SELAMAT TINGGAL ANAKKU
Tiga hari sudah Affan menghilang.
Selama itu juga Rehan, Farhan, dan Boim yang mencari keberadaannya tak mendapatkan satupun titik terang keberadaan Affan.
Remaja itu memang sengaja bersembunyi di jembatan penyebrangan yang ada di jalan Kentring Manik.
Ia bagaikan seorang gelandangan dengan penampilan yang kumal belum lagi ia tidur beralaskan koran bekas dengan beberapa tunawisma lain.
Untuk urusan makan, Affan membelinya di pedagang kaki lima dan tak jarang ia juga membaginya dengan yang lain.
Hari ini sama seperti hari-hari sebelumnya, Affan hanya duduk terdiam di lorong jembatan tanpa ada niatan untuk melakukan apapun. Dirinya hanya beranjak saat akan sholat atau membeli makanan.
Bahkan di depannya saat ini sudah ada beberapa uang receh yang di jatuhkan pengguna karena menganggapnya sebagai seorang pengemis.
Sampai akhirnya ada seorang tunawisma laki-laki yang duduk di sampingnya.
“Assalamu’alaikum, Nak!”
Affan berjengit kaget dan menoleh sebelum ia tersenyum sopan kemudian.
“Wa’alaikumussalam, Kek."
“Kok masih muda sudah mengemis sih, Nak,” sindirnya.
“Eh?”
Affan menatap kearah depan di mana ada beberapa uang receh yang tergeletak di sana.
”Astagfirullah.”
“Ada baiknya kamu mencoba mencari pekerjaan, kamu ini tampan dan sehat!”
“Ya Allah sumpah Kek saya tidak mengemis!”
“Kalau tidak mengemis, lalu kamu di sini dengan pakaian seperti itu mau ngapain? Dugem?”
“Inalilahi...”
“Dasar anak muda jaman sekarang yah, maunya serba instan!”
Affan hanya bisa cengo sementara kakek itu sudah beranjak pergi dari sana.
Wajar sih jika beliau menganggapnya begitu, karena penampilan Affan memang mendukung semua salah sangkanya.
Remaja itu lalu merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel lalu menghidupkannya dan ia langsung tercengang dengan pemberitahuan yang masuk.
1234 misscall from Mamah Sayang
276 misscall from Om Broim Gila
29 misscall from Om Rehan
30 misscall from Om Farhan
“Haish...”
Affan lalu mengecek WhatsApp dan menemukan sekitar 2000 lebih pesan yang sebagian besar dari ibunya tercinta.
Rasa bersalah lalu menyelusup masuk, mau bagaimanapun sikapnya ini pasti membuat sang ibu sangat khawatir sekali.
“Pulang aja kali yah?” gumamnya.
Setelah bergulat dengan pikirannya, Affan segera berdiri dan melangkah cepat untuk turun lalu memberhentikan taksi.
Di perjalanan Affan membaca semua pesan dari sang ibu yang berisi permintaan maaf lalu permintaan agar dirinya segera pulang ke rumah.
“Aku benar-benar keterlaluan...” lirihnya.
Setelah sampai, Affan segera membayar taksi lalu turun. Tanpa membuang banyak waktu, Affan segera masuk ke dalam rumah.
“Assalamu’alaikum Mah!”
Namun kemudian ia termenung karena keadaan rumah yang sangat berantakan.
“Astagfirullah....”
Kalap.
Affan pun mencari keberadaan sang ibu di setiap sudut rumah hingga sebuah suara berisik akhirnya menyita perhatiannya dan dengan segera ia mendekati halaman belakang dimana suara itu berasal.
Lalu seketika tubuhnya menegang sempurna karena dapat ia lihat sang ibu yang tak mengenakan niqab tengah terduduk di tanah dan di depannya ada seorang pemuda yang wajahnya sangat familiar baginya tengah menghunuskan pedang kearahnya.
“A—apa-apaan...?” gumamnya.
Dengan refleks Affan langsung berlari saat pemuda itu mengangkat pedangnya dan menangkap pedang itu dengan kedua tangannya saat pemuda itu hendak menebas sang ibu.
“Affan?” gumam Aiza.
Narai segera mengangkat kembali pedangnya dan menatap Affan dengan tatapan terkejut.
“Kau...”
“Mau kau apakan ibuku?”
Bukannya menjawab, Narai malah tertawa kecil.
“Ternyata portal itu berasal dari kamu.”
“...”
“Minggirlah, urusanmu dengan saya nanti setelah saya membereskan sang pencuri kalung pusaka itu!”
Affan merentangkan tangannya, menegaskan bahwa dia tak ingin bergeming dari sana.
“Jangan berani menyentuh ibuku!”
“Hei... dia seharusnya tak berada di dunia ini... apakah kamu tak menyadarinya?”
“...”
“Wanita itu sudah mati! Tapi karena kalung pusaka itu ada di tubuhnya jadi rohnya terjebak di dalam tubuhnya.”
“...”
Aiza terdiam, ia sudah tau jika seharusnya ia tak di sini. Namun di sisi lain ia tak ingin meninggalkan putranya sebatangkara begitu cepat, makanya ia memilih pilihan egois ini.
“Dia benar Sayang.”
Affan tersentak lalu menoleh kearah sang ibu yang tengah menatapnya dengan kedua mata tanpa kelopak miliknya.
“Mamah tak seharusnya ada di sini.”
“Jangan dengarkan dia Mah!”
Affan hendak mendekati sang ibu namun tubuhnya di tahan oleh Frain.
“Lepaskan aku! Lepaskan!”
“Aku akan melepaskan kalung ini, tapi aku mohon jangan sakiti putraku.”
“...dia keponakan saya, saya tak akan mungkin menyakitinya.”
“TIDAK! MAH JANGAN DENGARKAN DIA!”
Aiza menatap putranya yang masih saja berusaha melepaskan diri kemudian menyungingkan sebuah senyum hangat.
“Obati lukamu yah Sayang nanti, Mamah tidak bisa lagi mengobatinya untukmu.”
“TIDAK MAH! JANGAN DENGARKAN DIA!!”
“Terima kasih sudah membuat Mamah bangga denganmu Sayang, Maaf jika selama ini Mamah cuman bisa memberikanmu rasa sakit.”
“JANGAN MAH! JANGAN!”
“Selamat tinggal anakku....”
Kedua tangannya lalu terulur untuk melepas kalung itu namun sebelum ia benar-benar melepaskannya wanita itu lebih dulu mengucapkan dua kalimat syahadat dan tak lama kemudian tubuhnya sudah terbaring kaku setelah kalungnya terlepas.
“MAMAAAH!!”
Frain melepaskan cengkramannya sehingga Affan kemudian berlari kearah sang ibu lalu memeluknya dengan pilu.
“Tidak Mah, jangan tinggalkan Affan....”
Narai melangkah mendekat dan meraih kalung itu kemudian menelitinya sebelum ia menggunakan kalung tersebut.
Kedua matanya lalu menatap iba tubuh kaku wanita yang tak lain adalah kakak iparnya sendiri.
Namun mau bagaimanapun ini memang yang terbaik karena memang wanita itu tidak seharusnya ada di dunia ini.
“Maafkan aku... maaf,” ucapnya dengan lirih.
Pemuda itu lalu meraih tubuh kaku milik Aiza dan mengendongnya dengan kedua tangan.
“Mari, aku bantu menguburkannya.”
Affan bergeming, remaja itu lalu berdiri dan mengikuti langkah Narai dan Frain untuk menguburkan jasad milik ibunya.
TBC
----
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top