[02] Gandengan Mantan Bikin Pengin Menghujat
[02] Gandengan Mantan Bikin Pengin Menghujat
Aku betul-betul datang sesuai dengan yang disarankan Elrangga. Tidak ada pakaian mini, ketat, dan menonjolkan bentuk badan. Duduk di kursi yang jaraknya amat renggang, aku memperhatikan undangan yang datang. Malam ini aku berharap bisa menangkap satu mangsa yang mau menjadikan aku ibu dari anaknya. Aku janji akan lebih hati-hati supaya tidak menikahi suami orang sekali lagi.
Tamu Elrangga sebagian besar bawa gandengan. Ada yang sama perempuan, anak-anak, dan juga gendong bayi. Yang terakhir bikin aku iri sampai rasanya mau mampus. Aku paling suka melihat cowok menggendong anak, apalagi bawa yang masih bayi. Auranya kelihatan seperti pria baik-baik. Dan sudah pasti mereka sangat mencintai istrinya. Mereka enggak akan membiarkan istri membawa beban yang dulunya sembilan bulan udah dibawa ke mana-mana. Anakku nanti biar aku belikan kereta kalau bapaknya nggak mau gendong.
Kapan bisa ketemu bapak anak-anakku? Tamu semakin ramai dan nggak ada yang sendirian. Waktu datang mereka emang gandengan, pas duduk terpaksa jaga jarak. Agak susah aku menyeleksi mana yang betul-betul datang tanpa pasangan. Dari pengamatan selama satu jam, tidak ada yang tunggal.
"Te, sama aku aja sini. Kayak tiang listrik aja Tante berdirinya sendirian."
Bocah setan. Baru disunat udah bisa ngeledek tuh anak.
"Mak bapak kamu mana, Ngga? Itu burung puyuh masih sakit?" Adik bungsunya baru dipotong bikin Hangga enggak bisa ke mana-mana. Hangga punya tahtanya sendiri, dihias kayak pelaminan pengantin. Kelambu putih di depan Hangga sebagai pengganti plastik kayak di kasir swalayan. Peringatan buat tamu biar tidak salaman sama tuh bocah.
"Emak lagi ketemu sama Opa Pegas. Ayah nggak tahu, lagi keliling nyapa temannya kali. Pada sibuk masing-masing. Cuma Tante Uci aja yang bengong."
Aku lebih baik duduk di sebelah Hangga karena bisa jadi dia benar. Ngenes sekali sih nasibku. Duduk sendirian, sambil lihat ke kanan, kiri, depan, dan belakang-nggak sampai mentok-dengan tampang ngarep.
"Hangga, umurmu udah delapan lebih, kenapa baru disunatnya sekarang? Apa nggak malu diledekin temen-temenmu?"
Bocah sarungan itu melirikku lewat ekor mata kayak tatapan elang ingin memangsa. Bibir merah, kulit bersih, dan rambut bergaya. Hangga ini dibuat dari bibit unggul. Ketampanan Hangga menurun dari bapaknya. Yuka juga punya muka bening, minus akhlaknya. Komposisi yang pas buat Hangga.
"Tante nggak coba tanya sama diri Tante sendiri? Kenapa cuma Tante Uci yang datangnya enggak bawa pasangan sama anak? Tante nggak malu, ya, sama Ibu? Tante Uci lebih tua dari Buk Yuka."
Skor dua kosong melawan anak hasil pergulatan Yuka sama Bang El di sawit-sawit. Makanya, mulut Hangga tajem banget kayak duri, bahkan ucapannya mengandung racun. Bisa bikin aku lumpuh, diam, dan mati di tempat. Hangga rajanya tukang nyinyir, mirip omnya.
"Hangga nggak boleh ngomong begitu. Ya didoakan dong Tante Uci biar segera dapat jodoh yang baik, biar bisa punya anak secepatnya. Nanti kalau anak Tante Uci cewek, buat kamu deh."
"Enggak menerima janji bullshit."
Aku melotot, menganga, dan mengaduh ketika merasakan perih di puncak kepala. Segera aku mencaritahu siapa tersangka penjambakan rambut yang sudah aku catok sebelum berangkat.
"Datang pakek salam, dong, jangan pake kekerasan," sewotku melihat Yuka yang telah menganiaya diriku.
"Lo nggak usah deket-deket anak gue, deh, bawa pengaruh buruk. Hangga biasanya ngomong alus. Pasti ini akibat kebanyakan adu bacot ama elo."
Ingin aku membunuh ibu-ibu satu itu. Sabarkan aku, Ya Tuhan. Di keluarga ini aku korban yang dijadikan narapidana.
"Nggak jadi nyari mangsa buat bikin saham di rahim lo, Kus?"
Yuka memang begitu orangnya. Setelah dia aniaya aku, dia bicara santai seolah nggak terjadi apa-apa. Emang aku nggak marah. Cuma kesal dan masih merasa perih di kulit kepala. Jika ada yang heran kenapa aku nggak balas, jawabannya makin dibales Yuka akan kesetanan dan pertempuran nggak bakalan selesai sampai kiamat tiba atau mati salah satu dari kami. Toh aku bilang sudah 'kebal'.
"Bang El nggak serius, nih, mau bantu gue. Kayaknya nggak kasihan sama gue yang umurnya makin tua. Kata dia, gue bisa kenalan sama koleganya, mana? Punya buntut semua gitu. Jangan lagi deh gue jadi istri kedua."
"Yah makanya jangan duduk di sini dong. Siapa yang bisa lihat elo? Keluar sana biar bisa dapet lakik!"
"Tante Uci tadi sudah berdiri di luar kayak Monas, sendirian, kesepian. Kasihan aku, Bu. Hangga yang ngajak Tante Uci duduk di sini."
So sweet, ponakan aku, membela tantenya, walau hujatan tetap nyelip di tiap kata.
"Sekarang kita harus bantuin Tante Uci menemukan jodohnya, Devanda Sayang. Ibu nggak mau direpoti saat dia udah tua, Tante Uci nggak ada yang nyebokin."
Kebangsatan yang sangat tulus dari hati. Yuka sangat pengertian dan penuh dengan kasih sayang. Mengentakkan kaki, aku turun dari mahligai Hangga untuk berburu suami. Menghitung bulan, aku akan menjadi tiga puluh. Secepatnya, aku harus hamil!
Kutukan Hangga kayaknya beneran terjadi. Aku berubah jadi tiang. Tubuhku tidak bisa ke mana-mana. Bisanya hanya menatap segala yang terjadi di sekitar. Tidak bergerak dan bernapas. Aku mau mati detik ini juga.
Kazasaki datang bersama perempuan. Baru sekarang setelah lima tahun kami putus. Perempuan itu masih muda, kelihatannya seorang mahasiswi. Wajahnya sangat cantik dengan mata besar seperti tokoh dalam webtoon. Kazasaki mengusap rambut panjang teman wanitanya yang sedikit berantakan. Kaza juga terlihat kusut dan auranya mengancam keselamatan hidupku. Kaza berjalan gandengan tangan dengan mesra naik ke panggung kecil tempat Hangga mojok dengan tampang songong minta ditonjok. Kaza tidak menyadari ada mantannya yang mupeng. Sementara keponakannya yang mirip kutu loncat sedang menjulurkan lidah ke arahku. Yuka memeluk perempuannya Kaza tanpa takut terkena covid. Mereka menjadi keluarga bahagia.
Aku enggak mau kisah ini ditutup. Baru aja dimulai. Aku harus membuang harga diri demi mendapatkan perhatian Kaza lagi. Naluri perempuanku tidak menerima perlakuan Kaza yang seperti ini. Jiwa bucinku meronta minta dikeluarkan. Aku menolak move on. Kaza, tunggu Uci segera datang ke pelukan kamu. Kamu yang bakalan jadi bapak untuk anak-anakku. Titik.
"Siapa, Za, cantik," ujarku mendekat pakai suara sengak paling dahsyat.
Kazasaki yang ketampanannya didapatkan dari Pak Apan cuma melengos. Gitu, ya, dia. Sama aku kayak nggak kenal, lupa kalau dulu kita sudah sering buka-bukaan. Curhat segala macam maksudnya.
Mungkin cuma sahabatku yang paling baik di sini. Yuka menepuk pundakku. "Belum sempat kenalan, ya?"
Aku menggeleng dan mengancam Yuka setelah ini bakalan aku kulitin untuk jadi jok motor. Dia tahu kalau Kaza sudah punya pacar, tapi diam saja waktu aku bilang belum move dari adiknya.
"Ayesha, ini Kushi, teman Kakak. Kus, ini Ayesha pacarnya Kaza."
"Calon, Kak Yuk," kata gadis manis perusak rencana pembibitanku.
"Lengkapnya, Ayesha Malaika." Yuka berbisik.
"Malaika. Oh, Malaikata! Kaza emang bangsat, nyari cewek namanya pake malaikat juga kayak gue!"
"Beneran calon? Kok Kazanya diam aja?" Gas, Kushi! "Ini bukan pengakuan sepihak 'kan?"
Si Malaika tersenyum lalu menggeleng. Auranya mencoba-coba dewasa. Kalah jauh sama gue! Aku enggak gentar dengan pembawaannya yang tenang.
"Gimana, ya, kita belum bisa menjelaskan detailnya kapan, tapi bentar lagi mau diresmikan kok. Kakak nanti pasti tau dari Kak Yuk."
Panggilannya ke Yuka udah kayak akrab banget. Sejak kapan mereka dekat? Aku betul-betul ketinggalan. Siapa yang akan dibantai lebih dulu karena enggak ngasih tahu aku? Yuka, Bang El, Hangga, atau Kaza aja sekalian?
"Kushi, tenang."
"Kaza kayaknya nggak ikhlas tuh. Apa bener mau lanjut sama dia? Masa buru-buru sih, kan masih baru. Pikir dulu, Za, jangan kebawa nafsu. Mungkin aja ini bawaan dendam atau mau bikin sakit hati orang. Tujuan kayak gitu nggak bagus buat maju ke pelaminan."
Udah kepalang tanggung. Aku ingat, Kazasaki omongannya bisa terasa sampai ulu hati. Kalau dia balas, segala aibku pasti akan dia deret. Teorinya begitu, nah Kaza justru nggak ngomong apa-apa. Mataku terarah pada lengan Kaza yang menyatukan jarinya dengan Ayesha. Melirikku tajam, kayak mau bunuh orang, lalu bilang permisi kepada Yuka. Mengacak rambut Hangga sebentar, dia menarik Ayesha pergi.
"Wow!" Yuka bertepuk tangan. "Ini yang gue suka. Keimpulsifan lo yang bikin Kaza tambah benci sama elo." Yuka mencubit lenganku bagian dalam, memilinnya kuat. Perih banget, sumpah dan harus aku tahan karena hati lebih perih. Ternyata aku cuma kebal sama rasa kaget saat Yuka main kasar.
"Gue nggak rela Kaza sama cewek lain, Ka. Ya, kita emang putusnya sudah lama dan itu karena gue. Gue yang maksa Kaza pergi saat dia nggak mau, tapi gue lakukan itu ada alasannya. Kaza nggak boleh sedingin itu sama gue. Dan bikin gue cemburu karena dia nyari perempuan yang namanya aja sama kayak gue. Kaza juga belum bisa move dari gue, Ka. Dia membalas gue dengan cara seperti ini."
"Ckckck ... Lo ini udah tua, tapi isi kepalanya kek bocah. Jangan punya pikiran kayak abege deh. Lirik sedikit, dikira suka. Mirip sedikit, dibilang jodoh. Kaza enggak punya rasa apa-apa sama lo. Gue harus jelasin pakai cara apa lagi sih? Kaza mau tunangan sama Ayesha, ini nggak bohong. Kaza sama Ayesha saling menyukai. Gue nggak bilang ke elo, ya, karena kita sama-sama tahu lo sama Kaza nggak ada apa-apa lagi."
"Ibu nggak bisa apa ngomongnya lebih lembut dikit? Kasihan sama Tante Uci."
Hangga melingkarkan tangannya ke pinggangku. Dia melebarkan kakinya, membuat posisi agak menunduk, dan menekan kepalanya ke perutku. Tangannya mengusap punggungku dari bawah ke atas. Tidak, Hangga tidak semesum bapaknya. Hangga yang sering meledek memang selalu ada di pihakku. Dia suka membantuku menghabiskan makanan Yuka. Mencarikan berkas Bang El yang tertinggal. Menyelamatkan aku dari kekejaman emaknya juga.
"Tenang aja, Tante Uci. Kita satu tim kok. Cewek tua pasangannya cowok muda. Tante Uci bisa dapetin Om Kaza lagi. Aku jamin, Om Kaza minta balikan sama Tante Uci."
Aku nggak yakin. Omongan Hangga hanya hiburan buat aku, kalau Kaza sudah tidak peduli. Kaza melupakan semua yang sudah kami lalui dulu.
"Awas, itu burung kamu nempel, Devanda Bocah!" pekik Yuka, menarik rambut Hangga mundur. Pelukan kami terlepas.
"Mending lo lari deh, Kus, lari yang jauh dari kenyataan."
***
Air mataku enggak mau berhenti. Meleleh kayak iler bocah yang ngidam emaknya enggak keturutan. Aku bawa handuk untuk mengelap keringat. Jadinya, dipakai mata. Boleh juga, air mata campur keringat jadi perpaduan yang sempurna dalam sebuah usaha. Ditambah doa, aku pasti bisa mengembalikan ingatan Kaza.
Kushi Malaikata dan makhluk teraniaya serta mudah diperdaya adalah kombinasi yang pas untuk menyebutku. Wanita tua yang gagal move on, kebelet nikah, dan punya anak ini sudah tiga kali putaran mengelilingi lapangan rumput di belakang apartemen. Semua itu anjuran Yuka yang awalnya aku tolak, kemudian aku lakukan.
Jantungku masih tahan dibawa lari satu keliling lagi, tapi bukan di lapangan yang enggak ada penghuni selain ilalang yang bergoyang-atau mungkin di balik rimbunnya daun terdapat pasangan bodoh dan nggak modal? Aku mulai berlari ke arah depan. Kenapa enggak dari tadi otakku bangkit dari kebodohan? Seenggaknya kalau aku di tempat ramai, ada orang yang melihatku. Barangkali jodohku sesama pelari sore?
Aku mengelap keringat. Tak ada air mata seperti tadi. Dua alat penglihatku justru aktif melirik segala arah. Rencana untuk mencari suami tetap dijalankan, walaupun hati maunya sama mantan. Nah itu ada pria baru turun dari mobil, gaya juga oke. Aku berlari semakin cepat, biar bisa lihat wajahnya sebelum dia masuk ke lobi apartemen. Dia bahkan lebih cepat dari lariku, sehingga aku cuma bisa melihat punggungnya saja. Body-nya juga oke. Padat. Aku terus berlari ke arah jalan. Di sini banyak calonku yang mungkin saja belum menyadari jika aku jodohnya. Terus berlari saat jantung detaknya melebihi yang biasa. Aku menyeka pelipisku yang basah.
Yuka salah. Sudah lari melebihi kapasitasku, aku masih memikirkan Kaza. Bahkan aku melihatnya. Pelari di depanku itu mirip banget dengan Kazasaki Ardhana anaknya Pak Apan dan Buk Siyah. Apa mungkin aku berhalusinasi sebelum kunang-kunang mampir dan bikin aku pingsan dalam sedetik? Namun, Kushi sang pejuang mantan enggak akan kalah dengan letihnya badan. Langkah kupacu supaya bisa memastikan dia Kaza atau bukan.
"Aduh, Mak, sakit! Aduh." Lutut kanan terasa mau pecah karena terbentur. Kulitnya juga tergores banyak terkena semen kasar parit tempat kakiku terjeblos. Kedua siku juga luka dan sangat perih. Bau air got yang aku injak bikin mau muntah.
Tadinya aku menangis karena mantan, sekarang akibat kesakitan. Pelari yang mirip Kaza semakin jauh di depan. Kalau gini gimana aku bisa pulang? Aku tidak sanggup mengangkat tubuh dari kotak kesialan ini. Badanku jadi nggak ada tenaga. Bumi sepertinya sedang berputar, berguncang keras sampai aku enggak bisa lihat apa-apa.
***
Bersambung ...
Muba, 16 Februari 2021
Baru hidup lampu dari pagii. Mau update tertunda.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top