[03] Hey, Mantan! Nikah, Yuk!
[03] Hey, Mantan! Nikah, Yuk!
Punggung Kaza semakin menjauh. Tanganku terulur ke depan ingin memanggil. Tidak ada suara yang keluar dari tenggorokanku. Berdeham, aku menyebut nama Kaza dengan pelan. Bisa! Sedikit keras. Berhasil. Aku pun berteriak ketika sosok yang mirip Kazasaki hampir hilang di pengkolan gang. Napasku tersengal ketika mengeluarkan teriakan terakhir.
Tiba-tiba pipiku dijalari rasa perih. Mengusap bekas tamparan dan menebak itu pasti dari Yuka. Menoleh ke sebelah, aku melihat ibunya Hangga menggeleng-geleng sambil tegak pinggang kayak orang nagih uang kontrakan yang nunggak. Wajahnya menunjukkan keprihatinan. Aku lihat sekeliling kami, menyadari ini bukan di pinggir jalan tempat aku masuk got. Kini aku di atas ranjang pasien dengan selang infus menempel di tangan.
”Akhirnya sadar juga. Coba dari tadi aja gue gampar kepala lo.”
Ya Allah ya Tuhanku. Barangkali di dunia ini hanya aku yang punya teman menyambut pasien seperti ini. Bukannya bilang hamdalah sebab aku berhasil keluar dari ruang gelap tak berujung. Bukannya menampakkan raut bahagia karena sahabatnya sudah sadar. Dia justru main gampar dan menyesal enggak melakukannya sejak awal.
”Mimpi wik wik sama Kaza lagi?” ketusnya, udah kayak salak si buas yang lidahnya suka terjulur.
Biji mataku nyaris keluar dari sarang. Maksud dia, tamparannya tadi karena ngira aku mimpi basah? Ya Allah ya Tuhanku! Aku enggak semesum dia!
”Gue nggak mimpi jorok sumpah! Gue melihat Kaza seperti yang gue lihat sebelum pingsan. Makasih. Saran lo manjur. Gue hampir koit tadi.”
”Eh, itu mata lonya aja yang jelalatan. Bukannya lihat jalan, malah kegatelan, masuk got kan lo.”
Posisinya aku masih lemah, tapi nggak terima dituduh macam-macam. ”Gue nurutin saran elo, Ka. Lari sekaligus nyari bapak buat anak gue.”
”Kabhi khushi kabhi gham ... Nggak perlu segitunya, Kus, malah bahayain keselamatan lo sendiri. Jodohnya elo itu udah ada, cuma belum waktunya aja.” Aku benar-benar ditampar oleh Yuka, tidak sekuat yang pertama.
Yuka perempuan paling unik di jagat. Dia menyalurkan sakit hati ke tubuhnya sendiri. Kebiasaan itu bikin dia juga melakukan kekerasan waktu bicara dengan orang lain. Kadang memang karena kesal sama marah, terkadang cuma iseng. Yuka juga sangat jail dan kejailanya itu enggak jauh-jauh dari mencubit, memukul, menendang, bahkan menggigit. Aku sudah mengalami semua penderitaan itu sejak kenal dia di bangku kuliah. Kenapa aku masih tahan bersahabat dengan Yuka? Aku juga enggak tahu. Aku sayang Yuka kayak adik yang nggak pernah aku miliki sebagai anak bungsu emak bapak. Dia imut dan manis, minus akhlaknya. Seperti saat ini, Yuka bisa bicara dengan benar, walau diiringi dengan tamparan yang bisa bikin aku pingsan lagi.
”Kalau gitu, bantu gue cariin jodoh nggak pakai masuk got.” Aku menemukan suaraku kembali.
”Emang, ya, lo! Dibilang jangan keliatan banget ngebetnya! Ngejar jodoh itu di sepertiga malam. Bukan di pengkolan gang!” Lebih kencang suara Yuka.
”Serah lo deh! Gue maunya ditemani Kaza. Panggilin Kaza dan lo pulang.”
Ya Allah ya Tuhan. Rambutku bisa botak dijambak Yuka. Mau gimana lagi? Aku mau pakai kesempatan ini buat ngedeketin Kaza lagi. Mau nikung si Malaikat Tiruan.
”Gue juga males banget kali. Udah janji sama Elang mau bikin proyek adeknya Devanda Bocah. Nah, lo kan lagi jadi manusia paling teraniaya nih sekarang, doain project gue berhasil, ya. Udah lama banget gue pengin bunting lagi.”
Kasihan. Kami sama-sama pengin punya anak. Dia anak kedua dan aku anak perdana. Dan kasusku, nyari calon bapaknya dulu.
”Nggak coba ke kebut sawitnya Atuk lo aja? Siapa tahu jadi.”
”Ah, iya masa lalu fantastis gue itu. Tapi gue udah tobat, sumpah, tobat. Suami gue bisa beli pulau, masa bikin anak di kebun yang banyak nyamuknya? Derajat dia turun, Yem. Kalo diingat-ingat, gue geli sendiri. Kenapa dulu mensyaratkan malam pertama di kebun sawit?”
”Emang lo kan gak waras. Panggilin Kaza, deh, biar lo bisa mulai garap tuh lahan. Gue mau bikin Kaza kembali ke dekapan gue. Eits ... pokoknya gue nggak terima penolakan. Orang teraniaya, nih kata lo, doanya makbul. Gue calon adek ipar lo, bukan Malaikat KW itu.”
***
Lututku berdenyut sangat perih. Siku juga. Mungkin karena luka ini bukan diakibatkan manusia, jadi sakitnya bisa aku rasa. Coba kalau Yuka yang pukul, aku tahan. Aku meringis pas bangun dan lihat ke tempat Yuka duduk. Kursi itu udah kosong. Yuka pergi sebelum bawa Kaza ke sini. Menunggu Kaza yang nggak datang-datang bikin aku ketiduran.
Hapeku mana, ya? Aduh perih banget masya Allah. Kapan sembuhnya ini? Aku sudah sering, kok, sakit sendirian gini. Namanya juga anak rantau tanpa saudara. Mana perginya dulu dengan cara nggak baik lagi. Mau ngeluh ke kampung, bisa nurunin harga diri. Walaupun kata Yuka, harga diri Kushi cuma sebatas baju di badan. Nggak ada simpanan lagi selain apa yang dipakai.
Nomor emak kuhubungi nggak bisa. Ini pasti lupa ngecas. Bapak mah nggak seru, nggak asyik diajak gibah. Mending telepon Unta aja. Jomlo karatan kayak dia mah pasti malam-malam temenan sama guling.
Teleponnya tidak dijawab. Aku coba lagi sampai Mas Unta bangun.
”Woy, udah malam!” Suara ngebas Unta bikin kupingku nyaris sobek.
”Mamas Sultan kesayangan Uci. Mamas lagi ngapain?” Aduh! Aduh, perih. Aku lupa sikunya luka malah dipentokin ke ranjang.
”Ci, kamu kenapa?” Mas Unta suaranya nggak segalak tadi. Perasaan aku ngeluh dalam hati. Abangku ini mudah banget panik kalau dengar aku ada apa-apa.
”Aku jatuh, Mas. Kaki sama tangan diperban nih. Sakit.”
Aku mulai cari perhatian dari Mamas yang paling penyayang. Nanti kamu aku ganti sama Kaza kalau dia sudah mau balikan. Aku janji nggak akan ngerepotin Unta lagi nelepon tengah malam.
”Jatuh di mana? Nggak diobatin? Coba kamu nikahnya sama orang kampung ini aja, Mas bisa lihat keadaan kamu sekarang juga.”
Enggak bohong ‘kan? Unta itu sayang banget sama adiknya.
Orang rumah nggak ada yang tahu kalau statusku ini janda. Menyedihkan sekali. Mereka pikir aku sama Arengga masih suami istri. Tunggu ya, Unta, sampai aku bawa calon suami, minta restu dan wali sekali lagi.
”Emak sama Bapak udah tidur?”
”Udah. Besok Mas ke Jakarta. Rumahmu di alamat yang dikasih Arengga?”
”Enggak! Unta nggak perlu datang. Uci cuma sakit dikiiit kok, nggak apa-apa. Besok pagi pasti sudah sembuh. Salamkan untuk Emak sama Bapak. Jangan bilang kalo aku habis jatuh. Nanti jadi beban pikiran lagi.”
Aku nggak mikir sampe sana. Padahal cuma ingin ditemani ngobrol karena di sini sepi eh?
”Kamu memang beban yang wajib kami pedulikan jadi jangan merasa ....”
Suara Unta sudah nggak jelas lagi. HP aku turunkan dari telinga. Sejak kapan Kaza ada di sana? Sebentar, aku lihat panggilan ke Mas Sultan. Dia masih ngoceh di sana. Ini bukan mimpi kan? Mas Unta mending kamu tidur lagi. Aku mau mencurahkan perhatian aku hanya untuk Kaza.
”Hay, Kaza. Udah dari tadi berdiri situ? Kenapa nggak manggil? Langsung duduk juga boleh, nggak ada yang larang. Nih sebelah aku kosong.”
Kaza menarik bangku bekasnya Yuka ke ujung ranjang. Sama Yuka aku dikasih ruangan bersama pasien lain yang disekat pakai kain. Bukannya jawab, Kaza malah ngeluarin hape, terus main.
Tenggorokanku sedikit serak habis bangun tidur belum minum-minum. Berdeham sekaligus ngode Kaza. ”Jam dua malam. Kamu mau di situ aja? Besok kerja kan, Za? Berbaring di sini. Gantian akunya yang duduk, sudah kebanyakan tidur dari tadi.”
Kaza mengambil sesuatu dari saku hoodie-nya. Dia memasang earphone.
”Kamu kenapa deh malas ngomong? Kamu pasti murid kesayangan guru bahasa Indo. Jadi majasnya hafal banget. Mulutmu harimaumu yang akan menerkammu, gitu kan, Za? Kalau ngomong irit banget gini jatuhnya gagu tau. Terus pasti di sekolah nilai PPKN kamu jeblok. Habisnya diajak bicara sama orang malah sengaja pasang penyumbat kuping.”
”Mbak, ngomongnya bisa dipelankan sedikit? Ganggu istirahat pasien lain.” Tirai sebelah kanan kembali ditutup.
Akibat Kaza nih. Nggak ngerti kenapa dia secuek ini. Bawaannya pengin aku ulek tuh bibir pake cabe. Coba kalau aku ini Yuka, sudah remuk tulangmu aku tendangin. Habisnya ngeselin banget. Nggak ikhlas banget jagain orang sakit. Terus kita ini bukan orang lain. Terlepas dari masa lalu kita, aku sudah kayak keluarga kalian. Mana aku haus banget lagi. Gimana sih rumah sakitnya tidak menyediakan air minum? Satu gelas pun nggak ada.
”Za!” Aku melambai. Aduh, luka ini kapan sih sembuhnya? Ckck, aah. ”Kaza!”
Dia menunduk tanpa mau berpaling dari hape. Aku harus turun minta belikan minuman. Ya, ampun. Lututku masih basah aja sesakit ini apalagi kalau sudah kering. Lagian itu comberan kenapa tidak ditutup sih? Apa sengaja mau bikin orang cantik ini celaka? Harusnya lubang yang kecil itu disemen atau paling enggak pakai papan biar tidak makan korban kayak gini.
Omong-omong, siapa yang memberitahu Yuka aku masuk rumah sakit?
”Mau ke mana?” Kaza berdiri, bukan untuk mendekat ke sini. Cuma tegak lurus kayak tiang infus ini.
Aku juga masih di sebelah ranjang, lagi membiasakan rasa sakit sebelum berjalan. Karena Kaza sudah bisa diajak bicara, aku duduk lagi. ”Haus, Za. Beliin aku minuman dong.”
Dia melemparkan botol ke tempat tidurku. Di sebelah Kaza ada kantung putih yang di dalamnya sepertinya makanan dan minuman. Jadi, dia bawa semua itu untuk menjaga aku di sini? Sambil minum senyumanku melebar. Perhatian sekecil ini bikin aku menghangat.
”Kamu bawa snack apa, Za? Buat aku ada?”
Dia melemparkan kantung putih ke ranjang, menimpa lututku sampai aku meringis. Enggak terlalu sakit karena yang ngenain Kaza. Wah, banyak makanan. Makan roti kayaknya enak untuk mengusir lapar yang tiba-tiba datang. Kasihan pasukan cacingnya Uci belum dikasih makan sejak tadi pagi.
Kantong putih yang dikasih Kaza sudah penuh oleh plastik kemasan. Nggak ada snack tersisa. Selagi aku makan rupanya Kaza kembali enak-enakan sama ponselnya. Kupingnya sudah tidak ditutup lagi. Mungkin Kaza bersedia diajak ngomong.
”Kaza.”
Sudah pasti dia enggak menoleh. Kadang Kaza mirip Elrangga. Dulu Yuka sering cerita kalau El juga sering nyuekin Yuka. Sama kayak posisiku ini. Dan itu bisa jadi, Kaza meniru kakak iparnya itu. Bagi Kaza, Elrangga panutannya.
”Bener, mau tunangan sama Malaikat KW?” No response.
”Masa iddah aku sudah habis loh, Za. Kamu nikah sama aku aja, yuk?”
Bibirku otomatis mengatup lihat kekagetan di mata Kaza. Cuma sebentar, kemudian dia nunduk lagi ke HP. Dia pikir aku enggak serius?
”Eh, tadi aku lihat kamu di seberang apartemen. Itu loh, Za, jalan lurus yang arah ke gang kecil, tempat yang banyak jualan kue-kuenya. Aku lihat kayak kamu lari ke sana masuk gang. Kamu apa bukan?”
Bisa aja ‘kan Kazasaki balik lagi ke belakang dan melihat gadis pingsan di dalam got terus dia bawa ke rumah sakit.
”Kalau lo udah sehat, lebih baik pulang. Ngerepotin orang aja.”
Sekali ngomong, nancep banget ke hati. Hingga beberapa menit aku tidak mengganggunya, dia malah keasyikan main HP tanpa menghiraukan mantan yang kesepian di tempat tidur.
”Apa asyiknya sih main game? Enggak menantang. Mending sini main sama aku, di sebelah aku kosong nih.”
Aku menepuk-nepuk ranjang, merapikannya. Namun, si mantan langsung menyimpan ponselnya dan merebahkan kepala ke sandaran kursi. Matanya tertutup dan di telingannya kembali terpasang earphone.
”Kaza sayang, kamu itu sebetulnya masih belum lupain aku. Kamunya aja yang nggak sadar, Kaza. Dengan sikap kamu yang kayak gini, aku makin yakin kamu pasti masuk ke pelukan aku lagi. Tunggu aja, Kaza.”
Aku meniupkan ciuman jarak jauh. Mimpi sama aku, ya.
***
Bersambung ...
Muba, 18 Februari 2021
Itulah enaknya nubar. Lihat teman pada update, dikejar juga. Moga lancar sampai Kushi dapat jodoh.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top