[17] Pengakuan Akan Status Mantan

[17] Pengakuan Akan Status Mantan

Mau update malamm, tapi di sini lg gk ada sinyal,, mati lampuu. Ini Kasev cari sinyall di atas batang kelapa.. Selamat membaca ....

✋✋✋


Tiba-tiba lututnya nempel di lantai waktu kakinya tertekuk di hadapanku. Kepalanya tertunduk dengan dua tangan erat memegang tanganku. Aliran darahku mengencang cuma karena dipegang. Ingin kulepaskan, tapi Kaza merapatkan genggamannya.

”Gue mau minta maaf. Maaf, Ci, aku salah.”

”Ngapain pake sungkem segala? Mau nunjukin ke gue lo udah ahli masalah sungkeman?” Aku menepis tangannya, sekalian mendorong bahunya sampai terjengkang.

”Aku bingung,” katanya bernada pelan. Posisinya sekarang bersila kayak lagi dengar ceramah di masjid.

”Bingung kenapa? Elu minta maaf, ya, udah gue maafin. Gue juga minta maaf. Cukup?”

”Waktu nggak nemuin kamu di mana-mana, banyak yang mau aku bilang. Sekarang otakku nge-blank. Minta waktunya beberapa saat?”

”Ini kenapa sih? Kaza ... ada yang mukul kepala kamu? Bilang siapa orangnya, aku pukul balik tuh orang.”

Aku ikutan duduk bersila di depan Kaza. ”Yuk cerita, kamu bisa bicara dengan bebas. Tertekan sama kehidupan baru kamu? Mertua kamu nuntut macem-macem?” Eh, itu mah nasib menantu cewek.

Dia menatapku dengan kedua bibir terbuka. Muka cengo orang ganteng tetap enak dilihat loh. Lelaki di depanku ini buktinya. Halah! Otak suka out of the topic. Dia mengusap kening. Entah disengaja atau tidak agar aku lihat jari manisnya yang kosong. Sepertinya, menikah karena nyicil duluan nggak menjamin rumah tangga pasutri aman dari badai. Bukannya mendapatkan kebahagiaan, malah kelabakan oleh masalah di awal pernikahan. Sebulan waktu berlalu, dia sudah melepas cincin. Lalu siapa yang harus disalahkan? Masa gue? Aku nggak pernah mendoakan mereka yang buruk-buruk. Nggak pernah meminta mereka pisah. 

Muka anak lelaki yang kukenal sembilan tahun lalu itu kelihatan butek banget kayak kobokan bekas. Bisa dibilang kondisinya seperti bapak lima anak yang enggak bawa pulang duit  sepeser pun untuk makan anak-anaknya.

”Nggak tahu harus mulai dari mana.” Sekarang kedua tangannya menutup muka.

Benar, kedua jari manisnya tidak terpasang cincin perak maupun emas.

”Berat banget kayaknya.” Aku mengangguk paham. ”Kamu udah beli hape baru? Bawa?”

”Ada.” Kaza menunjukkan benda pipih itu.

”Pesen nasi dulu deh. Udang saus padang, sawi gulung isi ayam ....” Kaza cengo lagi. ”Dengerin kagak? Ketik tuh pesenannya. Sawinya pake saus tiram. Cumi-cumi goreng crispy. Itu semua buat aku. Kamu apa? Kalau bingung, dikali dua aja. Minumannya es buah. Butuh iotonik? Kamu bener-bener aneh kek orang kehabisan ion.”

Kaza kesusahan mengetik deretan yang aku pesan. Ponsel mahal itu kupindah ke tangan sendiri, terus memesan ulang.

”Cuci muka dulu, trus wudu biar setannya minggat.” Lututnya kusepak.

”Kamu marah?” tanya Kaza pelan seperti anak ayam kejepit.

”Kalau marah, nggak kukasih makan.”

”Aku yang bayar makanannya,” koreksinya dengan menunjuk hape yang kupegang.

”Cuci muka gih, gak tenang batin lihat muka kuyu kayak kucing kecebur got.”

”Kamu yang pernah kecebur.”

Aku menggeplak kepalanya tanpa rasa sungkan. Perasaan sejak tadi protes mulu.

”Ci.” Dia berdiri di pintu toilet. ”Lihat bulan?” Pintu dia tutup.

Buru-buru aku putar kepala ke belakang badan setelah mikir keras. ”Sialnya deket dia terus. Beneran habis harga diri gue.”

Sejam selang dari semua kerempongan itu, aku dan Kaza duduk berhadapan di sofa mini ruang tamu (serba guna). Lambung kami penuh dengan asupan nutrisi. Aku bertambah energi, tidak dengan Kaza. Ekspresi yang ditunjukkan seperti pembantu waktu nemuin kolor majikan di tempat tidurnya sendiri.

”Aku dimaafin?” Kaza yang kukenal beberapa waktu belakangan, tidak memandang sebaik ini. Well, dia biasa natap aku datar, bengis, kadang jijik.

”Salahmu apa?” Untuk yang tahu kesalahannya, takkan mengulangi lagi. Jangan asal minta maaf dan masalah tertutupi kemudian suatu hari di-restart. Ibarat makan, ye, habis makan buang hajat, trus makan lagi. Gitu terus sampai mati.

”Banyak. Enggak berusaha menjelaskan hal sebenarnya yang terjadi lima tahun lalu. Merasa dikhianati? Padahal aku yang memulai, kamu yang aku salahkan. Enggak bisa jaga lisan.”

”Dan kelakuan.”

”Ya,” akunya.

”Harusnya aku tahu kamu nyusul ke rumah Ibuk.”

”Hal itu nggak perlu dibahas,” cegahku. ”Bagi aku kesalahan kamu cuma satu, nggak memberi aku waktu. Nggak masalah, sekarang aku paham memang nggak ada jalan. Kemarin aku menenangkan diri karena merasa sangat kacau. Lihat, sekarang aku bisa berhadap-hadapan sama kamu seperti ini memosisikan diri sebagai saudara, kakak? Jadi, kalau pun kamu merasa masih ada ganjalan, cerita.”

”Sebenarnya ....” Anak bungsu Pak Apan membuang napas berat.

”Sejak Yuka cerita tentang Ibuk, aku nggak ada keraguan sedikit pun untuk ambil keputusan. Mengakui kalau kamu benar, aku memang nggak ikhlas, dan melakukannya cuma karena ada dendam. Aku tahu, tapi nggak ada alasan kuat untuk mundur. Karena fakta dari Kak Yuk ... kamu paham apa yang aku ceritakan ini?”

Gimana, ya? Aku yang meminta dia, tapi satu pun yang dia ucapin nggak ada yang aku mengerti. Dia yang muter-muter atau otakku yang lamban?

”Kamu nggak ngerti.” Kaza buru-buru berdiri. Mukanya memerah. Pandangannya nanar tak mau menatap ke arahku. Bergegas pula dia menuju pintu. Tiba di sana, Kaza tampak ragu-ragu.

Kenapa sih? Ada yang bisa jelasin apa yang terjadi saat ini?

Tangan Kaza pada panel pintu. ”Bayinya Ayesha bukan anakku.”

***

Malam ini aku nggak bisa tidur. Balik ke kanan, balik ke kiri. Muterin tempat tidur seperti gasing. Vegas pernah bilang adiknya Yuka masih suka bikin aku gamang. Bukan seperti itu, lebih tepatnya aku bingung tujuh keliling, spesifiknya putaran 360 derajat. Sikapnya nggak seperti Kazasaki yang aku kenal. Apa dia takut? Malu?

Aaaaaaaah!!! Bantal melayang ke lantai karena tendanganku.

Detik-detik suara jam dinding terdengar nyaring. Sebelas lima lima. Jarum menunjukkan waktu yang mendekati dini hari. Embusan pendingin ruangan ikut berlomba. Apa lagi? Kupingku menajam di tengah malam mencari suara halus yang biasanya luput. Intercom? Punyaku?

”Siapa?” Tanpa membuka pintu aku memastikan sang tamu.

Suara dari speaker kecil di hadapanku menyahuti, ”Kaza.”

Kaza Kaza Kaza ... nggak di pikiran, nggak orangnya, sama-sama ganggu.

”Ada apa? Masih ada yang mau diomongin? Jangan tengah malam, dong.”

”Nggak. Ya udah, tidur. Maaf kebangun karena aku.”

Ngecek gue ada di dalam?

Sekitar semenit nggak ada suara lagi, aku menguak sedikit daun pintu. Nggak ada siapa-siapa.

Akibat berkelana semalaman, nggak bisa tidur karena mikirin banyak hal, aku sanggup buka mata jam sembilan. Itu juga karena lambung ingat sama jatahnya. Selesai bersih-bersih, aku mengambil dompet, keluar beli sarapan dan handphone baru. Umat ini butuh pekerjaan untuk kelangsungan hidup.

”Siapa geletakin barangnya depan pintu gue? Jimat? Guna-guna? Santet?”

Paper bag itu terguling akibat kakiku. Terlihat merek gadget.

”Nggak mungkin isinya beneran?” Tidak ada yang lewat di lantai ini. ”Ketinggalan, kok, depan rumah orang?”

Aku memungutnya, nanggung, sekalian buka isinya.

”Kayaknya bukan gue yang resah nggak punya hape.”

Ternyata kali ini dari Kazasaki Ardhana. Tertulis di note kecil atas namanya seakan dia tahu kalau nggak memberitahu siapa pemberinya, aku akan meletakkan barang ini di pos sekuriti.

”Aku emang rencana mau beli, nggak perlu ke toko.”

Niat keluar aku batalkan. Cepat-cepat mencari sarapan di ini-food. Sembari menunggu aku mengecek sosial media yang terinstal, juga aplikasi perpesanan. Biasanya si pemberi memasukkan nomornya sendiri. Benar. Kaza jadi satu-satunya kontak di ponsel ini.

Me:
Kuitansi kenapa nggak disertakan?

Terkirim. Dibaca.

Kaza:
Lupa.
Dipakai loh HP itu.
Youtube Disney Netflix iflix viu spotify premium

Me:
Aku ganti.

Cuma panah satu biji! Ditelepon nggak diangkat.

”Kumat lagi.”

***

Karena udah dandan yang cantik, aku tinggal pergi setelah makanan habis. Pesan ojek daring. Nunggu dia datang. Pakai helm. Duduk di boncengan.

”Alamat yang di aplikasi, Mas.” Kutepuk bahu mas-mas ojek. Isyarat udah boleh jalan. Nggak sampai ketiduran, kendaraan roda dua sampai di depan gerbang.

Senyuman Pak Han melebar. Aduh, gue lupa bawa sesuatu untuknya.

”Pak, mon maap, nih. Saya nggak bawa kue, rokok juga lupa. Gimana kalau mentahnya aja?”

”Kagak usah, Non. Lihat senyuman Non Kushi aje udah bikin saya senang.”

”Ah, nambah dong komisinya kalo gitu, pan udah dipuji sama Bapak. Ini buat Yati, jangan ditolak. Ajak makan boba cukup itu, Pak.”

”Makasih, Non.”

Aku melambai sambil berjalan memasuki istana Yuka Sierra.

”Ka!!! Kushi, nih!!! Masih hidup, Jakula?”

”Lo yang gue pikir udah ngambang di lautan biru. Ke mana aja, lo?” Yuka menyapa rambutku dengan tarikan kecil.

Nggak afdol, ye, tanpa narik-narik.

”Kangen, deh, sumpah!” Emak satu anak itu kupeluk. Kucium dua pipinya. ”Sehat, lu? Ponakan gue gimana kabarnya?”

”Laki gue noh lu tanya gimana nasibnya tanpa jongos kek elo.”

”Emang, ya, dedikasi gue nggak ada yang bisa nandingin. Udah dapat sekretaris baru?”

”Enggak dicari. Elang milih gue kalo emang butuh tenaga bantuan. Kagak tiap hari juga. Sana-sana kembali ke habitat lo.”

”Boleh gue jadi sekretaris lagi? Gue pikir lo marah. Suami lo nggak pa-pa gue balik?”

”Ya ada strap-nya lah, Yem. Nih, udah gue kasih tau Elang. Tunggu apa kata dia.”

Wanita yang menikah lagi di usianya kedua puluh tahun itu mengajakku ke belakang. Katanya, hukuman pertama adalah nyabutin bulu ayam. Ada seekor ayam kampung yang tiduran di lantai beralas plastik.

”Repot amat, sih, beli hewan pakai bulu. Dibersihin di sana kan bisa.”

”Nggak pake ngomel. Selesaikan kerjaan lo. Bumbunya lagi disiapin.”

Perbabuan dimulai. Separuh lagi selesai, sudut mata kanan gatal.

Handphone siapa tuh nyaring amat suaranya. Elo?”

Aku menoleh ke tas dan mengangkat bahu. ”Gue belum tahu nada panggilannya. Coba lo cek deh, punya gue apa bukan.”

Belum ada yang menghubungi aku termasuk Kazasaki Ardhana. Nomor itu cuma Kaza yang simpan. Sombongnya kan lagi kumat. Nggak mungkin dia menelepon duluan.

”Kus.” Yuka membawa benda itu dalam genggaman. Diperbaikinya rok selutut sebelum duduk di lantai bersamaku.

”Sudah ketemu Kaza?”

Cabutanku terhenti.

”Udah kemarin beberapa menit setelah gue sampai. Kebetulan gue ada pas dia dateng.”

Jangan ada lagi yang bilang kebetulan adalah tanda berjodoh. Tuhan nggak mungkin ngejodohin gue dengan laki orang.

”Kebetulan pala lo botak. Tuh anak cosplay jadi CCTV di unit elo.” Yuka latah mencabuti ekor ayam.

”Dia nungguin lo balik. Nyari rumah lo nggak berani nanya.”

”Nanya ke siapa? Lu juga nggak tahu alamat Emak gue.”

”Om Pegas kan sudah pernah ke rumah lo. Nggak tahu si Upil mau atau enggak minta info dari dia.”

Ya, bisa jadi sih Kaza tiba di kampungku karena alamat yang diberi Vegas. Kok cuma sampai jalan luar kampung?

”Dia nungguin gue cuma mau minta maaf dan ngejelasin hal nggak penting itu? Takut banget dia, gue sumpahin yang buruk.”

”Lu berdua sama aja. Nggak yang muda, nggak yang tua, kagak ada bedanya. Coba deh kalian itu bicara pelan-pelan, dari hati ke hati. Kalau bisa pake obat paling ampuh, tuh, adu kulit di bawah selimut. Ungkapin semua yang kalian suka dan nggak suka di saat hormon cinta bekerja. Beres. Enggak ada lagi sinis-sinisan kayak sekarang.”

Selama Yuka ngomong, tanganku kaku. Urat-urat di wajah menegang. Dada berdebar perlahan dan konstan, tapi kayaknya bisa bikin telinga suster yang pakai stetoskop pecah. Saran Yuka bikin otakku travelling ke mana-mana. Bulu ayam ini disuapin ke mulutnya Yuka halal kan?

”Zaman biyen gue udah ingetin lo berdua. Jangan main perasaan. Kalau ada masalah, hubungan kita semua bakalan canggung. Gue pusing liat lo berdua. Tarik ulur kayak mau pipis, nggak jadi lihat WC penuh berak.”

”Tarik ulur tai ayam cokelat kuning-kuning. Gue udah tarik kuat-kuat. Nggak kebawa. Ya talinya sudah gue lepasin. Nggak perlu diulur-tarik berulang-ulang. Gue tahu mana yang boleh gue tarik dan mana yang harus gue lepasin. Karena itu, gue balik. Galau bentaran doang waktu hari itu. Sehabis semedi, rohani gue kuat.”

Akhirnya, kami memasak tanpa memasukkan Kaza sebagai bahan sampai ayam kuah kari dengan topping kentang potong dadu mengental. Makanan sudah tersaji, derap sepatu menghampiri tempatku dan Yuka berdiri.

”Kak Yuk, masak apa? Aromanya sedap banget.”

Yang baru datang menyadari keberadaan diriku di sebelah kakaknya dan melebarkan senyuman. ”Hay, Kushi. Boleh gabung?”

”Kebanyakan gaya lu!” cetus Yuka. Dia duduk di salah satu kursi meja makan.

Kazasaki berdeham, mengikuti apa yang dilakukan Yuka. Duduk di sebelah Yuka dan minta diambilkan nasi dengan cara menyerahkan piring kosong ke kakaknya.

Wajah Kaza berbeda dari kemarin. Barangkali dia berhasil melewati masalah mereka.

”Uci diambilin juga, Kak Yuk. Melayani tamu jangan tanggung-tanggung. Oh!” Kaza berdiri.

”Nggak apa duduk di sini?” tanyanya menarik satu kursi berhadapan langsung dengannya.

Aku menggeleng. Kaza duduk lagi.

”Ayamnya mau bagian apanya?”

Yuka memukul tangan adiknya. ”Nggak usah berlebihan kenapa?”

”Ya udah, lo yang ambilin. Uci bilang aja, Kak Yuk yang ambil. Mau paha? Jangan diambil pahanya, Yuka! Buat Uci.”

”Aduh! Perut gue tiba-tiba melilit. Awas lo, Upil. Gue berakin bener lu!” Sambil meringis Yuka berlari ke kamar mandi di sebelah lemari.

”Nggak dibawain makanan sama si Malai—maksud gue Ayesha?”

Kaza menggeleng. Mulutnya mengunyah seakan itu  adalah makanan terlezat dan terakhir yang enggak boleh disia-siakan cuma dengan menyebut ‘tidak’.

”Yuka macam-macam? Dia memukul kamu lagi?” tanyanya setelah menelan.

”Pukul juga nggak apa. Udah kebal.”

”Sudah ada Om El yang dipukul, kenapa kamu juga nggak dilepasin?”

”Yuka enggak mukul atau jambak atau gigit kamu?”

”Kalau sedang marah aja. Ke kamu tiap momen. Gemas sama kamu.”

Mukaku memanas dengar cara dia melafalkan gemas.

”Itu ... Yuka. Sering cubit karena gemas lihat kamu, dengar ucapan kamu, dan semuanya.”

”Nggak juga. Tangannya nggak bisa diam.”

Kedua pipi Kazasaki membentuk senyuman. Tak berhenti, matanya menatap ke dalam mataku.

”Enak.” Kaza kembali menyendok nasinya.

”Berapa harga ponselnya, Za? Gue bayar cash aja kalau lo nggak kasih nomor kartu.”

Kazasaki Ardhana menempelkan gelas ke bibirnya. Bongkahan di lehernya bergerak naik dan turun saat minum. Menggunakan tisu Kaza mengelap mulutnya.

”Waktu istirahat akan habis. Balik ke kantor, ya. Pamitkan ke Kak Yuka ... tolong ya, Uci.”

Anak bungsu Pak Apan berjalan cepat.

”Lo kira gue bego? Harganya bisa gue googling! Nggak usah sok iya ngasih—”

”Ci!!! Kamu nggak bego, cuma agak lambat menarik simpulan dari omongan. Gercep kalo nyimpulin apa yang kamu lihat. Dari kemarin aku sudah kasihtahu kamu. Aku dan Ayesha tidak menikah.”

***


Bersambung ....

Muba, 20 Maret 2021

Kajah kenapa ya? Ada yang lihat dia kenapa?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top