6. Ke Rumah Mantan
Sepeda motor itu melaju kencang. Membelah jalan kota. Mengebut, hampir menerobos lampur merah. Tepat di pertigaan, si sopir membelokkan kendaraannya ke kanan dan masuk ke perumahan dengan gapura bertuliskan Ballendio. Mulai dari situ, dia memelankan lajunya-dia tidak mau ambil resiko kena marah satpam komplek. Lalu di depan sebuah rumah bercat putih dengan nomor K02, si pengemudi berhenti setelah penumpang di belakangnya menepuk bahunya.
"Perlu ditunggu, Mbak?" tanya sopir ojol.
Nisa turun dari boncengan. Dia berpikir sesaat. "Nggak usah, Mas," katanya sambil menyerahkan uang selembar. "Ambil aja kembaliannya."
Ojol itu berlalu pergi. Meninggalkan Nisa seorang diri, tengah menarik-lepas napasnya teratur. Meremas pegangan kantong plastik yang dia genggam. Bersiap-siap dengan kemungkinan yang ada. Di depannya, kini berdiri rumah Seno dan Liza tinggal. Bagus dan besar.
Alih-alih ke kantor, Nisa memang berencana ke rumah Seno terlebih dahulu, tapi tanpa Maya. Dan Maya tak perlu tahu. Perempuan itu akan minta ikut untuk menemani. Dan Nisa tidak ingin Maya melihatnya dihina-hina orang (ada kemungkinan, mengingat Liza pernah berlaku seperti itu).
Dengan langkah yang dikuat-kuatkan, Nisa masuki pelataran rumah itu dan mulai menekan bel. Setelah bel ketiga berbunyi, barulah seorang perempuan cantik membuka pintu. Wajah yang menyambut ramah itu mendadak berubah dingin.
"Assalamu'alaikum, Mbak Liza. Apa kabar Mbak?" sapa Nisa lembut.
Bukannya menjawab, Liza menatap Nisa dari atas hingga bawah seperti melihat hantu. Hantu yang seharusnya tidak bergentanyangan lagi di hidupnya setelah perceraian kemarin.
"Ngapain lagi kamu ke sini?" cecar Liza kemudian.
"Ini buat, Mbak. Aku bawain kue onde-onde. Aku bikin sendiri, baru aja mateng."
Tanpa memdulikan bungkusan itu, Liza mengulang pertanyaan. "Ngapain kamu ke sini?"
"Mas Seno ada, Mbak?"
"Nggak ada."
"Akhir pekan gini Mas Seno kerja, Mbak?"
"Mana kutahu. Nyari jablay lagi, kali!"
Nisa terdiam. Namun, segera ia tahan begitu Liza hendak menutup pintu. "Mbak, tunggu dulu, mbak ...."
Liza menepis kasar genggaman tangan Nisa. "Kamu mau apa lagi, haah? Perempuan nggak tahu diri kamu! Kamu sudah sepakat nggak akan hubungi Mas Seno lagi, kan?!"
"Iya, Mbak. Memang begitu. Tapi-"
"Lalu kenapa kamu masih ke sini?! Belum puas kamu rusak rumah tangga aku? Hah? SETAN?!"
Nisa menggeleng cepat. "Saya nggak bermaksud, Mbak ... saya ke sini karena Raya, Mbak."
Liza tertawa menghina. "Aku nggak peduli! Dan aku yakin, Mas Seno juga nggak akan peduli! Kamu lihat ini?" Liza menunjuk perutnya. "Aku hamil."
Nisa tercenung. "Selamat ya, Mbak ... akhirnya sebentar lagi mbak bisa punya anak-"
Liza menelengkan kepala dan tersenyum masam. "Makasih!"
Pintu berdebam keras tepat di wajah Nisa. Membuat kepanikan berkumpul di kepalanya.
"Mbak! Raya sakit, Mbak! Raya butuh ayahnya!" Nisa menggedor-gedor pintu. "Mbaak! Mbak aku minta maaf! Aku cuma mau Raya bisa terapi! Mbaak! Mbaak! Tolong anakku, Mbaak!"
"Mbaak!"
"Mbaak!
"Mbak ...."
Nisa mengetuk pintu berulang kali. Namun, sekuat apa pun mencoba, berapa kali pun ia mengetuknya, separah apa pun suara paraunya, pintu itu tidak terbuka.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top