[14] Siraman Kalbu Demi Melupakan Mantan

[14] Siraman Kalbu Demi Melupakan Mantan

Kemeja putih yang panjangnya selutut, lebih tepatnya seperti tunik ukhti-ukhti, terpasang di tubuh molek anaknya Emak. Bawahannya celana hitam panjang yang tidak terlalu gombrang. Emak minta aku menutup kepala pakai jilbab yang lebar. Aku auto menolak dan memilih selendang panjang abu-abu yang di bagian leher dikasih peniti. Heels sang pembunuh tetap jadi andalanku di saat ingin bergaya. Ingat, kecantikan tanpa sepatu tumit tinggi hanya tujuh puluh persen. Aku maunya perfect.

"Kamu yakin masih mau lihat Pak Ustad? Yang mengantar kamu tadi sore itu oke jadi menantu Emak. Mukanya ganteng seperti pemain sinetron."

"Vegas cuma kawan, kok, Mak. Klik yang Uci pikir selama ini lebih kayak kontraksi palsu. Kayak iya, rupanya bukan."

"Melantur mulutmu! Tahu apa rasanya kontraksi palsu?"

Aku mengamati penampilan sekali lagi melalui cermin besar di ruang tamu.

"Ah, nggak suka! Kayak Nissa Sabyan. Uci punya ide."

Aku melepas semua pakaian tadi dan mengambil daster dari lemari. Pakaian ini baju kesayangan waktu SMA. Dulu belum kenal mode, aku beli baju yang panjang-panjang. Di lemari apartemen sana, aku enggak nyimpan lagi yang sesopan ini.

Bagian pinggang aku tempel belt yang agak besar. Kardigan yang aku pakai ketika pulang menutup lengan pendek baju tipis ini. Kembali aku pasang pashmina abu-abu dan menyilangkan ujung-ujungnya ke pundak.

"Nah, Uci kelihatan seperti gadis desa yang modis. Kuylah, Mak, kita ke pengajian."

Pintu terbuka dari luar masuklah Unta dengan sepeda motornya. Begitu menstandar kuda besi itu, tatapan Unta langsung menghunus tubuhku.

"Ada acara apa?"

"Gini loh, Mamas, Emak mau ngajak Uci ke masjid lihat ustad ganteng. Aku penasaran kan jadinya, rasa-rasa ada magnet jodoh gitu loh, Unta. Uci ingin menyaksikan sendiri aura ustadnya gimana."

Lantas aku memekik setelah membeberkan semua itu karena cubitan Emak di lengan dalam. Perihnya nggak main-main.

"Emak sakit." Walaupun sudah dielus-elus, kulitnya masih panas. Nggak kira-kira emang Emak, kayak tahu aja anaknya sudah lama nggak dilukai Yuka.

"Bocor banget mulutnya nih anak satu!" Emak lalu pergi ke kamarnya.

"Nggak jadi, Mak?" Aku berteriak.

"Masuk!" Giliran Unta yang teriak.

"Loh kenapa emangnya? Aku mau ke pengajian malah disuruh masuk?"

Unta menarik sikuku.

"Mau apa sih? Lepas, Unta, Uci sudah cantik. Udah tinggal berangkat."

Aku tiba di pintu setelah Unta seret kayak sapi.

"Pengajian atau mau lihat penceramahnya?" Unta berlipat tangan. Kulit kuning kecokelatan Unta menonjolkan otot-ototnya kekarnya.

"Ustadnya. Kata Emak mukanya ganteng. Mamak-mamak rebutan mau jadiin mantu mereka. Gimana, oke, nggak tuh kalau ustadnya pilih Uci? Tenang aja, kalau dia mau poligami, nanti aku tebas batangnya biar nggak guna jadi laki."

"Mau jadi istri kedua lagi?"

"Enggak!!!"

"Maka, masuk kamar. Berdoa agar dapat seseorang yang baik. Nggak usah kegatelan mengagumi suami orang. Pengalaman pertama jadikan pelajaran, jangan asal kasih hati ke semua pria."

"Aku nggak mudah kasih hati aku! Uci hanya ingin lihat. Itu beda sama kegatelan. Uci di sana cuma dengerin pengajiannya."

Mamas Unta memegang pundakku. Mendorong biar aku duduk di ujung tempat tidur. Agak membungkuk di depanku, Mas Unta bicara pelan-pelan. "Apa tujuan utama kamu ke masjid? Melihat ustad? Ikut pengajian? Dapat jodoh seorang ahli agama? Karena ingin memperbaiki diri dengan memberi makan kalbu?"

Enggak ada yang cocok. Aku juga tidak tahu untuk apa ikut Emak ke masjid. Mungkin untuk mengisi waktu luang daripada enggak ngapa-ngapain. Lagian aku belum berminat untuk memikat hati cowok mana pun lagi. Batin ini lelah. Ia belum siap kalau harus ditolak lagi.

"Plin-plan enggak sembuh-sembuh, tadi bilangnya mau lihat ustad sekarang ingin dengarkan pengajian." Bibirnya nggak mesti maju-maju gitu juga kali, Unta, pas nyebut 'mau lihat ustad'. Mukanya asli nyebelin banget ini kakak tunggal.

"Patah hati boleh, tapi sewajarnya. Mas tahu kamu gila, tapi kalau beneran gila, Mas juga yang repot sama Emak dan Bapak. Adek perempuan satu-satunya nggak waras."

"Siapa juga yang gila?"

"Kamu. Siapa lagi? Masa Mas? Yang putus cinta kan kamu."

"Aku nggak putus cinta, apalagi sampai gila."

"Oh, nggak gila? 'Selamat bahagia di atas harumnya bunga makamku'."

Unta niruin cara ngomong aku? Kapan mulutku maju-maju gitu?

"Nanti kuburan kamu nggak dikasih bunga. Nggak ada yang harum-harum."

Unta melingkarkan lengannya yang gede ke pundakku, menepuk-nepuk adiknya ini. "Sedih banget, ya, cintanya nggak diterima?"

Kugerakkan pundak, risi dengan perlakuannya.

"Mas pikir kamu sudah melupakan Arengga. Kemarin pintar, tidak melanjutkan rumah tangga dengan dia."

"Siapa bilang dia Arengga? Aku nggak punya perasaan sama Arengga. Ya, kalau Arengga bukan suaminya tukang tinju itu, lama-lama Uci bakalan suka dia. Suka sih sudah, cinta yang belum. Masih dipenuhi nama mantan di sini." Tangan kanan kutempelkan di dada.

"Dia sangat spesial?"

Aku menggeleng. "Bukan dia yang spesial, tapi Uci yang dia perlakukan dengan spesial. Rasanya disayang banget waktu sama dia. Uci ini siapa sih, Unta, nggak punya apa-apa, cantik juga rada-rada. Pinter kagak, harta nggak punya. Dia nggak masalahin itu semua. Sekarang udah janda juga 'kan. Wah, baru sadar ... ini aku nggak level banget sama dia." Lelehan bening dengan bandelnya meluncur mulus dari mata.

Sedih ini nggak bisa apa dibuang ke samudra? Lama-lama rumah ini banjir oleh air mata. Tiap hari menangisi satu orang.

"Kita putusnya sudah lama, waktu dia mulai kuliah. Sekitar lima tahunan. Baru-baru ini Uci pikir-pikir lagi, move on-nya gagal. Tapi belum didekati, dia sudah bawa gandengan. Dia muak. Dia marah dan menyadarkan Uci emang nggak ada harga diri depan dia, tapi hati ini nggak bisa diabaikan gitu aja. Aku nggak berhenti dekatin dia, sampai akhirnya hari ini dia menikah. Uci nggak akan ambil suami orang lagi, Mamas. Walau udah mikir seperti itu, tetap nggak rela dia nikah dengan orang lain. Walau tahu perbedaan dia sama aku banyak, nggak mudah melepaskan dia."

"Kamu bodoh." Unta berkata datar, tak ada canda di wajahnya. "Apa bagusnya lelaki yang mulutnya nggak disekolahin? Walau dia muak, benci, dan jijik sekali pun, nggak pantas dia mengatakan kamu nggak ada harga diri. Siapa dia? Keluarga sultan dari raja-raja pun nggak akan menghina seseorang seperti itu. Alhamdulillah, kamu masih sedikit waras untuk menyerah setelah dia menikah. Jodoh kamu adalah pria yang lebih baik dari dia, setipe dengan Mas lah."

"Puji terus dirinya sendiri dan anjlokkan saja aku ini."

"Sensitif amat sih perempuan. Biasanya nggak tahan nggak balas. Udah, dong, muka kamu nggak suitable dengan galau. Yuk senyum. Kamu bisa, Ci. Mas sebetulnya malas banget ngomong gini, tapi enggak apa-apa, sekali-sekali demi kamu. Kamu berharga, Kushi. Kamu pantas diperjuangkan dan jangan kamu lagi yang berjuang. Kamu cantik karena masnya tampan. Kamu pintar, sedikit di bawah Mas, tapi nggak bodoh-bodoh amat. Harta emang kita nggak punya, emangnya kita mati bawa bongkahan emas ke kuburan? Toh kita juga nggak pernah kelaparan 'kan?"

"Unta ... kalau muji yang tulus coba. Nggak usah bawa-bawa tampan dan pintarnya Unta segala."

Unta mengusap puncak kepalaku. "Ci, gini dong sehari-hari."

Aku melongo gagal paham sama maksudnya.

"Pakai baju panjang, rok panjang, berhijab. Cantiknya naik berkali lipat."

"Dan pada akhirnya jadi istrinya ustad?" Ketawaku dihentikan oleh jeweran.

"Masih ngeyel mau ketemu Pak Ustad?"

"Canda, Abang Tua. Unta omongannya mulai ambyar. Apa nggak jantungan si Emak lihat Uci tiba-tiba pakai hijab? Begajulan gini abrakadabra jadi ukhti-ukhti solihah. Penipuan publik itu!"

"Emak justru senang kamu pakai hijab apalagi bajunya sari India. Emak sudah nyari toko murah di Shopi. Gaji kamu cukup toh untuk harga dua ratusan ribu per potong, Kushi?" Tiba-tiba Emak nyahut dari luar. Dari tadi nguping tuh emak-emak.

"Uci kini pengangguran, Mak!" Aku terpaksa berteriak karena enggak tahu di mana Emak berada, barusan lewat sini atau di kamarnya seperti tadi. "Boleh, ya, Uci pergi pengajian?" Rayuku dengan muka memelas pada Unta.

"Mau dengar ceramah atau lihat ustad?"

"Dua-duanya—Iya, iya!" kagetku waktu tangan Unta nempel di pinggang, hampir mencubit. "Cuma dengar siraman kalbu," dan lihat vitamin hati.

"Enggak boleh kegatelan," peringat Unta dengan serius.

"Janji."

Deal. Aku memanggil Emak dengan langkah riang. Taunya tuh ibu-ibu sudah mengganti baju muslim dengan daster tidur dan nyender enak sambil mainan HP.

"Jadi pergi?"

"Buat apa? Lima tahunmu itu belum bisa dilupakan padahal banyak pria ganteng di sekitarmu. Percuma juga Emak bawa ke masjid kalau nggak sekalian dirukiah."

"Astagfirullah, Ya Allah. Penanges lage! Emak sama Unta kenapa begini sangat memperlakukan Uci? Satu bilang Uci masih sedikit waras, yang satunya ingin merukiah segala."

"Enggak apa-apa kamu dirukiah. Rukiah bukan cuma membuang jin jahat dalam diri kita, tetapi fungsi utamanya untuk membersihkan hati dari pengaruh-pengaruh jahat. Contohnya kenangan mantan." Kayaknya Emak serius. Tubuh yang tadinya bersandar kini duduk dengan baik. Handphone sudah diletakkan. "Mau? Emak siap-siap. Kita minta Ustad Zaki yang melakukannya."

"Siapa dia?" tanyaku.

"Ustad ganteng itu loh. Sekalian pendekatan syar'i," bisik Emak agar terhindar dari pendengaran Unta yang tajam.

"Dahlah, Uci pergi sendiri aja."

Hari pernikahan mantan sebaiknya aku berada di tempat pengajian. Malam ini malam pertama mantan bersama istrinya, minus cicilan mereka sebelum akad. Lebih baik aku kasih makan kalbu biar berhenti bermimpi jorok dengan suami orang. Dan agar jiwaku tenteram.

Omongan Unta ada benarnya. Bukan saatnya aku berjuang. Selama ini sudah kuhabiskan untuk mengejar sesuatu, kapan lagi aku dikejar? Mungkinkah jika aku menjadi Kushi malaikat yang sebenarnya, akan datang pria setampan malaikat yang bisa bikin hatiku terpikat?

Semua tergantung niat. Malam ini, Kushi kehilangan harapan terhadap Kazasaki Ardhana. Karena itu, cinta pun harus segera dipunahkan. Takkan ada lagi tangisan. Ya Allah ya Tuhan, niat baik ini tolong mudahkan.

***

Bersambung ....

MUBA, 13 Maret 2021

Santey yah, part ini gk ada geregetnya. Gak ada Kaza dan Vegas juga. Sambungannya soon.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top