7. Setangguh Marigold
“Ini ma-war.”
“Ini kam-bo-ja.”
“Ini ke-na-nga.”
Sore yang berawan, Pak Noto dan Raya terlihat berjongkok-jongkok ria di teras rumah. Lelaki tua itu, tampak sibuk membersihkan semak yang menutupi sebagian besar koleksi bunga-bunganya—amat subur akibat terpaan hujan dan cuaca dingin. Raya baru bergabung beberapa menit lalu, setelah kelelahan mengejar Dolly, kucing betinanya. Ia tampak tertarik melihat mbah lanang-nya cekatan menerbas rumput dengan arit. Dia berlari-lari kecil di sekeliling Pak Noto, dan mulai penasaran dengan bunga yang beraneka macam warnanya.
Sejak mengetahui bahwa cucunya tuli. Pak Noto menerima kenyataan itu dengan dada yang dilapang-lapangkan. Sepanjang malam dia berpikir keras, apa yang harus dilakukan jika berhadapan dengan cucu kecilnya itu. Apa yang perlu ia ajarkan pada cucunya.
Dari yang Nisa sampaikan, Raya masih bisa bicara jika dia memiliki ABD dan diajarkan oleh seorang terapis.
Tapi kita tidak bisa membeli ABD
Lalu, bagaimana seorang terapis bekerja?
Apakah aku bisa berlagak seperti terapis?
Maka dengan sabar, Pak Noto menyebutkan nama setiap bunga dengan mengeja. Dan dia melakukannya sambil menunjuk bunganya langsung, menatap ke bola mata Raya, lalu mengeja pelan-pelan agar Raya bisa membaca gerakan bibirnya.
Raya membuka mulutnya, tapi tidak serta-merta mengeluarkan suara seperti mbah lanangnya. Akan tetapi, kesia-siaan itu tak membuat Pak Noto berhenti mengajari. Dia amat girang ketika Raya berjalan antusias ke sana kemari menunjuk bunga-bunga, minta mbahnya menyebutkan nama bunga itu meski tak mendengarnya. Anak kecil pada dasarnya serba ingin tahu, kita manfaatkan itu. Demikian kata Pak Noto pada istrinya yang memanggilnya untuk membawa masuk Raya.
“Oh!” Pak Noto berseru takjub. Tergopoh-gopoh ia mendekati Raya yang tengah memekik sambil menunjuk-nunjuk bunga bulat berwarna jingga. Bunga itu tumbuh berumpun-rumpun di samping pohon jambu air. Sedikit terbatuk, Pak Noto kembali merendahkan posisinya dengan Raya. “Itu ... ma-ri-gold!” ejanya kemudian.
“Ma-ri-gold.”
Mata Raya memerhatikan gerakan mulut kakeknya. Dan dia pun tertawa renyah. Belum puas, ditunjuknya lagi bunga itu.
“Ma-ri-gold,” eja Pak Noto lagi. “Tapi mbah putrimu suka nyebutnya ... kembang telek ayam.”
Raya mengerjapkan mata.
“Ma-ri-gold.”
Raya tertawa lagi.
“Raya suka bunga ini, ya?” tanya Pak Noto, ikut semringah melihat wajah ceria cucunya. Lelaki tua itu pun memetik beberapa tangkai marigold. “Bunga ini artinya harapan, Nak. Harapan untuk meraih kebahagiaan,” katanya menatap bunga-bunga itu takzim. “Marigold bisa tumbuh di mana saja dan kapan saja. Kamu pun harus seperti itu, ya?” katanya lagi seraya menyerahkan bunga itu.
Memekik senang, Raya berlari ke sana-kemari bersama marigold di tangannya. Dia tampak mengerti saja dengan apa yang kakeknya katakan. Sehingga ia terus bahagia. Membuat Pak Noto yang terbatuk-batuk kini bungah melihatnya. Akan tetapi, pada saat-saat ceria itu, Nisa muncul dengan wajah muram. Seperti seorang perempuan yang hatinya patah.
“Gimana, Nduk?” tanya Pak Noto mengikuti Nisa masuk rumah. Dia menyerahkan Raya ke gendongan Bu Narti. Istri dan cucunya itu pun menghilang masuk kamar. “Nduk?”
Nisa menghela napas dan menoleh. “Pak ... duduk aja ya ...” katanya pelan. Dia membimbing Pak Noto duduk di sofa. Hatinya terluka saat melihat bapak kandungnya itu tergopoh-gopoh memindahkan tubuh. Sendi-sendi tulangnya menonjol akibat asam urat yang cukup parah.
“Gimana? Seno mau bantu?” berondong Pak Noto.
Nisa mengulum bibirnya dan menggeleng. “Belum ketemu Mas Seno, Pak.”
“Mbak Liza-nya ada kan?”
Nisa mengangguk.
“Kamu sampein ke Liza ndak? Biar dia ngomong ke Seno.”
Nisa mengangguk terpatah-patah.
“Yo wes, mudah-mudahan Liza mau bantu ngomong. Begitu-begitu Raya toh anak suaminya, kan?”
Setengah melamun, Nisa mengangguk. Berat sekali hatinya mengatakan ke bapak kalau tidak akan ada bantuan dari Liza. Tidak ada selain caci maki yang ia dapatkan. Bapaknya telah cukup ringkih untuk menampung semua masalah yang Nisa hadapi. Dulu, selagi bapak sehat, bapak adalah garda terdepan yang akan membela Nisa. Bapak adalah tempat Nisa pulang. Tempat Nisa mencurahkan semua kekesalannya. Tempat Nisa meminta pertolongan. Akan tetapi, bapak tidak boleh lagi mengetahui semuanya. Bagi Nisa, bapak hanya harus bangun pagi dan berjalan santai di bawah sinar matahari demi mendapatkan vitamin D.
“Mana mungkin Liza mau sampein!” Bu Narti tiba-tiba sudah muncul di depan bapak dan Nisa. Di tangannya sudah ada secangkir teh hangat untuk suaminya. Dia meletakkan teh itu ke meja, lalu berkata, “Bapak ndak inget poh? Terakhir kali Liza ke sini ngapain aja? Dia bikin rusuh! Caci maki kita. Dibilangnya kita keluarga sundal! Keluarga rakus! Opo kui? Pelakor! Tetangga-tetangga sampe keluar! Ndak inget Pak RT sampe dateng, hm? Opo ndak malu? Aku sampe sekarang malunya belum ilang-ilang!”
Pak Noto dan Nisa menatap Bu Narti.
“Ya gara-gara Nisa ini! Pake acara rebut suami orang segala. Kayak ndak ada laki-laki lain!” tunjuk Bu Narti ke Nisa.
“Bu, aku kan sudah bilang ... aku nggak tahu Mas Seno sudah ada istri ...”
“Ndak usah ngejawab! Tahu atau tidak tahu toh sama aja! Kamu main terima-terima cinta orang. Harusnya kamu cek dulu!”
“Bu ... uwes toh ... yang sudah berlalu ya sudah...” ucap Pak Noto lembut.
“Bukan begitu, Pak. Ini kan masalahnya mau minta tolong si Seno. Ya sudah, langsung ke Seno! Jangan lewat Liza! Sekarang aku tanya, perempuan mana yang tahan jika suaminya menikah lagi. Jika suaminya memiliki istri kedua tanpa izin? Hm? Ndak ada! Jadi, mana mungkin Liza itu mau bantuin Nisa! Yang ada Nisa disyukur-syukurin! Sudah! Ndak usah ke sana-sana lagi!”
“Tapi Mas Seno nggak angkat-angkat telponku, Bu ...”
“Itu artinya dia nggak mau bantu. Sudah! Dasar nasibnya Raya!”
“Maksud Ibu?”
“Sudah nasib Raya bakal budek, bisu!”
Nisa terhenyak. Seperti ada gada yang menghantam kepalanya, memecah tengkoraknya. Dan pecahan-pecahan itu terserak ke segala tempat. Menyisakan rasa sakit dan anyir di tubuhnya. Dengan gemetar, Nisa berdiri. Dia lelah. Lelah sekali. Dia ingin sudahi percakapan yang sudah tertebak siapa pemenangnya. Sejak dulu, dia tak pernah mau beradu mulut dengan ibunya dan bapaknya. Sebab, kedua orang itulah yang mengajarinya bicara dulu.
Tapi, kadang-kadang, dia benci ibunya.
Karena kadang-kadang, dia rasa ibunya membencinya.
Terseok-seok, Nisa masuk kamar. Mengabaikan panggilan bapak.
Dan di ruang kecil itu, dia menemukan satu-satunya alasan mengapa ia hidup sampai sekarang. Alasan mengapa ia bersedia diperlakukan hina sepanjang hari ini. Alasan mengapa ia bekerja amat keras sampai detik ini.
Raya sedang memainkan marigoldnya. Anak itu tersenyum saat Nisa membuka pintu. Tergopoh-gopoh, Raya berlari dan mengangsurkan bunga itu ke Nisa.
“Apa ini?” tanya Nisa, menatap sendu ke bunga berbau menyengat itu. Tak lama kemudian, dia tersenyum masam. “Cocok.”
Raya berlari ke arah meja rias. Dia mengambil mushaf kecil yang biasa dibaca Nisa sehabis sholat. Dengan ceria pula ia menyerahkan mushaf itu ke bundanya.
“Kamu mau bunda ngaji?” tanya Nisa, tersenyum. Dia mengelus-elus wajah cantik anaknya. Sejak vonis Raya, Nisa memang mulai rajin membaca Al-Quran di dekat putrinya itu. Dia juga akan menyanyikan senandung Al-Quran, doa yang biasa dilakukan selepas hatam. Mungkin Raya suka mendengarnya, dan mau Nisa melakukannya. Mungkin Raya juga mau mengaji a, ba, ta, tsa—
“Aaaa!” Raya memekik seperti biasa. Membuat Nisa sedikit kaget. Sebab beberapa detik lalu, dia berharap Raya menjawab iya bunda aku mau mengaji bunda seperti anak pada umumnya. Nisa beristighfar.
“Raya ... maafin bunda, ya ....”
Raya berceloteh, membalas dengan bahasanya sendiri.
Nisa meraih tubuh Raya dan menangis pelan.
“Raya, anakku ....”
“Anakku yang malang ....”
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top