10. Jalinan Takdir yang Lain

Di benua Amerika, ada sebuah desa bernama Roseto. Di sana, orang-orang memiliki umur yang panjang. Hal ajaib itu membuat seorang ilmuwan penasaran. Dia mulai  menyelidiki dan menemukan penyebabnya bukanlah karena orang-orang Roseto menjaga pola makan. Tetapi karena mereka senang bersilaturahmi, berkumpul, berbagi sesama warga desa. Setiap rumah di sana, selalu masak lebih banyak karena setiap hari mereka open house. Dan, itu tidak membuat mereka menjadi miskin.

Nisa menyukai desa itu. Ia membacanya di internet setelah seorang terapis di komunitas yang pernah ia ikuti membahasnya. Kalau ia banyak uang—seperti ibu-ibu sultan yang kerap belanja di tokonya—mungkin ia mau jalan-jalan ke Roseto.

Nisa pikir, akan sangat menyenangkan bersenda gurau dengan warga se-RT, tapi di kota tempat Nisa tinggal, kesibukan seperti tak pernah habis-habisnya. Dan berkumpul bersama tetangga hanya bisa dilakukan pada hari-hari tertentu. Mungkin berkumpul dengan keluarga jadi satu-satunya meredam kelelahan.

Setidaknya begitu. Sampai perkumpulan itu menjadi sarana menuju mental yang lebih sarat lagi.
Hari ini, anak-anak Bu Narti berkunjung ke rumah; Fadhil dan istrinya Sarah. Lalu Zillah tanpa suaminya—izin karena ada pekerjaan. Semuanya datang bersama anak-anak mereka. Sebagai yang tertua—dan anak laki-laki satu-satunya, Fadhil menjadi kebanggaan Bu Narti. Dan secara otomatis, dia menjadi standar keberhasilan. Fadhil hanya lulusan D-III saat bekerja sebagai kurir pengantar makanan ke toko-toko. Kemudian, ia mengukir prestasi dengan lulus CPNS sehingga kerja di kantor kejaksaan. Ia lantas menikahi Sarah, karyawan restoran fast food, dan dianugerahi anak laki-laki bernama Divo.

Anak kedua Bu Narti, Zillah. Agak lebih sejahtera. Zillah dikuliahkan sampai S1 dan menyelesaikannya susah payah. Ia sempat bekerja di perusahaan retail sebelum akhirnya menikah dengan Pandu, seorang PNS di kantor kelurahan. Namun, setelah melahirkan Keenan, ia diminta berhenti dan fokus di rumah. Ia menerima itu suka cita karena muak dengan orang-orang di lingkungan kerjanya.

Meski sudah pisah rumah, dengan jarak tempuh  satu jam, Fadhil rajin mengirim uang saku untuk kedua orang tuanya. Sarah sekali-sekali karena sadar diri ikut suami. Dan Bu Narti amat bangga karena anaknya jadi PNS dan istri PNS. Perjuangan itu, kerap Bu Narti ceritakan ke Nisa. Berharap anak perempuannya itu mengikuti jejak saudara-saudaranya. Kalau bisa, jadi seperti Fadhil.

Sementara Nisa, dia tidak yakin punya jiwa PNS. Dia suka wirausaha sebetulnya. Meski tak kunjung direalisasikan apa bentuk usahanya. Terlebih setelah menyelesaikan SMK, bapak divonis paru-paru basah dan mulai sakit-sakitan. Hal itu membuatnya tidak melanjutkan kuliah, dia lebih memilih berpindah-pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya. Dari jaga konter HP, karyawan minimarket, sampai yang agak berkelas, karyawan toko baju ber-merek (jenjang kariernya saat ini). Pernah ia ikut seleksi CPNS—demi memuaskan Bu Narti—tapi tidak lolos. Itu, cukup membuat Bu Narti kehilangan keceriaan selama dua minggu. Tapi Nisa amat santai. Tentu saja karena dia tidak sepenuhnya ingin jadi PNS.

“Divo mau semangka?” tanya Bu Narti riang saat menarik bocah itu dari gendongan Sarah. Dengan senang, Divo mengangguk-angguk. Sementara Keenan sibuk menunjuk-nunjuk ke luar jendela, tempat ayam-ayam Pak Noto membuat peradaban.

“Ayam! Ayam!” pekik Keenan senang. Matanya yang bulat dan hitam tampak amat menggemaskan.
Divo dan Keenan. Masing-masing genap berusia dua dan tiga tahun. Keduanya sudah bisa berjalan dan berbicara banyak. Tak jarang mengucapkan kata yang menggemaskan, seperti; maam untuk makan, mnum untuk minum, Ibuk, papa, mbah, ayam,  capi dan kucing.

“Divo lincah sekali ya!”

“Keena juga ganteng bangeet! Kayaknya bakal jadi inceran cewek niih!”

“Hush!”

“Raya mana, Bu? Divo sama Keenan mau ketemu, nih.” Fadhil mengedarkan pandangan. “Nis, sini dong, gabung sama kami,” panggilnya saat melihat Nisa mondar-mandir di dapur. Sebagai anak yang tinggal dengan orang tua—dan saudara-saudaranya datang berkunjung—Nisa memilih sibuk di dapur. Ia mengangguk, memberi isyarat tunggu ke arah Fadhil.

Namun, percakapan yang sensitif itu mulai. Bu Narti menepuk bahu anak-anaknya, dan mulai bercerita soal Raya.

“Memang apa lagi yang dibilang dokter?” tanya Fadhil begitu ibunya selesai cerita. “Nis, Nisa,” panggilnya ke Nisa, tapi segera dihentikan Bu Narti.

“Dokter bilang, Raya ndak tuli dari lahir.”

“Lah lantas kenapa sampai begitu, Bu?” Zillah ikut bertanya.

“Katanya efek obat-obatan.” Bu Narti menghela napas. “Nisa sih, abis sesar langsung heboh minum obat. Jadi ASI-nya sedikit.”

“Iya, ya. ASI kan penting buat imunitas bayi,” timpal Sarah.

“Ya mungkin karena itu! Si Raya jadi mudah sakit.” Bu Narti menyahut. Lalu dengan mata berkaca-kaca, ia berkata, “Ibu nggak mau punya cucu bisu.”

“Sabar, Bu. Mungkin memang jalannya begitu,” hibur Sarah, mengelus-elus bahu mertuanya.
Nisa berhenti memotong-motong semangka. Ia meletakkan pisau, dan menatap nanar pada ibu dan kakak-kakaknya yang mulai membicarakan Seno. Tidak tahan, dia berjalan mendekat ke tempat keluarganya duduk bersama. Ya, sejak tadi, dia memang pura-pura tuli.

“Maksud, nggak mau punya cucu bisu itu apa, Bu?” tanyanya, kesal.

“Nis.” Zillah menegur.

Nisa melirik ke Zillah sebentar. Lalu lanjut menatap ibunya. “Bu. Ibu manggil mereka cuma mau bahas aku tok?”

“Opo toh. Dateng-dateng merepet. Ndak sopan,” kata Bu Narti, tak kalah sewot.

Nisa menghela napas. “Raya nggak bisu, Bu. Aku nggak akan biarin Raya bisu.”

“Gimana caranya biar nggak bisu?” jawab Bu Narti. “Kamu masih ngarep si Seno itu bakal bantu? Mustahil! Wong dia macem layang-layang begitu. Makanya, jangan mudah kemakan rayuan hidung belang! Ibu larang kamu nikah sama dia, masih lanjut juga, kan?

Sekarang liat hasilnya! Kualat kamu!”

“Bu, aku udah bilang kan—”

“Ibu juga sudah bilang kan? Makanyaaa! Jadi perempuan itu jangan grasak-grusuk! Anak sakit itu sedikit-sedikit jangan minum obat.”
Nisa menelan ludah. Lelah dengan perdebatan berulang ini. Itu-itu saja yang akan diungkit Ibunya. “Bu, waktu itu Raya 41 derajat. Aku harus gimana? Raya bahkan susah makan. Nggak bisa menelan makanan ...” Akhirnya, Nisa melepas semua kekesalannya. “Ibu tuh cuma ngurusin cucu-cucu yang lain. Giliran Mas Fadhil dan Mbak Sarah titip anaknya di sini, ibu nggak masalah! Giliran aku? Ibu selalu marah kalau aku manggil-manggil buat bantuin. Ibu bilang aku harusnya nggak manja. Ibu bilang aku nggak boleh jadi ibu yang buruk. Tapi, Ibu lupa, aku belum pernah punya anak. Aku, kalo nggak nanya Ibu, aku harus nanya siapa?”

Zillah berdiri dan mengusap bahu adiknya. “Udah, Nis ... mungkin karena prematur kali ya, Nis?” tebak Zillah, lebih bisa bersikap tenang. “Bu ... Raya kan dari kecil sakit-sakitan. Mau diapain lagi? Anak sakit, ya diobatin. Kalau sudah sekarat, obat kampung mana mempan karena efeknya lama. Wajar Nisa panik. Dan sudah seharusnya dia ke dokter.”

Suara batuk bapak terdengar dari kamarnya. Memecah ketegangan.

Nisa lekas menyelesaikan kegiatannya di dapur, lalu masuk kamar. Namun, tak beberapa lama, Zillah menyusul. Ia mengintip dari pintu. Tampak Nisa tengah memerhatikan Raya yang membolak-balik buku. “Nisa, boleh Mbak masuk?”

Nisa menoleh. Dan mengangguk.
Duduk di sisi Nisa, Zillah lalu ikut memerhatikan Raya. Dia tersenyum saat melihat Raya mengoceh aaang aang sambil memegang buku. “Wah, Raya nggak sabar mau sekolah ya?” sapanya, mengusap-usap kepala Raya. Perempuan itu kontan tertawa begitu melihat Raya tertawa padanya. “Anak kamu mudah akrab ya sama orang! Padahal aku dan Raya jarang ketemu.”

Nisa mengangguk dan tersenyum lemah.

“Nis, maafin Ibu ya. Biasalah emak-emak ... tapi bagaimana pun, Ibu itu sayang sama kamu.”

Nisa tersenyum tawar. “Oh ya?”

“Oh ya?” Zillah membeo.

“Mbak itu kayak nggak tahu ibu aja. Baginya, Mas Fadhil dan Mbak itu piala. Aku cuma pelengkap!” seru Nisa. Dadanya naik turun menahan emosi. “Aku tau ..,” katanya lagi, dengan pandangan menerawang. “Aku memang produk gagal. Ada aja kelakuan aku yang bikin ibu marah. Aku memang yang suka keluar jalur. Aku nggak cocok dengan semua ide Ibu. Termasuk nikah sama Seno—”

“Jangan suudzon, Nis. Kamu pikir kenapa kami semua ngumpul hari ini?” tanya Zillah lagi. “Itu karena Ibu nelpon kami, suruh dateng secepatnya.” Nisa diam seribu bahasa. “Nis, hei,” Zillah menyentuh bahu adiknya. “Nis?” panggilnya lagi sambil mendekatkan posisinya. Segera ia sadar kalau Nisa tengah menahan tangisnya. Membuat Zillah merangkul pundak Nisa.

“Aku bingung banget, Mbak ...” ucap Nisa akhirnya. Bahunya merosot. “Aku takut ...”

“Nis, dunia yang besar ini, yang nyiptain kan Allah yang Maha Besar. Jadi kamu jangan takut. Aku yakin Raya itu kebaikan yang Allah amanahkan buat kamu. Kebaikan yang paling banyak dan berkah.” Zillah mengusap air mata adiknya. “Maafin kami, ya. Kamu jadi tersinggung.”

Nisa menggeleng. “Nggak papa, Mbak. Ibu yang ngomongnya kelewatan.”

Zillah menghela napas. “Nggak ada ibu mana pun yang mau nyelakain anaknya, Nis.”

“Mbak salah. Di berita-berita sekarang, sudah banyak ibu-ibu yang bunuh anaknya.”

“Kamu akan begitu juga?”

Nisa tertawa kecil. “Astaghfirullah ... aku akan bunuh diri sendiri dulu kalau ada niat secuil itu.”

“Astaghfirullah...”

Nisa mengedikkan bahu. “Aku ibu yang buruk ... tapi nggak seburuk itu.”

Zillah tersenyum. “Ibu juga mungkin nggak seburuk itu, kan?”

Nisa tak menjawab.

“Nggak ada yang pernah jadi mantan ibu. Semua ibu adalah seorang amatir yang belajar sejak awal. Jadi jangan menyalahkan diri sendiri. Anggap saja mendidik Raya adalah jalan pembelajaran untuk kamu.”

“Insya allah, Mbak.”

“Mbak izin pulang, ya.” Zillah menggenggam tangan Nisa. “Kamu nggak mau nengok Mas-mu? Dia nungguin di luar.”

Nisa beranjak. Ia keluar dan langsung bertatap muka dengan Fadhil. Tanpa sepatah kata pun, keduanya berpeluk singkat. Fadhil mengusap kepala adiknya. Sejak dulu, Mas Fadhil memang seperti itu. Ia tidak terlalu suka bicara dengan penuh nasehat ke adik-adiknya. Soalnya, selisih usia mereka yang dekat justru membuat pertengkaran terjadi, dan malah saling menyepelekan jika ada yang menasehati. Namun, Fadhil, ia yang akan menunggu Nisa selesai menangis. Dan jika sudah selesai, Fadhil memeluk Nisa dan mengajak adiknya main.

“Ini buat kamu, Nis.” Fadhil mengangsurkan selembar brosur hitam putih. “Kalau kamu senggang, kamu dateng ke situ, ya.”

Nisa menerima brosur itu. Di situ tertulis; Pondok Qilabah.

Sebuah tempat yang kelak membawanya ke jalinan takdir yang lain.

**

Bersambung....



**

Haai karya ini sudah terbit, pake jasa KBM print.
Tapi kamu tetap bisa baca lengkap di KBM app @ikanuila
Makasih ya ❤️🙏

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top