9. Nanti Aku Pikirin

Nanti aku pikirin adalah kalimat basi yang kerap Seno ucapkan selama tiga tahun pernikahan mereka dulu. Tidak ada yang bisa diharapkan dari kalimat itu. Saat Nisa mengadu perihal Liza yang datang melabrak pun, Seno hanya mengucapkan kata itu. Kalimat itu, jika melesat dari bibir Seno, sama saja maknanya dengan tidak ada yang bisa aku lakukan nih, kamu urus saja sendiri ya, he-he-he.
Sepanjang perjalanan pulang, Nisa melamun.

Melamun.

Dan melamun.

Dia habiskan waktunya duduk di beranda mesjid. Belum bePeni pulang.
Ibunya akan semakin menghinanya. Dan Bapak akan semakin sedih. Nisa tidak ingin mendapatkan itu dalam satu hari.

Dengan pakaian yang sudah kotor, dia lebih memilih dianggap seperti ODGJ oleh orang-orang yang lewat keluar-masuk mesjid. Setidaknya dia tidak diusik. Dan dia cukup mendapatkan keteduhan. Sayup-sayup dari dalam mesjid, dia mendengar anak-anak mulai mengaji sambil menunggu waktu maghrib. Kalau Raya seumuran mereka nanti, bisakah anaknya mengaji?  Bagaimana caranya mengajari Raya mengaji?

Nisa menerawang. Menatap jauh ke langit yang mulai berwarna jingga.

Nis, di mana?

Sebuah pesan dari Maya.

Nis?

Coba tadi aku ikut. Seenggaknya aku bakal siram tteobokki ke muka Liza.

Dari isi pesan Maya, tentu anak itu sudah mendapat berita acara peristiwa siang tadi. Entah dari siapa.

Nis? Kamu di mana? Plis jawab.

Nisa enggan membalasnya.

Harga dirinya yang tinggi, telah dia relakan dicabik-cabik hari ini. Tak ingin Nisa membiarkan Maya melihat betapa kacaunya ia saat ini. Bukan karena Maya akan menghinanya. Tapi, karena Maya adalah sahabat yang tidak ingin ia susahkan. Jika ada ungkapan ‘Saat kamu jatuh; teman akan langsung menolongmu. Tapi sahabat akan menertawai dulu, baru menolongmu.’ Maka itu tidak berlaku bagi Maya. Gadis itu akan langsung menolong tanpa membiarkan sedetik pun ia habiskan untuk menertawai.
Kalau Nisa ingin, dia tentu bilang saja ke Maya untuk meminjam uang. Namun, dua puluh juta memang sangatlah besar. Maya bukan seorang CEO. Dia hanya seorang karyawan yang suka kena sasaran kemarahan kalau kerjaan tidak beres—Maya kerap cerita betapa bosnya amat membuat hidupnya sengsara. Dan melihat betapa sibuknya Maya menata kehidupannya yang juga sulit, membuat Nisa merasa berpikir jutaan kali untuk berkata, May aku pinjam uang 20 juta, bisa?

Dan bicara harga diri,
Apakah orang miskin boleh memasang harga diri tinggi?

Nisa merasa amat bodoh pernah jatuh cinta kepada lelaki tidak punya sikap seperti Seno. Dan merasa sial harus berurusan dengan Liza. Jika diingat, bagaimana Nisa bertekuk lutut dulu? Naif sekali. Keduanya bertemu di acara bazar dan Job fair yang diadakan di alun-alun kantor gubernur. Saat itu, Nisa membawa berbagai barang dan tidak menyadari ada batu pengganjal tiang tenda di depannya. Nisa terjatuh. Dan Seno membantunya. Dan keduanya tersenyum. Dan berkenalan (persis seperti di drama sabun). Dan itu di luar sepengetahuan Maya.

Pertemuan mereka berlanjut ke makan siang bersama, tapi tak pernah berdua-duaan. Seno tampak seperti lelaki baik yang menjaga harga diri perempuan. Hingga setelah enam bulan kenal, Seno mengajak Nisa makan siang menjelang sore di napal. Di sana, di depan banyak orang-orang, Nisa dilamar. Orang-orang kira itu romantis. Nisa juga merasa demikian. Baru sekarang dia menyadari bahwa itu adalah bentuk pemaksaan secara halus. Dan baru sekarang dia mau muntah.

“Aku baru mau chat kamu nyuruh dateng, Nis.” Hana menyongsong kehadiran Nisa di depan toko. Langkahnya sedikit terburu-buru.

“Ini aku dateng,” jawab Nisa serak.
Sudah malam. Nisa putuskan mampir ke toko.

“Bu Pipin manggil kamu,” kata Hana lagi.

Nisa berhenti berjalan. “Kenapa?” tanyanya. Mata Nisa melebar. Kebetulan sekali. Ada secercah harapan terbit di hatinya. Memang pada dasarnya Nisa berniat kembali ke toko. Dia mau kasbon. Namun, melihat ekspresi Hana yang tegang. Nisa jadi curiga. “Kenapa?”

Hana menggigit bibirnya. Membuat Nisa merasa tidak aman.

Di ruang Bu Pipin, rupanya, sudah ada dua karyawan yang lain; Kino dan Nina. Ditambah Nisa, maka lengkaplah karyawan yang mengambil sif siang.

Tadi pagi, sebelum Hana datang untuk bertukar sif dengan Nisa, seorang remaja tanggung mencuri kemeja polos di toko. Orang-orang tidak curiga sama sekali ketika remaja itu datang dan berlagak melihat-lihat sekitar setengah jam. Namun, Nisa sempat melihat anak itu keluar tanpa membeli apa pun. Seperti melanjutkan hidup, semua karyawan bekerja sampai tiba waktu closing. Di saat itu pula, mereka baru menyadari ada barang yang hilang. Sehingga lekas manager memeriksa CCTV.

“Kalian kok bisa sih kecolongan kayak gini?!” marah Bu Pipin sambil menunjukkan hanger, hangtag dan sensor yang sudah dicopot paksa. Ia temukan benda-benda itu di toilet. “Anak SMP ke toko baju aja itu sudah mencurigakan!”

Nisa dan kedua karyawan lainnya hanya bisa menunduk.

“Dan kamu Nisa, kamu sempet negur anak itu, kan? Kenapa kamu nggak curiga?”

“Dia nanya saya, Bu. Katanya di sini ada jual kemeja navy polos apa nggak. Katanya buat ayahnya yang sakit. Jadi saya cari dulu. Wajahnya juga terlihat bingung ....”

Bu Pipin mendesah kasar. “Kamu tuh berapa tahun sih kerja di sini?! Masih aja nggak kenal gaya-gaya semacam itu!”

“Maafin saya, Bu.”

Mendesah kasar, Bu Pipin menjatuhkan dirinya ke kursi. Tangannya kini sibuk memijit-mijit dahi. “Kalau sudah begini ... mohon maaf, gaji kalian saya potong.”

Umumnya, jika toko kemalingan, pihak toko akan mencari-cari si pencuri dan menghubungi pihak berwajib. Minimal, manager akan mencetak foto pencuri itu dalam ukuran raksasa dan memajangnya di dinding. Lalu ada tulisan ‘DICARI! ORANG MALING! HUBUNGI KAMI JIKA MELIHAT.’

Namun, toko tempat Nisa bekerja benar-benar lain. Tidak ada ketegasan sama sekali. Alih-alih menghukum pencuri, Bu Pipin selalu menghukum potong gaji karyawan dengan alasan kecerobohan. Padahal Bu Pipin bisa saja menghubungi SMP tempat anak itu sekolah. Dia bisa melacak sekolah anak itu dengan seragam ber-tagline yang dikenakan.

Ketika Kino dan Nina keluar, Nisa masih bertahan di ruang Bu Pipin. Sempat heran, Bu Pipin bertanya apa maksud Nisa masih berdiri mematung. Dan, ketika Nisa perlahan-lahan berkata bahwa ia ingin meminjam uang. Wajah Bu Pipin sudah seperti banteng ngamuk. Belum sempat Nisa melanjutkan tujuan ia meminjam uang, perempuan yang sudah berusia 35 tahun itu langsung menyembur Nisa.
“Nisa, kamu kasbon 20 juta itu sama aja nyuruh saya pecat kamu! Gaji kamu saya potong, kok malah minta kasbon. Mau tahun kapan balikin 20 juta, haah?” Bu Pipin menunjuk-nunjuk muka Nisa. Dia kesal bukan main.

“Mending kamu keluar sana! Bikin saya makin emosi tau nggak!”
Nisa mengangguk.

“Astaga, punya karyawan pikirannya nggak ada yang bener!”

Pintu tertutup pelan. Nisa bersandar di pintu, menghela napas. Dia merasa dungu. Memang benar, tak mungkin kasbon 20 juta. Dia sempat tersenyum ke rekan-rekannya, berkata mau ke dapur dulu sebelum akhirnya pamit pergi. Namun, kenyataannya ia masuk ke kamar kecil. Dan di ruang itu ... dadanya tersengal-sengal. Jantungnya berdetak cepat. Cepat dan tak beraturan.

Hari macam apa ini? Berkali-kali ia harus memasang wajah seperti pengemis. Berkali-kali ia disentak-sentak orang.

Nisa mencuci tangannya. Dan wajahnya yang basah oleh air mata. Sepanjang hari menahan perasaan, barulah di tempat sunyi itu dia menangis.

Mengapa ia begitu pecundang? Mengapa ia tidak bisa menjadi yang terbaik di mana pun? Mengapa ia tidak bisa, sedikit saja, membantu Raya?

Apa Liza benar? Apa ini memang azab?

Nisa menjatuhkan dirinya ke lantai dan mulai menangis tanpa suara.
“Nisa ...” sebuah suara yang Nisa kenal. Rupanya Maya yang muncul, bersama Hana.

Tapi Nisa tak menjawab. Dia kepayahan menanggung perasaan luka yang meledak-ledak.

Melihat temannya sekarat dengan kesedihan mendalam, Maya merangkum bahu Nisa. “Nisa ... Nis?” panggilnya halus. Matanya menatap lurus-lurus ke bola mata Nisa. “Sabar.”

Nisa sesegukan. Maya meraih tubuh Nisa, memeluknya erat.

“Nis ....” Hana mengusap punggung Nisa. “Ikan tidak memakan nabi Yunus, Nis. Laut tidak menenggelamkan nabi Musa. Dan api tidak membakar nabi Ibrahim. Percayakan semuanya sama Allah, Nis. Percaya sama Allah.”

Nisa bergetar. Kehilangan cara meredam tangisnya.

Dan, di antara gigil tubuhnya, suara tangis tersedu-sedu, masih bisa ia melihat, bayangan Raya menari-nari di depannya.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top