Tiga

Menjelang pukul empat, Ratu akhirnya kembali ke kubikelnya lalu dengan wajah kusut menghenyakkan pantat ke atas kursi kesayangan yang menjadi teman selama tiga tahun sebagai staf ekspor impor di perusahaan PancaBuwana Internasional ini. Ia menghela napas berkali-kali sambil menggosok wajah sebelum menempelkan kepala dengan asal ke atas meja dan memejamkan mata di sana. Lisa, sang rekan kerja hanya bisa menjulurkan kepala sebelum mulai investigasi panjang lebar beberapa detik lagi.

"Capek, Bu? Adu otot ama orang bea cukai?" Lisa penasaran dan dibalas dengan kedikan bahu. Ratu masih memejamkan mata dan terlalu malas bergerak.

"Artinya apa, tuh? Nggak capek apa nggak berantem?"

Ratu menjawab dengan nada lemah sambil membuka kelopak mata. Ia memandangi Lisa yang masih duduk di bangku, berharap dapat jawaban yang memuaskan sore itu.

"Nggak ada bea cukai. Gue dibohongi lagi." Ratu kembali mengeluh. Pikirannya mulai menerawang ke beberapa jam lalu usai makan siang berdua dengan Damar yang mengaku mereka ada tugas penting. Ratu yang polos dan selalu berpikiran positif hanya menurut karena dia tahu, setiap ada masalah dengan bea cukai, dirinya selalu berada di barisan depan, bagian negosiasi. Tidak pernah gagal, sehingga ketika Damar meminta bantuan, dia akhirnya pasrah.

Lalu kemudian dia sadar dibohongi saat mobil pria itu malah berbelok ke sebuah mal besar bukannya kantor bea cukai dan dengan santai Damar menggenggam tangan Ratu menuju bioskop buat nonton berdua.

Iya, nonton.

Dan dia tidak bisa menolak karena pria itu mengancam akan melakukan sesuatu berkaitan dengan Kakang Broto. Hal yang kemudian membuat Ratu bungkam tidak berdaya.

Pria yang menggunakan kucing sebagai tameng untuk memanfaatkan situasi adalah hal yang paling dia benci. Terutama karena pemanfaatan itu berkaitan dengan usaha pemindahan posisi Kang Broto, dari bagian belakang kantor menjadi daerah dengan radius sepuluh sampai lima belas kilometer, jauh dari jangkauan yang Ratu bisa untuk membawa kembali kucing kampung yang derajatnya lebih tinggi dari pacar itu.

Lebih tinggi karena dia sendiri sampai detik ini tidak punya pacar.

"Tapi suka, kan? Diajak laki masa depan, loh." Lisa terkekeh dan mendapat balasan sebuah dengusan dari Ratu yang kini sudah angkat kepala lalu bersandar pasrah pada bagian jok kursinya. Mata Ratu kemudian menerawang menatap langit-langit kantor saat Lisa bertanya lagi.

"CCTV aktif ga tadi? Gak dapet panggilan darurat, kan?"

Ratu mengangguk lemah. Ia coba tersenyum selagi menahan sesuatu yang ngilu ketika Lisa menyinggung soal "CCTV".

"Radarnya aktif, bok. Sinyal kenceng banget. Dipasangi GPS kali ya, tau aja kalau gue keluar bareng dia."

Tawa Lisa sekejap tertahan. Ia memandang sahabatnya iba namun Ratu terlihat amat cuek dan mulai memperbaiki posisi duduk sebelum ia mengaktifkan kembali layar komputer dihadapannya, seolah bahasan yang mereka bicarakan tadi cuma angin lewat yang tidak begitu penting.

"Lo juga, nggak pernah mau protes sampe sekarang. Nerima aja, pasrah terus..."

Ratu hanya memberi respon lewat gelengan dan isyarat mata agar Lisa berhenti bicara saat Damar yang tadi ia tinggalkan di parkiran berjalan cepat ke arahnya sambil membawa sebuah kantong kertas yang sejak awal pria itu beri, sudah mati-matian ditolak olehnya.

"Ketinggalan, nih. Nggak boleh nolak, besok kamu pake. Saya nggak mau liat kamu pake sepatu, ternyata solnya sudah jebol. Malu-maluin lalau mau ketemu klien, pake sepatu rusak."

Ratu menggigit bibir, masih coba menggeleng saat Damar tidak terima alasan apapun dan menyerahkan paksa kantong kertas bermerk toko sepatu terkenal pada wanita yang jelas-jelas tahu perasaannya saat ini namun tidak henti mengajaknya main kucing-kucingan walau sudah sekian tahun berlalu.

"Mas, kalo di jual buat beli tiket nonton Miss Universe di Thailand, boleh gak?"

Satu detik kemudian, Ratu menjerit saat hidungnya dijepit dengan keras oleh tangan besar pria tampan yang menahan keinginan dalam hati untuk menyeret wanita slebor itu ke KUA terdekat.

***

Menjelang bedug Isya, Ratu Intan Wijaya Kusuma tiba di sebuah kontrakan tiga petak yang pintunya masih terbuka. Lampu penerangan dari dalam bersinar sampai bagian luar yang entah kenapa, oleh tetangga depan rumah mereka tidak dipasangi lampu. Untunglah, setiap kembali ke kontrakan, Ratu tidak akan banyak ulah, langsung masuk dan menutup pintu seperti biasa sehingga ia tidak ambil pusing bila kondisi depan rumah sedikit gelap dari yang lain.

Barangkali besok ia akan membeli lampu dan meminta Bang Harun, tetangga samping untuk membantu memasang di depan teras sehingga ketika malam tiba, nyamuk tidak akan terlalu banyak masuk karena setiap hari pintu depan selalu terbuka hingga Ratu kembali dari kantor.

"Assalamualaikum." Ratu menyapa ketika kaki yang dibalut sepatu rusak, seperti gerutuan Damar tadi menginjak teras rumah. Dua suara membalas namun hanya satu yang terdengar sedikit jelas. Bagi Ratu hal tersebut tidaklah masalah. Setelah menarik napas panjang dan mengatur mimik wajah, ia masuk dengan senyum lebar terkembang hingga yang memandanginya akan terpana. Tidak peduli tinggal di pemukiman sempit dan sedikit kumuh, Ratu tetaplah gadis cantik yang sejak dulu mencuri perhatian banyak orang.

"Eh, Sayangnya aku udah maem, ya? Duh ileeh, ganteng banget kalau makannya habis."

Wanita muda itu segera menyongsong sesosok tubuh yang terbaring lemah namun dengan mata berbinar ketika melihat putri satu-satunya itu muncul dengan senyum terkembang. Dengan wajahnya yang sedikit tidak simetris akibat serangan stroke beberapa tahun lalu, ia coba tersenyum walau gagal. Tetap, Ratu dengan ceria memeluk pria yang dia sebut sayang itu dengan penuh perasaan.

"Maapin eneng balik malem ya, Pi. Namanya juga karyawan kesayangan bos."

Pria paruh baya yang Ratu panggil papi itu berusaha tertawa dengan bibirnya yang sedikit miring, membuat senyum sejenak menghilang dari bibir wanita muda itu namun dengan cepat dialihkan perhatian pada sosok wanita tua berdaster, memakai jilbab spandek berwarna hitam, yang sedang memegang sebuah piring berisi bubur. Isinya hanya tinggal satu sendok, membuat Ratu merasa lega karena papi hari ini berhasil menghabiskan jatah makan malamnya meski tinggal sedikit lagi.

"Makasih ya, Wak. Udah nemenin papi dari pagi. Aku nggak bisa bales sama apapun."

Uwak Ijah, tetangga samping kiri kontrakan yang sama dengan yang di huni oleh Ratu dan papi hanya membalas dengan anggukan dan seringai memamerkan deretan gigi depan yang terkena karies. Kemiskinan dan kurangnya pengetahuan akan kesehatan gigi membuat wanita tua itu membiarkan begitu saja kondisi giginya selama bertahun-tahun.

"Eneng ngomong apaan, sih? Uwak malah seneng nemenin papi lu. Orang nggak ada temennya ini. Ya udah, elu dah balik, Uwak mau ke rumah. Si Lebek ama Cenul belom makan, ngeong-ngeong dari tadi."

Ratu menjawab dengan sebuah tawa ketika Uwak Ijah memutuskan untuk bbangkit tanpa ragu ia mengantar wanita tua yang setiap hari membantu menawarkan diri untuk menemani Papi sejak mereka pindah ke kontrakan ini empat tahun yang lalu. Karena Uwak Ijah juga, Ratu menjadi pecinta kucing. Lebek dan Cenul adalah sepasang kucing piaraan milik Uwak Ijah yang juga amat disayang oleh gadis itu.

"Makanan mereka masih ada? Kalo udah abis, kasih tau ya, Wak. Jangan diem. Kasian kalau kelaperan." Ratu mengingatkan dari ambang pintu ketika Uwak Ijah sudah berjalan menuju kontrakannya. Uwak Ijah membalas dengan anggukan saat ia berhasil membuka pintu dan suara eongan kucing membuat wanita itu sigap.

"Masih, masih. Uwak masuk dulu, yak. Udah malem."

Ratu melambai saat sosok Uwak Ijah menghilang di balik pintu. Ia lalu serta-merta berbalik dan ilut menutup pintu kontrakan berikut gorden. Setelah memastikan semua terkunci, pandangannya terarah lagi pada papi yang terbaring di sebuah kasur di bagian depan rumah. Kontrakan tiga petak yang disewa Ratu seharga lima ratus ribu perbulan, dia manfaatkan dengan baik untuk menampung mereka berdua di sana. Papi tidur di ruang depan, Ratu tidur di ruang tengah. Ruang belakang adalah kamar mandi yang dibatasi dengan sebuah tembok setinggi orang dewasa yang Ratu manfaatkan sebagai dapur.

Hidup prihatin seperti ini sudah ia jalani sejak bertahun-tahun lalu. Sejak harta papi perlahan habis untuk keperluan berobat dan segala macam. Pada akhirnya, Ratu hanya mampu membayar seharga itu untuk tempat bernaung. Itupun tidak masalah, selama ia masih bersama pria itu.

Pria yang selalu mendongkrak semangat Ratu habis-habisan, meski ditinggal mami sejak delapan tahun yang lalu.

Hari yang sama saat ia menembak Prabu Damar Anggabaya karena rindu tak terbendung pada pria yang pernah menjadi cinta pertama sang ibu.

Hari yang sama juga menjadi hari dimana papi jatuh tidak sadarkan diri dan terbangun dengan kondisi separuh tubuh lumpuh.

"Ngobrol apa sama Uwak?" Ratu mendekat pada papinya sambil meraih sebuah tisu basah. Ia gunakan benda itu untuk menyeka bibir ayahnya yang terkena bubur dengan penuh kasih sayang. Ia tersenyum saat papi dengan susah payah menjawab, ditambah isyarat mata, satu topik yang membuat Ratu menggelengkan kepala beberapa kali.

"Aki-aki suka gosip," Ia berceloteh. "Inget umur ya, Pi. Masak ngomongin penyanyi dangdut."

"Ni...kaah..Atu...Nikah." Papi mengoreksi, membuat Ratu sejenak terhenyak, lalu mengomel lagi, "Papi mo nikah? Buset daah, kasian emak baru Atu, dong. Gimana papi goyangnya nanti pas dikawinan? Gimana mau nyawer?"

Gerakan tangan papi yang gemetar, menyentuh bahu putrinya. Membuat Ratu terdiam sejenak, lalu menggeleng lagi.

"Atu nggak mau nikah, Pi. Mau ngerawat papi sampe sembuh. Kalau nikah, Atu mesti ngurus suami, yang ngurus papi siapa? Lagian nikah gak enak, Pi. Ujung-ujungnya cerei. Bikin capek, ngurusin anak orang. Mending ngurus papi, bapak sendiri. Kesayangan Atu."

Air mata meleleh dari mata pria itu, membuat Ratu mengerjapkan mata beberapa kali lalu dengan riang menyeka air mata di wajah papi sambil tersenyum sebelum mencium dahi pria paling dekat dalam hidupnya itu dengan penuh kasih sayang.

"Keriput ntar makin banyak loh, Pi. Ini Abang Jakarte jaman baheula loh, biar kata udah peyot masih cucok. Jangan nangis dong, ntar Atu dikira nyiksa bapak sendiri, masuk sinetron "Bapakku Mewek Melulu."

Ketika menemukan sang papi mengangguk, Ratu kemudian izin pamit ke belakang. Ia berkata hendak mandi saat mata orang tuanya itu menyiratkan tanya. Segera setelah Ratu masuk ke kamarnya sendiri, dia menyeka air mata yang masih tersisa dengan ujung lengan kemeja pendeknya yang berwarna merah muda. Menghibur papi yang sering patah semangat tidak pernah mudah, tapi ia terus memaksa diri dan meyakinkan pria itu bahwa semua baik-baik saja.

Dering ponsel kemudian membuat Ratu menoleh ke arah tas yang masih ia cangklong dari tadi. Sebuah pesan masuk dari sebuah nomor dengan nama Putri. Ia menarik napas sebelum membuka pesan itu dan tidak merasa heran lagi setelah membaca isinya.

Lo kok masih aja jalan sama Damar?
Genit banget sih jadi perempuan. Gatel banget ya, pengen digaruk? Gue sedia linggis tuh di rumah. Mampir ambil kalo lo datang buat minta duit.

Suara dengkur kemudian terdengar dari ruang depan, membuat Ratu bersyukur, papi tidak pernah merepotkan dirinya walau pria itu terus-menerus mengeluh ingin mati karena tidak mau menyusahkan sang putri. Padahal bagi Ratu, papi adalah segalanya. Dia rela melepas segalanya demi pria tua itu.

Bahkan seseorang yang pernah amat dia sayangi, Prabu Damar Anggabaya.

***

Oolaah.

Masih mau baca Atu?
Ketawa nggak di bagian ini?

Atau mewek?

Jangan ketipu ama kulitnya yaa..

Salam sayang buat kalian.

Makasih komen dan votenya..

Ayepyuu...💋💋💋💋💋

Lanjut lagi gaaaak?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top