[13] Disusul Mantan Pacar

[13] Disusul Mantan Pacar

Mas Unta dapat telepon, lalu keluar entah menemui siapa. Kayaknya Unta sedang sibuk dengan bisnis yang baru dirintis bareng temannya. Unta sudah beberapa kali mencoba masukin lamaran ke perusahaan dan ditolak. Pria yang tamat SMA bisanya mengisi posisi apa sih? Memang Emak dan Bapak enggak menguliahkan anak-anaknya. Karena itu, aku dulunya mau dijodohkan. Sementara Mas Unta dengan kemampuannya bertani, coba memulai bisnis ikan hias, dengan modal yang dia kumpulkan sejak dulu bekerja sebagai kurir.

"Mak."

Emak masih marah dan cuma melengos waktu dipanggil. Kurebut kantong hitam berisi belanjaan dan membongkarnya di lantai. Sayur bayam, ikan laut kecil-kecil, cumi-cumi, tomat, daun bawang, saledri, bawang merah, bawang putih, tahu goreng, cabe merah, dan jamur.

"Mantannya Uci hari ini nikah."

Melihat jamur, bibirku mulai meracau. Aku sudah nggak peduli sama mata yang bengkaknya tidak hilang-hilang. Kepala ini rasanya siap meledak karena hati nggak mau kompromi. Sudah dibilangin, lupain Kaza, tetap nggak bisa. Tatapan mulai buram. Hidung kembali berair. Sial. Pilek nggak bisa sembuh semenjak rutin menangis.

Emak menyodorkan wadah tanpa berkata, nggak tahu buat apa. Aku inisiatif mengupas kulit ari batang bayam, memotong, dan memetik daunnya.

"Mak sama Bapak dulu nikahnya pacaran apa dijodohkan?"

Emak nggak menjawab, entah di mana posisi Emak sekarang. Bisa jadi aku ngomong sendiri, dan nggak apa-apa. Mulut nggak bisa disuruh diam.

"Uci mau dijodohkan aja. Pilihkan laki-laki di kampung ini jadi suami Uci. Bentar lagi Uci tiga puluh tahun. Lewat dari situ, kalau nggak bisa hamil gimana?"

Kepala terpaksa ditolehkan untuk mencari keberadaan Emak. Obrolan ini nggak boleh satu arah. Masalahnya aku sedang meminta dan Emak kudu mengupayakan. Jangan diabaikan! Rupanya wanita yang dulu rahimnya aku tumpangi tengah duduk di bangku dekat punggungku.

"Apa Mak masih marah sama Uci yang perginya lama? Mak nggak doain Uci seret jodoh 'kan?"

Rambutku lantas dijambak sampai memekik kesakitan. Walau nggak sesakit jambakan Yuka, yang ini bikin kaget.

"Soalnya sejak putus sama pacar yang pertama, nggak ada lagi cowok baik yang sesuai standar Uci. Kalau ada yang baik, akunya nggak sreg. Nggak bisa gantiin dia. Arengga yang Uci suka, sudah ada istri. Lari jauh-jauh dari perjodohan sama duda, malah dapat suami orang. Apa bukan karma itu namanya? Mak kalau doain Uci, yang baik-baik napa?"

"Itu mulut kalau nggak nyablak bisa?" Emak menarik wadah berisi bayam yang selesai aku bersihkan. Disodorkannya talenan dan pisau. Sementara itu, Emak duduk dekat meja bundar, mengupasi kulit kacang sebelum dimakan.

"Emak masih ingin liat aku nikah?"

"Ya jelas! Emak ingin gendong cucu dan mandiin cucu. Kawan-kawanmu anaknya udah masuk SMP, neneknya yang antar sekolah mulai TK."

"Gila! Ya nggak mungkinlah SMP. Emak mah ngada-ngada. Lebay amat sih udah tua juga."

"Dahlia nikahnya SMP, sekarang anaknya kelas dua SMP."

Oh iya, dia kebelet kawin. Bukannya sekolah, malah indehoy sama pacarnya terus melendung.

"Ya jangan dia juga Emak jadiin patokan. Udah bener anaknya sampai usia segini masih segelan. Bersyukur dong Mak, Uci jadi gadis baik-baik."

Ekspresi Emak lucu, pura-pura nggak dengar yang aku katakan. Ya emang sih, aku nggak suci-suci amat, otaknya suka ngeres. Mulai sekarang tobat, deh, tobat, tapi nggak janji.

"Cariin jodoh gitu, Mak. Nggak perlu kaya, yang penting kaya hati sama soleh. Biar Uci dibimbing jadi istri salehah gitu. Biar diajarin cinta hanya karena Allah."

"Omongan kamu mulai berbobot. Nanti malam ikut Emak lihat ustad muda yang suka kasih pengajian Jumat malam. Mak-mak lain pada rebutan pengin jadiin mantu. Dandan ala istri Rasul biar dia terpikat."

"Nggak mau!!!"

Aku dilempar pakai kulit kacang. Mata Emak memelototiku.

"Kenapa nggak mau? Itu sesuai standar kamu."

"Siapa bilang? Nggak mau nikah sama ustad, suka poligami."

"Mantan suami kamu bukan ustad, istrinya dua."

Kepala ikan kucacah-cacah, sampai hampir kena badannya sebelum Emak menarik rambutku agar menyingkir.

"Apa? Emak nggak salah ngomong 'kan? Makanya jangan menggeneralisasikan orang, tiap pribadi itu berbeda." Kunyahan Emak kayak tuh kacang enak banget.

"Ih Emak, tahu dengan generalisasi."

"Arengga terlihat seperti orang baik-baik, tapi suka selingkuh. Manusia tidak bisa puas dengan kehidupannya. Jangan sampai dekat-dekat dia lagi, tidak ada pertemanan dengan suami orang. Ingat itu?"

"Makanya cariin suami!"

"Udah sejak dulu Emak carikan suami. Asal kamu tahu, ya, almarhum yang mau Emak nikahkan sama kamu dulu, istrinya dapat jatah warisan banyak. Sekarang dia menikah lagi dengan laki-laki muda yang sepantaran, punya anak tiga. Wajahnya elok rupa semua. Gitu kalau patuh sama orang tua. Hidupnya bahagia."

"Jalan hidup dia seperti itu. Uci seperti ini. Ngapain sih lihat-lihat masa lalu? Nggak diingat saja, kepikiran terus."

"Jadi gimana? Mau lihat atau tidak? Kalau kamu mau dijodohkan sama laki-laki asli kampung ini, sudah habis semua. Adanya duda."

"Uci ini janda. Kok Emak lupa?"

"Terserah kamulah!"

***

Sumpah! Ini kali terakhir aku gangguin Kaza. Janji setelah ini aku akan betul-betul menjauh dari Kazasaki Ardhana. Kushi Malaikata tanpa drama, ya, nggak seru. Apalagi ini hari pernikahan Kaza, mantan pertama yang resmi aku pacari dan nancap banget di hati. Kebetulan Unta masih di luar dan Emak tidur siang. Kalau Bapak, masih berada di kios. Aku keluar tanpa harus mengendap-endap.

Panas menyengat kulitku yang enggak putih-putih banget. Sinar matahari seriang hati keluarga Yuka yang sedang bercengkrama dengan keluarga Ayesha. Sementara mendung di hati ini enggak ada yang menyamai. Bahkan keringat mulai mengucur di punggung. Anak-anak rambut di dahi basah oleh peluh yang mulai merambat dari kulit kepala. Iyuh, gerahnya masya Allah. Langkah kuhentikan sebentar untuk menggulung rambut. Selain mengatasi gerah, tujuan lainnya biar nggak dikira demit. Tibalah sepasang kaki yang dialas sandal jepit ini di pinggir sungai.

Panjat enggak?

Nanti sajalah. Aku mengeluarkan ponsel untuk memulai drama. Air yang mengalir ke ulu itu kufoto seestetik mungkin kemudian menulis caption.

[Sungai ini dalam, lebih dalam perasaanku. Arusnya deras, lebih deras air mataku. Semoga kelak kita dipersatukan di surga. Love you. Maaf sudah bikin kamu illfeel. Selamat bahagia di atas harumnya bunga makamku.]

Ah, mantap sekali. Setiap yang lihat postingan ini, pasti penasaran dan langsung mengunjungi akun Kaza yang aku tandai. Baiklah, misi selesai. HP kembali aku kantongi dan sebelumnya sempat terlihat satu notifikasi bahwa Vegas menyukai.

Ya Allah ya Tuhan semoga di pinggir sungai terjadi sebuah keajaiban. Kupejamkan mata erat-erat, merasakan sepoi angin bertiup lembut. Hati seolah ditenangkan dan raga dirangkul oleh kehangatan mentari siang. Mimpi yang kualami kembali melintas dalam pikiran.

Ponselku terasa bergetar. Tuhan, semoga keajaiban itu ada. Pelan-pelan aku genggam telepon pintar itu dan merem sebentar sambil menahan deg-degan sebelum melihat siapa yang menelepon. Ada kepulan harap bahwa itu Kaza, marah-marah untuk terakhir kali. Bismillah ....

Hampir saja aku melempar telepon genggam ke sungai saking kaget lihat nama yang menghubungi. Kutelan ludah dan menikmati debar sebelum menjawab teleponnya.

"Halo."

"Kamu di mana?"

Mata dan telinga sepertinya lagi main-main nih sama perasaan.

"Kamu?"

"Gue tanya elo, jangan balik tanya!"

Nah, yang ini baru aku percaya dia Kaza anaknya Buk Siyah.

"Kayak yang kamu lihat, lagi di pinggir sungai. Kenapa? Mau larang aku terjun?"

"Terjun?"

"Hm. Enggak serius kok, Za. Cuma bercanda. Kali ini janji, janji untuk terakhir kali gangguin kamu. Nanti aku hapus, kok, kamu nggak usah marah-marah."

"Kenapa pergi tanpa menyelesaikan tanggung jawab kamu?"

"Maaf. Maaf banget, aku nggak profesional. Aku pikir kalian semua ngerti kenapa aku diam-diam pergi. Ya udah, Za, jujur ini nggak semudah yang kamu dan kalian semua pikir. Teleponnya aku akhiri, ya, maaf sekali aku nggak bisa kerja lagi sama Bang El. Bye, Kaza."

Elrangga dan Yuka memang tidak mencari ke mana aku menghilang beberapa hari ini. Membenarkan dugaanku bahwa mereka paham aku harus ambil waktu untuk menyendiri. Dan Tuhan memberikan keajaiban itu, bisa mendengar suara Kaza tanpa ada nada bentakan. Padahal aku sudah bikin huru-hara di media sosial. Seperti janjiku, postingan itu akan kuhapus.

"Sudah boleh lompat."

Kejutan suara menyebabkan aku kaget luar biasa sampai ponsel di tangan melayang jatuh ke sungai.

"HP gue!"

"Eh beneran lompat! Kushi!" Vegas menarik tanganku dan membalikkan badanku hingga hidung ini menabrak dada bidangnya.

"Ya Allah, HP gue, Gas! Gue belum hapus postingannya."

"Pakai punya gue dan nanti gue ganti sama yang baru. Oke? Lo baik-baik aja?"

Aku menatapnya.

Jari Vegas mengusap kelopak bawah mataku. "Ternyata cewek jelek saat nangis itu dusta. Buktinya depan gue ini tambah cantik. Lo kok sadis banget sih, mutusin gue lewat chatting? Nggak, Kushi, gue nggak terima. Gue nggak akan lepasin elo ke siapa pun."

"Gas. Pinjam handphone lo, login ke instagram gue."

"Gue nggak kasih kalau tanpa syarat."

"Kan elo yang menyebabkan hape gue nyebur! Lo harus tanggung jawab dong!"

"Terima atau enggak?"

Dengan kesal aku injak ujung sepatunya dan melihat ke sungai. Dalam ponsel itu tersimpan semua foto Kaza yang aku curi baru-baru ini. Potret punggungnya dari jauh, pintu apartemennya, dan makanan-makanan yang aku buat dan dia buang.

"Kushi." Panggilan Vegas dia sertai dengan ponsel miliknya. "Pakai seperlu elo. Nggak ada syarat apa-apa. Nih."

Begitu masuk ke akun sendiri, aku mendapati direct messange dari Kazasaki. Nggak salah? Ini dia baru sadar kata-kataku di telepon setelah melihat instagram. Jadi, tadi dia telepon untuk apa? Kupikir memerintahkan penghapusan postingan drama.

[Kenapa nomor kamu enggak aktif?] Pesan berikutnya baru saja masuk.

Segera aku ketik balasan. [Nggak ada HP. Ini juga pinjam HP-nya Vegas. Aku nggak nyimpen nomor kamu lagi, Za. Bagus, ya? Aku bisa tepati janji aku. Selamat kamu lolos dari gangguan Kushi Malaikata. Hehe.] Kemudian aku log out dari aplikasi dan mengembalikan ponsel Vegas.

"Terima kasih, Mantan Pacar."

"Jangan mantan dong. Masa kita putus sih?"

"Gas." Aku nggak mood pacaran lagi. Sudah tidak ada semangat.

"Oke oke. Teman. Tapi jangan pergi dari gue juga. Teman akan mendukung temannya dan teman tidak meninggalkan temannya."

"Apaan sih, Vegas! Gue udah bilang nggak bisa sama lo. Temanan versi elo, itu ada maksud di belakangnya. Nggak bisa."

"Yah, Kus, tega lo ... udah gue susulin jauh-jauh juga. Misi gue gagal, cinta gue anfal, masa niat gue untuk berteman juga elo jegal? Parah lo, udah tahu 'kan ditolak itu sakit? Kok tega sama gue?"

"Ya udah teman."

Vegas langsung merangkulku saat berjalan.

"Teman nggak kayak gini. Jalan masing-masing."

Dia menolak. Malahan rangkulannya semakin erat.

"Nggak perlu mepet-mepet kayak gini, Vegas."

"Enggak bisa, Kushi, ntar lo lompat ke tengah jalan terus ketabrak delman gimana? Gue nggak siap kehilangan."

Vegas lebih lebay dari gue.

***

Bersambung ...

OKI, 10 Maret 2021

Akun ini dibuat 10 Maret 2017.

Ultah keempat niih, jd Kasev UP si Ucii padahal targetnya besokkk.
And happy 5k viewers.. Terima kasihhh atas kunjungan semua.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top