[11] Mantan yang Bukan Sekadar Singgah
[11] Mantan yang Bukan Sekadar Singgah
Ya Allah ya Tuhan. Tolong Uci. Ini sakit banget. Sedih sekali. Kenapa aku diberikan hati selemah spon bedak? Kenapa enggak jadi bikin aku sekuat Samsonwati? Perih rasanya kayak diiris pisau dapur. Waktu kecil dulu, dilarang Emak mainan piso, akunya bandel nggak mau berhenti. Lalu ruas jempol yang dekat kuku tergores. Alamak, pedihnya sama kayak sekarang, bikin aku nangis kejer. Menyut pula sampai aku mau teriak, tapi malu. Ini di tempat umum.
Duduk sendirian di bangku yang disediain pihak mal buat kaum yang datang bukan untuk belanja. Orang-orang cuci mata dengan melihat-lihat produk yang dipajang bikin bahagia, beda banget dengan aku. Ini memang cuci mata yang sebenarnya. Membasahi alat penglihat pakai air yang terbit dari sumber mata air, minus sabunnya.
Dahulu aku tuh serius cinta sama Kazasaki Ardhana anaknya Pak Apan dan Buk Siyah. Dia bikin aku nyaman. Tiap lihat dia ngelindungi Yuka, aku jadi makin sayang. Apakah karena aku merindukan perlindungan Unta atau bagaimana? Mungkin alasan itu yang jadi faktor aku makin menyukai Kazasaki Ardhana. Selain ganteng dan cool tentunya, aku salut sama pribadinya. Anak kelas delapan lain belum ada yang sedewasa Kaza dalam melihat tiap sisi kehidupan.
Awal kedatangan Kaza, aku hanya kagum sama fisik, tapi waktu ada kesempatan, mulai modusin dia. Minta temanin belanja, cerita, juga ngebantu tugasnya dia. Dia kelas sembilan atau tiga SMP, aku cari cara bikin Kaza juga suka. Cerdiknya otakku merencanakan agar Kaza juga tertarik sama fisikku. Keberuntungan ada di pihakku sebagai keturunan Emak, sampai aku bisa dibilang punya sebutan body goal. Mungkin masa penasaran remaja sedang dialami Kaza saat itu. Mudah banget mancing dia balas ciumanku. Entah itu dia sudah pernah nonton video yang sering diputar Yuka di laptopnya, sebab kadang Yuka nurut sama Kaza kalau diancam bakalan kasihtahu Pak Apan Yuka nonton yang begituan. Bisa saja Kaza juga melihatnya. Jadi, dia sangat reaktif saat dipancing.
Ikrar jadian tepat saat Kaza lulus SMP. Situasinya sangat genting waktu itu. Sewaktu aku bilang kami hampir bablas, ya, itu sebelum jadian. Dia bilang hubungan kami perlu diberi status. Aku meminta dia harus menjaga Mr. K baik-baik. Kedua pihak setuju, maka kami resmi menjadi pasangan kekasih. Dia berhenti memanggil aku Kak Kushi dan mengganti dengan Uci. Lalu masuk SMA ke tempat aku kerja part time. Pacaran di rumah.
Tiga tahun menemani masa remaja Kazasaki Ardhana. Tibalah waktu Kaza berada dalam sebuah dilema. Dia kelihatan berbeda, sering melamun, dan tidak fokus. Kata Ari Lasso untuk mendekati wanita, sentuhlah dia tepat di hatinya. Kalau Kazasaki Ardhana, sentuhlah dia tepat di telinganya. Bagian sensitif yang pas sekali untuk mengorek masalahnya. Baru mendekatkan mulut ke telinganya untuk berbisik, Kaza pikir aku mengajak main mantap-mantap. Dua bibir tidak pernah bosan bersentuhan sampai pelakunya lelah dilibas gairah yang tidak bisa disalurkan. Sebatas itu, akhirnya dia buka cerita. Katanya Buk Siyah ingin Kaza kuliah di Pekanbaru.
Aku ingin bilang, "Nggak usah di sana. Kampus di Jakarta lebih bagus. Sekolah sudah di sini, ngapain balik lagi ke Sumatra?" Contohnya Yuka, sekolah di Batam kuliah ke Jakarta.
Namun, sebagai orang dewasa di antara kami, aku harus memikirkan masa depan Kaza. Dan itu berhubungan dengan keinginan ibu kandung. Hey, tidak usah menolak, rida ibu selalu menyertai anak. Turuti perintah ibu sebab rida Tuhan ada padanya. Aku tahu teorinya, tetapi enggak bisa melaksanakannya. Oleh karena aku sudah salah, kabur dari Emak dan Bapak, aku nggak bisa biarin Kaza jadi anak seperti aku. Kaza anak lelaki satu-satunya di keluarga mereka. Dia punya saudara perempuan dan keponakan, harus mampu menjadi panutan. Dimulai dari berbakti kepada kedua orang tua.
Kaza enggak setuju dengan pendapatku. Dia tidak mau kembali ke Sumatra. Bahkan Kaza lebih marah saat aku bilang, nggak akan melakukan hubungan jarak jauh. Aku yakin kalau emang jodoh, ya, dipersatukan lagi suatu hari nanti. Mau tidak mau, Kaza menerima kesepakatan itu. Seperti yang aku bilang, Kaza itu tak suka melawan padaku.
Selama menjalin hubungan, aku enggak memikirkan gimana tanggapan keluarganya. Yuka tidak menentang, tapi tidak pula mendukung. Elrangga tidak begitu peduli. Barangkali otak kananku juga mengecamkan, Kaza masih kecil. Hubungan kami main-main, tetapi perasaanku padanya sangat yakin. Sampai-sampai, saat aku melihat Kaza dengan gadis lain, sakitnya bukan bercandaan. Nggak bisa diremehkan.
Sama sekali enggak kupikiran bahwa waktu itu aku masuk perangkap ibuknya Kaza. Wanita yang paling lembut jika berbicara. Keliru jika kalian menganggap aku menyalahkan Ibuk Siyah. Sebagai calon ibu, aku bisa memahami perasaannya. Jika aku nggak dengar kebenarannya tadi, barangkali aku masih tidak tahu diri. Lupa introspeksi. Kata-kata Kaza terbukti kebenarannya. Otakku isinya sampah. Harga diri yang aku punya pun jatuh menggelinding ke dalam got.
Perasaanku lagi sedih kenapa perut ikut nambah-nambahin sih? Tunda dulu kek laparnya! Orang tuh kalau sedang sedih, enggak bisa nelen nasi. Dasar perut nggak ada akhlak! Terpaksa aku jalan nunduk. Oh iya, dalam tas kayaknya ada face shield. Sedikit keberuntungan bagi wanita menyedihkan ini. Paling tidak orang nggak bisa melihat mataku yang bengkak. Sebelum ke restoran yang berada dalam mal ini, aku harus membasuh muka. Tempel bedak dan perbaiki maskara. Lagi-lagi masih untung karena aku pakai semua kosmetik water proof.
Siapa pula yang telepon saat aku lagi lapar? Mau dimakan juga kayaknya nih orang.
Bos Elrangga
Astagfirullah! Aku nggak minta izin. Setelah tiba di kantor pakai taksi, Vegas ambil mobilnya, aku pun naik taksi lagi ke sini tanpa sepengetahuan pacarku. Ya sudah, abaikan dulu. Mana bisa aku profesional di tengah hati yang remuk kayak kerupuk kelindas gerobak.
Akhirnya, penampilan kembali paripurna. Kaki jenjang ini smlangkah hendak keluar toilet dan mata langsung melotot. Aku masuk lagi dan menutup salah satu bilik untuk sembunyi. Beruntung orang yang aku lihat enggak melihatku.
Begini yang dinamakan sinetron. Banyak adegan kebetulannya. Kagak ada tempat lain apa selain toilet? Ngilu di badan masih terbayang akibat pertempuran beberapa hari silam. Ya Allah ya Tuhan, kesannya dunia ini sempit banget. Kenapa mesti ada pertemuan tak sengaja seperti ini? Waktu itu ketemu bininya Arengga, sekarang ketemu calon bininya Kaza. Sialan emang nasib gue.
"Nyampe, Za? Bentar lagi gue ke sana." Dia sepertinya janjian dengan Kazasaki Ardhana, anaknya Pak Apan yang membenci Kushi Malaikata.
Suara itu kemudian hilang disusul nyaringnya suara kunci. Tak membuang kesempatan, aku segera kabur mumpung Ayesha masih duduk di closet. Tentu saja aku nggak ke mana-mana sebelum dia keluar. Berdiri dekat tiang aku mengamati cewek yang pakai tunik warna bata dan lejing hitam serta flat shoes itu melangkah.
Oke, ini emang perbuatan yang mubazir dan melukai diri sendiri. Aku penasaran banget gimana Kaza memperlakukan Ayesha. Bagaimana Ayesha di sebelah Kaza? Apa yang bikin Kaza yakin membawa gadis itu ke pelaminan? Semuanya aku ingin mencaritahu.
Orang yang aku tangisi tadi menunggu kekasihnya di belakang gerobak belanjaan. Malaikat Tak Sempurna meraih lengan Kaza setelah mencium pipinya anak Pak Apan. Kaza berjalan di sebelah Malaikat Kerak Neraka sambil mendorong troli.
"Pasangan yang dua minggu lagi nikah kalau keliaran di pusat perbelanjaan kira-kira beli apa, ya? Alat dapur? Perabot? Apa mungkin lingelie? Otak kenapa mendadak pintar di saat nggak dibutuhkan?" Aku mengamati sekeliling, takut dikira gila bicara sendiri.
Pelan-pelan aku ikuti pasangan yang nggak sabaran nikah itu. Mengendap-endap di belakang mereka yang tengah memilih-milih deterjen. Menutup muka pakai face shield, aku ikut menyortir produk sabun pembersih. Sekalian beli sampo, kayaknya tinggal kotaknya doang di kamar mandi. Nyaris kehilangan jejak, aku percepat langkah hingga melihat Kaza dan si Malaikat Menggelikan yang menggelendot dan menaruh kepala di lengan atas Kaza. Di daerah persusuan mereka berhenti, mengamati rak-rak dari berbagai jenis susu. Kontan mataku tak teralihkan saat Kaza mengambil dan mengamati kotak warna ungu.
"Cepet banget nggak sih persiapan mereka? Yakin bisa langsung punya bayi? Artagfirullah! Ih mulut kurang kejam pertanyaanmu."
"Bukan, Za, yang rasa cokelat. Nah, ini. Tolong ambilin tiga kotak lagi." Senyumannya sok imut. Suara manjanya bikin enek.
Gila nggak tu? Mereka belum nikah dan si cewek membeli susu ibu hamil tiga kotak. Gue sumpahi mandul baru tahu kalian! Astagfirullah, mulut orang tersakiti ini berbisa banget. Berikutnya, hatiku kayak digerimisi air garam tepat di atas luka yang baru tadi disayati silet melihat gerakan tangan Ayesha di perutnya. Plus tatapan sendu kepada punggung tangannya yang bergerak di permukaan perut. Apa dia sudah hamil duluan? Semua alasan keterburu-buruan pernikahan dua insan itu menemukan alasan kuat. Aku mundur pelan-pelan sambil menikmati perih yang mulai menggerogoti perasaan.
Kushi bukan wanita lemah dan gampang kalah!
Tubuh ini memutar 180 derajat. Karena tadi sudah menutupi bekas tangisan, aku bisa tampil yakin di hadapan kedua calon pengantin. Berjalan dengan anggun, aku pun menyapa mereka.
"Hay, kalian." Diulas senyuman tipis, aku berdiri di depan Kaza dan Ayesha.
Sejenak aku bisa lihat muka terkejut Kazasaki Ardhana. Setelah itu matanya menatap tajam seakan aku ini mengganggu banget di hidup dia. Dan jika aku perhatikan, Kaza pasti nggak banyak omong kalau lagi di dekat Ayesha.
"Belanja?" Aku mengajak mata mereka untuk melihat ke dalam troli. Benar dugaanku, susu yang mereka beli khusus untuk bumil.
Aku meraba tas, mencari dompet, dan mengeluarkan sejuta yang baru aku ambil dari ATM. Uang itu aku letakkan ke tangan Ayesha.
"Nih, gue ngamplop sekarang. Kayaknya dua minggu lagi gue nggak bisa hadir. Ah, gue nggak yakin bakalan diundang, ya 'kan, Za? Sebagai permintaan maaf gue udah nyumpahi elo mandul barusan. By the way, selamat untuk kalian. Jangan takut, Za, gue nggak bakalan datang dan ngerusak acara kalian."
Si Malaikat Bunting dan Kaza kayak orang kepergok sehingga cuma diam dalam keterkejutannya.
Aku mengusap perutku sendiri. "Kalau gitu gue cabut duluan. Udah kelaperan dari tadi. Pengin makan orang." Kalimat terakhir kuucapkan samar.
Baru juga bergerak dua langkah, tanganku ditahan sampai langkahku terhenti. Balik badan, bertatapan dengan raut marah Kazasaki Ardhana.
"Ambil." Dia memaksa tanganku terbuka dan merapatkan lagi dengan duit merah-merah itu di genggamanku.
"Nggak. Udah gue kasih, nggak akan gue ambil lagi." Ternyata perkataan itu diterima lain oleh hatiku. Mulut suka asal jeplak dan hati yang jadi korbannya. Seolah, aku membicarakan dirinya. Dia yang aku lepas takkan bisa kumiliki lagi.
Gerimis di hati mulai menjalar keluar. Aku merasa gemuruh dalam dada menjadi pertanda datangnya hujan lebat di mata. Segera aku lempar hasil kerja menjadi kacung Elrangga ke dalam troli dan gegas berjalan menjauh dari sumber malapetaka.
Ya Allah ya Tuhan. Ternyata aku ini nggak setangguh besi.
***
Bersambung ....
Muba, 6 Maret 2021
Kekampretan Kaza emang sudah bener-bener, yah!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top