[12] Pengakuan Bersama Mantan

[12] Pengakuan Bersama Mantan

Aku memesan nasi dan ayam dua potong. Minum segelas besar es jeruk dan eskrim satu cup. Puas sekali. Selang 45 menit dari telepon tadi, Elrangga mengirim pesan.

Bos Elrangga
Kamu di mana? Mau saya pecat?

Bukankah itu bagus? Kalau aku enggak kerja lagi, aku bisa menjauh dari keluarganya Yuka seperti yang diminta Kaza. Saat Kaza menikah, aku enggak sanggup hadir di sana kalau diundang. Namun, aku sudah terlanjur sayang dengan mereka semua. Selain masih punya setangkup cinta buat Kazasaki Ardhana, aku sayang sama Yuka dan Hangga, minus Elrangga. Ini yang dinamakan dilema jika kita sudah merasa dekat batin dengan keluarganya mantan.

Kaza keterlaluan! Nggak punya perasaan. Kenapa mereka semua jahat? Nggak cuma fisik, hati aku juga dilukai. Kebenaran yang bertubi-tubi datangnya hari ini membuat tubuhku lelah. Sungguh, aku bukan perempuan cengeng kalau sakitnya masih bisa aku tahan. Menyangkut perasaan tidak ada batasan umur. Walau sudah hampir kepala tiga, aku enggak bisa membendung tangisan saat mengingat percintaanku yang gagal. Bahkan aku sadar, adanya pengganti belum bisa mengenyahkan bayangan mantan. Menikah pun enggak bisa bikin aku melupakan Kazasaki anaknya Pak Apan. Membayangkan Kaza menghamili kekasihnya bikin aku kecewa. Kenapa aku bisa cinta sekali sama lelaki bajingan? Apa karena bersahabat sama Yuka sehingga selera dia nular ke aku?

"Aah! Nyiprat! Tangan nggak punya otak! Saus bangsat! Perih nih mata gue. Kenapa semuanya nyakitin gue? Apes bener gue hari ini."

Tisu mana tisu? Ya Allah ya Tuhan! Kok nasib umat-Mu begini banget sih?

"Saya kira salah orang. Ternyata benaran kamu. Kenapa matanya merah? Kepedesan?"

Seonggok makhluk adam duduk di seberang kursiku. Nggak perlu ditanya siapa orangnya. Sudah pasti dia Arengga, mana mungkin Elrangga. Memang Pak Bos kayaknya menunggu sang sekretaris tiba. But sorry to say, aku betul-betul enggak bisa konsen kalau kayak gini. Aku cuma pengin nangis.

Enaknya kerja sama suami teman sendiri, nggak takut dimarahi. Biar Bang El mandiri dulu hari ini sebagai kompensasi sudah nularin hal buruk ke Kaza.

"Bukan pedas, sausnya aja yang badass. Aku tuh lagi lagi sedih, Mas! Ganggu deh kamu pake nyamperin segala" Tuh dia bikin aku jadi sewot.

"Kenapa sedih?"

"Malas cerita. Kenapa kamu bisa nemuin aku di sini? Dan kenapa dunia menyatukan para mantan di mal hari ini, di jam ini? Apakah ini tanda-tanda kiamat sudah dekat?"

Arengga mendorong keningku dengan ujung telunjuk. "Cuma kamu yang kalau sedang sedih jadi ngaco."

"Yee orang lagi sedih malah dikata-katain. Kedatanganmu nggak ada guna, Mas. Udah deh, menjauh sana dari diriku. Aku tak mau bertengkar lagi dengan istrimu sampai dia mergokin kita. Dan kamu sudah aku larang, jangan temuin aku lagi. Bandel."

"Kebetulan. Lagian di antara seluruh pengunjung resto ini, kamu yang paling menarik perhatian."

"Mulutnya mau coba merayu, ya?" Aku membersit ingus yang mau nampakin diri depan orang tampan.

Arengga menekan keningku untuk kedua kalinya. "Karena cuma kamu yang nangis sambil mengomel. Nggak tau malu. Apa yang bisa bikin sedihmu berkurang? Setahu saya cuma makan, dan ini kayaknya semua isi piring dan gelas sudah masuk perut kamu. Katakan, Kushi, agar saya bisa bantu. Tanpa niat bikin kamu khilaf. Saya pastikan hanya untuk mentransfer sedih kamu, bukan modus."

"Mana ada orang modus yang ngaku."

Cibiranku bikin senyuman Arengga mengembang. Manis. Tulus. Sayangnya, cerita dengan dia adalah kesalahan. Aku nggak boleh bersandar kepada laki-laki milik seorang wanita sejenis atlet boxing.

"Nggak perlu. Aku kalau sedih nggak sampai berlarut-larut. Kan sudah dikeluarin sepuas-puasnya. Tapi kalau memang mau bantu, isi saldo rekening aku juga nggak apa-apa. Rupiah adalah hiburan paling ampuh untuk hati yang sedang ngilu."

Arengga menggeleng. "Saya rasa sedihnya sudah pergi. Kalau begitu, saya mau bicara hal lain. Boleh?"

"Ngomong aja. Cus nggak usah pakai mukaddimah biar padat dan berbobot."

"Saya minta maaf untuk semua hal yang terjadi di antara kita. Termasuk perlakuan istri saya yang tidak menyenangkan tempo hari. Kenapa kamu diamkan saja, Kushi?"

"Enggak diem kok. Gue teriak-teriak!" ketusku. Mana mungkin aku bilang kalau Rindang ngamuk-ngamuk karena aku panas-panasin? Enggak elok.

"Saya tahunya kemarin waktu login Instagram. Beberapa akun menge-tag saya pada sebuah video. Ternyata isinya kamu dalam keadaan pingsan digendong laki-laki. Saya kira itu orang-orang yang berniat adu domba kita, tapi pada video lainnya saya melihat Rindang tersorot kamera sedang berjalan menjauh. Saya menanyakan kronologi video itu dari si pengirim."

"Kaki sama tangan Rindang aktif ya, Mas. Nggak mau lagi gue berurusan sama dia. Sekarang dengan kamu duduk di sini, jangan sampai dia salah paham egen." Aku punya ide. "Gimana kalau dua minggu lagi, kamu temenin aku ke Bapak dan Emak? Jujur sama mereka kalo kita sudah pisah. Kamu yang salah jadi kamu yang harus jelasin ke mereka." Aku juga salah, tapi Arengga lebih salah. "Setelah itu kita nggak ada urusan."

Aku sudah dapat alasan untuk absen di hari pernikahan mantan. Kali ini tidak mungkin enggak dikasih undangan 'kan? Pastinya jika keadaan biasa, aku datangnya bersama rombongan Yuka. Barangkali didaulat sebagai pembawa seperangkat alat salat. Yuka dan Hangga akan meledekku karena mereka menganggap luka ini cuma candaan. Mereka nggak tahu sakitnya seperti apa. Sebab cuma aku yang merasakan.

Detik ini aku simpulkan, cinta kepada Kazasaki bukan cuma sekadar mampir. Dia ingin menetap. Namun sayang, tempat pijaknya tidak menerima.

***

"Ci! Aku batal nikah karena kamu. Tanggung jawab jadi pengantinku!"

Kazasaki yang masih ngos-ngosan dengan tangan di lutut menghampiri saat aku bersiap masuk sungai. Tubuhku ditarik ke pelukannya.

"Kita menikah!"

Mau! Aku pasti mau. Pelukannya aja semantap ini. Betul 'kan dugaanku? Kazasaki masih punya perasaan. Romantisnya ... dilamar di pinggir sungai. Ada angin sepoi-sepoi. Helai-helai rambutnya diterbangkan angin yang berasal dari hutan. Wajah Kaza yang tampan berkilauan akibat keringat. Jemariku dengan lembut mengusap titik-titik peluh di keningnya. Matanya yang indah menatapku tanpa kata. Wajahnya mulai mendekat, tetapi segera dia jauhkan untuk melihat ke langit. Hujan tiba-tiba turun membasuh mukanya serta tubuh kami berdua.

Aku tersentak melihat Kazasaki meleleh bersama hujan dan menghilang bersama genangan air di permukaan jembatan.

"Kaza! Kaza!!!"

"Kushi!!!"

Na'udzubillahiminzalik. Ya Allah ya Tuhan, Emak! Nggak bisa apa manggil dulu baru siram? Pantesan dinginnya sampai terasa nyata. Eh, tapi mimpi tadi serem amat. Kaza bisa mencair gitu kayak plastik dipanasin. Habis bikin nangis berhari-hari itu orang bikin huru-hara lagi dalam mimpi. Maksudnya apa coba ngga jadi nikah dan aku yang harus tanggung jawab? Oh, hati ini menjijikkan. Sudah kabur jauh masih aja berkhayal yang enggak-enggak. Mimpi pasti manifestasi sebuah impian yang nggak sanggup diraih. Alangkah menyedihkan anaknya Emak dan Bapak ini.

"Pelor banget ini anak perempuan satu. Bapak lagi ngomong, ditinggal molor. Sekarang malah bengong." Lirikan sadis Emak menyorot ke biji mataku bikin aku nelan ludah sendiri. Dilemparkannya handuk ke muka untuk mengelap kepalaku yang basah ini.

Capek nangis berhari-hari, tak tahan aku langsung kabur dari Jakarta. Bawaannya pengin tidur terus waktu sampai sini. Karena itu, Emak ngomel sekarang.

"Mikirin apa kamu? Nggak suka di sini kenapa pulang?"

Masya Allah, sadis banget komentar Emak akibat dikacangin dikit.

"Gegara enak makanya suka tidur. Udaranya di sini tu adem, beda sama di gedung."

Emak yang sore ini pakai kaus lengan pendek dan celana kolor selutut menutup rambutnya pakai dalaman jilbab usang. Di usianya yang sudah nggak muda dengan tubuh gemuk itu, Emak tetap terlihat sehat. Aku pindahkan kepala ke pangkuan Emak yang udah pasti empuk. Memeluk pinggangnya dan merasakan lemak padat di perut. Yang menyebabkan Emak seperti tengah mengandung calon adik bungsu.

"Enggak usah nunda-nunda lagi! Kamu kalau nggak bawa masalah, nggak akan mau menginjak semen rumah ini. Cerita terus terang. Tapi kalau tidak berbobot, mending balik sana ke kota."

Aku enggan bicara. Memeluk wanita yang sudah melahirkan kemudian aku tinggalkan ini rasanya bikin tenang. Dua hari di rumah, baru ini aku merasa benar-benar pulang. Kemarin-kemarin yang kulakukan memeluk guling dan menangis tanpa suara, lalu ketiduran sampai pagi lagi. Sampai aku lupa mengabari Arengga kalau saat ini sudah berada di rumah orang tua.

"Rumah tanggamu baik-baik saja toh, Kushi?"

Emak mulai lunak, nggak lagi maksa aku bangun. Dan cuma Emak di rumah ini keukeuh panggil aku Kushi karena dia yang kasih nama. Bapak nurut sama Unta. Omong-omong soal Unta. Kebetulan banget dia lagi ada bisnis di luar pulau, atau luar kota aku lupa, jadi nggak ada yang bisa ngehibur saat gulana.

"Kalian bertengkar? Kamu pamit tidak mau ke sini?"

Ah, gara-gara Unta nggak di rumah, aku belum bisa minta Arengga datang. Nggak bisa kalau nggak ada Unta. Semua harus dengar saat Arengga bikin pengakuan.

"Mamas kapan pulang, Mak?" Aku bangun. Ternyata Bapak sudah nggak ada di ruangan ini. Jam segini pasti sedang mandi sore dan siap-siap mau magriban di masjid.

"Malam ini. Kamu tidak kasihtahu masmu ke sini?"

Aku menggeleng. "Kalau gitu Uci mandi dan dandan yang cantik. Kalau Mamas datang, teriak aja, Mak!"

Tiba di kamar aku ambil hape dan berniat menghubungi Arengga. Waktu buka WA, chat ke Vegas sudah dibalas. Aku kirim dia pesan sebelum berangkat, artinya sudah dua hari. Aneh, balasannya baru sekarang.

Me:
Gas, gue minta maaf, nyerah duluan.
Makasih sudah ngebantu gue buat wujudin impian nikah sebelum 30 tahun. Ngebimbing gue untuk move on.
Kayak yang lo tau, susah banget.
Walau lo mirip aktor kesukaan gue, gue nggak bisa mindahin cinta gue ke elo.
Gue fans dan elo idola. Segitu doang bisanya.
Yamaken tetap nginvasi hati gue.
Walau nggak bisa sama dia, gue juga nggak bisa sama lo.
Gue pulang untuk nenangin diri, jangan ember ke Yuka atau yang lain.
Karena kita dekat, gue cuma bilang ke elo.
Maaf, kita nggak bisa lanjutin.

Abang Yan
Alhamdulillah saya nggak bikin kamu patah hati untuk kedua kali.

Si anjir! Pantesan lama baru balas. Aku hilang dia nggak nyariin. Hell! Dia bilang sekali cinta nggak akan melepas. Mana buktinya? Katanya mau ajak aku serius. Baru dikirim surat putus lewat chat malah bersyukur alhamdulillah. Kata-katanya memang tidak bisa dipegang.

Selama beberapa hari dekat sama Vegas, emang terasa beda. Sifatnya baik dan penampilannya sempurna, seperti aku yang juga paripurna. Dilihat dari luar, ya, cocok. Tetapi sebagai pasangan kekasih terlalu berlebihan untuk kuimpikan. Emaknya juga bakalan ngelarang anaknya bersamaku, janda kembang yang gagal move on. Vegas cuma enak dijadiin teman.

Nambah lagi satu nama sebagai mantan. Kazasaki dan Vegas, orang-orangnya Yuka dengan wajah mirip aktor yang film-nya suka aku tonton sewaktu kuliah. Aku kenal mereka berdua di waktu yang hampir bersamaan. Dua-duanya langsung menarik perhatian karena mereka good looking. Sayangnya, Vegas nggak bisa kasih perhatian dan waktunya untukku sebagaimana Kazasaki. Dan dulu rasa sayang Kaza terasa nyata.

Oke, stop di Kaza. Jangan sampai air mata meleleh lagi. Besok dia sudah terlarang buat dipikirkan karena diikat oleh benang kepemilikan Ayesha Malaika si Malaikat gaada akhlak. Melirik jam, pukul setengah enam. Aku sebaiknya kirim pesan atau langsung telepon Arengga, ya?

Me:
Besok Mas Unta ada di rumah.
Jangan mau kalah dari aku.
Setidaknya kamu harus dapat satu tinju, satu kaki, dan satu lutut dari Unta.
Aku banyak dikasih bonus oleh istri kamu.

Paginya aku sangat terkejut waktu dengar ribut-ribut di luar. Nyawa belum terkumpul seratus persen karena begadang nangisin malam pengantin mantan sama calon istrinya. Waktu keluar dari kamar kulihat Unta lagi memukuli wajah ganteng Arengga. Mantan suami satu minggu itu nyusruk di tanah. Setengah warga kampung jadi penontonnya. Nggak sekalian diumumkan gitu, Kushi cerai karena enggak sanggup jadi istri kedua?

"Ke mana?" Sikuku ditarik Emak waktu akan mendekat ke medan pertempuran.

"Menghentikan Untalah, nggak bener main pukul serampangan."

Giliran aku yang dipukul Emak. Tiap kali kalimat dia ucapkan, satu tangan mendarat di punggungku. "Kenapa bodoh? Nikah bukan untuk main-main. Mana ada menikah cuma seminggu. Berani-beraninya membohongi kami! Kapan pintarnya kamu? Sekalian sana kalau mau bantu, biar Sultan hajar kamu juga!"

Setelah adegan kekerasan itu, kami semua kumpul di ruangan tengah dengan mengunci pintu. Para penonton sudah bubar. Di kursinya Unta jadi pendiam. Kecewa pasti itu yang dia rasakan kepada Arengga yang sudah dianggap sekutu. Arengga pun nggak bisa naikkan mukanya, entah karena sakit atau merasa salah. Aku duduk di sebelah Arengga, merasa iba melihat mukanya babak belur. Kami senasib. Aku melihatnya dengan perasaan kasihan sampai-sampai Emak ngomel enggak kedengaran lagi. Bagi Emak tiada maaf bagi pembohong apalagi fatal seperti Arengga. Bagiku tiada alasan membenci Arengga karena dia memiliki perasaan kepadaku. Dia sayang, walau sayangnya sudah ada yang punya. Emak mana mau terima.

"Kami memaafkan kamu, tapi saya minta jangan mendekati Kushi. Kamu tidak perlu lagi menunjukkan kepedulian kepada Kushi." Bapak terdengar kecewa juga. Memelintir nuraniku yang selama ini menjauh dari mereka yang sangat peduli.

"Maafkan saya, Pak." Hanya itu kata-kata Arengga sebelum pergi.

Unta tidak menoleh sama sekali melepas mantan adik ipar yang selama tiga bulan jadi tangan kanannya dalam mengawasiku.

"Selangkah keluar dari rumah ini, takkan terima kamu selamanya. Nurut kalau masih anggap kami keluarga!" Unta mengultimatum dengan suara yang tegas waktu dilihatnya aku hendak berdiri.

Aku duduk lagi sambil menahan nyeri dalam dada. Perih banget tenggorokan ini nggak bisa menangis sepuasnya. Ya Allah ya Tuhan. Kazasaki sudah mengucapkan ijab untuk wanita lain, bahkan bentar lagi jadi bapak. Aku sangat ingin berada di acaranya, melihat segala prosesnya, walaupun di sana pasti bakalan nangis terus melihat kebahagiaan dua pengantin.

Kepulanganku karena sadar kata-kataku nggak bisa dipegang. Takkan mengganggu acara mereka? Aku bahkan tidak percaya dengan diri sendiri. Mulut bicara lain, hati berkeinginan beda, dan tubuh melakukan sebaliknya. Koar-koar nggak akan ganggu pernikahan itu, bisa saja tiba di sana aku nangis sambil garuk-garuk tanah atau ngebalikin meja buat akad dengan alasan sedih. Otak ini tidak bisa diajak kerja sama. Kushi sungguh tak dapat dimengerti. Dan sekarang aku terkurung di sini entah sampai bila.

***

OKI, 8 Maret 2021

Kebetulan Ciii, Kasev juga lagi pulang ke rumah Emak. Tos! Setelah sekian purnama 😆

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top