8. Perdebatan di Cafetaria

Setiap hari Nisa bekerja di toko pakaian di mall. Jenis pekerjaan yang membosankan, tidak kenal tanggal merah, menuntut selalu tersenyum, dan dipenuhi orang-orang yang belum tentu membeli. Akan tetapi, hal menyenangkan bisa bekerja di toko pakaian adalah, tidak kepanasan, bisa ambil sif, lebih dulu tahu produk diskonan. Dan tentu saja, bonus saat penjualan di hari-hari lebaran.

Hari ini, Nisa lagi-lagi bertukar sif dengan Hana—yang kali ini dilarang manager izin keluar barengan—mengingat toko sedang ramai. Nisa janji dalam hati akan membelikan Hana hampers make up kalau punya rezeki nomplok. Soalnya, sejak kemarin, Hana selalu bersedia membantunya demi Raya bisa dibawa periksa.

“Makasih ya, Han. Sering-sering ya mau tukar sif.”

Hana menyengir. “Selama buat Raya, aku sih oke-oke aja. Tapi kalau ngajak tuker sif buat cari suami baru, maaf-maaf aja!”

Nisa tergelak.

“Ini mau langsung ke kantor Seno?” tanya Hana sambil mengantar Nisa ke depan.

Nisa mengangguk. “Iya, tadi Maya chat. Mas Seno ada kok.”

“Oke. Semoga Seno dapet hidayah.”

Nisa mengekeh. Dengan cepat dia menaiki ojol yang langsung bermanuver di sepanjang jalan kota. Membuat ujung-ujung kerudung Nisa berkelebat. Setengah jam dari keberangkatan, Nisa sudah berjalan masuk ke gedung di mana Seno biasa bekerja. Maya juga bekerja di sana, namun beda departemen. Kalau tidak buru-buru, Nisa mungkin mau mampir menemui sahabatnya itu. Namun, urusan per-ADB-ADB-an ini harus segera tuntas. Dia harus menemui Seno; karyawan perusahaan reklame, gajinya UMR, dan yang terpenting, ada darahnya di tubuh Raya. Tentu dia bisa membantu Raya. Setidaknya itulah yang Nisa pikirkan sepanjang hari ini.

“Nisakuu!” Sebuah suara dari kejauhan.

Nisa menoleh. Dilihatnya Maya berlari-lari kecil ke arahnya sambil membawa kotak makan siang dan satu kotak berisi ttetobokki. Suara high heels-nya menimbulkan gema di kantor yang luas itu. “Hei, May,” sapa Nisa begitu Maya di depan mata. Keduanya ber-cipika-cipiki.

Maya memeluk Nisa erat-erat. Membuat Nisa tersenyum canggung ke orang-orang yang lewat. Sebab tingkah Maya tidak mencerminkan seperti seorang karyawan anggun di perusahaan. Perempuan itu melepas pelukan, lalu menarik Nisa sedikit. “Kamu lama banget, Nis,” katanya, ceria.

“Sori, tadi toko rame banget. Mas Seno masih ada, kan?”

“Ada. Tapi ... Ratu drama juga ada.”

Nisa terkesiap. Ratu drama itu sebutan Maya untuk Liza. Mengingat, menurut Maya, Liza kerap melebih-lebihkan permasalahan dan penderitaannya.

“Kok bisa?”

“Kayaknya nganterin makan siang, sih. Sok sweeet.”

Nisa menggigit bawah bibirnya sesaat. “Ya udah, nggak papa. Sekalian biar tau juga.”

“Oke.” Maya mengangguk. Sebetulnya dia mau menemani, tapi dia jelas tahu Nisa tidak akan mengizinkan. “Eh, Nis, isi energi dulu!” katanya sambil menyodorkan ttetobokkki. “Menghadapi Seno dan Liza perlu kekuatan ekstra,” bisiknya, tapi lebih mirip berseru.

“Aku kenyang.”

“Aduh, udahlah ....”

Nisa menerima makanan yang dijejalkan ke tangannya. Dia tersenyum dan langsung masuk ke ruangan di mana Seno bekerja. Tidak perlu membuat janji, Seno bukan CEO yang penting-penting amat di perusahaan. Meski tetap saja Seno dan Liza kaget sebab Nisa tak pernah mengabari dahulu. Dan tentu saja orang-orang memusatkan perhatian pada Nisa-Seno-Liza. Sehingga ketiganya pun memutuskan memulai dialog di cafetaria perusahaan.

“Kopi, Nis?” tawar Seno begitu pramusaji meyodorkan menu.

Nisa tersenyum kaku dan menggeleng. Membiarkan Seno dan Liza memesan minuman. Hati Nisa seperti tercubit saat ia melihat kemesraan dua orang di depannya. Terlebih ketika Liza menyuapi dimsum ke mulut Seno. Seno suka dimsum. Nisa juga kerap membuatkannya dulu. Dulu. Saat rumah tangga terasa amat bergairah. Dulu, sebelum perkelahian-perkelahian itu muncul dan mengubah semuanya jadi neraka. Sekarang, Nisa telah mematikan rasanya. Dan seharusnya telah mati. Tak boleh bertunas lagi.

Nisa berdeham.

“Ada apa, Nis?” tanya Seno heran. Dia memerhatikan Nisa dari atas hingga ke bawah. Kecanggungan itu masih merebak. Terakhir bertemu, mereka saling bersalaman di ruang pengadilan. Namun, harus diakui, Nisa masih secantik dulu. “Bukannya kamu nggak mau lagi liat aku?” tanya Seno lagi. Seperti mengintimidasi.
Di sampingnya, Liza menatap Nisa tak senang.

Nisa sudah tahu akan ditanya seperti itu. Sambutan penuh keramahan pun tak ia harapkan. Akan tetapi, logikanya melarang untuk meladeni lebih jauh. Tujuannya ke sini, bukan untuk membahas kisah rumah tangga mereka yang sudah hancur. “Mas, ini soal anak kamu ...” ucap Nisa menatap lurus ke bola mata Seno.

“Anak? Terakhir kamu bilang, Raya bukan anak aku lagi.”

Bibir Nisa berkedut. “Maaf. Waktu itu aku pikir...” Nisa melirik Liza, “akan lebih baik kita nggak komunikasi lagi.”

Seno menyeringai. “Nggak bisa begitu, Nisa. Raya mau nikah aja bakal cari aku.”

“Maaf, Mas.”

“Sekarang sudah sadar?”

“Iya, Mas. Maafin aku.”

Seno mendengkus. Namun, sebagai ayah, dia siap mendengarkan segala laporan mengenai putrinya. “Jadi, kenapa Raya?”

Nisa meremas tangannya. Dia memulainya dari gejala speech delay yang dialami Raya. Kemudian, tanpa memedulikan Liza, dia mengeluarkan berkas-berkas hasil pemeriksaan OAE dan tes BERA Raya demi menguatkan bukti—bahwa dia sedang tidak coba-coba mengeruk uang mantan suami.

“Raya ... tunarungu?” ucap Seno pelan, namun penuh penekanan pada kata terakhir. Lelaki yang sudah berusia 35 tahun itu mengamati berkas-berkas yang kini sudah di tangannya. Tak percaya dengan apa yang dia lihat. “Kok bisa,” katanya lagi.

“Katanya bisa karena pasca perawatan ICU, Mas ...” jawab Nisa hati-hati. Raya kan sakit-sakitan selama ini.”

“Hah?”

“Aku juga nggak nyangka ....”

“Jadi...?” tanya Seno, masih menatap berkas-berkas itu yang kini sudah berpindah ke Liza. Samar-samar, Nisa bisa mendengar Liza mengatakan dasar perempuan nggak becus ngurus anak.

Nisa menghela napas meski sesak.
“Kerusakan Pendengaran Raya tergolong sedang-berat, Mas. Jadi Raya harus punya ABD,” ucap Nisa, masih perlahan-lahan. “ABD itu alat bantu dengar. Nanti setelah beli ABD, baru Raya bisa ikut terapi wicara sama terapis. Di dalam terapi itu, nanti Raya bakal diajarin bicara. Belajar mengenal kosakata ...”

“Berapa?” tanya Seno mengerutkan alis.

Nisa  mengubah posisi duduknya menjadi lebih tegap. “Untuk ABD-nya dua puluh jutaan, Mas—”

“HAH?!” Liza memekik. Kali ini tentu tidak samar-samar lagi. Bahkan orang-orang di sekitar mereka sampai tersentak kaget. “Banyak bangeet!” kata Liza, agak memelankan suara. “Nisa! Kamu mau morotin suami aku?”

Nisa menggeleng. “Biayanya memang segitu, Mbak ... aku nggak mengada-ada.”

“Mas, aku ini lagi hamil anak kamu,” Liza menepuk bahu Seno. “Anak laki-laki yang kamu tunggu. Kamu nggak bisa ngabisin uang buat Raya doang. Kamu juga harus inget segala persiapan kehamilan dan pasca kehamilan itu biayanya juga gede. Apa lagi kalau misalnya aku caesar!”
Seno ber-iya-iya sambil menenangkan Liza. Sejurus kemudian, dia kembali fokus pada Nisa. “Kamu yakin harga ABD segitu, Nis?”

“Aku sudah tanya-tanya, Mas ... Bahkan ada yang lebih mahal. Sepasang 40 jutaan. Itu, kalo dipake Raya, dia jadi bisa menemukan satu suara di tengah ramainya suara. Tapi aku minta tolong yang harga sedang aja, Mas. Yang penting Raya bisa dengar aja dulu.”

Hening.

Tapi, deru napas Liza jelas terdengar. Mengalahkan denting sendok dan piring dari meja para pengunjung cafetaria. Perempuan itu seperti banteng yang siap menyeruduk kain merah. Dan Nisa-lah kain merah itu. Baru dua pekan dia menikmati indahnya hidup tanpa berbagi suami. Namun, kenikmatan itu terancam musnah dengan kehadiran Nisa dengan masalah hidupnya.

“Mas, kamu pikir baik-baik, deh ... 20 juta itu besar,” desis Liza tak mau mengalah begitu cepat. “Mas, pikirin angsuran rumah kita! Mobil aku! Kalo kamu beli ABD, gaji kamu ludes, Mas. Kamu mau makan angin?” 

Seno menyandarkan badannya ke bangku. Lalu berkata, “Nisa ...” katanya hati-hati. “Begini, bukannya aku nggak sayang sama Raya. Tapi, Liza memang benar. Aku pun harus memerhatikan pengeluaran-pengeluaran lain. Aku nggak bisa—alat bantu dengar yang kamu bilang itu mahal sekali.”

“Mas, tolong ...” Nisa memelas. Kaki-kakinya seperti lumpuh. Mengetahui Seno mengatakan tidak bisa tanpa memerlukan banyak waktu.

“Tapi tenang aja, Nis. Aku akan tetap bantu biaya sekolah Raya—”

“Gimana Raya bisa sekolah kalo nggak ada ABD,” potong Nisa lemah.

“Ya tentu bisa lah. Anak-anak seperti Raya juga berhak sekolah. Kan banyak SLB di—”

“SLB, Mas?” sergah Nisa.

“Loh, iya. Sekolah luar biasa. Raya kan nanti sekolahnya di sana. Akan ada guru-guru yang pengalaman mengurusi anak-anak seperti Raya.”

Nisa mencelos. “Mas. Aku ini ... ke sini ... minta uang beli ABD. Bukan soal SLB. Aku mau usaha dulu gimana caranya Raya bisa ngomong. Dokter bilang, pendengaran Raya nggak rusak total. Dia hanya nggak cukup mampu mendengar suara normal. Makanya perlu ABD, Mas!”

“Sekalipun ada ABD, toh Raya tetap anak berkebutuhan khusus, kan?” Liza yang bicara. “Anak berkebutuhan khusus nanti sekolahnya di SLB!”

“Aku mau Raya sekolah di SD Reguler.”

“SD reguler?” Liza berjengit. Dia nyaris tertawa. “Nis, kamu tuh ya, masiih aja ... realistis dong jadi orang! Kamu tuh miskin tapi suka memaksakan diri! Raya itu jatuhnya termasuk cacat. Oh! Kamu ngeremehin SLB, gitu? Ngeremehin anak-anak di sana, iya?”

“Oh, enggak!” jawab Nisa cepat. “Justru aku jauh lebih paham kondisi mereka! Aku paham perasaan orang tua anak-anak di SLB itu. Mas, dokter bilang Raya punya kesempatan untuk bicara meskipun cadel. Aku mau kita usaha dulu, Mas. Kita beli ABD dulu. Terus kita usaha ke terapis buat latih Raya bicara.”

Seno mengusap wajahnya.

“Mas, setidaknya Raya mengenal huruf, Mas. Aku nggak tau cara ngajarin Raya. Makanya nanti pakai jasa terapis. Aku udah cari tau di internet, di rumah sakit mana yang ada terapisnya—”

“Nisa ...” desah Seno.

Nisa terdiam. Melihat tingkah Seno, membuat kata-katanya seperti tersangkut di kerongkongan. “Mas?” Nisa menatap mata Seno. Mencari kepastian.

“Nggak bisa, Nisa.”

“Mas, Raya anak kamu. Anak kita! Tolonglah, Mas—”

“Masalahnya aku nggak punya uang sebanyak itu!”

Nisa terhenyak. Mulutnya terbungkam.

“Kamu tuh harus realistis juga!” sambung Seno lagi. “Aku yakin 20 juta itu bukan seluruhnya, kan? Masih ada anggaran-anggaran lain. Biaya ke terapis berapa coba? Mas nggak bisa!” Seno mengangkat tangan, tanda menyerah.

“Tapi, Mas ... Raya ada peluang bisa bicara, Mas ... usia Raya udah 2,5 tahun. Kata dokter, itu aja sudah termasuk terlambat. Harusnya dari dulu beli ABD-nya ... terapinya ....”
“Nah, udah terlambat kan kata dokter? Jadi buat apa lagi?”

“Terlambat tapi masih bisa, Maas!” jawab Nisa parau.

“Temen aku ada juga anaknya kayak anak kamu, Nis.” Liza memijit-mijit bahu suaminya. “Tapi dia nggak ada tuh sibuk ABD-ABD-an.”

“Mungkin aja temen Mbak anaknya tuli total. Kalo sudah gitu, mau beli ABD dan terapi juga nggak ngaruh. Anaknya harus operasi pasang koklea.”

“Entahlah.” Liza mengangkat bahu. “Yah ... seenggaknya dia tuh nggak ngotot. Dia terima kondisi anaknya. Dia bersyukur dengan apa yang Tuhan kasih.”

Nisa memelotot. “Maksud Mbak, aku nggak bersyukur?!”

“Kamu yang bilang, ya.”

“Mbak, Raya itu nggak tuli total! Dia masih punya kesempatan untuk mendengar! Aku cuma mau mengambil kesempatan yang Allah kasih ke Raya. Dan Raya hanya butuh sedikit bantuan kita untuk mewujudkan kesempatan itu!”

“Tapi Tuhan nggak pernah maksa!” pekik Liza. Matanya melotot. “Kalau nggak ada duit, ya sudah! Jalani takdir itu!”

Nisa ternganga. “Mbak ... seandainya anak mbak kayak anak aku, apa Mbak nggak mau berusaha dulu?”

Liza mengelus perutnya sambil bergumam amit-amit jabang bayi. “Anak aku nggak akan kayak anak kamu! Insyaallah! Lagian aku cuma cerita soal temenku! Sewot banget, sih!”

“Aku nggak butuh cerita mbak ya!”

“Taik! Ngelawan ya kamu sekarang!”

“Sejak awal aku cuma mau ngobrol dengan Mas Seno. Mbak yang nimbrung-nimbrung aja!”

“Heh, pelakor! Mending pergi aja dari sini. Setan lu!” bentak Liza. Dia melemparkan kertas-kertas hasil tes Raya ke meja. Membuat darah Nisa mendidih.

“Mbak, sampai kapan sih, mbak benci sama aku? Aku sudah rela cerai sama Mas Seno, aku bukan perempuan seburuk itu!”

Liza tertawa. “Kamu selamanya buruk di mata aku! Kamu nggak inget apa? Aku lagi berjuang program hamil, kalian berdua malah sibuk bikin anak! Aku nggak akan pernah lupa rasa sakit itu! Mungkin, Raya budek gitu karena azab ibunya!”

Mendengar itu, Nisa meradang. “Mbak jangan sembarangan ngomong!”

“Loh, kenyataan kok. AZAB PELAKOR, ANAKNYA JADI BUDEK SEUMUR HIDUP!”

“Mbak!”

“Sudah! Sudah!” Seno melerai. Sambil tertunduk-tunduk ia meminta maaf ke pengunjung cafetaria. Tangannya menahan Liza untuk tidak maju. “Nisa, mohon maaf, aku nggak bisa bantu, Nis. Kamu tahu aku cuma pegawai biasa di kantor ini.”

“Mas, tolong, Mas ... sekali ini bantu aku. Bantu anak kita, Mas.”

“Nggak ada, Nisa ....”

“Mas,” Nisa menarik tangan Seno. “Mas bisa kasih setengahnya aja ... 10 juta aja ... nanti aku cari sisanya. Aku bisa—”

Kalimat Nisa terhenti. Berganti suara siraman air. Sesuatu yang basah dan lengket kini merayapi dadanya. Membuat Nisa refleks mengusap-usap bajunya. Beberapa detik lalu, Liza telah menyiramkan es kopi ke dada Nisa.

“Liza!” Seno meraih gelas di tangan Liza. “Kamu ini kok—”

“Mas, buruan kita pergi dari sini. Aku muak liat muka dia!” seru Liza. Tak peduli pandangan orang-orang. “Mas? Sekali lagi aku tanya, kamu pilih aku atau dia? Kamu pilih Raya atau anak dalam kandungan ini?”

Seno mengusap wajahnya. “Ya udah. Iya, iya kita pergi dari sini. Nisa, maaf.”

“Mas, Raya juga darah daging kamu!” raung Nisa, masih belum menyerah.

Seno menghentikan langkah sejenak. “Nanti aku pikirin. Sekarang kamu pergi dulu.”

Usai mengatakan itu, Seno dan Liza benar-benar pergi. Meninggalkan Nisa dengan perasaan hampa.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top