[01] Mantan Bikin Rahim Anget
[1] Mantan Bikin Rahim Anget
”Astagfirullah! Ya Allah, ampuni mimpi yang tadi.”
Aku terpaksa bangun saat jarum jam di angka tiga. Mata ini baru aja merem sekitar jam satu. Mood buat tidur udah hancur. Kenapa coba aku sering mimpiin Kaza? Mimpinya pakai hastag dua satu plus pula. Aku yang belum pernah digas sama dia kan jadi baper. Ini aja rahimku masih anget. Kira-kira jam segini Kaza lagi ngapain, ya?
”Tidak tidak, Kushi! Lupain Kaza! Lo wajib move on! Kagak boleh mikirin adek orang.”
Kazasaki Ardhana berusia tujuh tahun di bawahku. Adik kandung sahabatku, Yuka Sierra. Pertama kali kenal, dia masih bocah SMP. Datang ke Jakarta untuk menemani kakaknya. Aku salut sama dia yang kecil-kecil sudah bisa berpikir dewasa. Tidak ada yang meminta dia menjaga kakaknya. Dengan kesadaran sendiri dan mungkin karena sayang, Kazasaki pindah sekolah ke Jakarta. Walaupun kakaknya yang jahanam itu menolak dia mati-matian. Yuka tidak suka hidupnya diparasiti Kazasaki dan Kaza emang suka mengontrol kelakuan Yuka. Mereka jadi jarang akur. Tidak terasa sekarang Kaza yang remaja sudah 23 tahun. Semakin matang dan jelas mengancam kemurnian otakku.
”Sudah waktunya melupakan Kaza. Lima tahun bukan waktu yang sebentar.”
Itu hal yang paling sulit saat aku bekerja di kantor Elrangga, suami Yuka, dan hampir setiap saat ke rumah Yuka. Apalagi mantan yang paling berkesan hanya Kazasaki yang ketampanannya melimpah ruah. Bocah yang aku ajarin ciuman. Anak laki-laki yang aku tekankan agar menjaga Mr.K-nya baik-baik supaya tidak sembarang terobos. Cowok yang amat penurut saat aku bilang setop—untuk hal apa pun. Dewasa saat dengan kakaknya dan manja sekali ke aku kalau ada maunya. Gimana aku bisa lupa?
Tentu saja aku harus membilas muka biar bersih dari virus Mr.K. Melamun sekitar dua jam. Dandan sejam. Pukul enam aku sudah siap. Aku bisa berangkat bareng pak bos. Dark brown off shoulder, baju yang panjangnya tidak mencapai lutut telah melekat di tubuhku. Walau oleh Elrangga jenis pakaian ini berkali-kali kena semprot, aku tetap memakainya. Yakali aku ke kantor pakai kain sarung biar longgar, seperti kemauannya Elrangga. Hal biasa menurutku saat sekretaris berpakaian seksi. Enak dipandang dan pastinya menarik. Aku nyaman-nyaman aja pakai kain yang nempel banget di badan gini. Rambut panjang digerai supaya bisa digunakan menutupi pundak nantinya. Heels hitam aku pakai sebelum memanggil ojol.
Rumah Yuka tidak terlalu jauh dari apartemen yang aku tempati. Jadi, naik angkutan roda dua pun nggak masalah. Mari cek, rambut aman. Nanti kalau kusut akibat helm butut ini, bisa pinjam sisirnya Yuka. Merepotkan istri bos sering-sering lebih enak daripada bongkar tas. Sepuluh menit kemudian aku sudah sampai di depan pagar. Aku menekan bel dan Pak Han, sekuritinya Yuka, menyediakan jalan. Kapan-kapan aku minta sediakan red carpet, ah, biar dandanan maksimalku lebih dihargai.
”Mabok ini anak masih Subuh udah namu aja.”
Yuka bukan hanya menegur, rambutku yang sepunggung ditarik sampai kepalaku bisa botak. Percuma mengaduh, dia malah bahagia melihatku kesakitan. Badanku kebal sama rasa sakit akibat di-KDRT-in Yuka dari sepuluh tahun yang lalu.
”Pinjemin sisir dong, Buk Bos. Ulah lo nih liat. Ntar dikira orang, Pak El yang jambak rambut gue.”
”Jangan ngadi-ngadi, ya.”
Aduh! Aku bilang kebal, tapi masih bisa merasa nyut-nyutan saat telapak tangan Yuka gampar bibirku. Tuh ibu-ibu walaupun badannya kecil, tenaganya kayak kuda jantan habis makan rumbut satu lapangan. Suka banget dia main kasar. Tidak heran tiap hari aku lihat leher bos luka-luka. Kadang-kadang ada bekas gigi di lengan kekar Elrangga kalau dia sudah menggulung kemejanya. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Yuka, nggak mungkin Hangga.
Yuka melempar sisir dan langsung aku sambut. Setelah rapi, aku ikuti langkah Yuka ke ruang makan. Aku paling suka melihat Yuka masak. Saat aku sebagai kacung dilayani sama istri bos, maka nikmat ini enggak akan aku tolak.
”Bang El mana, Ka? Ponakan gue juga, masih tidur?”
Yuka sudah terlatih masaknya. Dia yang dulu kayak anak-anak, sekarang keibuan sejak punya anak. Hangga, putra satu-satunya, sudah berusia delapan tahun. Sudah siap disunat tuh burung puyuh. Tidak seperti emakku, body si Jakula nggak melar-melar. Badannya Yuka masih segitu-gitu aja kayak pertama kali kenal dia. Apa mungkin karena pengaruh dari sedot lemak tiap malam? Yang bertambah dari Yuka kayaknya hanya kesadisannya saja.
Dengan ringan Yuka bolak-balik menata semua makanan di depanku. ”Ini gue mau bangunin Elang, kecapekan, minta tidur lagi dia.” Yuka menepuk buah dadanya, sebelum menjulurkan lidah. Kode bahasa jorok khas dia begitu.
Masih kayak bocah aja! Tarik omongan tadi kalau dia terlihat keibuan.
”Malam Jumat toh semalam, gue nggak hafal-hafal.”
Yuka balik lagi enggak sampai lima menit. Dia duduk di sebelahku.
”Ka ....” Aku melihat situasi, aman terkendali. Si petasan banting, Hangga, juga masih kelon sama gulingnya. Suara yang aku keluarkan tetap harus halus tanpa tekanan biar tidak kedengaran siapa-siapa. Bahkan malaikat pun jangan sampai tahu.
”Gue kayaknya kena karma deh.”
Yuka paling senang dengan penderitaanku. Dia sudah pasang seluruh perhatian buat dengar ceritaku.
”Cacar air? Kutu air? Setan air? Apa, apa, Kus?” Antusias banget ibu muda ini.
”Gegara sering ngomongin lu Jakula, janda kurang belaian, gue marasa seperti itu sekarang. Gue mimpi lagi, Kaaa.” Nah, ini makanya aku ngomongnya bisik-bisik. Mimpi itu sangat memalukan. Pencatat amal di kiri-kanan ini pun kalau bisa aku sumpal telinganya.
”Upil?” Stereo banget suaranya Ibu Yuka. Nggak bisa ikutan pelan apa?
Aku mengangguk.
Muka aku yang dalam mode ngenes ini masih tega dia cubit. Cubitannya bukan main-main. Pipiku bisa kempes.
”Lo kan bisa nananana ama siapa aja!” Nadanya makin naik. ”Cari tuh di pub, pakek baju lebih miskin bahan dari yang ini, dapat mangsa seret ke hotel! Kenapa mesti mimpiiin adek gue sih lo?” Intonasi berapi-rapi. Gitu amat Ibu Yuka lagi kesal.
Cukup sekali ke diskotik waktu nemenin Yuka patah hati. Sejak itu, aku nggak mau masuk ke sana. Aku nggak akan mencari jodoh yang suka sama body saja kecuali kalau kepentok tak ada cara lain sih.
”Gue kurang apa sih, Ka, kok nggak ada yang mau serius sama gue?” Aku ini calon istri sempurna. Lihat aja yang jadi suamiku nanti, nggak akan menyesal.
Karir, walau merangkak aku cekatan. Masak, biarpun cuma masak sayur asam sama dadar aku mahir. Bercinta, walaupun cuma bisa teorinya di mimpi aku bisa. Bersih-bersih, jangan ditanya. Kuat, tentu saja aku sangat strong karena diterapi fisik sejak satu dekade sama Yuka.
”Yang serius lo tinggal. Dasar manusia kurang beriman!” Keningku hampir mendarat di meja keramik karena didorong Yuka. Ini yang bikin ragaku apalagi hatiku sangat kuat.
”Gue nggak mau jadi istri kedua. Gue menyesal, Ka, cuma karena baper sesaat gue jadi janda.”
Memang betul. Badan aja yang masih segelan, tapi statusku janda. J A N D A. Aku menikah tiga bulan yang lalu. Wanita yang merindukan berumah tangga ini, mengenal Arengga Permana dari Instagram. Waktu itu aku mengenalkan diri—menawarkan—di kolom komentar pakar psikologi yang memang meminta para jomloan dan jomlowati yang ingin nyari pasangan. Arengga kirim DM ke aku. Kita kenalan dan ketemuan beberapa kali. Dia gentle banget, menyanggupi tantanganku untuk serius. Dia langsung datang minta restu dari emak bapak di kampung. Kami menikah nggak pakai acara besar-besaran. Ya kali aku mau bikin pesta gede saat virus sedang bertahta di Negeri ini. Seminggu kemudian aku diajak gelud sama istri pertama Arengga. Mulutnya bon cabe level sebelas. Aku nggak rela dapat status pelakor padahal aku tidak tahu apa-apa. Ya udah, aku minta cerai di depan Rindang biar Arengga nggak nolak. Andai aku cek latar belakang tuh orang. Emang akunya yang sial.
”Kaa kasih tahu gue caranya move on. Gue mau nikah. Gue mau punya anak!”
Mungkin akibat selalu memikirkan kedua hal itu, aku mimpi bikin anak sama Kaza. Kenapa sama Kaza bukan sama yang lain sebab gaya pacaran kami dulu memang nyaris bablas. Dia masih SMA dan nggak boleh aku ajarin ilmu sesat. Soal Arengga justru aku sama dia baru tahap berkenalan, belum sampai adegan buat bayi. Aku nggak rugi banyak karena akhirnya aku janda.
”Oh gampang kok, Kus. Biar cepet lupa, lo lari keliling lapangan sebanyak lima kali lima putaran setiap sore. Selain bisa ngelupain si Upil, lo juga bisa lari dari kenyataan hidup yang pahit kalo di usia segini jodoh lo seret.”
”Sekalian aja lo bilang, biar gue diangkut pake peti mati karena overdosis detakan jantung.”
”Kalau gitu, coba cari ganti,” kata Yuka dengan enteng, kayak aku selama ini nggak pernah melakukan hal itu.
”Pacar gue nggak terhitung dengan jari sejak pisah sama Kazasaki.” Aku memutar bola mata. Kalau aku dia bilang jodohnya seret, dia idenya mampet sampai yang diusulkan tidak masuk akal semua.
”Apa mungkin jodoh gue mentoknya di adek lo ya, Ka? Makanya gue nyari ke mana-mana, nggak ada yang cocok dan nggak ada chemistry gitu. Gimana menurut lo, kalau gue rayu Kaza kayak dulu? Kalau berhasil, lanjut bikin calon ponakan lo, dia ama gue.”
Aku yang tidak berpikir lagi, mengucapkannya tanpa mengingat akibat yang aku dapatkan. Berupa satu pukulan di puncak kepalaku menggunakan tenaga berkekuatan tinggi. Rasanya panas sampai liang telinga berdengung, nggak bohong.
”Coba aja kalau mental lo kuat dicaci si Kaza!”
Benar! Rencana barusan nggak akan berhasil. Mungkin dulu aku bisa bikin Kaza suka sama aku karena dia masih penasaran sama hubungan lawan jenis dan belajar caranya menyentuh perempuan dari aku. Kaza ini sekarang udah pasti nyari gadis yang lebih muda atau sepantaran dia. Dan aku pikir, dia nggak menargetkan buat nikah dalam tahun ini. Dia bukan jodoh aku. Makanya pas aku susulin dia ke Pekanbaru, dia sudah punya pacar baru. Ngelupain begitu saja gimana sedihnya dia waktu aku suruh lanjutin kuliah di kota asalnya.
”Gue butuh banget move on, Ka. Gue mau nyari yang serius, yang mau nikahin gue secepatnya.”
Kadang aku tuh mikir gini. Apa mungkin aku belum nikah-nikah—nggak termasuk menikah seminggu sama laki orang—karena dulu menolak jodoh dari emak bapak? Kedatanganku ke Jakarta karena kabur dari mereka, biar nggak dinikahkan sama duda tua kaya raya di kampung. Baru lulus SMA aku waktu itu. Lalu emak sama bapak memintaku untuk dandan cantik mau dikenalin sama si tua bangka, yang berjanji membiayai kuliahku dan menjamin kehidupan yang cukup untukku setelah jadi istrinya. Atau karena sudah jahat sama Kaza? Tega sekali aku dulu memaksa putus.
”Ya apa kek, aplikasi dating luar noh lu cari biar dapat bule. Goyangannya bikin gempa.” Suara Yuka membuat aku berhenti memikirkan Kaza.
”Curhat ama lo nggak ada faedahnya.”
Jangan tanya apa yang dilakukan Yuka ke badanku. Hanya Allah dan Elrangga yang tahu sesakit apa pahaku dicubit-cubit. Beruntung ada bos yang menarik istrinya.
”Sabtu malam, dandan yang cantik dan sopan, jangan seperti ini. Saya mengundang kolega kita.”
Elrangga yang telah rapi, amat tampan sayangnya suami orang, memeluk Yuka dari belakang. Kelihatannya mereka mesra-mesraan. Kenyataannya Yuka kalau tidak dipegangi, bisa makin biadab terhadapku. Yuka hanya mendelik-delik, masih marah karena aku tidak terima ide dia. Saran dari Dovan Elrangga memang yang paling benar. Malam Minggu nanti aku akan mengincar calon bibit untuk rahimku.
***
Bersambung .....
Muba, 14 Februari 2021
Selamat datang di lapak baru. Tunggu ya, part 2 akan hadir sesegera mungkin. Pada inget mereka semua? Kasev kasihtau deh.
Semua tokoh dalam cerita ini sebelumnya ada di cerita Kasev 'Status Gantung'. Tapi tenang aja, cerita ini bisa dibaca tanpa membaca ceritanya Yuka kok.
So, kisah ini Kasev tulis bersama 53 peserta Membatik Batik Publisher BukuBatik Kamu bisa cari cerita lainnya di reading list Kasev dan ikutin semuanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top