[08] Jodoh Baru, Sasaran Perburuan Bibit Unggul

[08] Jodoh Baru, Sasaran Perburuan Bibit Unggul

"Super sekali, Nona! Kayak nggak ada gawean aja gue harus nungguin lo kayak gini. Habis ini alasan apa lagi? Mending lu pindahan deh ke rumah sakit. Bawa semua baju ama barang-barang lo sekalian."

Begitu tahu posisiku lagi-lagi berada di rumah sakit, Yuka orang pertama yang aku lihat. Mulutnya nggak berhenti ngocehin aku dari tadi. Sakit di sekujur tubuh membuat sesumbarku mengenai kekuatan fisik jadi bualan belaka. Kayaknya badanku memar semua dan mungkin bentukannya udah kayak nangka busuk. Namun, semua itu tidak membuat Yuka prihatin, justru omelannya semakin berapi-api.

Istrinya Elrangga itu berlipat tangan di sebelah ranjang. Memakai baju berbahan siffon tanpa lengan sepanjang paha dan rok selutut, Yuka persis emak-emak. Rambut sebahu dan poni yang tak pernah dibiarkan panjang. Yuka memulas bibirnya dengan warna tidak mencolok. Kalung perak menjuntai hingga dada.

Yuka kayak nggak nyangka aku tewas akibat bertempur dengan orang yang nyebut aku madu rasa empedu. "Kalau Hangga, gue maklum masih suka adu jotos, ini elo, Kushi! Tua bangka nggak tahu diri!" Keningnya ditepuk menggunakan telapak tangan dan kepala menggeleng-geleng.

Sebelumnya, aku berdeham untuk mengetes suara. "Gue merasa balik jadi anak kecil dan lo emaknya." Waktu kucoba tersenyum, rahang terasa sakit sekali. Aku hanya bisa melebarkan bibir tipis tanpa kelihatan gigi.

Yuka memukul bibirku nggak terlalu kencang. Senyum yang aku usahakan sia-sia, nggak dianggap sama sekali oleh mantan Jakula itu.

Alih topik lebih enak. Lagian aku penasaran dengan cerita semalam. "Gimana acaranya mantan gue, Ka? Batal?" tanyaku berharap sambil meringis susah gerakin rahang. Pipiku nyeri semua saat bicara.

Yuka duduk di sebelahku sambil mengupas jeruk. Kukira untuk aku. Buah itu dia makan sendirian. Begitu tinggal separuh, dia baru mau bicara. "Lancar. Lah acara kecil-kecilan kok."

"Betul juga."

"Kus, sorry gue nggak bisa nemenin elu."

"Oh iya mau pulang kan lo. Nggak usah nggak enak, gue punya Mas Sultan dan orang tua. Lo nggak usah khawatir. Ini juga nggak membatasi gerak gue," tunjukku pada muka yang ada jejak kekerasan. Rusuk yang sakit besok mungkin sembuh. Segini mah enteng bagiku yang bertahun-tahun disadisi sama Yuka.

"Gua punya ide deh, Kus. Mau dengar kagak? Penting banget buat elo, gue maunya lo terima ide ini."

"Loh maksa."

"Demi kebaikan elu, Iyem! Posisinya gue memang ngerasa jadi tetua lu di sini. Kalau lihat nasib lo gini, apes mulu, gue mau nyariin gantinya Kaza. Nggak apa-apa deh bukan jadi ipar gue, seneng malah nggak lihat lo jadi mantu ibuk gue. Tapi gue ada jodoh paling potensial daripada si Upil."

Tangan yang bebas jarum aku gerakkan ke kepala, menyelipkan rambut ke telinga. Sekalian menekan bagian pelipis. Pusing belum hilang sepenuhnya. Rindang pasti puas banget bikin aku babak belur. Awas kalau sampai Arengga tahu! Apa pun alasannya, nggak benar bikin anak orang masuk UGD.

"Gue kenal?" Kembali ke Yuka yang mau ngenalin sama calon potensial versi dia.

Oke, aku percaya saja apa yang menurut Yuka bagus. Dia dapat suami yang baik. Minus pernah ngehamilin gadis lain sebelum menikah. Percaya nggak percaya, dahulu bosku jahiliyah juga. Makanya Kaza menjadi sekuriti buat mereka berdua agar Yuka aman dari godaan setan yang terkutuk yang terdapat di dalam dirinya dan diri Elrangga. Keseluruhan, Elrangga adalah 'suamiable' banget. Dewasa buat Yuka yang pecicilan.

"Om Pegas! Inget nggak lo?"

Meski otakku sedikit memar akibat hantaman Rindang, aku mampu membayangkan wajah pria yang Yuka sebutkan. Ganteng banget dan sopan. Masa masih jomlo?

"Om Vegas, Kus, sahabatnya Elang dari kuliah. Ah, gali lagi ingatan lo! Dia ini udah jarang ke rumah, tapi kalau di acara keluarga gue selalu datang. Sunatan Hangga kemarin dia ada. Eh, ya bawa cewek sih, tapi gue yakin cuma disewa biar nggak keliatan ngenes kayak lo."

"Gue bingung, Ka."

Yuka memberengut. Barangkali tak terima karena lagi-lagi idenya disepelekan. Dan ini keajaiban saat tangan Yuka nggak mampir ke tubuhku.

"Gue tahu kok sama Vegas. Gimana bisa lupa sama makhluk indah ciptaan Tuhan. Yang bikin gue berat ... kalau gue terima kok kayak murahan banget. Nggak gue terima, sapa tahu dia jodoh gue?"

Nah, akhirnya rambutku dijambak Yuka. Jambak sedikit untuk pasien sakit.

***

Apartemen kecil yang aku bayar pakai gaji dari kantor Dovan Elrangga terbilang kecil, cuma punya satu kamar, dapur, kamar mandi, dan ruang tamu. Sisa uang aku belikan pakaian dan tabungan perhiasan untuk masa depan, tak lupa make up yang bikin aku selalu bisa glow up. Enggak bisa dihindari sebagai sekretaris aku mesti tampil prima. Biarpun body sudah bohay (Yuka bilang begitu), tapi kalau rambut dan muka dibiarkan kusam, nggak ada yang mau ngeliat aku. Lagian selain untuk pekerjaan, aku ingin menarik para jantan terbaik supaya mau menjadi calon bapak buat anak-anakku. Kayak sekarang, walaupun jejak kekerasan Rindang masih ada, mukaku disolek sekian rupa agar tampil rupawan. Kata Yuka, Vegas sedang dalam perjalanan ke apartemen. Aku tahu betapa gagahnya dia, semoga masih begitu. Di usia kepala tiga, tentunya banyak pria berubah buncit. Jangan sampai Vegas yang mirip Aaron Yan berbentuk seperti itu karena aku auto ngeblok dia dari calon suami.

Badanku masih agak sakit, tapi aku sudah dibolehin pulang. Rumah sakit nggak nyaman jika tidak ada yang menemani. Begitu Yuka berangkat ke Pekanbaru, aku tidak menelepon Unta apalagi emak dan bapak. Sendirian aku mengurus administrasi dan pulang. Baru tadi malam aku bisa tidur di kasur sendiri.

Bel berbunyi. Aku mengamati diri di depan cermin besar di kamar. Kurasa sudah pantas menerima tamu. Rambut panjang digelung rapi, biar bau yang diakibatkan belum keramas enggak kecium banget. Muka tidak kelihatan mengenaskan berkat bantuan kosmetik. Perut sama pundak yang biru-biru takkan ketahuan. Kaki keseleo yang diperban aku tutup dengan rok panjang. Agak tertatih aku membuka pintu.

"Assalamua'alaikum, Kushi."

Pemuda itu membawa buket bunga langsung diserahkan kepadaku. Suara salamnya sampai lupa kujawab akibat terpesona sama kesopanannya.

"Waalaikum salam, Abang Yan."

Wangi tubuh Vegas langsung menyerbu ke hidungku. Senyumannya yang sangat memikat bikin aku jadi enggak percaya diri. Apa iya modelan seperti ini masih jomlo? Yuka pasti bohong.

"Yan?"

Aku menyengir salah tingkah. Abang Yan maksudnya, Aaron Yan, dong. Wajahnya masih setampan aktor Taiwan itu.

"Vegas, ayo silakan masuk."

"Baguslah lu nggak ngikut cara panggil Yuka ke gue." Vegas berjalan di belakangku.

"Kenapa sama kaki lo, sakit?" Rupanya dia melihat cara jalanku yang pincang. Padahal aku sudah berjalan senormal mungkin. Tapi tiap melangkah, rusuk masih perih sedikit.

"Oh nggak apa-apa." Aku tersenyum manis biar penilaian Vegas terhadapku di atas sembilan puluh persen. "Terima kasih bunganya."

"Gue juga terima kasih lo suka."

Senyumku bersemi. Dibawakan bunga oleh mantan dedemenan mah sudah pasti kuterima dengan bahagia. "Sebentar gue siapin minuman."

Baru tiga langkah berjalan, tanganku ditarik. "Kenapa?"

Vegas berdiri di sebelah. "Beneran lo nggak kenapa-kenapa? Jalan lo aneh gitu. Kalau lagi sakit, istirahat. Gue juga yang salah, harusnya tadi tanya dulu lo bisa terima tamu atau enggak."

Aku menggeleng. Rugi banyak menolak kedatangan tamu bening kayak dia. Dulu Vegas nggak pernah menganggap aku. Yang ada di mata dia cuma Yuka. Jadi, mendapat perhatian seperti ini dari dia, lumpuh pun aku bisa berdiri.

"Udah lo duduk aja." Aku ingin menyediakan minuman dan camilan yang aku order khusus untuk Vegas. Sudah sesiap itu aku menjamu dia. Masa dia bilang mau ditunda?

"Selama ini di mana, Gas? Sampai lupa gue lo eksis di dunia ini."

"Ngurus cabang FBelline di Padang. Dan lo sekretarisnya El, ya?"

"Yuka cerita apa aja?" Yah, Vegas tidak mungkin mendapatkan info tentang aku dari Elrangga. Siapa lagi kalau bukan Yuka. Dan agaknya aku mau tahu gimana cara Yuka membicarakan aku kepada Vegas.

"Perlu gue kasih tahu?" Vegas tersenyum asimetris. Auanya menghantam sudut jantungku.

Jangan-jangan segala kekurangan aku disebut?

"Dia cerita kalau gue janda?"

Vegas memiringkan kepalanya dengan mata menyipit.

"Lo nikah sama Kaza?"

Kepalaku mendadak gatal. Kepalang basah, aku juga nggak mungkin menyimpan rahasia kalau ingin memulai suatu hubungan yang baik. Lagian ini Vegas. Aku sudah mengenalnya tujuh tahun yang lalu.

"Ya bukan. Kalau lo mau ketawa, lanjut deh. Gue tunggu sampai selesai."

"Sorry."

"Gas, minum dulu. Kuenya dimakan."

Tak mau membahas lebih lanjut, aku memikirkan obrolan paling aman. Aku ingin bercerita supaya kesan pertama tidak kelihatan menyembunyikan sesuatu. Akan tetapi, apa yang akan Vegas pikir kalau aku terlalu terbuka?

"Gue mau ngajak makan di luar. Udah lama 'kan kita nggak ketemu. Ngobrol di tempat terbuka kayaknya seru. Gue ingat dulu kita terpaksa kehausan karena nungguin El sama Yuka memadu cinta mereka. Gibahin mereka pasti seru."

Saat itu aku masih kesengsem sama Vegas. Jadi, cerita berdua di taman merupakan suatu hadiah. Kalau bukan dalam keadaan melarikan diri, Vegas nggak akan mau jalan dengan aku. Dia menyimpan perasaannya buat Yuka, meski gadis itu tergila-gila kepada Elrangga.

"Boleh. Lo nunggu gue siap-siap sebentar nggak apa 'kan?"

Aku sudah rapi, hanya butuh memastikan segalanya masih sempurna. Jangan sampai Vegas berhenti hanya dalam sekali pertemuan. Usaha mencari suami belum aku kerahkan seratus persen. Baru dimulai.

Tenang saja. Kalau mata sudah oke, hati bisa menyusul. Cinta akan tumbuh setelah menjalani pendekatan. Apalagi calonnya seperti Vegas. Aku beruntung punya Yuka sebagai sahabat yang stok prianya unggul-unggul.

Sengaja aku pilih sandal jepit yang nyaman, walaupun tinggiku dan Vegas jadi sangat jomplang. Kaki yang terkilir kayaknya butuh aku bawa ke tukang urut sepulangnya Vegas nanti. Vegas jangan sampai tahu kalau tubuhku sebenarnya cuma ingin ditidurkan.

"Yakin lo nggak apa-apa, Kus. Keringet lo banyak."

Kami tiba di dekat mobilnya Vegas. Dia membukakan pintu, sehingga bisa melihat mukaku dengan jelas. Kelihatannya fisikku melawan. Sekarang aku cuma mengandalkan tekad. Nggak mungkin aku pakai tongkat saat jalan dengan pria yang dilihat dari samping saja bikin dada kena efek kejut apalagi batal jalan.

Aku naik ke mobil sambil menggeleng. Tak lupa bilang terima kasih sudah dibukain pintu. Jarang-jarang Vegas memperlakukan aku seperti wanita dewasa, walaupun usiaku kata Yuka sudah kadaluarsa bukan lagi dewasa.

"Berapa lama di sini?" Aku bertanya dalam perjalanan untuk membunuh kekosongan.

"Lama."

Habis itu Vegas sepertinya lebih suka diam. Aku begitu, sedang mengenal 'cara' Vegas. Kalau dia jawabnya agak panjang, aku akan lanjut bicara. Nah, ini hanya satu kata. Aku nggak mau merusak kesan rapi yang sudah kubuat.

Pondok ikan bakar sekitar lima kilo dari apartemen. Tempatnya bersih dan nyaman. Ada meja untuk ramai-ramai juga ada yang khusus berdua. Aku memilih yang berdua kebetulan dekat dengan jendela yang menghadap taman kecil berair mancur. Begitu didudukkan, nyut-nyutan pada sendi kakiku sedikit berkurang.

Kami memesan ikan gurame bakar dengan sambal ijo. Aku mengambil sedikit saja nasinya. Sepertinya Vegas orang yang makan dengan tertib karena selama makan, dia hanya fokus sama nasi. Begitu selesai, Vegas menungguku sambil memainkan ponsel.

"Gue nggak suka basa-basi." Vegas meletakkan telepon pintar di meja.

Aku menelan ludah. Masih terasa pedasnya sambal di lidahku. Melihat pembawaan Vegas yang berbeda dengan yang di apartemen tadi, aku jadi gugup. Kira-kira Vegas mau bicara apa kok kesannya jadi horor gini?

"Yuka bilang lo lagi cari suami, gue bersedia mencalonkan diri."

Mati.

***

bersambung ...

Muba, 1 Maret 2021

Tuh ada si Abang Yan dong... Yang mau baca-baca, Status Gantung ada versi lengkap di Dreame (Innovel), tapi pakek koin. 🙏 Semua tokoh cerita ini ada di sana. 😆

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top