[05] Mantan Suami Sering Bikin Khilaf

[05] Mantan Suami Sering Bikin Khilaf

Elrangga masuk ke ruangan usai rapat santai dengan klien. Aku menempati posisiku di kubikel luar ruangan bos bersama karyawan yang lain. Perusahaan ini dipercaya menyediakan seluruh furniture untuk gedung baru sang pemilik. Selain itu akan ada satu kali pertemuan lagi untuk membahas desain interiornya. Seperti tahu saja bahwa aku sudah bisa melihat hape, benda itu menyala dan menimbulkan getaran ringan.

Bocah Devanda ada apa telepon di jam pelajaran?

"Te, jemput aku sekarang!"

Dari nadanya itu sebuah perintah kan? Hangga anak SD kelas dua, apa enggak diajarin etika bertelepon?

"Ada apa, Hangga? Tante Uci lagi di kantor."

"Te ...." Nadanya menurun. Itu bukan Hangga yang biasa. Hangga enggak pernah dan nggak akan memelas. Anak nakal itu lebih sering maksa orang, dibanding mengiba. Ya Allah ya Tuhan, ada apa dengan keponakan aku?

"Hangga. Kamu di mana? Tante bilang apa nih sama Ayah kamu?"

"Datang sendiri aja. Ayah sama Ibu Yuka jangan dikasih tahu. Te ... bisa cepetan datangnya?"

"Share lokasi. Tante menuju ke sana."

Si Hangga anak nakal suka mencuri uang, tapi jangan dikira dia kekurangan uang. Hangga juga jail banget persis emaknya. Plek ketiplek. Dari bisa jalan sendiri, Hangga sering bikin ulah. Sebelum sekolah dia pernah masukin kotoran ayam ke tas ibu-ibu di taman. Waktu TK dia nuker isi bahkan ngebuang isi kotak makanan teman-temannya. Waktu kelas satu Hangga ngumpulin uang dari tas teman-temannya dalam tong sampah.

Apa tujuan dia melakukan itu, nggak ada yang tahu. Menurutku, hanya hobi yang menyenangkan pas lihat wajah orang cemas. Hangga enggak takut dimarahi. Dia tidak mempan dibentak atau diancam. Hangga terus melakukan kenakalan yang bikin orang-orang sekeliling dia resah.

Lokasinya ada di sekolah. Aku pikir itu di kantor. Namun, waktu aku sampai, tidak ada yang tahu di mana Hangga. Aku mengirimkan chat minta detail tempat Hangga sekarang.

Gudang.

Ya Allah ya Tuhan. Keponakanku dikurung di gudang? Aku bergegas mencapai pojok sekolahan. Kebetulan jam sebelas, siswa sedang belajar di kelas. Dari masuk gerbang aku mencari anak berseragam putih merah dan tidak melihat satu pun. Kini kakiku sampai di depan pintu kayu yang kokoh. Apa di sini aku bisa nemuin anak berseragam SD yang kucari?

Ya Allah ya Tuhan. Hangga jangan sampai aku ketemu kamunya di sini. Pintu itu hanya dikaitkan ke tempat gembok. Yang memasukkan Hangga ke sini pasti mikir sebuah keberuntunganlah yang bisa ngeluarin Hangga sebelum dia sendiri yang melepaskan Hangga. Begitu kaitan lepas, pintu kudorong, dan debu menari-nari di bawah cahaya matahari yang tembus dari celah jendela. Gaya hidup baru bikin pernapasan bebas dari debu. Tetap aja, sih, mataku sedikit perih.

Harapanku kandas. Anak kecil tampan yang baru disunat sedang duduk dengan kaki terbuka di lantai. Dia ngangkang gitu apa karena burungnya belum sembuh benar? Anak itu menunduk, mencoret-coret lantai pakai telunjuk. Hangga ... air mataku luruh tanpa aku sadari. Keadaan dia ngenes banget. Melihat bajunya kena darah, tulang pipinya ungu, dan banyak gores. Siapa yang tega sama ponakan aku?

Aku bersimpuh di depannya, memegang pundaknya. "Hangga siapa yang ngelakuin ini?"

Hangga melihatku sebentar lalu noleh ke tempat lain sambil ngusap luka di pipinya.

"Hangga Devanda! Siapa yang udah mukulin kamu sampai seperti ini!"

"Tante Uci ... Hangga laper usai berkelahi. Pulang, yuk, ke rumah Tante Uci."

Aku meninju-ninju dada sendiri, menahan perihnya perasaan melihat keadaan Hangga. Tanpa mendengar protesan mulut cerewetnya, aku berdiri dengan lutut di depan Hangga, memeluknya ke perutku seperti yang sering dia lakuin.

"Luka di itunya belum sembuh?" tanyaku penasaran.

Hangga mengangguk.

"Kenapa masuk sekolah kalau belum sembuh?" Bentakanku cuma pengalihan biar suaraku yang bergetar kalah. Sumpah, aku khawatir banget sama ini bocah.

"Udah lama nggak sekolah. Kangen."

Ya Allah ya Tuhan. Dan barangkali dia juga kangen jailin kawannya sampai ada yang balas kayak gini. Aku merapikan rambut Hangga. Anak ini sangat tampan. Sangat baik, walau sering nakal.

"Kita makan dulu terus ke rumah sakit, ya. Luka kamu harus kita obat biar lekas pulih."

"Jangan kasih tahu siapa-siapa. Janji?" Hangga meminta penegasan dengan kelingking.

"Nggak kasih tau siapa-siapa." Aku membalas salam kelingking itu.

***

"Hangga udah tidur?" Dia langsung kusuruh istirahat sepulang kami ke apartemen. Dan sampai malam ini Hangga masih di kamar. Tadinya aku kira itu pengaruh obat yang dia minum. Khawatir mulai timbul lagi.

Hangga enggak gunci pintu. Dia masih tidur dengan selimut menutupi seluruh tubuh.

"Te janji, ya, nggak kasih tau Ibu Yuka, Ayah, sama Om Kaza. Kalau mereka tau Hangga kelahi lagi, aku nggak mau kenalan lagi dengan Tante Uci. Kita berhenti jadi best friend. Aku berhenti doain Tante Uci sama Om Kaza. Dan Hangga berhenti jadi keponakannya Tante Uci. Hangga gak mau dipindahin ke Pekanbaru tinggal sama Nenek Kakek. Hangga nggak mau di sana nggak keren."

Yah ancaman Yuka berhasil. Hangga sangat takut setelah melanggar janjinya untuk tidak berkelahi. Karena janji itu, aku jadi bohong sama orang tua bocah ini.

"Makanya punya anak sendiri biar nggak kesepian."

Yuka enggak sampai mengendus kebohonganku. Sama Bang El my boss, aku kirim pesan kalau badanku meriang akibat datang bulan. Lalu sepulang rumah sakit, aku chat lagi, meminjam anaknya untuk kawan.

Hangga mengerang. Aku menyibak selimut cepat-cepat. Panas badannya sangat tinggi. Tubuh Hangga terlalu berat jika harus aku gendong. Bagaimana caranya bawa Hangga turun lalu naik taksi? Waktu semakin tipis, aku tak bisa memikirkan solusi apa pun. Sementara Hangga, makin sering ngeluarin suara-suara. Ya Allah ya Tuhan. Apa aku menelepon Bang El? Kaza? Enggak boleh. Aku sudah janji sama Hangga. Ini darurat, Uci!

Ah, Arengga.

Tidak lama dari mengakhiri telepon, Arengga muncul di depan pintu. Langsung aku tuntun ke kamar dan dia segera bawa Hangga. Kami tiba di rumah sakit terdekat dalam dua puluh menit.

"Kenapa tubuhnya luka-luka?" tanya Arengga begitu Hangga selesai ditangani.

Aku menggeleng, belum sempat mendengarnya dari Hangga. "Aku yakin ini ulah teman yang sakit hati sama dia."

"Teman seperti apa yang bikin wajahnya babak belur dan perutnya memar? Logikanya tenaga anak kecil tidak akan sampai menyebabkan tubuh sebesar dia sampai biru-biru. Kecuali ini dilakukan satu orang dewasa atau anak SD dalam jumlah lebih dari dua orang. Satu memegang dia, lainnya melakukan kekerasan fisik. Bagaimana dengan orang tua anak ini? Sudah diberitahu? Kasus ini bisa diusut dan siapa pun pelaku kekerasan wajib bertanggung jawab."

"Besok aku ke sekolahnya buat mengusut. Oh ya Tuhan, terima kasih, Arengga. Maaf banget aku bikin kamu repot dengan mengambil waktu kamu. Aku akan membalasnya suatu hari. Terima kasih banyak sudah menolong kami."

Arengga meremas pundakku, bikin aku menoleh ke tempat dia berdiri.

"Saya siap bantu kamu kalau kamu butuh, Kushi. Panggil saja jika kamu memerlukan saya. Buang rasa sungkan kamu. Sekarang kamu sebaiknya pulang, saya yang akan menjaga anak ini."

"Tidak, Arengga. Aku nggak bisa ninggalin Hangga. Bisa nggak dia dibawa pulang saja? Aku takut dia enggak nyaman di rumah sakit."

"Panasnya belum turun dan kita belum melihat hasil rontgen."

Tangan Hangga dingin banget. Oh, my tampan. "Hangga enggak apa-apa kan? Dia baru sunat. Belum jadi remaja paling tampan sekomplek. Belum bantu aku dapatkan omnya."

"Te Uci." Bocah nakal kesayangan aku bangun.

"Devanda Bocah, ponakannya Tante Uci! Gimana perasaan kamu? Panas? Dingin? Sakit? Di mana yang sakit? Tante Uci pijat, ya?"

"Hangga haus." Suaranya serak.

"Arengga, Hangga boleh minum?"

Arengga mengangguk.

"Te Uci nggak bilang apa-apa kan sama Ibu Yuka, Ayah, dan Om Kaza?"

"Tante mau sekali ngasih tau mereka. Ibu Yuka pasti sedih, tau anaknya sakit dan dia nggak ada di sini. Ayah apalagi, Tante Uci bisa dipecat, Hangga. Om Kaza makin benci sama Tante Uci."

"Tante nggak sayang sama Hangga, ya? Nggak rela nolongin aku."

Arengga memotong pembicaraan. Aku sampai lupa ada tukang ceramah, si raja detail, di sini. "Orang tua kamu harus tahu, Hangga. Jujur sama mereka supaya kita semua bisa mencari orang yang telah menganiaya kamu. Kasus ini melanggar undang-undang perlindungan anak. Orang tua kamu bisa melaporkan pelakunya."

"Om ini siapa?" Hangga bukan anak penakut. Semua orang dia lawan, tapi melihat Arengga ada kilat cemas di mata Hangga.

"Ini Om Arengga. Hangga bilang terima kasih sama Om Arengga, sudah bantu kita ke rumah sakit."

"Omnya bisa bantu Hangga pulang ke apartemennya Tante Uci juga? Kalau bisa, Hangga akan berterima kasih."

Hangga dibolehin pulang paginya. Semalam Arengga aku paksa ninggalin kami. Demam Hangga sudah turun, tinggal lemasnya. Pas siap-siap keluar, Arengga ada di ruangan Hangga. Dia membantu Hangga sampai ke mobilnya. Aku minta izin lagi sama Elrangga dengan alasan yang sama.

Sesampai di apartemen, Arengga duduk di ruangan tengah. Hangga berbaring di ranjangku di kamar. Dan aku lagi membuatkan Arengga minuman waktu Yuka telepon.

"Hangga mana? Kenapa hapenya dimatiin?" Tanpa salam langsung nyerocos kayak peluit kereta.

"Eeh, kayak lo kaga kenal anak lo. Masih tidur noh di dalem."

"Anak gue lo kasih makan atau enggak? Kalau sampai balik-balik Devanda gue kurus, nenen lo gue kempesin juga. Lihat aja lo!"

Tanganku refleks melindungi aset berharga. Sungguh, aku nggak bisa bayangin kalau di depanku sekarang ada Yuka. Dia pasti langsung merealisasikan ancamannya. Pasti!

Aku mengusap-ngusap dada. "Eeh, berani lo ancem gue, gue ancam balik!" Untung Yuka jauh, aku jadi nggak perlu waspada.

"Apaan?" bentak Yuka, pasti sangat geram enggak bisa menjambak rambutku.

"Gue dukunin si Hangga biar nggak mau pulang, sekalian omnya juga!" Ide brilian. Kaza kalau nggak mau nerima aku, kita main halus.

"Tunggu tunggu! Elang bilang lo lagi sakit. Suara lo nggak ada tanda-tanda orang lemah kayak mau mati."

Aku batuk-batuk. "Gue sengaja ngikutin suara keras elo, refleks. Tuh nggak sadar sampe perut gue keram. Sakit banget. Udahan dulu, Ka, gue mau merem sebentar."

Aku mengirimkan Yuka pesan.

Alangkah baiknya lo kasih alamat dan nomor apartemen Kaza, sekalian kode keamanan pintunya. Nyenengin sahabat yang lagi sakit bakalan ngehapus dosa-dosa lo terhadap gue. Ditambah pinjaman anak. Jangan ada pikiran ingin jenguk gue! Gue mau punya quality time sama ponakan gue. Ngerasain jadi ibu yang dijaga anaknya waktu sakit.

Yuka

Lantai 14 nomor 206 apartemen yang sama dengan elo! Password-nya tanggal masuk SMA-nya Kaza.

"Sumpah lo baik banget kadang-kadang!"

Segera aku selesaikan seduhan kopi dan membawanya pada Arengga. Tidak tahu untuk keberapa kali aku bilang terima kasih. Arengga sangat bisa diandalkan. Bisa aja aku turuti apa yang dia katakan kemarin, panggil dia kalau butuh bantuan, tapi tidak sampai hati aku merebut dia dari istrinya.

"Mas." Lama enggak manggil dia pake embel-embel, ternyata kedengaran syahdu banget.

Aku meletakkan kopi di meja dekat Arengga. "Kayaknya aku mau kamu stop sampai sini bantuin aku. Semalam salah aku. Aku panik jadi nggak bisa mikir lagi dan satu-satunya yang aku hubungin adalah kamu."

"Kalau itu mau kamu." Santai Arengga menikmati kopinya. "Apa pun yang kamu inginkan, Kushi."

"Maaaas. Aku nggak enak dong kalau kamu ngomong begini. Kamu kok baik banget? Nolak dikit kenapa sih? Huh! Kenapa sih kamu sudah punya istri? Aku jadi susah relain kamu."

"Maaf kalau status saya mengganggu kamu."

Aku memukul bahunya, sumpah gemas dengan pria ini. "Tauk aah. Aku mau cari suami lagi, Mas. Hem dia omnya Hangga. Dan dia mantan pacar aku dulu. Aku mau fokus ke dia. Makanya kamu jangan muncul dulu biar aku konsisten usahanya."

Arengga menatapku. Ya Allah ya Tuhanku. Aku sampai merinding. Cakep bener deh lakinya orang.

"Bantu aku dong, Mas. Jangan bikin aku putar arah dan jadinya ngejar kamu. Dosa aku aja sudah nggak kehitung tau selain ngerebut suami orang."

Kedua bibir Arengga merekah dengan senyum manis andalannya.

"Iya, saya bantu doa."

"Maaas!" Tuhan, aku sayang sama pria ini. Bolehkan?

Aku memeluknya dan Tuhan, biarin sejenak aku lupa kalau ini perbuatan yang salah. Anggap dia kakakku yang lain untuk sebentar saja, kembaran Unta.

"Tante Uci!!!"

Aku langsung menjauh dari Arengga. "Maaf, Mas, kamu pulang aja, ya. Please. Jangan bikin aku khilaf terus-terusan!"

***

bersambung ...

Muba, 23 Februari 2021 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top