[16] Disambut Genggaman Tangan Mantan
[16] Disambut Genggaman Tangan Mantan
(Love buat Kushi mana?)
💝💝💝
Vegas masih menatapku lekat-lekat. Jangan kira aku risi, no. Aku tahu wajahku enak dipandang. Yang mau debat masalah ini, daftar sini.
Bibirku tersenyum tipis, walau dalam dada kesal minta pelampiasan. Aku ambil sambal dengan tangan. Kuarahkan tepat ke mulutnya seperti menyuapi anak sendiri.
"Bentar! Gue deg-degan, bentar." Vegas meraba bagian dada.
Begitu bibirnya merenggang dan menganga, sambal itu aku oleskan ke pipi dan hidungnya.
"Anjay! Panas!!!" teriaknya.
Dia berlari ke keran tempat cuci piring, bilas hidung di situ.
"Kenapa Vegasnya, Kushi?" Emak yang kesengsem sama cogan sudah berdiri di sebelah Vegas dengan tampang kepo.
"Enggak ada apa-apa, Mak. Bikin Mak kaget, ya? Saya minta maaf." Lelaki itu mengusap air pakai lengan bajunya.
"Hidung Vegas kenapa sampai merah? Masakan Emak terlalu pedes?" tanya emakku khawatir. Suaranya selembut lambaian angin.
"Panas apanya dong?" Emak melirikku saat nanyanya ke Vegas.
"Mak ... Emak sih di dalam rumah aja. Tuh di luar kayak bunga api neraka."
Emak menepuk-nepuk pundak Vegas. "Ananda Vegas."
Uuh pengin garuk-garuk lantai.
"Emaknya Kushi boleh minta tolong dengan Ananda?"
"Mak! Uci mau nangis! Malu, Mak."
Emak cuma melirikku.
"Tentu aja boleh, Mak. Saya bisa tolongin Emak apa?" Kedua tangan Vegas terlipat depan tubuh, kayak pelayan rumah makan yang amat sopan.
Kenapa mereka bisa sama menggelikannya, Ya Allah? Apa Vegas emang jodoh Kushi?
"Emak pasang reciper baru untuk nonton RCTI. Cuma bisa nyolokin, nggak bisa nyetelnya. Layar TV Emak nggak ada siarannya. Itu Kushi dibohongin orang apa gimana, Ananda Vegas?"
"Dibohongin gimana sih, Mak?" Jadi aku yang disalahin, minta hih banget nih emak satu-satunya.
Ampunkan aku, ya Tuhan. Uci lagi pusing, nggak bisa mikir yang bener.
"Mungkin kamu dikasih reciper rusak. Emak bilang, kamu cari RCTI di sana supaya di rumah tinggal nonton."
"Sudah, Mak, sudah."
"Saya bantu cek dulu, ya, Mak?" Vegas membuat Emak mingkem saat ingin membalasku.
Mereka berdua menuju depan televisi. Vegas duduk santai seperti di rumah sendiri, mengotak-atik benda yang aku beli tadi. Emak di sebelahnya duduk dengan anteng.
"Orang tua Vegas tinggal di mana?" Interogasi dimulai.
"Riau, Mak."
"Ibu dan ayah sehat?"
"Ayah sehat. Ibu sudah berpulang, Mak." Vegas masih menunduk benerin alat nonton milik Emak.
Jadi, Vegas anak piatu.
"Maaf." Emak berkata lembut. "Vegas boleh anggap emaknya Kushi sebagai emak Vegas. Walaupun Emak sudah punya anak lelaki, tidak masalah nambah satu lagi. Kamu ganteng sekali, Ananda Vegas."
Vegas tersenyum. "Bisa aja, Emak." Tuh orang ngangguk sebelum ngesot dikit ke rak televisi buat menyetel siaran.
"Kalau jadi menantunya Emak boleh?"
"Gas! Jangan ngece lu, ya! Kurang cabenya?"
"Anak Emak yang begini nggak apa-apa?" Emak pegang dua bahuku.
"Begini apa, Mak? Uci sama Vegas cuma temen."
"Tapi Vegas demen," salip Emak, tersenyum indah ke Vegas.
"Kushi minta dicarikan jodoh orang kampung sini. Ada tuh Ustaz Zaki. Kushi ikut pengajiannya. Nggak tahu ujungnya gimana. Nggak lanjut mungkin. Kushi takut dipoligami kalau kawin sama ustaz. Kalo ada Ananda Vegas yang gantengnya kayak Aldebaran, Emak pilih sampeyan lah biar cucu Emak ganteng seperti bapaknya."
"Mak! Kopek aja semua koreng Uci."
"Saya diterima. Mak?"
"Emak terima dengan sepenuh hati. Ntar kita ngobrol sama mas dan bapaknya Kushi."
"Guenya nggak terima!" teriakku pergi dari tempat itu.
"Alhamdulillah. Emak bisa nonton Mas Al lagi malam ini."
Setelah duduk sendirian, ingatan tentang pertemuan dengan Kaza melintas lagi.
"Apa yang Kaza lakukan di kampung gue? Apa ini benar? Menghindari dia? Dia mau ngejelasin apa?"
"Kenapa kamu lari, Ci?" Mas Unta masuk tanpa salam. "Siapa yang kamu bonceng? Dia?" tunjuk Mas Unta mengarah ke sebelah tempatku duduk. Tepat di pintu Vegas berdiri nyender ke kusen. Sejak kapan tuh orang tegak di sana?
"Iya." Iyain biar aman. Lirikan Vegas kini beda ke arahku. Mungkin bingung kapan dia duduk di boncenganku.
Mas Unta mengulurkan tangan. "Waktu itu belum sempat kenalan."
Vegas menyambut, tapi didahului Unta yang nyebutin mananya, kemudian baru Vegas. Mereka berdua masuk ninggalin aku sendirian.
"Kushi!" Emak memanggil.
"Kasih minum anak-anak ganteng Emak!"
***
Kuku-kuku yang kupelihara sesayang anak kandung menancap pada paha yang tertutup jeans ketat. Otakku dipenuhi serotonin yang menggelegak seperti kuah neraka. Berseberangan denganku Vegas duduk sopan mengikuti alur pembicaraan nggak jelas Unta dan Bapak. Ingin kuusir lelaki ganteng yang mencuri ciumanku dengan bibirnya yang berasa pete itu. Otak baik melarang. Dia bilang kasihan anak orang ntar kenapa-napa pulang malam. Sebabnya, Vegas enggak mencari tempat menginap karena memang tidak berniat bermalam di kampung ini.
"Ekhem ...." Vegas mencari perhatian setelah mereka terdiam dari apa pun pembahasan. Yang kudengar tadi mereka menyebut-nyebut burung, ikan, bahkan jangkrik. Absurd bener obrolan tiga lelaki itu.
"Saya menyukai Kushi, Pak, Mas Sultan, Emak." Vegas melihat lawan bicanya satu-satu.
"Kamu sudah menikah?" tanya Bapak.
Bapak ... Kesalahanku dulu pasti jadi warning. Tiba-tiba perasaanku sendu. Aku menunduk, menekan jari dengan jari lain. Aku ingin menghentikan Vegas. Dia sudah terlalu jauh tanpa diskusi dulu. Keputusanku takkan berubah dari teman menjadi lebih dari itu. Dan nggak mungkin menyela Vegas saat ini. Kasihan sama harga dirinya yang bernilai jual tinggi.
"Belum pernah," jawab Vegas diplomatis.
Bapak mengangguk. "Kushi sudah pernah menikah."
Ah, aku tahu maksudnya.
"Kushi pernah memberitahu saya."
"Tidak masalah?" Bapak mau tahu lagi.
Vegas menggeleng tegas. "Saya menyukai Kushi. Selama dia tidak sedang menjadi istri orang lain, saya ingin menjadikan dia istri saya."
"Keputusan tetap ada pada Kushi. Dia bebas memilih pasangan yang menurut dia mampu membuat dia bahagia. Membimbing dia. Membalut lukanya. Melindungi dia. Selain kami orang tuanya."
Emak mengusap punggungku. Entah apa sebabnya aku menangis. Kenapa orang yang datang kepada Emak Bapak bukanlah orang yang aku cintai sampai jatuh bangun? Apa aku punya kesalahan di masa lalu, sehingga apa yang aku inginkan tidak bisa aku dapatkan? Kenapa maafku nggak bisa memperbaiki masa depan? Bisakah aku bahagia menerima ini?
"Saya boleh mengemban tugas itu?"
Tungkaiku refleks berdiri. Semua orang menatapku.
"Nggak ada yang lapar, ya? Perut Uci gaduh banget kayak rabana kasidahan."
"Kita semua makan satu jam yang lalu," kata Mas Unta kalem.
Lantas aku duduk lagi.
"Kalau kamu gerogi karena dalam dadanya ada pesta kembang api, nggak apa-apa jawabnya waktu berdua saja sama Ananda Vegas. Kita semua di sini sudah kasih izin, kok, ya Pak? Kamu juga, Sultan?"
"Sebenranya Uci ...."
Dilamar gila! Apa yang lo tunggu, Kushi? Pria yang sungguh-sungguh itu ngadep langsung ke ortu lo.
Mereka berempat melihat padaku dalam diam di malam sendu. Lirih angin kedengaran di luar saat menampar daun-daun kecil pohon duku. Kenapa nggak ngobrol di luar aja biar adem?
"Uci mau balik ke Jakarta. Di sini mulai membosankan." Aku berhasil membahas topik yang sedari siang tertunda karena receiver. "Mak sinetron Emak udah mulai, nggak jadi nonton?"
***
Vegas melirik-lirik ke samping, kepadaku yang duduk di kursi penumpang mobilnya.
"Apa lo lihat-lihat? Biasa aja!" Pipinya kudorong biar tetap hadap ke depan.
"Ekhem ... Gue ma Yuka cantikan siapa?"
"Elo," jawabnya tanpa melalui otak. Berarti Cuma di mulut. "Yuka itu imut."
"Kus."
Krik krik banget sih. Nggak kayak biasa.
"Hah?"
"Udah nyampe."
"Gue tahu." Aku membuka kaitan seatbelt. "Artinya sampai di sini. Lo ngapain ambil ancang-ancang turun? Sampai sini dan gue naik, lonya balik."
"Gue dapat wasiat buat ngejagain elo."
Aku memelototinya.
"Syarat elo boleh ke Jakarta dari Unta, lo dalam penjagaan gue."
"Gue nggak percaya elu lagi, Cicak Buntung. Kata-kata lo dan semua yang lo lakuin, nggak ada jaminannya. Masukin lo ke apartemen gue, bikin masalah makin menuhin hidup gue. Stop sampai sini, gue nggak perlu iming-iming dijagain. Gue bukan anak teka."
"Gue bantu bersihin sawang. Manjat pegang sapu. Lo nggak bisa sendirian."
"Jangan bikin heels gue lengket di kepala lo!"
Dia ketawa angkat tangan.
"Kushi," panggilnya saat aku sudah turun. Kaca mobilnya masih terbuka. "Lo nolak gue, totalnya udah dua kali. Gue nggak nyerah. Keluarga lo udah kasih gue tiket VIP."
Aku udah mikir panjang dan nggak ingin terjadi kesalahan lagi. Pernikahan bukan untuk coba-coba atau alasan simpel karena umur sudah tua. Tiga puluh tahun biarlah jadi empat puluh asal aku menikah karena yakin. Mungkin Vegas memang jodoh, tetapi bukan sekarang aku iyakan. Hati ini biar dikosongkan dulu, dipulihkan lagi, dan disetel ke pengaturan pabrik.
Sejak putus, aku sudah bilang ingin berteman. Tiba-tiba dia datang seperti mercon meledakkan lamaran. Sangat tidak masuk akal. Apa dia melakukan karena hati atau ada alasan lain? Dia mencintai satu orang sangat lama, mempertahankan kejomloannya bahkan sampai Yuka punya anak delapan tahun. Lalu tiba-tiba dia mengajukan proposal tanpa mengungkapkan dan menunjukkan perasaannya. Dia nggak tahu, selama 28 hari tanpa gawai aku bersemedi. Visiku sudah beda pas dapat wangsit malam ketujuh belas. Bukan ngebet kawin sebelum tiga puluh tahun lagi.
Pergi tanpa bawa apa-apa, pulang pun sama. Cuma tas kecil isinya dompet. Ponsel pemberian Vegas aku kasih Emak untuk nonton video. Begitu pintu ditutup, aku baru sadar dari ketololan. Tanpa handphone, aku makan apa? Males banget keluar lagi. Tubuhku rebah dengan estetik di ranjang apartemen yang kurindukan. Tapi tidur cuma menunda lapar, bukan melenyapkannya.
Nah, siapa itu yang neken bel? Semoga Vegas. Dia harus menjaga aku tetap bisa makan 'kan?
"Uci."
"Apa lagi sih? Minta ganti rugi? Ntar pas gue beli HP, gue beliin juga buat lo!"
"Tone-nya diturunin dikit, sesek loh ngomong bentak-bentak gitu."
"Minggir tolong. Saya tidak terima tamu. Jarinya nanti putus kalo maksa." Kaza enggak mau melepaskan tangannya dari pintu. "Gue serius."
Begitu cepatnya muka mulus anaknya Pak Apan disejajarkan dengan wajahku dalam jarak dekat. Sampai-sampai aku bisa lihat noda hitam kecil di pangkal hidungnya. Saat aku bengong itulah, dia menyelinap di bawah tanganku hingga kakinya menginjak ubin apartemen ini.
"Oke. Kayaknya lo nggak akan ninggalin gue sebelum ambisi lo tercapai. Gue kasih waktu untuk keluarin sumpah-serapah kayak biasa. Mental gue sudah diasah, kok, siap dengerin lo marah-marah. Tapi duduk di sana supaya hemat kalori."
Tiba-tiba lututnya nempel di lantai waktu kakinya tertekuk di hadapanku. Kepalanya tertunduk dengan dua tangan erat memegang tanganku. Aliran darahku mengencang cuma karena dipegang. Ingin kulepaskan, tapi Kaza merapatkan genggamannya.
"Gue mau minta maaf. Maaf, Ci, aku salah."
***
Bersambung ....
Muba, 19 Maret 2021
Rayuan Mantan jilid dua check.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top