TERUNGKAP
Beberapa hari sebelumnya...
Hari kelahiran adalah hari dimana manusia pertama kali menginjakkan kaki di bumi lalu menjalankan takdir mereka masing-masing.
Banyak yang mengatakan jika hari kelahiran adalah hari yang penting, namun ada juga yang mengatakan jika hari kelahiran adalah hari yang tak patut di rayakan.
Biarpun banyak persepsi mengenai hari kelahiran, Affan sendiri ada di pihak netral karena ia tak membenci ataupun mengspesialkan hari lahir.
“Happy Birthday Affan!”
Affan yang baru pulang mengajar tak bisa menahan senyumnya ketika semua orang yang ia sayangi berkumpul untuk merayakan hari lahirnya. Bahkan kakak Rehan dan keluarganya juga hadir.
Rumah peninggalan ayahnya kini penuh sesak karena anak-anak panti juga heboh menyambutnya.
Aiza mendekati sang putra dengan sebuah kue tart coklat keju kesukaan anak sematawayangnya itu yang di atasnya sudah ada lilin menyala dengan angka 18.
“Tiup lilinnya sayang,” ucap Aiza.
Affan tersenyum dan meniup lilin itu yang langsung di hadiahi tepuk tangan meriah.
“Terima kasih...” ucap Affan dengan tulus.
“Sama-sama.”
Setelah merayakan dengan sederhana, kini semuanya tengah sibuk dengan kegiatan masing-masing dimana anak panti dan cucu kandung Kasmia tengah bermain seraya menyantap hidangan yang sengaja di siapkan di halaman belakang rumah sementara orang dewasa berkumpul di meja makan seraya sesekali berbincang.
“Bagaimana, Fan? Kamu suka kan kejutannya?” tanya Anna istri dari Farhan putra pertama Kasmia.
“Banget Tante, apalagi Om Farhan dan Om Rehan nyempetin hadir.”
“Alhamdulilah kalau begitu,”
“Kamu sudah 18 tahun yah sayang, ngak kerasa,” ucap Aiza.
Affan hanya menaggapinya dengan senyuman lebar.
“Hadiah apa yang kamu mau dari Mamah sayang?”
“...apakah Mamah akan mengabulkan permintaan Affan kali ini?”
“Hm... pastinya dong, selama Mamah mampu.”
“Apapun?”
“Iya sayang.”
“Affan mau lihat wajah Mamah.”
Hening.
Ruangan yang awalnya penuh dengan obrolan itu mendadak hening setelah Affan mengutarakan keinginanya.
“A—apa?”
“Affan ingin melihat wajah Mamah.”
“Tapi kan kamu sudah lihat di foto.”
“Affan maunya langsung!”
“...”
“Affan cuman mau itu.”
“Ada hal lain tidak? Affan kan—”
“Keinginan Affan cuman itu!” ucap Affan dengan mantap dan memotong perkataan Boim.
“Affan yakin semua orang di sini sudah tau wajah Mamah kan? Iya kan? Lalu kenapa sampai sekarang cuman Affan yang ngak boleh lihat wajah Mamah? Affan ini anak Mamah bukan sih?!”
“...”
“Mamah bilang akan mengabulkan apapun keinginan Affan kan? Dan Affan hanya mau itu!”
Kasmia hendak berbicara sesuatu namun Aiza sudah berdiri dari duduknya dan bersiap melepas niqab yang ia kenakan.
“Mbak!”
Boim ikut berdiri dan mencegah Aiza sementara wanita itu menepis tangan sang adik dengan lembut.
“Setelah Mamah menujukkan wajah Mamah... Mamah harap kamu tidak membenci Mamah yah Sayang.”
Affan terdiam, ia memperhatikan dengan seksama ibunya itu. Entah kenapa jantungnya berdetak dengan sangat kencang dan kedua tangannya mulai berkeringat.
Kedua mata tanpa kontak lensa itu kemudian terbelalak lebar untuk beberapa detik sebelum ia berdiri dan melangkah mundur 2 langkah.
Apa ini?
Wajah ibunya itu terlihat sangat mengerikan, wajahnya terlihat rusak parah karena pembusukkan, bukan kecelakaan atau semacamnya.
Aiza lalu menatap putranya itu dengan kedua mata tanpa kelopak matanya.
“Ma—Mamah?”
“...”
“Kerusakan itu... bukan karena kecelakaan.”
“Hm... memang bukan karena kecelakaan.”
“Apa yang terjadi?”
“Affan Sayang?”
“AKU BILANG APA YANG TERJADI?!”
Semua orang di sana hanya bisa diam dengan Aiza yang sudah tak lagi bisa membendung kesedihannya, andai kelenjar airmatanya masih ada pasti ia sudah menangis sekarang.
Ini yang dia takutkan selama ini.
“Hah...”
Affan tertawa kecil seraya mundur beberapa langkah lagi.
“Jadi benar... selama ini aku di besarkan oleh mayat ibuku sendiri?”
“...”
“Jadi itu alasan kenapa Mamah tidak pernah menujukkan wajah dan tubuh Mamah kepada Affan?”
“Sayang—”
“KENAPA?!!”
Affan menggelengkan kepalanya sedikit dengan air mata yang sudah luruh membasahi kedua pipinya yang tirus.
“Kenapa kehidupanku penuh dengan hal tak masuk akal begini?”
“...”
Affan kemudian berbalik dan berlari cepat keluar rumah.
“Affan!”
Boim dan Rehan berdiri lalu mengejar Affan sementara remaja itu sudah menghentikan taksi kemudian masuk.
“Kunci pintunya lalu jalan Pak!”
Supir taksi itu segera tancap gas tanpa memperdulikan ketukan yang di buat oleh Rehan dan Boim hingga dapat supir itu lihat kedua laki-laki itu berhenti mengejar.
Sementara Affan masih menumpahkan airmatanya di dalam taksi, melepaskan semua sesak yang mencengkram dadanya tanpa ampun.
Seakan mengerti keadaan remaja itu, sopir taksi tersebut membiarkan keheningan terus menguasai keduanya.
Dreett....dreettt...
Affan meraih ponsel yang ada di saku celananya dan melihat siapa yang memanggil.
Mamah Sayang is calling
Affan merijek panggilan itu lalu menonaktifkan GPS dan ponselnya, biar bagaimanapun ia ingin sendiri dulu untuk saat ini.
Setelah puas menangis itu lalu melihat jalanan lewat jendela mobil yang berembun karena hujan turun beberapa saat yang lalu.
“Turun di sini saja, Pak.”
“Baik, Dik.”
Setelah membayar taksi Affan segera turun dan membiarkan tubuhnya terhujam hujan.
Kaki jenjangnya lalu melangkah pelan di trotoar jalan yang nampak cukup sepi karena hari sudah sore dan hujan tengah turun.
Air mata yang awalnya sudah tak jatuh kembali merembas keluar dan bercampur dengan tangisan alam. Kini Affan sadar, hujan memang tempat yang bagus untuk menangis karena ia dengan senang hati menyembuyikan tangisannya.
Remaja itu lalu mendudukkan dirinya di tangga jembatan penyebrangan dan menyembunyikan wajahnya diantara lipatan kedua tangan yang bertumpu dengan kedua lututnya.
Kenapa?
Kenapa kehidupannya penuh dengan hal yang tak masuk akal?
Mulai dari sang ayah yang ternyata bukan manusia di dimensi ini juga dirinya yang bukanlah manusia biasa karena terlahir dari dua orang dengan dimensi yang berbeda.
Apakah Allah tengah mengutuknya saat ini sehingga ia menciptakan sebuah kisah di luar nalar yang mungkin hanya terjadi di dalam kehidupannya saja?
“Astagfirullah hal azim....”
Affan lalu mengangkat kepalanya dan mengusap wajahnya dengan gusar.
Mau bagaimanapun keadaannya, ia jangan sampai menyalahkan Allah.
Karena Allah adalah sutradara terbaik, dia tau akhir yang baik bagi semua hambanya. Jadi tak ada hal yang patut di salahkan.
TBC
----
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top