.

”Vaksin flu burung maksudnya? Burung lo aman? Gue tetap mau social distancing.”

”Ketawa lo makin manis aja, Kus. Enggak peduli walau dalam kepala itu yang lo ketawain gue. Asal lo bahagia aja, gue rela ditertawakan.”

”Suara-suara bucin tuh.”

Vegas mengibaskan kerah. Sombong tidak pada tempatnya, Pemirsa. Bukankah gue barusan menghina, di telinganya malah kedengaran memuji. Isi kepala sama tampang tidak bersosialisasi. Wujud oke, sayang otak enggak dipake. Kelamaan jomlo, berkarat.

”Sudah dua kali lo tolak gue. Bahkan saat gue dengan serius ngelamar kepada orang tua lo. Lo maunya kita berteman?  Jangan sampai lupa teori lama yang mengatakan, tidak ada pertemanan antara pria dan wanita. Gue ambil kesimpulan, hubungan kita kelak akan menjadi teman hidup. Dan itu bikin gue lebih semangat berjuang. ”

”Nggak jelas.” Gila ’kan? Rongga dada baru saja berdenyut kencang. Baper, Mak. ”Terserah lo deh. Capek gue. Makin ditolak makin gencar. Itu juga gue paham teorinya.”

”Iya karena elo satu-satunya cewek yang gue perjuangkan. Teruslah bilang tidak selama hati lo masih ragu. Karena waktu pilihan lo sudah pasti jatuh ke siapa, perjuangan gue nggak akan bisa dihentikan.” Suara dan air wajah Vegas seperti seorang wira. Nggak ada muka-muka bercanda.

Apa aku salah melepaskan kesempatan untuk diseriusi? Bukankah ini yang aku inginkan? Mencari calon suami yang akan menjadi ayah dari anak-anakku dengan bibit unggul dan cinta melimpah.

Cinta?

”Ya udah, gue terima.”

”Serius?” Pundaknya langsung naik. Mata berbinar seolah aku segepok dollar.

”Tapi boong.”

Pundaknya turun lagi seperti daun putri malu.

”Apa yang lo cari, Kushi?”

Cinta? Aku pernah bilang kalau cinta bisa tumbuh setelah terbiasa hidup bersama. Pria di depanku ini bahkan nyaris sempurna. Punya segala yang aku tuliskan dalam kriteria calon bapak anak-anakku kelak. Tapi ... masih nggak rela menyerahkan hidup kepada orang yang tidak mencintaiku dan tidak kucintai.

”Dan apa yang membuat lo ingin memperjuangkan gue? Karena sudah kelamaan sendiri? Atau karena penasaran sama gue? Atau gue cantik banget? Atau ingin naik ranjang gue?”

Uhuk!! Batuknya keras banget. Air minum hangat kuku ternyata membawa berkah untuk meredakan radang tenggorokan yang baru saja melanda. Vegas langsung menandaskan isi gelas dan mengempaskan benda bening itu dengan suara keras di atas meja.

”Cinta.” Aku tak lagi mengajak pikirannya travelling. ”Gue ingin dicintai. Lo bisa memberikan itu?”

Selain aku layak untuk diperjuangkan, aku juga layak dicintai. Jika enggak ada, aku punya dua pria yang mencintaiku di kampung halaman. Walau Unta menikah dan membagi cintanya, aku takkan pernah merasa dikhianati.

”Jadi istri gue. Gue akan berikan asmara paling manis setelah diterima sebagai bagian dari hidup lo.” Istilah pantang ditolak sedang merayapi otak Vegas.

Aku sampai kehilangan alasan ngeles apa lagi. Untung suara nyaring deringan telepon membantu. Tanpa melihat caller id, aku tahu siapa yang memanggil di saat yang tepat. Namun, tanganku kalah cepat oleh kegesitan Vegas. Dengan gerakan anggun, dia memindahkan ponsel ke telinganya.

”Sekarang giliran gue.” Tatapannya menghunusku.

Vegas meletakkan gawai begitu saja sesudah mengucapkan tiga kata. Tungkainya berdiri. Kedua tangan masing-masing di kantung celana.

”Sudah bertemu Elrangga?” tanyanya.

Kepalaku refleks menggeleng.

”Besok pagi gue jemput seperti biasa.” Kepergiannya dengan acakan rambut pada puncak kepalaku memberikan efek luar biasa. Kontrol. Seperti ada benang yang dia tarik pada setiap sendi tubuhku. Mau tak mau aku mengikuti apa yang dia mau.

Dering kencang yang setelah ini akan aku kurangi kembali mengisi ruangan mini apartemen. Saat ini, tali-tali pada ujung jemariku mulai terlepas pelan-pelan. Dengan gerakan lambat, panggilan telepon itu segera kujawab. Hening menyapa gendang telinga saat lidahku masih terasa kaku untuk berbicara. Kalau dibilang komunikasi saat ini berlangsung via telepati, aku gagal menerima pesan apa pun darinya.

”Uci?” Suara dalam telepon merendah.

”Cukup main-mainnya. Hari ini banyak banget kejutan di hidup gue. Doorprise-nya melimpah. Gue tutup hari ini dengan wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”

Punggungku langsung sayang-sayangan sama punggung sofa.

What wrong with Vegas?

Kejutan dari Kazasaki bahkan enggak bikin aku sekaget ini. Berjuang yang Vegas maksudkan kenapa jadi seperti infanteri memperebutkan kemerdekaan dari penjajah? Dia dengan semangat empat lima ingin memerdekakan hatiku dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Hidup yang selama ini gegabah semakin menjadi entah.

🐦🐦🐦

”Jadi personal asisten Vegas? Yang bener aja?”

Kejutan kesekian datang lagi dari my boss Dovan Elrangga. Masih ingin ngomel karena diperbabu seenak dia, seseorang dari belakang menepuk pundakku.

”Mulai hari ini kamu bekerja bareng saya.” Sang cassanova Vegas Vernando tersenyum amat manis dalam balutan kemeja kasualnya.

”Menghalalkan segala cara,”desisku di sebelahnya, tentu saja Vegas dengar.

”Mau buat affair anak buah dan bos, kita bisa, yuk.” Tanganku ditarik Vegas sialan dari ruangan suaminya Yuka Sierra.

”Jangan bilang nanti lo angkut gue ke kantor yang di Padang. Gue nggak mau.” Tiba di depan lift aku melepaskan genggaman tangan Vegas.

”Lo ikut ke mana pun gue melangkah. Ups. Kamu akan selalu di sebelah saya ke mana saja saya bekerja.”

”Ini nggak fair.”

”Ya kita bisa bikin affair.”

”Perasaan emak gue ngelahirin manusia, kok bisa berubah jadi bayangan sih. Bayangan tukang buntuti si manusia yang memanfaatkan jabatannya karena status gue yang cuma babu.”

Baby.” Nggak cuma mulut yang kerja, jemarinya dengan lancang mencubit pipiku tepat saat pintu besi terbuka.

”Lu kalau kagak profesional, gue lapor ke departemen perserikatan buruh Indonesia.”

”Ih manis banget.”

Cubitan pada kedua pipiku ikut menyentil jantung sampai isi rongga dada ini berdentam seperti tabuhan bedug buka puasa.

”Gue nggak suka dibilang manis.”

Vegas tertawa dan ambil kesempatan memelukku sangat erat saat di dalam kotak besi ini enggak ada siapa-siapa. ”Demi apa dulu gue nggak sadar ada makhluk semanis ini?”

”Sialan! Gue mulai baper.” Vegas mengaduh-aduh sambil berusaha melepaskan cubitanku.

Orang yang menunggu lift di luar pada melongo melihat apa yang kulakukan ketika pintunya terbuka di lantai satu.

”Gue tahu. Ngambil hati lo itu nggak susah, walau nolak gue selalu tanpa perasaan. Beruntung gue sudah kompatibel sama seluruh keluarga lo. Tinggal elonya.”

”Dikira gue mesin.”

”Cium nih, manis banget dari tadi.”

Aku berjalan cepat meninggalkannya.

Empat jam sejak tiba di kantor cabang FBelline, tempat Yuka pertama kali bekerja, engsel kakiku terasa mau copot. Hidup betul-betul berubah jadi budak seorang Vegas kampret. Segala macam minta aku yang ambilkan. Pena jatuh aja, harus aku yang nunduk ke lantai. Tiap saat dia memanggil ke ruangan. Dan fix, mulai hari ini aku pensiun pakai heels. Biarin cuma tujuh puluh persen asalkan Vegas berhenti bilang aku manis. Sebab lama-lama aku yang bakalan kena diabet.

”Bibirnya tolong dikondisikan kalau tidak mau kena setrum.”

Wajah bete campur kesal, sebisa mungkin aku jadikan tersenyum, mengondisikan bibir dari si tukang jepit. Gimana gue enggak sebal, Akang? Posisinya aku telah bersiap pulang, tetapi bos baru ini belum kasih izin. Karenanya, aku jadi tiang di depan meja kerjanya.

Bisa dipastikan Vegas bakalan jadi sopir antar-jemput. Terlebih lagi sekarang kami satu tempat kerja. Vegas masih bekerja di depan layar LCD dengan kacamata yang duduk manis di batang hidung.

”Jangan nanti karena cape berdiri, lalu minta duduk di pangkuan. Sayanya jadi dilema. Mau yang enak-enak, tapi pekerjaan belum selesai.”

Vegas kumat. Sejak kapan omongannya menjurus ke hal-hal yang bikin rahim anget? Dia benar. Tungkaiku mungkin bentar lagi patah. Ada sofa kulit di dekat pintu, ke sanalah aku mengistirahatkan kaki.

+628126890xxxx
Udah mulai kerja, Kus? Ke rumah dong, anak gue kangen sama tantenya. Bareng El aja.

Yuka tahu nomorku pasti dari adiknya. Dalam beberapa detik, aku telah menyimpan kontak atas nama Yuka Sierra.

Me:
Laki lo belum cerita? Gue sekarang babunya Vegas. Elrangga yang berkuasa menitahkan pemindahan gue. Dan Vegas sialan sudah pasti yang mengusulkan.

Yuka Sierra menelepon. Suara deringan ponselku membuat bola mata Vegas membesar. Segera aku matikan panggilan Yuka dan membalas lewat chat lagi.

Me:
Gue nggak bisa angkat telepon. Ada bos ngawasin gerak-gerik gue.

Yuka Sierra:
Ini udah jam pulang kerja. Ngapain lo masih sama dia? Pulang!

Me:
Dia sopir gue. Pikir dong berapa yang bisa gue hemat. Lo tahu kan apartemen sama kantor baru gue jaraknya seperti dasar laut dan mulut gunung.

Yuka Sierra:
Bisa banget otak ekonominya. Eh, Kus, Om Pegas ke rumah lo waktu itu ngapain? Melamar?

Me:
Gila. Ya.

Yuka Sierra:
Tunangan dong? Acaranya gue diundang, jangan sampai enggak. Jahat banget sampai gue tersisih.

Me:
Gue pikir-pikir dulu. Hati gue masih penuh sesak sama dendam saat nggak dikasitahu apa-apa mengenai kabar mantan.

Yuka Sierra:
Bangke! Itu urusan lo sama Upil kenapa gue juga kena getahnya?

Anaknya Buk Siyah bodoh. Yakali aku tidak mengundang dia.

”Senyum-senyum chat-an sama siapa?”

Handphone terlepas dari tanganku.

”Eh, jangan main asal rebut bisa?!” bentakku mengambil kembali benda komunikasi itu.

Sorry. Gue pikir sama siapa.”

”Cukup dan ini terakhir kalinya lo acak privasi gue. Gue nggak suka.” Karena aku biarkan dia menjawab telepon Kaza, dia pikir dia diperbolehkan melakukannya lagi?

Aku mengempaskan tangan Vegas yang ingin menahanku. Dengan langkah mengentak, tidak peduli pada kaki yang pegal, aku meninggalkan ruangan Vegas.

Tiba di depan aku mencari taksi online. Aku ingin bertemu Hangga dan memeluknya. Rindu banget sama keponakanku yang nakal.

Kontrol. Vegas tidak punya kendali apa-apa atas hidupku.

🐦🐦🐦

Bersambung ...

Muba, 28 Maret 2021







Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top