[15] Proposal Mantan
[15] Proposal Mantan
Lama nggak update... maaf yaa. Masih mau lihat kisah Kushi?
"Mancing enak, nih, buat ngisi hari-hari yang kosong. Sama kayak kosongnya hati gue sejak jiwa raga ikhlas melepaskan dia kepada Malaikat Pencabut Kebahagiaan. Tapi ... Memancing keributan pasti lebih asyik."
Benda yang bisa dijadikan umpan tergeletak gitu aja di atas meja ruang tamu. Lihat ke kanan dan kiri, tidak tampak si empunya handphone. Oke, mari mulai beroperasi dari sekarang. Unta tipe cowok yang paling malas mengunci ponsel. Sebab itu, dia enggak akan membeli telepon seluler yang pakai sidik jari. Suatu keuntungan bagi tangan terampil—sebut jahil juga boleh—seperti aku di saat ingin menghabiskan siang yang amat membosankan sejak menjadi pengangguran.
Saatnya kita masuk ke akun Instagram milik Unta. Oh, my tampan! Dia enggak mengunggah foto dirinya satu pun. Semua adalah foto ikan hias serta habitatnya. Dasar, cowok sok cool. Mulutnya lemes padahal. Kushi akan bantu unggah untuk Mas Sultan. Di galeri pasti dia menyimpan setidaknya satu.
Oke! Ada potret menyamping Unta menunjuk ke kolam. Siapakah yang mengambil gambar? Tahan, Kushi, penasarannya ditunda dulu. Aku akan pasang foto itu untuk memancing komentar para hawa yang haus akan penampakan makhluk gagah. Tambah satu lagi yang menunjukkan pemandangan jakun. Ibaratnya follower Unta ada wanita dengan estetika tinggi seperti aku, pasti sangat senang mendapatkan penampakan leher jejaka dewasa. Post!
Satu atau dua tentu ada pengikut Unta yang manis. Ah, bukan lagi. Berdasarkan hasil penelusuran per gambar di akun bisnis Unta, ternyata rekan kerja Mamas Sultan terdapat seorang dara. Waktunya bikin huru-hara sekaligus mengail di air keruh. Aku mengirimkan foto Unta yang pakai batik saat pernikahanku dulu dan satunya pakai kaus gembel kepada akun cewek cantik itu.
Penampilan mana yang bikin rahim wanita menghangat?
"Pintar! Kalau sampai Unta tahu, bisa perang saudara kami."
Aku berusaha menutup mulut supaya tidak terbahak. Kalian mesti tahu. Sultan Al Ridwani emang nggak main-main sebagai penyandang nama malaikat surga. Tampangnya ampuh bikin lutut lo-lo semua tertekuk sampe tanah. Emang bolehnya sama aku saja Unta ngaku cakep, ke wanita juga dong biar cepetan laku. Kalau prinsipnya nyari pasangan setelah kaya, nggak akan dapat jodoh dalam waktu dekat. Namanya memang sultan, ekonomi bukan keturunan sultan. Dijamin Sultan Al Ridwani masih lama seperti Raffi. Untuk itu, aku bantu.
Maksud Mas Sultan gimana nih?
Cinta membalas. Dia juga sudah menekan love untuk foto Mas Unta yang aku publish. Intuisi Kushi belum mati. Aku bisa mencium bau-bau tersengsem dari tanggapan Cinta.
"Mikir lu, Cinta. Dan semoga elo belum taken. Setuju banget gua jadiin elo kakak ipar."
Enggak ada salahnya aku login ke akun sendiri mumpung Unta masih di WC. Nyanyiannya barusan yang memberitahuku kalau posisinya tengah ngeden di kamar mandi.
vegaz.fernandos
Kushi! Kenapa masih nggak aktif?
Nggak suka sama hapenya?
Vegas datang akhir pekan berikutnya membawakan ponsel keluaran terbaru sekaligus dengan SIM card. Dia diterima baik oleh Emak dan Bapak. Apalagi datangnya bawa hadiah mahal. Cuma masalahnya saat itu ada Unta. Unta nggak terlalu welcome sama mantanku yang satu itu. Karena awalnya, Unta pikir Vegas adalah mantan yang sudah menikah. Gengsi bikin Unta tetap ngetusin Vegas setelah aku jelasin kalau Vegas bukanlah dia.
Tepat di bawah pesan dari Vegas terdapat DM dari Kaza. 'Ci' begitu yang tertulis di pesan paling akhir. Melihat namanya saja sudah buat dadaku gemuruh. Aku menepuk-nepuk dada agar normal. Tibalah gamang untuk membuka atau mengabaikan. Kira-kira dia menulis apa sebelum 'Ci'? Bukankah ini baru tiga hari yang lalu? Mau apa dia kirimi aku pesan? Atau ini dari istrinya, tapi nggak mungkin 'Ci'. Rasa penasaran amat menyiksa, walau akal sehat bilang aku akan menangis lagi setelah 28 hari bisa lepas dari dia. Kalau enggak dibaca, mungkin tidurku nggak bakalan nyenyak selama berhari-hari ke depan.
Please, bantu gue! Gue boleh baca DM-nya atau enggak?
"Ngapain kamu sama hape Mas?"
Bibirku sontak melantunkan hauqalah karena teguran Unta hampir merontokkan jantung. Alhamdulillah, pengaitnya kuat nih jantung. Kalau enggak, sudah berceceran dalam perut, turun ke lambung, dan keluar sebagai tinja. Amit-amit.
"Pinjam bentar tengok ghosting. Berasa senasib denganku."
"Siapa yang mau ghosting kamu? Ada?"
Aku cepat-cepat logout dari akunku. "Aku yang melarikan diri setelah berjuang habis-habisan. Menurut Unta, aku dicariin atau tidak?"
"Ngarep! Iphone-mu ke mana? Kalau nggak mau, Mas yang pakai."
Benar juga. Aku bisa melihat pesan dari handphone pemberian Vegas. Tapi usahaku selama 28 hari akan gagal sekalinya aku berinteraksi lagi dengan dia.
"Mas."
"Hm?"
Aku menendang-nendang kaki Unta yang cuma pakai celana kolor sebatas lutut. Dia tampaknya fokus sama benda persegi yang tadinya aku mainkan.
"Emak jadi merukiah Uci waktu itu?"
Mamas beralih menatapku dengan menyipitkan mata. "Nanya gitu kenapa?"
Aku hela napas panjang. Beban yang tadinya menimpa sudah hilang tak tahu kenapa? Apa ini yang dinamakan dengan kebas?
"Mak bilang, rukiah juga bisa untuk melupakan kenangan mantan. Sekarang aku merasa terbebas dari kejahatan yang satu itu. Apa mungkin diam-diam Emak merukiah Uci? Masa cuma sebulan aku nggak ingat lagi sedihnya ditinggal nikah mantan?"
"Bagus. Masalahnya apa? Mau diingat-ingat lagi?"
Kepalaku menggeleng.
"Tapi aku jadi nggak ada kerjaan di sini." Menangis termasuk sebuah kegiatan bahkan melelahkan. "Kepala ini kosong, plong, kayak lapangan bola. Apa ada kemungkinan Uci gila, Unta?"
"Tanda-tandanya, sih, iya."
Lagi, aku menendang tungkai panjangnya. "Cari pekerjaan di sini apa yang cocok? Uci mulai bosan!"
Unta sepertinya menemukan keganjilan dalam telepon genggam miliknya. Kernyitan muncul di keningnya. Dia mengotak-atik benda canggih itu, hingga matanya terarah kepadaku.
"Kushi!" gelegar suara Unta sembari menghadapkan layar ponsel ke mukaku.
Mas Sultan dalam pengaruh minuman keras?
Pertanyaannya bikin saya merinding.
Ini bukan salah kirim?
"Jari kamu habis cebok nggak dikasih sabun sampai mengetik kalimat sekotor ini."
Kuku terawat ini aku perhatikan baik-baik dan kuhidu lamat-lamat. Wangi.
"Menurut Uci tampilan kayak gembel lebih menarik perhatian. 'Nih orang terlahir di mana, sih, kok bisa dengan baju jelek tetap terlihat seksi?' Cinta nggak jauh beda sama Kushi. You know what, Mas, Uci ini refleksi wanita pada umumnya. Dia pasti pilih yang atas. Posisi dominan."
Alisku naik turun, menggoda Unta yang mukanya serius. Sepertinya dia sibuk membalas pesan dari Cinta. Sangat peduli Sultan ini.
"Pantes itu akun cewek satu-satunya yang di-follow." Gagal ribut tak mengapa asalkan masa kejomloan Unta segera berakhir.
"Kenalin, dong, sama cintanya Mamas Sultan."
Mamas enggak gerak sedikit pun waktu pundaknya aku goyang-goyang.
"Hidup gue makin membosankan! Nggak ada lawan." Dengan malas aku meninggalkan Mas Sultan yang fokus dengan benda kecilnya.
Aku mengeluarkan pemberian Vegas dari lemari, menimbang-nimbang akan diapakan barang itu. Sebulan lamanya aku hidup tanpa alat komunikasi. Hasilnya lumayan bahkan luar biasa. Aku melupakan semua kegalauan serta keperihan dan juga harapan. Pasalnya, jika masih memiliki ponsel, pasti jari ini tanpa disuruh akan mencari nomor dia, lalu menelepon. Tak ketinggalan, menjelajahi media sosial siapa saja yang bersangkutan dengannya. Demi kewarasan aku menyimpan lagi hadiah Vegas ke tempat semula.
Berjarak seminggu setelah mengetahui seseorang yang disukai Unta, kehidupanku semakin tidak menggairahkan. Ulahku justru membuka peluang bagi Mamas Sultan mendekati Cinta. Aku tidak begitu yakin, tetapi itulah yang intuisi katakan. Muka Unta selalu berseri tiap pulang. Tak jarang kalau berpapasan, dia menepuk kepalaku bagian belakang.
"Adik kesayangan Mas Sultan." Lalu ngeloyor masuk kamar.
Apa aku mancing beneran di sungai? Mancing keributan gagal, yang terpancing justru kesyahduan dua hati.
"Balik ke Jakarta!" teriakku sambil bertepuk tangan. Bangga dengan otak sendiri.
Emak di mana, ya? Aku akan minta izinnya. Kalau Emak sudah merestui, Bapak akan mengikuti.
"Kebetulan batang hidungmu muncul sekarang, Kushi."
Aku nyaris memutar bola mata sebagai refleks, untung nggak jadi. "Bukan idung aja, Mak. Seluruh tubuh Kushi muncul di depan Emak."
"Terserah terserah. Carikan Emak receiver terbaru. Sekarang sebelum sinetron Emak tayang."
"Mak ntar dulu, Uci mau bicara."
"Itu sudah bicara." Emak menyerahkan uang seratusan ribu lima lembar. "Sekarang berangkat, carikan yang Emak butuhkan. Cepat! Beli cincau, tapai, dan Karra cair juga. Jangan lupa carikan RCTI! Jangan pulang sebelum dapat!"
Aku memutar tubuh. "Mak! Mana yang paling penting, receiver, cincau, tapai, santan, atau RCTI?"
"Jangan bercanda, Kushi. Pergi sekarang daripada di rumah cuma tarik napas dan embus napas aja. Ini Mak berikan pekerjaan yang bikin kamu cukup sibuk, sekalian bisa jalan-jalan."
Dari tadi aku juga mau bilang ... ahsyudahlah, yang waras nurut.
Sepeda motor bergigi yang dibelikan Bapak aku nyalakan sampai mesinnya berderum halus. Sementara itu, aku mengambil kardigan untuk menutup lengan sebatas pergelangan. Celana yang kugunakan menutupi lutut cukup aman untuk ke pasar. Aku tak merasa perlu menggantinya dengan yang panjang. Sandal tipis bertali juga nyaman. Kepergianku bukan untuk mencari calon suami, tidak mengapa tampil seperti ini. Rambut panjang aku gulung dan jepit sehingga tidak ada yang berserakan di leher.
"Uci berangkat!"
Emak minta belikan receiver terbaru, cincau, tapai, santan cair, dan RCTI. Bukankah yang lama tidak bermasalah? Lalu untuk apa membeli lagi? Barangkali yang Emak maksud adalah kreker sama roti. Semua itu baru cocok untuk dinikmati siang-siang begini bersama es cincau. Pinggir jalan raya di luar jalanan kampung ada yang jual. Aku tidak perlu ke pasar.
Sepeda motor telah kuhentikan di dekat pohon sekitar dua meter dari gerobak penjual. Waktu akan numpang duduk dalam tenda, ternyata semua kursi penuh. Tidak heran melihat banyaknya kendaraan roda dua yang parkir di badan jalan panas-panas begini. Aku berdiri di sebelah bapak yang sedang sibuk menuang santan ke dalam wadah besar.
"Es cincau lima, Pak. Lengkap, ya. Banyakkan rotinya," tambahku waktu ingat pesenan Emak. Aku berlindung di bawah pohon sambil menunggu pesananku dibuatkan.
Tunggu! Kalau Cuma beli es lima bungkus, kenapa Emak memberikan uang lima ratus ribu? Duh, apa betul otak mulai nggak waras? Tetapi mana ada orang mengakui dirinya gila? Ah, maksud Emak beli receiver yang ada RCTI. Semalam Emak misuh-misuh karena enggak bisa nonton sinet kesayangannya. Oke! Alhamdulillah, pikiranku masih normal. Sehabis ini aku akan menuju toko elektronik.
Perlahan sepeda motor Unta yang di belakangnya enggak kosong mendekat ke gerobak es cincau. Motor itu parkir di depan tukang es. Cewek di boncengan Unta melepas helm kemudian memberikan kepada Unta. Mereka mendiskusikan berapa jumlah minuman yang ingin mereka pesan. Keduanya menunggu di dekat gerobak penjual.
"Kushi!" Seseorang meneriakkan namaku sambil menepuk pundakku. Bola mata ini nyaris melompat ke mulutnya yang kebetulan mangap memperhatikan mukaku.
"Uci!" Dari arah tukang es Mas Unta pun memanggil begitu menemukan keberadaanku.
Jantungku pasti bakalan menggelinding ke tanah kalau begini keadaannya. Unta yang masih bicara, mungkin pamit kepada Cinta, membuat aku punya waktu untuk kabur.
Orang yang baru datang menarik ujung kardigan saat tubuhku sudah mantap duduk di kuda besi. Tak kuhiraukan dia. Motor mulai kunyalakan dengan tubuh bergetar hebat akibat pertemuan ini. Begitu memasukkan gigi, kendaraan itu aku gas, dan baru menyadari ada yang ikut di boncengan belakang.
"Ngapain elo ikutan naik?!"
"Uci!!!" Sempat kudengar teriakan Mas Unta yang sepertinya berlari menyusul.
Maaf, Mas, aku nggak bisa jelasin apa-apa. Aku nggak yakin bisa menahan air mata lagi.
"Pelan-pelan, Ci!" Dia berteriak sewaktu aku menambah kecepatan. Akibat terkejut oleh suaranya, kendaraan itu aku rem. Tubuhnya menempel ke punggungku sehingga aku agak terdorong ke depan sebelum kendaraan sepenuhnya terhenti. Di pinggangku ada dua tangan bertautan.
Aku mencubit punggung tangannya.
"Aduh!" Dia melompat dari kendaraanku.
Kaki ini turun dari sepeda motor menyusulnya.
"Lo!" tunjukku ke wajahnya. "Kenapa bisa di sini?"
Dia pun menujuk wajahku. "Kamu."
"Mau kamu apa, sih, Za? Nggak ada kebetulan dalam dunia riil! Untuk apa kamu nyari aku?"
Tangisanku kembali pecah. Betapa jahatnya dia. Sialan! Dia merusak usahaku selama 28 hari. Jahanam si air mata yang mengikis harga diriku! Ketahuan dong gue belum bisa lupain sakitnya ditinggal kawin.
"Kamu tidak bisa dihubungi sama sekali."
"Apa itu masalah?"
"Ya!" Suaranya naik.
Emosimu, Za. Aku ini hidup untuk dibentak?
"Syukurin! Sekali-kali jadi manusia enggak beruntung nggak ada salahnya lu."
Saat berbalik, kudapati Kaza memperhatikanku dengan senyum tipis.
"Kenapa?"
Kaza mengulurkan benda persegi tipis warna hitam. Aku memaksa otak untuk berpikir. Setelah dua menit, kepala menggeleng gagal paham.
"Untuk apa handphone?"
"Ketik nomor barumu."
Apa dia mencariku? Kaza menghubungi aku ke nomor lama?
Ponselnya kurebut. Langsung kucari direct message ke IG-ku.
Maksudnya apa kamu pakai hape Om Pegas?
HP kamu mana?
Aku mengamati wajahnya. Mata kami bertemu. Kembali menunduk aku membaca pesan berikutnya.
Banyak sekali yang perlu aku jelaskan.
Bisa ketemu?
Ci
Uci!
Kushi, kamu di mana?
Ayolah! Hilang ke mana sih?
Kushi!!!
Ada banyak yang kamu nggak tahu
Otak kamu salah nyimpulin
Ketemuan, yuk
Ci
"Nggak penting banget!"
Benda pipih itu kulempar ke tengah jalan. Kaza menatapku dengan kesal, lalu menjemput gawainya. Aku segera menaiki sepeda motor dan tancap gas. Emak bilang aku nggak boleh pulang sebelum dapat RCTI! Sial, aku harus ke toko elektronik dan memastikan Emak menikmati serialnya malam ini.
***
Pintu kubuka pakai emosi. Di tangan ada sekantung es yang aku beli di tempat lain dan kantong putih susu berisi kotak receiver terbaru pesanan Emak. Ada yang mau bilang Kushi wanita paling bertanggung jawab? Oh, ayolah! Kata-kata itu mungkin bisa meredakan panas dalam dada ini.
"Enak kan masakan Emak? Sering-sering main ke mari, Emak bisa masak yang lebih enak lagi." Suara Emak disertai tawa terdengar sampai ruang tamu. Gegas aku melangkah mendekati Emak yang kayaknya sedang di belakang.
Punggung laki-laki yang bukan Unta, duduk di kursi makan, sedang menyuap nasi pakai tangan. Emak berdiri di depannya dengan tangan terlipat di dada.
"Nah tu anak Emak yang paling cakep dateng. Sini, Kushi, esnya disiapin buat calon mantu Emak."
Apa lagi ini, ya Allah ya Tuhan?
Vegas rupanya. Dia tersenyum ke arahku dengan bibir meniup-niup lucu. Kepedesan tuh orang. Segera aku keluarkan satu cup es cincau untuknya.
"Eh, pinter. Tadinya maksud Emak mau bikin dulu pakai santan cair. Kalau ini tinggal minum saja, Ananda Vegas." Emak merebut gelas minuman itu dariku terus menyerahkan ke tangan Vegas. "Diminum diminum, biar seger."
Vegas mengambil pakai tangan kiri, terus menyedot pakai pipet.
"Enak?" Emak beraksi lagi.
"Mak! Apaan coba berdiri depan orang makan? Ntar Vegas keselek Emak liatin segitunya. Minggir, Mak. Ini pesanan Emak, bawa deh ke depan. Sana, Mak!"
"Enak. Mau?" tawar Vegas setelah Emak pergi.
Dia nggak bilang begitu demi menyenangkan anaknya Emak. Kayaknya Vegas memang menikmati tahu goreng dicocol sambel rebon cabe merah topping pete.
"Kangen bat gue lihat senyuman lu, Kus." Vegas meneguk es cincaunya. "Kenapa sih lo nggak pake tuh HP? Mau jadi makhluk goa?" Si tampan membasuh tangan pada kobokan yang udah disediain Emak.
"Kus! Lo nggak marah kalo gue masih ngebet sama lo 'kan? Entar pas bapak lo balik, gue lamar, ya?"
***
bersambung ....
Muba, 18 Maret 2021
2242 kata
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top