[09] Mantan Takkan Menggoyahkan Tekad

[09] Mantan Takkan Menggoyahkan Tekad

Vegas mengantarkan sampai ke apartemen setelah mengajakku membeli bahan-bahan dapur. Semua itu masih teronggok di lantai dekat kursi tamu. Aku berencana akan membereskannya setelah beristirahat sejenak. Vegas bilang dia akan makan siang di sini. Jadi, sebagai wonder mowen sejati aku tahan sakitnya badan saat kami mengelilingi swalayan. Berbelanja dengan cowok cakep sedikit banyak bikin lukaku sembuh. Dan sekarang waktu sendirian di kamar, tubuh terasa kayak habis digilas buldoser. Semuanya sakit.

Siapa lagi itu yang menekan bel? Letih belum hilang dan sendi kaki kayaknya makin bengkak. Mau jalan sungkan. Jangan-jangan Kaza? Batinku berharap, tapi logika menolak. Biar gimana pun, dia sudah tunangannya si Malaikat Serap.

Jalanku makin pincang. Di tengah ruangan dekat kursi, aku diam dulu menunggu sampai nyut-nyutannya berkurang. Berusaha mencapai pintu, aku mengintip monitor kecil. Di luar sana si ganteng Kaza yang datang.

"Buka jangan?"

Ah, peduli apa sama si Malaikat Karbitan! Selama Kaza belum menjabat tangan bapaknya, aku masih dibolehin terima Kaza di apartemen berduaan. Lagian, emang Kaza mau ngapain masuk? Makanan yang dia pesan, tukang ojek yang membawakan.

"Duh, Kushi, eling. Kaza anggep elu rendahan."

Otak berpikir dengan cara yang benar, kerangka bergerak sendiri menarik daun pintu ke dalam. Tampaklah sosok tampan rupawan keturunannya Pak Apan memakai kemeja lengan pendek yang bawah dikeluarkan separuh. Maksudnya, sebelah bagian kanan kemeja masuk ke pinggang celana. Kazasaki Ardhana menunduk. Aku kira dia melihat lantai, teringat kalau aku belum mengepel sejak seminggu yang lalu. Barangkali dia menemukan jejak kotoran tikus di dekat kakiku. Lalu Kaza membungkuk dan beberapa detik kemudian aku menjerit. Kaza menekan kakiku.

"Kalau kaki lo dipotong, baru mau berhenti pakai sepatu yang tumitnya bisa buat mecahin batok kepala?"

"Apa, Za? Kepala gue pusing, nggak bisa dipake mikir yang berat-berat. Straight to the point aja."

Selanjutnya Kaza berdiri menjulang di depanku. Bocah ini kapan tingginya? Baru sadar selama ini dia bertambah belasan senti.

"Lo tahan sakit 'kan?' tanya Kaza. Hell dia yang paling tahu karena Kazasaki Ardhana pasti hafal sama siapa aku berteman.

Dengan jemawa aku menggangguk. Kedua lenganku melebar, menunjukkan bahwa dengan keadaan tubuh seperti ini aku tetap bisa berdiri. "Tunggu, gue duduk bentar. Kaki gue cuma menyut kok, nggak sakit."

Jarak ke kursi bisa aku capai dalam beberapa langkah. Sudah kubilang ini apartemen kecil banget, tapi gerakan tanpa diduga Kaza membuat aku berseru, "Wow!" Saat tubuhku tiba-tiba sudah di gendongannya. Dan aku cepat-cepat berpegangan di lengan bajunya.

Saking sempitnya jarak, aku sudah diturunkan lagi sebelum kembang api dalam kepala meledak. Kaza meluruskan kakiku di sofa panjang dan melihat keadaan korban heels yang katanya bisa dibuat senjata main debus.

"Rencana mau panggil tukang pijat. Tadi lupa. Kayaknya bengkaknya makin parah."

Kazasaki mengangguk. "Udah ditelepon?"

"Nggak punya kenalan."

"Bagus." Kaza mendorong pundakku supaya berbaring lalu dia duduk di bagian ujung dekat kakiku. "Keseleo nggak boleh diurut, nanti malah tambah bengkak. Emang sakitnya bakalan reda karena tubuh ngeluarin zat kayak bius gitu. Setelah itu, bukannya sembuh yang ada makin parah. Mending lo kompres aja atau kayak gini lebih efektif."

"Astagfirullah! Za, kamu mau ngapain?" Tubuhku refleks bangun lagi.

Dengan kuat Kaza mendorong keningku hingga telentang lagi. Kaki yang sakit masih berada di pundak Kaza. Dan yang membuat aku kaget tadi adalah aku memakai rok saat kakiku terangkat. Dan posisi itu membuatku rokku menganga ke arahnya.

"Kaki lo harus lebih tinggi dari jantung untuk mengurangi pembengkakan."

"Tapi bukan seperti ini! Bikin gue malu! Bisa gue taro di sofa. Dan nggak sekarang. Nanti aja waktu tidur gue angkat."

Kazasaki memegang kakiku dan dia empaskan gitu aja ke tempat duduknya. Bersamaan dengan itu dia berdiri dan aku berteriak kesakitan.

"Katanya lo tahan sakit," cibir Kaza dengan nada cuek.

"Cukup hati gue aja yang lo buat sakit, kaki gue jangan!" Aku berteriak.

Kazasaki muncul dengan menenteng belanjaanku. "Jadi, emang lo nggak berniat bisa jalan lagi? Lo pikir diri lo setangguh besi? Makanan bisa lo pesen mau apa aja. Jangan udik! Pakek belanja saat jalan aja udah kayak gajah bunting."

"Lo ngomel, sakit gue makin jadi."

"Halah bawel banget. Sekali-kali dengerin anjuran dokter! Kaki lo belum bisa dipakai jalan. Harus banyak istirahat dengan posisi kayak tadi. Kecuali lo mau lumpuh, udah langgar aja semua saran dokter." Kaza kembali ke tempat duduknya tadi. "Guling!" Tubuhku didorong sampai terlentang kembali.

"Elo kedengeran kayak emak-emak. Oh, iya ada apa ke sini? Disuruh Yuka? Gue udah bilang, bisa panggil Mas Unta. Nah, ini elo persis kakak lo banget."

"Kalau sembuh, masih mau pakai sandal para wanita terkutuk itu lagi?" Kelihatannya Kaza senang sekali memperhatikan perbanku. Kakiku yang disentuh, seluruh tubuhku juga merasa tersentuh.

"Kalau sembuh? Udah pasti sembuh kok. Tentu saja, aku pakai lagi. Heels adalah tiga puluh persen kecantikan wanita. Tanpa heels aku cuma cantik tujuh puluh persen aja."

"Kalau gue bikin nggak sembuh-sembuh gimana?"

Ucapannya lantas membuatku kesal. Kaki yang sehat kugunakan untuk menendang perut anaknya Pak Apan. "Lo dendam banget sih sama gue."

Rokku disingkap Kaza ke paha dalam gerakan kilat. Kaza tingkat kemesumannya udah terasah, biarpun dia nggak suka tapi tidak masalah baginya menurunkan rok mantan. Sialan! Saat aku menendangnya, kain itu makin turun dan aku rasa sebagian besar kulit paha menjadi konsumsi gratis. "Jangan kurang ajar!" Waktu aku mau duduk, Kaza menekan lututku pakai telapak tangannya.

"Habis luka yang ini sembuh, lo nambahin luka lebih banyak lagi." Kaza melirik ke perutku. Dan aku pikir, dia tahu ada bekas tendangan di perut dan pinggangku, juga pundakku. Semua itu kalau bukan tahu dari Yuka, siapa lagi?

"Modus ya, lo? Bilang aja masih sayang, khawatir ama gue. Terus ini, buka-buka rok gue. Eh, kardus! Nyesel kan nolak gue?" Aku duduk sopan dengan rok panjang menutupi mata kaki.

"Umat-umat akhir zaman yang otaknya di dengkul, ya, gini. Telinga dipajang buat hiasan, bukan untuk mendengarkan. Dasar nafsuan!"

"Apaan sih? Udah biasa aku dengar kata-kata nyelekit, udah gak efek lagi sakitnya. Bodo amat kamu ngomong apa. Cuma biar nggak ketahuan masih cinta." Aku senang menggodanya. Untung-untung nyangkut, nggak juga tak apa. Udah ada Vegas yang siap mengesahkan aku ... katanya.

"Lo nggak laporin perempuan itu ke polisi?"

"Rindang?"

Kazasaki mengangkat bahu.

"Iya Rindang, istrinya Arengga. Buat apa gue lapor? Biar babak belur gini, hati aku puas."

"Kebukti kan isi dalam kepala lo cuma sampah, nggak ada otaknya."

Sebuah bantal aku lemparkan ke kepala Kaza. "Sekolah tinggi-tinggi, tapi etika lo makin parah. Iba gue sama Ibuk Siyah punya putra mulutnya kagak lolos verifikasi. Emaknya selembut sutra, anaknya sekasar amplas. Atau cuma ke gue aja lo ngomong nggak pake santun?"

"Kalau sekali lagi gue lihat lo terkapar, bukannya ke rumah sakit, gue bakalan bawa lo ke Bantargebang." Kaza nggak peduli sama kemarahanku.

Otakku memang sempat oleng kena gebuk Rindang, tapi untuk memahami kata-kata Kaza sangat mudah. Dari awal aku sudah berharap dialah yang membawaku ke rumah sakit. Kalau aku tidak sedang berhalusinasi, makna perkataan Kaza sama dengan harapanku.

Terdengar suara bel ketika aku baru mau bicara. Dengan cepat Kaza menemui tamuku. Dia kembali ke kursinya dengan dua kantung plastik putih susu. "Makan malam lo."

"Sesuai sama kata-kata lo tempo hari, gue nggak boleh berharap lagi. Jadi, gue minta jangan kasih perhatian sedikit pun. Sekarang lo pergi!" Aku benar-benar kesal dan melempar Kaza dengan bantal sampai dia pergi. "Udah tau gue baperan, Edan!"

Sama Arengga yang aku nggak cinta, dikasih perhatian sedikit saja aku bisa goyah. Apalagi ini dari anaknya Pak Apan dan Buk Siyah yang belum bisa bikin aku move on. Aku tidak diberikan kesempatan. Dia tidak boleh membuat aku tetap berharap jika nggak mau CLBK. Aku akan melupakan dia, benar-benar menyerah terhadap adiknya Yuka Sierra.

***

Dua hari selepas kepergian Kaza, aku menerima makanan di depan pintu setiap aku mulai kelaparan. Dia nggak datang, hanya memberikan aku makan lewat pesan antar. Tipe seperti ini paling bisa banget menyakiti hati perempuan. Dia nggak mau kita balikan, tapi tetap kasih aku perhatian. Aku mau melepaskan jadi tambah sulit, sedangkan hati ini tidak boleh memupuk harapan. Kalau nggak dibasmi, rasa ini nggak bakalan hilang. Sementara itu, mantan dan pasangannnya sudah hidup bahagia.

Kotak dalam paper bag itu hanya aku perhatikan. Dibuang sayang, dimakan terlarang. Sampai perutku merintih minta asupan, aku jadi tidak punya pilihan. Tanganku baru membuka kotak saat suara bel berbunyi. Kaza lagi?

"Kushi." Vegas yang datang.

Karena aku pikir Kaza, aku nggak mengecek lebih dulu. Tentu saja aku kaget karena kondisiku sedang hancur parah. Aku nggak pakai baju bagus atau dandan. Mandi juga masih aku rencanakan nanti jam lima sore.

"Kush ... Gue ke kantor El dan lo nggak ada. Lo sakit kenapa nggak bilang sama gue waktu itu?"

Sekarang sudah tidak terlalu terasa. Penyembuhan berjalan cepat, yang tertinggal magernya saja. Rencananya besok aku sudah masuk kerja. Hari bermalas-malasan plus menunda mandi pun jadi petaka besar. Vegas yang tampan menyaksikan keburukanku. Buruk yang sebenarnya buruk.

"Karena nggak perlu juga lo tahu. Cuma keseleo doang, patah tulang aja gue pernah. Masih hidup nih buktinya."

"Kita harus nikah biar gue bisa jaga lo kalau sakit."

Mukaku terasa hangat. Cocok banget namanya Vegas. Hobinya main gas. Bercandanya bikin anak perawan melambung tinggi. Asalkan jangan diturunkan lagi seperti pegas.

"Sudah makan?" tanyanya, kemudian melirik ke meja kecil tempat aku meletakkan makanan dari Kaza. "Itu apa?"

"Makan siang, tapi karena lo di sini, gue mau masak. Bahan-bahan yang kemarin sudah gue susun di lemari pendingin."

"Gue aja. Lo duduk manis tunggu gue selesai."

Aku menggeleng, membuka pintu kulkas, mengira-ngira sebaiknya membuatkan Vegas makanan apa. "Mau udang?" tanyaku.

Vegas mengiyakan. "Gue lihat Kaza di bawah."

Gerakanku mengeluarkan kotak dari freezer terhenti. "Terus?" Aku meletakkan udang beku ke bawah air mengalir.

"Gue tanya apa dia mau ke sini, mau gue ajak bareng. Katanya dia tinggal di gedung ini juga."

Aku hanya bergumam sambil memasukkan udang ke wadah plastik dan merendamnya.

"Gue bisa bikin hati lo lepas dari Kazasaki. Gue nggak akan digagalkan lagi oleh anaknya Pak Apan dan Buk Siyah."

"Maksud lo apa, Gas? Sejujurnya kepala gue habis kena gempur. Gue jadi susah nyerna ucapan lo."

"Gue datang buat elo. Yuka sudah cerita sama gue. Dan gue yakin, adeknya Yuka masih suka bikin lo gamang kan? Gue bisa kasih lo kepastian. Lo mau keseriusan? Kalau gitu, tujuan kita sama."

"Beneran?"

"Tentu. Satu yang harus lo paham, gue nggak mudah jatuh cinta. Sekalinya cinta, gue nggak mudah lupa. Lo akan jadi yang selanjutnya."

"Serius?"

"Gue udah cari ke mana-mana, kabur jauh-jauh untuk ngelupain anaknya Pak Apan. Akhirnya berhasil saat dia nawarin temennya sendiri. Orang yang kasusnya sama kayak gue, berusaha ngelupain anaknya Pak Apan juga. Kita satu tujuan, benar?" Vegas mengulurkan tangan kanan.

"Beneran bisa bikin gue lupain Kaza?"

"Mau coba?"

Vegas membuatku mundur sampai bagian belakang menyentuh keramik. Di sana tanganku berpegangan saat wajahnya teramat dekat hanya beberapa senti dari wajahku.

"Gas, gue bau udang. Sebaiknya lo jangan terlalu dekat."

Dan my God! Aku belum sikat gigi! Aduh, pasti sebentar lagi Vegas pingsan karena aroma mulutku. Pada akhirnya aku mengunci bibirku rapat-rapat. Aku juga tidak bisa menggunakan tanganku untuk membuat Vegas menyingkir karena dia pasti akan terkena bau amis. Langkah terakhir yang dapat kupikirkan adalah jalan miring kayak kepiting.

"Vegas. Posisi kayak gini meresahkan jantung gue!" keluhku karena Vegas mengurungku dengan kedua tangannya. Aku bicara sambil menunduk, nggak berani menghadap Vegas dengan risiko lebih malu lagi.

Adakah yang bisa mendeskripsikan kondisi yang aku alami? Si tampan yang wangi ini mungkin hidungnya tersumbat sehingga tak keberatan berada sangat dekat denganku. Sudah nggak mandi, bau udang pula. Ya Tuhan. Vegas kenapa nggak kasih tahu dulu kalau mau datang?

Tangannya yang besar menyentuh daguku saat mata kami saling menatap. Aku seperti patung yang tersihir oleh aroma tubuhnya. Hidung Vegas menyentuh ujung hidungku. Kemudian ia bergerak perlahan menempelkan bibirnya ke bibirku.

Sejujurnya, aku ingin mendorong. Namun, ini terlalu sayang dilewatkan ketika bibir Vegas menekan bibirku, menghisap bibir bawah dan atas bergantian secara perlahan. Kapan terakhir kali aku berciuman? Mantanku tidak kubiarkan melakukannya selain Kaza. Jangan tanyakan hubungan flat dengan Arengga. Status menikah, tapi kami cuma berpegangan tangan sampai bercerai.

"Ini gue Vegas. Pikiran lo tidak boleh ke mana-mana."

Vegas benar. Aku dilarang mengingat pria lain dan untuk itulah Vegas datang memperdalam ciuman. Aku kehilangan tulang atau mungkin tubuhku menjadi kapas. Terbang ternyata nggak perlu naik pesawat atau gilanya bikin sayap. Begini saja, dengan saling menautkan bibir aku merasa sedang melayang tinggi sekali. Kurasakan pinggangku ditarik, menempel ke tubuh Vegas.

Sepertinya kalau ingin menyicil calon anak lebih dulu, bukan di dapur tempatnya. Tautan itu terlepas seakan Vegas mengerti apa yang aku pikirkan. Bibirnya masih berada di depan bibirku dengan jemari mengusap bibirku yang baru dia santap.

"Untuk permulaan segini cukup. Kita cocok." Suaranya berbisik.

"Kita jadian?"

Vegas akhirnya berdiri lebih jauh. "Apa pun. Terserah lo mau menyebutnya apa."

"Coba dulu." Aku memutuskan.

Kami korban anaknya Pak Apan, kurasa itu bisa jadi alasan untuk berjuang bareng. Sama-sama ingin membina hubungan yang serius. Omong-omong tentang hubungan serius, aku teringat lagi dengan umur. Lima bulan lagi aku akan kepala tiga. Baiklah, aku memang harus memulainya dengan Vegas. Dia sesuai yang Yuka katakan, calon suami potensial. Selain tampan, Vegas jago ciuman. Aku bisa mengandalkan dia sebagai calon bapak anak-anakku. Cepat atau lambat Kaza bisa tergantikan.

*** 

bersambung ...

Muba, 3 Maret 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top