RETAK
Setelah lebih dari seminggu di rawat, Affan sudah keluar dari rumah sakit dan bisa kembali menjalani aktifitas seperti biasanya.
Kini remaja itu tengah mengawasi mahasiswa di salah satu kelas fakutas teknik yang tengah serius menjawab kuis yang memang ia adakan sebagai sapaan pertemuan setelah ia absen mengajar seminggu lalu.
Sebenarnya sang ibu tak setuju jika ia langsung mengajar sehari setelah ia keluar dari rumah sakit, namun karena Affan memiliki tanggung jawab terhadap para generasi bangsa maka sang ibu mau tak mau menyutuinya.
“Waktu sudah habis, dalam hitungan 10 semuanya harus sudah ada di depan seperti biasanya jika ada yg terlambat maka jangan harap kalian mendapatkan nilai dari saya.”
Para mahasiswa itupun segera mengumpulkan jawaban mereka dan Affan segera mendudukkan dirinya di meja dosen lalu mempersilahkan beberapa mahasiswa menjelaskan bagian materi yang sudah di bagi oleh dosen sebelumnya sementara ia mengoreksi jawaban yang ada.
Namun kedua matanya menyipit heran saat ia menemukan sebuah huruf macam sandi yang tertulis di ujung kertas jawaban milik Andirani.
Otak cerdas miliknya lalu meroda mencoba membaca arti dari tulisan itu dan kemudian tertegun setelah tau arti sandi tersebut.
Dengan perlahan kedua matanya menatap Andirani yang duduk di kursi pojok kiri, gadis itu kini tengah menatap tajam dirinya.
Baiklah.
Sepertinya ia harus ekstra berhati-hati dari sekarang karena ada dua orang yang ingin menghabisi nyawanya.
Satu orang karena dendam mungkin dan satunya Affan tak tau letak kesalahannya dimana hingga membuat gadis itu ingin membunuhnya.
Berusaha terlihat biasa saja, Affan kembali memeriksa lembar jawaban murid yang lain walau kini pikirannya meroda kemana-mana.
Waktu terus berputar kemudian hingga akhirnya jam perkuliahan selesai dan Affan tak ingin berlama-lama di kampus karena ia memiliki hal lain yang harus ia kerjakan.
Saat ia berjalan santai menuju gerbang depan, ia berpapasan dengan Andirani yang juga hendak keluar dari area kampus.
Pandangan mereka bertemu untuk beberapa saat sebelum akhirnya Affan memutuskan untuk mempercepat langkahnya agar ia sampai rumah.
Perasaan ini sudah ada lama sebenarnya.
Affan meragukan jika Andirani adalah Andirani, maksudnya adalah pemegang tubuh itu sekarang bukan Andirani melainkan orang lain.
Itu hanya asumsinya saja karena sudah beberapa hari ini ia merasa sikap Andirani berubah 180 derajat secara tiba-tiba.
Remaja itu segera menghilangkan pemikirannya tentang Andirani saat ia sampai di rumahnya, dengan cepat ia masuk dan meletakkan tas yang ia bawa di sofa lalu menjatuhkan dirinya untuk melepas lelah.
“Sudah pulang Sayang?”
Affan menatap sang ibu yang tengah mendekat kearahnya dengan sebuah nampan berisi segelas jus buah dan sepiring potongan melon kesukaannya lalu meletakkannya di meja depan sofa.
Affan segera mengambil jus tersebut lalu meneguknya hingga tersisa setengah.
“Masih sakit tidak sayang lukanya?”
“Ngak kok Mah, kenapa?”
“Kamu jangan lagi menyelidiki kasus ayahmu yah.”
“...”
“Kejadian seperti ini pasti akan kamu alami lagi, jadi—”
“Affan ngak akan berhenti Mah!”
“Affan?”
“Kenapa Mamah menyembuyikan semuanya dari Affan? Apa Affan tidak berhak tau segalanya? Iya?”
“Bukan begitu, Nak.”
“Jika bukan, mengapa Mamah menyembunyikan wajah Mamah dari Affan? Kenapa Mamah menyembuyikan fakta kematian Ayah? Kenapa Mamah menyembunyikan semuanya dari Affan?”
“Nak—”
“Mamah tau ngak? Affan merasa menjadi anak tak berguna karena semua rahasia yang Mamah sembunyikan dari Affan! Mau Mamah apa sih sebenarnya dari Affan?”
“Sayang, dengarkan Mamah... Mamah melakukan ini semata-mata untuk kebaikan kamu sayang.”
“Kebaikan seperti apa yang Mamah maksud? Kebaikan yang membuat Affan menjadi pecundang? Iyakan?”
“Affan....”
Affan mendesah keras sebelum ia mengambil tas lalu beranjak masuk ke dalam kamarnya dengan membanting pintu.
Meninggalkan Aiza yang termenung sendiri.
Keretakan yang selalu ia hindari nyatanya menjadi wajah utama kehidupannya mulai saat ini.
“Ya Allah....”
TBC
----
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top