TERBUKA

Berhari-hari sudah terlewati dengan tenangnya sejak Affan menemukan berkas yang selama ini ibunya sembunyikan dari dirinya.

Ia tak menyalahkan beliau mengapa memilih merahasiakannya, karena mungkin sang ibu sudah menduga hal apa yang akan ia perbuat jika tahu mengenai kenyataan dimana ayahnya ternyata tewas terbunuh dan kasusnya di tutup begitu saja.

Dan sekarang karena ia sudah tau mengenai semuanya, Affan akan mulai memecahkan semua misteri yang ada tanpa sepengetahuan sang ibu.

Bukannya ia tak iklas dengan kepergian sang ayah, namun ia hanya kesal karena mengapa kasusnya tak terpecahkan sehingga sang pembunuh ayahnya belum tertangkap.

Bruk!

Affan mendesis kesal saat berkas tugas mahasiswa yang tengah ia bawa jatuh berserakan saat ia tak sengaja tersandung jadi mau tak mau ia harus membereskan kekacauan yang ada.

Setelah selesai ia kembali berdiri tegak namun seseorang yang tiba-tiba saja berdiri di hadapannya membuat ia terkejut bukan main hingga berkas yang sudah tapih di tangannya kembali berserakkan.

“Hish!!” desisnya dengan sangat keras hingga membuat mahasiswa yang ada di lorong falkultas Teknik terkikik geli melihat tingkah konyolnya sementara orang yang membuatnya kaget setengah mati malah diam menatap Affan dengan datar.

“Saya mengerti usia kita sama, tapi bisakah kamu bersikap sopan kepada saya? Mau bagaimanapun saya ini dosenmu!” omel Affan sebelum ia berjongkok dan mulai memunguti berkas tugas yang berserakan.

Andirani masih tak bergeming dari tempatnya bahkan setelah Affan selesai membereskan berkas dan kembali berdiri dengan tegak.

“Kenapa nilai matkul saya kali ini sangat rendah?” tanya Andirani dengan suara rendah nan serak.

“...”

“Saya bertanya kenapa nilai matkul saya bisa serendah itu!”

“Kau tak masuk kelas 6 kali, sehingga kamu sudah melewatkan 3 kuis yang saya adakan.”

“Tapi kan saya sudah menjawab semua kuis yang anda berikan waktu itu dan bisa mengejar ketertinggalan!”

“Lalu? Kau mau nilaimu setara dengan yang lain yang masuk terus? Jangan berpikiran pendek Andirani!”

“Saya tidak masuk juga karena anda, Pak!”

“Kau tak berkaca? Memangnya saya mengeluarkan kamu tanpa alasan?”

“Tapi—”

“Sudahlah, saya masih banyak urusan! Permisi!”

Andirani hanya bisa terdiam dengan kedua tangan terkepal kuat dan menatap tajam Affan yang sudah berjalan menjauhinya.

“Tunggulah dosen belia, kamu akan menjadi santapan penutupku!”

Andirani lalu kembali melanjutkan langkahnya kearah yang berlawanan dengan Affan sementara dosen belia itu segera melesat keluar ruangan setelah ia menyimpan semua tugas mahasiswa di dalam tas punggung yang ia bawa untuk di cek di rumah.

Sementara itu di kediaman Affan, Boim yang baru saja turun dari mobil menghentikan aktivitasnya saat ia melihat seseorang yang sangat ia kenal tengah berdiri di pagar sebelah kiri rumah kakaknya, Aiza.

“Bang Hendra?!”

Merasa namanya di panggil, pria yang berusia hampir setengah baya itu menoleh dan tersenyum lembut kearah Boim yang tengah mendekatinya.

“Wah... adikku ini sudah besar rupanya.”

Boim tersenyum miring lalu menyandarkan tubuhnya ke pagar seraya terus menatap tajam Hendra yang masih berdiri di luar dari dalam.

“Apa kabar kamu Im?”

“Alhamdulillah baik, Bang. Abang sendiri?”

“Yah seperti yang kamu lihat.”

“Ahaha....”

“...Aiza, bagaimana kabarnya?”

Tawa Boim tiba-tiba saja berhenti setelah ia mendengar pertanyaan dari Hendra.

“Mbak sudah meninggal.”

“Tapi, keponakanmu—”

“Aku yang merawatnya selama ini!”

Hendra terdiam, ia tahu ada yang janggal dari gelagat tubuh pemuda di depannya, tapi ia memutuskan untuk berpura-pura tak tau.

“Hebat juga kamu bisa membesarkan anak itu dari bayi hingga sekarang.”

Boim terdiam tak menjawab, atau lebih tepatnya ia memilih diam daripada ia kembali mengeluarkan sebuah alasan palsu lagi untuk menutupi semua kebenaran yang ada.

“Loh Om, kok tamunya ngak dibawa masuk?”

Kedua laki-laki berbeda generasi itu menoleh kearah Affan yang sudah berdiri tak jauh dari tempat Boim berada.

“Sudah pulang?” tanya Boim basa-basi.

“Hm... tadi sempet mampir ke tukang pecel sesuai suruhan Ma—Hmmpp!!”

Affan menatap sengit Boim yang tiba-tiba saja membekap mulutnya sementara pemuda itu nyengir lebar kearah Hendra.

“Aku lupa ada hal yang harus di kerjakan, kami permisi Bang!”

Boim segera menyeret Affan masuk kedalam rumah, meninggalkan Hendra yang menatap sengit kearah rumah.

Dreekk..

Bruk!

Kriit!

“AAWW!!”

Boim melepaskan bekapannya dari mulut Affan saat ia merasakan bahwa bocah itu mengigit tangannya dengan kuat.

“Dasar gendeng kamu! Sakit tau!”

“Ya Omnya aja ngapain coba asal bekap mulut Affan?”

“Stt!! Kamu jangan berbicara soal keberadaan ibumu kepada siapapun!”

“Loh, kenapa?”

“Jika ada yang bertanya siapa yang selama ini merawatmu, bilang saja selama ini kamu di rawat olehku.”

“Heh?”

“Hish nih anak satu, nurut aja napa sih?!”

“Yah Om bilang dulu dong alasannya apa biar Affan bisa diajak kerja sama.”

“Woah... perhitungan sekali kamu.”

“Harus dong.”

“Ibumu itu sudah ma—”

“Loh, Affan, Boim, kalian ngapain di situ?”

Keduanya menoleh dan mendapati Aiza berdiri dengan bingung di ambang pintu ruang keluarga yang berhadapan langsung dengan ruang tamu.

“Ngak ngapa-ngapain kok Mbak, Ehehe....”

Boim segera melesat menuju kamarnya meninggalkan Affan yang masih berdiri dengan ribuan pertanyaan yang kemudian muncul di kepalanya.

Ibunya sudah apa?

Ma apa? Mati?

Tapi bagaimana mungkin...

“Dari pada bengong, kamu sebaiknya ke kamar lalu mandi sana sayang!”

“Oh! Iya Mah,” ucap Affan sebelum ia melangkah menuju kamar.

Tbc

----

A/N : Uhuk... uhukk

see you next Chap 😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top