SPEKULASI

Seminggu pun belalu sejak kepergian Aiza dan Affan mulai kembali menjalankan aktivitas barunya sebagai pemimpin perusahaan setelah ia mengajukan surat pengunduran diri ke kampus Maung Bodas dimana ia dulu mengajar.

Narai dan Frain masih tinggal bersama dengannya di Panti karena Kasmia ngotot tak memperbolehkan Affan tinggal di rumah orangtuanya setidaknya sampai Affan menginjak usia 20 tahun.

Setelah merapihkan kemeja yang melekat di tubuh tegapnya Affan segera keluar dari kamar yang ia tempati bersama 15 anak panti lain, kamar yang luas itu di penuhi dengan kasur bertingkat berjumlah 8 yang saling berhadapan dengan sebuah lemari sangat besar yang menduduki tembok depan yang berhadapan langsung dengan pintu masuk.

“Sudah siap berangkat bos belia?” goda Boim sesaat setelah Affan ikut duduk lesehan di lantai ruang makan yang sengaja tidak di beri peralatan apapun selain tikar sebagai alas.

“Bukannya Affan sudah suruh Om untuk mengajukan surat pengunduran diri yah?”

“He, jahat kau!”

Affan memilih cuek lalu mengambil piring untuk diisinya dengan nasi juga lauk pauk.

Selama memimpin, Affan masih di awasi oleh Boim dan bagi remaja yang memang kepintarannya sudah bukan taraf manusia lagi itu tak memiliki satupun kesulitan dalam memimpin perusahaan sang ayah yang sudah sangat berkembang dengan pesat tersebut.

Setelah selesai sarapan kedua manik emas milik Affan menatap Narai yang sudah seminggu disini masih setia diam seperti tengah memikirkan sesuatu namun enggan membaginya.

“Paman Narai!”

Narai tersentak dan menatap keponakannya itu dengan bingung.

“Mau ikut denganku ke kantor? Setelah semua urusan selesai aku ingin mengunjungi perpustakaan nasional yang ada di daerah Sumber, Cirebon.”

“Heh, yakin mau ke sana Fan? Lumayan jauh loh,” sahut Boim setelah pemuda itu menaruh secangkir teh yang sedang di munumnya.

“Hm... aku hanya ada rapat dengan para Manager cabang sampai pukul 12 nanti jadi bisa langsung ke perpustakaan.”

Narai terdiam dan mencoba menimang perkataan Affan barusan, memang selama ini ia resah sendiri karena memikirkan bagaimana caranya ia kembali ke dimensi dimana ia tinggal setelah mendengar bahwa Affan tidak tau cara menggunakan kekuatannya, jadi dengan kata lain portal yang waktu itu terbuka muncul secara tak sengaja.

“Baiklah, saya ikut,” ucap Narai sementara Frain yang sedari tadi duduk di sampingnya hanya terdiam.

SKIP TIME

Narai terdiam dan mengamati setiap sudut perpustakaan nasional yang memiliki ruangan yang sangat rapih dan luas tersebut sebelum ia berjalan menuju rak dimana buku-buku bertemakan fiksi ilmiah tersimpan sementara Affan masih mengisi administrasi.

Kedua maniknya lalu berhenti di sebuah buku yang berjudul SANG PENJELAJAH WAKTU dan entah dorongan dari mana ia meraih buku itu lalu mengecek isi di dalamnya.

“Itu buku ilmiah yang mengisahkan dimensi tempat kalian tinggal.”

Narai terdiam lalu melirik Affan yang sudah berdiri di sampingnya lalu mengambil buku lain dari dalam rak.

“Penulis buku itu adalah seorang laki-laki berusia sekitar 30 tahunan yang meninggal karena bunuh diri seminggu setelah buku itu di rilis.”

Narai masih setia diam namun kemudian otaknya menemukan satu buah nama yang mungkin saja memang menulis buku mengenai kerajaanya karena seingatnya ada seorang pemuda yang kabur kembali ke dimensinya setelah anak dan istrinya di bunuh oleh pihak kerajaan.

Pemuda yang datang ke kerajaan Anzaran karena masih mengetahui bagaimana caranya membuka portal antar dimensi.

Tapi bukankah kisah itu sudah 9 tahun berlalu di dimensinya yang dimana berarti dalam dimensi ini kejadian itu sudah berlalu sekitar 3240 tahun lamanya.

Tangannya lalu dengan cepat membuka lembaran demi lembaran buku itu hingga akhirnya ia menemukan halaman yang berisi tentang penulis buku tersebut dan dugaannya tepat.

Penulis buku itu adalah Bantarayudha, pemuda yang berhasil kabur dari usaha pembunuhan untuk melindungi keharmonisan antar dimensi agar portal itu tak kembali terbuka.

Melihat tahun kapan buku itu rilis membuat Narai memiliki sebuah spekulasi sendiri yang menyatakan bahwa memang Batarayudha mungkin saja terdampar di dimensi ini karena panik sehingga portal yang ia buka malah mengantarkannya ke dimensi ini lalu karena frustasi akhirnya ia menulis buku ini lalu kemudian bunuh diri.

Dan karena ia memiliki kekuatan membuka portal, maka ia bisa mati di dimensi manapun yang tengah ia tempati berbeda dengan orang yang tak memiliki kekuatan itu yang mana jika ia mati di dimensi yang tidak seharusnya ia tempati maka raga sekaligus jiwanya akan terjebak di ruang antar dimensi dengan waktu yang berhenti.

Affan sudah menjelaskan semuanya tentang apa yang terjadi di dimensi ini saat di perjalanan menuju perpustakaan, jadi ia tau fakta bahwa kakaknya, Nirai sudah terbunuh di dimensi ini sehingga Narai yakin tubuh kakaknya itu terjebak di ruang antar dimensi karena beliau tak memiliki kekuatan pembuka portal.

Sekarang ia harus mencari tau bagaimana caranya agar Affan bisa menguasai kekuatannya lalu mengeluarkan sang kakak dan mengembalikannya ke dimensi dimana ia seharusnya berada.

Affan yang masih setia membolak-balik halaman buku yang ada ditangannya tak menyadari bahwa kini Narai tengah menghadap kearahnya.

“Kau memiliki kelebihan lain selain otak cerdasmu yang diluar akal itu tidak?”

Affan menutup buku yang ada di tangannya lalu mengembalikan ke tempat semula.

“Tentu saja.”

“Apa itu?”

“Ilmu pembuka portal?”

“Jangan bercanda!”

“Oke, Telekinesis dan Psikometri.”

“...apa itu?”

Helaan nafas malas keluar dari indra penciuman milik Affan, remaja itu lalu melangkahkan kakinya menuju rak ilmu pisikologi dan mau tak mau Narai harus mengikutinya setelah buku yang ada di tangannya ia kembalikan.

Tangan kanannya lalu bergerak mengambil sebuah buku dan membukanya sementara Narai masih kebingungan di sampingnya.

“Nih Baca!”

“Err... saya memang lumayan bisa membaca huruf itu namun saya pusing jika harus membaca kalimat sebanyak itu.”

Affan menurunkan buku yang ia sodorkan di depan wajah Narai lalu terdiam dengan wajah datar, ia lupa jika huruf dan penempatan katanya berbeda meski mereka menggunakan bahasa yang sama dengannya.

“Baiklah, aku akan menjelaskannya!”

Affan beranjak dari sana menuju sudut perpustakaan yang di sediakan banyak meja dan kursi untuk belajar.

“Duduk!”

Narai menurut saja jadi ia menarik salah satu kursi yang berada di samping keponakannya itu.

“Dengarkan aku baik-baik!”

“Hm....”

“Telekinesis adalah suatu kemampuan untuk memperngaruhi benda dengan kekuatan pikiran. Telekinesis sendiri berbeda dengan Psychokinesis yang mengacu pada berbagai macam kemampuan pikiran seperti melunakkan logam, menggerakkan benda, mengontrol partikel cahaya, menghilangkan rasa sakit dan sebagainya. Sedangkan Telekinesis sendiri hanya mengacu pada pergerakkan benda dengan kekuatan pikiran seperti bergerak, begetar, bergoyang, berputar, pecah, serta menimbulkan panas atau dingin pada suatu objek dengan cara mempercepat atau memeprlambat gerakan atom dari objek tersebut.” {Dikutip dari aineshity.blogspot.com}

Narai masih diam mendengarkan walau sebenarnya ia tak paham dengan apa yang dikatakan remaja berusia 18 tahun di depannya itu.

“Sedangkan Psikometri merupakan bagian dari ilmu psikologi yang mengkhususkan diri dalam menangani permasalahan pengukuran pada aspek-aspek psikologis dimana menurut ilmu ini setiap benda hidup maupun mati memiliki energi yang bersumber dari objek atau benda itu sendiri.” {dikutip dari nurinadwi.blogspot.com}

“...”

“Bagaimana? Paham kan?”

Narai terdiam menatap kedua manik Affan yang berwarna hitam berkat bantuan dari softlens dengan polos hingga membuat remaja itu menggerang frustasi.

“Oke begini, intinya Telekinesis itu ilmu yang bisa membuat benda bergerak sendiri dengan kekuatan pikiran sedangkan psikometri bisa melihat aura yang di pancarkan benda baik hidup atau mati, paham?”

“...”

“Argh!”

Terlanjur kesal, Affan akhirnya menatap kursi di depannya dan tak lama kemudian kursi tersebut bergeser lumayan jauh hingga membuat penghuni perpus yang ada disana merinding ketakutan.

“Barusan itu di sebut Telekinesis.”

“Woaahh....”

“Dan ini...,” Affan memegang tangan Narai dan memejamkan kedua matanya sebentar sebelum ia membukanya kembali. “Kau selama seminggu terakhir ada di sini hanya melamun dan memikirkan jalan keluar dari semua masalah yang ada.”

“He?”

“Itu di sebut Pisikometri.”

“Woah....”

Narai terlalu takjub sampai ia lupa jika Affan sudah mengetahui keresahannya selama ini.

“Kau—”

“Aku melihatnya setelah melakukan kontak fisik denganmu.”

“...”

“Aku awalnya kesulitan mengontrol kelebihan ini karena kedua istilah tadi masuk ke dalam kategori penyakit kejiwaan namun lambat laun aku bisa mengontrolnya.”

“Dengan cara?”

“Mengantur keinginan dan emosiku.”

“...”

“Telekinesis bisa lepas kendali jika emosiku meluap sedangkan pisikometri akan terus berjalan jika aku selalu berpikiran untuk menghindar jadi aku berusaha menganalisis semuanya hingga akhirnya aku berhasil mengontrol kedua kelebihan itu.”

“Ah....”

Narai kembali terdiam dan berpikir hingga tak lama kemudian sebuah spekulasi muncul di otaknya yang bisa di bilang sangat pas-pasan tersebut.

“Bagaimana jika kekuatan Portal milikmu juga memiliki cara kontrol yang sama?”

“Maksudnya?”

“Cara mengontrol kekuatan portal aku yakin ada diantara keinginan dan emosi!”

TBC

----

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top