PANTI


Kerajaan Anzaran

Narai menatap malas beberapa penjabat tinggi kerajaan yang tengah berdebat masalah ajakan perdamaian yang di ajukan oleh salah satu kerajaan yang berada tak jauh dari kerajaannya berdiri.

Andai ia tak tau tempat, Narai pasti sudah tidur saking bosannya melihat perdebatan para aki-aki tersebut.

“Baginda Raja, bagaimana keputusan anda?”

Narai masih setia mengatupkan bibirnya, karena jujur ia sama sekali tak tertarik tentang politik meski ia cukup menguasai bidang tersebut.

“Saya akan memberi keputusan itu besok!”

“Baik baginda Raja.”

Dan pertemuan itu berakhir tak lama kemudian hingga membuat Narai menghela nafas lelah seraya menyandarkan punggungnya dnegan nyaman di sandaran singasana.

“Hish... Kakanda kemana sih? Kok bisa menghilang tiba-tiba?”

“Baginda Raja, Yang Mulia Ratu ingin menemui anda!”

Narai masih enggan bergeming dari posisinya bahkan setelah sang ibu masuk ke dalam ruang singasana.

“Bagaimana tadi pertemuannya?” tanya sang ratu dengan nada yang sangat lembut.

“Telinga saya panas mendengar ocehan aki-aki itu.”

Perempuan bernama Nursy itu tersenyum maklum sebelum sebuah helaan nafas sedih lolos dari indra penciumannya.

“Kamu baik-baik saja kan Nak?”

Mendengar pertanyaan sang ibu, Narai termenung.

Baik-baik saja?

Dirinya tak akan baik-baik saja selama ia masih mendudukki tahta ini.

Ia yakin ibunya tau akan hal itu namun ia hanya mencoba mencairkan suasana kelam yang bisa keduanya rasakan saat ini.

Kadang ia bertanya-tanya, bagaimana kakaknya bisa bertahan di bawah atmosfir kelam yang selalu menyesakkan di setiap sudutnya?

Atau jangan-jangan ia terpaksa mengabaikan segalanya karena dirinya kabur dari istana tak lama setelah kejadian itu terjadi?

“Narai?”

Narai tersentak dan tersenyum gugup kearah sang ibu yang sudah naik ke atas singsana dan berdiri di depannya.

Sebenarnya Narai tak membenci politik, dia bahkan tak kalah hebat dalam urusan politik dengan Nirai, namun sejak kejadian itu Narai memilih pergi dan menekuni hobinya di bidang seni ketimbang terjun dalam ranah politik.

Namun sepertinya keputusannya dulu adalah sebuah kesalahan yang sangat besar.

“Istirahatlah Nak, biar Ibunda yang urus sisanya.”

“Baik Ibunda.”

Narai berdiri dan berjalan keluar meninggalkan Nursy yang tersenyum sedih kearahnya lalu menatap gelang dengan permata biru di tangan kanannya, salah satu dari dua pusaka kerajaan yang harus selalu di kenakan oleh raja dan ratu negeri ini dimana salah satunya juga ikut hilang bersama Nirai.

“Kamu dimana sebenarnya Nak?” gumamnya dengan sedih.

Cirebon, Indonesia

Di kampus Universitas Maung Bodas, nampak Affan tengah memeriksa tugas awal yang ia berikan pada mahasiswa baru jurusan arsitektur, karena dalam ranah ini ia di percayakan untuk memegang bagian materi Kalkulus dan Matematika Arsitektur jadi Affan memilih untuk menugaskan mahasiswa itu untuk membuat gambar desain dalam kertas gambar A4 lengkap dengan rincian perhitungan apa saja yang harus di lakukan untuk membangun gedung tersebut.

Sejak masuk tadi, tak ada sedikitpun senyuman yang di tunjukkan sehingga Affan secara langsung masuk ke dalam kandidat guru Killer.

“Oke, cukup memuaskan hasil tugas kalian semua,” ucapnya setelah ia memeriksa semua desain yang ada di meja depan sebelum ia mulai menghidupkan infokus ruangan dan kumputer yang ia bawa sebelumnya.

“Sebelum saya masuk ke dalam materi awal Matematika Arsitektur, adakah diantara kalian semua yang belum mengumpulkan tugas? Karena saya lihat hasil di depan tak sama dengan jumlah murid yang duduk di ruangan ini.”

Hening!

Tak ada satupun mahasiswa yang mau mengeluarkan suara mereka hingga kedua mata Affan mendelik tajam.

“Yang merasa tak mengumpulkan tugas angkat tangan sekarang!”

”...”

“Atau saya akan keluar dan tak jadi memberikan kalian materi untuk hari ini.”

Tak lama kemudian ada seorang siswi berkacamata yang mengangkat tangannya dengan takut-takut membuat kedua mata Affan yang tajam berpusat padanya.

“Nama?” tanya Affan.

“...Andirani Shanubara.”

“Kenapa kau tak mengumpulkan?”

“...”

Waktu berlalu dengan cepatnya namun gadis itu masih enggan membuka mulutnya hingga membuat Affan berdecak keras.

“Selesai jam kuliah nanti temui saya di ruangan dosen!”

“...Iya Pak,” ucapnya dengan lirih.
Affan pun segera memulai materi yang ada hingga jam mengajarnya habis.

“Baik, untuk pertemuan selanjutnya pastikan kalian sudah menguasai materi hari ini karena akan ada kuis singkat untuk mengasah pengetahuan kalian nanti.”

“BAIK PAK!”

“Semoga hari kalian menyenangkan dan sampai jumpa lagi!”

Affan segera melangkah keluar dan mengecek jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.

Sepertinya ia harus cepat menemui Omma Kasmia sebelum hari semakin sore mumpung setelah ini tak ada lagi jam mengajar.

“Anu Pak!”

Sebuah seruan takut menghentikan langkah Affan dan berbalik, kedua alisnya terangkat saat ia bertatapan dengan seorang muridnya yang ia tahu bernama Andirani Shanubara.

“Saya tak mengumpulkan tugas sehingga saya di minta anda untuk menemui anda di ruangan.”

Affan mengangguk singkat sebelum ia melempar pandangannya kearah lain.

“Cari materi kalkulus dasar untuk kau terangkan kepada teman-temanmu di jam saya selanjutnya, mengerti?”

“I—iya Pak.”

“Baik, kau boleh kembali.”

Affan segera berbalik dan melanjutkan langkahnya untuk menuju ruang dosen dan mengambil tas yang sudah penuh dengan buah tangan untuk Omma Kasmia dari ibunya sebelum ia berjalan cepat menuju jalan raya yang tak banyak di penuhi kendaraan pribadi karena warganya lebih senang menggunakan transportasi umum ketimbang kendaraan pribadi karena pajak yang akan mereka bayar nantinya sangat besar.

Cirebon adalah sebuah kota dengan otoritasnya sendiri sehingga tak jarang dijuliki oleh negara kecil dalam republik Indonesia.

Kota ini memiliki kebijakan sendiri dalam mengelola semua hal yang ada di dalamnya, bahkan kota ini memiliki undang-undang sendiri meski tentu saja undang-undang NKRI menjadi pusat undang-undang yang ada.

Semua fasilitas yang ada di kota ini di biyayai oleh dana pemerintah daerah sendiri bukan negara, maka tak heran ada aturan tersendiri dimana negara tak bisa ikut campur ke dalamnya selama aturan itu tak melanggar UUD yang ada.

Setelah menempuh perjalanan selama 20 menit naik angkot, Affan kini sudah berdiri di sebuah rumah yang terlihat sangat mewah dan luas dimana pada gerbang depan ada tulisan yang menandakan jika bangunan ini adalah sebuah panti asuhan.

Langkahnya kemudian membawa ia memasuki bangunan yang sudah tak lagi asing dimata Affan.

“Lihat, Bang Apan main ke sini!”

Affan melebarkan senyumnya kemudian berjongkok untuk menyambut pelukan 5 anak kecil yang awalnya tengah bermain sepak bola di halaman depan.

“Abang kok jalang main sih?!”

“Ahaha... maaf yah Dek, Abang sibuk.”

“Huh!”

“Omma mana Dek?”

“Ada di dalem.”

“Adek main lagi yah, Abang mau ketemu Omma.”

“Oke!”

Affan kemudian berdiri dan melanjutkan langkahnya ketika anak-anak kecil itu kembali menuju halaman untuk bermain.

“Omma?” panggilnya seraya melongokkan kepala ke dalam dapur ketika ia tak menemukan Kasmia disana.

Namun sepertinya Kasmia tak ada di dapur karena Affan kini nampak sangat kebingungan dengan celingukkan di dalam dapur yang kosong.

“Dimana Omma?” gumamnya.

“Loh ada Nang Affan.”

Affan berbalik dan tersenyum tipis kearah seorang wanita yang kiranya berusia 30 tahunan yang ia tahu sebagai salah satu pengurus panti asuhan milik Omma Kasmia.

“Omma mana, Budhe?”

“Ada di gudang belakang.”

“Ngapain?”

“Diberesin katanya, soalnya kan udah lama ngak kesentuh.”

“Ah, saya ke Omma yah Budhe.”

“Iya.”

Sesampainya ia di gudang, dapat Affan lihat seorang wanita tua berusia lebih dari 60 tahun tengah sibuk mengeluarkan banyak barang dari dalam gudang dengan di bantu oleh beberapa anak panti.

“Omma!”

Kasmia menghentikan kegiatannya dan tersenyum hangat kearah pemuda yang memiliki wajah yang sangat rupawan tersebut.

“Sampai sini kapan Nak?” tanyanya setelah ia menyambut uliran tangan Affan untuk takzim.

“Baru aja, oh iya ini dari Mamah.”

Kasmia menerima dua buah plastik yang baru saja di keluarka oleh Affan dari dalam tasnya.

“Wah pake repot-repot, gimana Aiza di rumah? Sehat?”

“Begitulah, Omma.”

Kasmia melebarkan senyumannya, ia tahu semua rahasia Aiza yang di sembunyikan dari Affan dan ia juga tahu bahwa Affan yang terlihat bersahabat sekarang sebenarnya adalah seorang manusia yang mungkin sudah kehilangan rasa simpatinya.

“Kamu nginep kan di sini?”

“Iya, Mamah suruh menginap.”

“Iya harus dong, kan Omma kangen sama cucu Omma.”

Affan tertawa kecil dan mengikuti langkah Kasmia yang membawanya menuju ruang tengah dimana banyak sekali anak-anak tengah bermain.

“Sibuk banget yah sampai main ke panti aja harus disuruh dulu?”

Affan mendudukkan dirinya di sofa sementara Kasmia sibuk menata makanan ringan dan buah yang tadi di bawa oleh Affan di atas meja.

“Maaf Omma, kadang lupa.”

“Kamu yah, hal besar kamu ngak lupa giliran Ommanya sendiri malah dilupain.”

“Ehehe....”

“Perusahaan baik-baik aja kan?”

“Mamah selalu ngurus, malah belum lama Mamah sudah buka cabang baru di luar kota yang di awasi langsung sama Om Boim.”

Kasmia tersenyum, Boim adalah salah satu anak asuhnya juga yang lebih muda 15 tahun dari Aiza. Dengan kata lain, ia adalah adik Aiza yang sangat bisa di percaya karena mereka Aizalah yang menemukan dan merawat Boim.

“Kamu ngak mau bantuin Ibumu itu?”

“Er... nanti saja deh kalau usia Affan sudah 20 tahun, nanti Affan berhenti ngajar dan ngambil alih perusahaan.”

“Jangan sampai gulung tikar yah, itu perusahaan peninggalan mendiang ayah kamu loh. Lagipula ada sekitar 3000 kepala yang menggantungkan hidup di perusahaan ayahmu itu.”

“InsyaAllah Omma.”

Selesai menata meja, Kasmia lalu mendudukkan dirinya di samping Affan dan menepuk pelan pundak remaja itu.

“Lepas aja kontak lensnya, ngak panas apa tuh mata?”

Affan menurut, ia mengeluarkan kotak khusus kontak lensnya lalu melepaskannya hingga kini nampaklah dua buah manik berwarna kuning keemasan yang sangat indah di pandang.

“Kamu udah makan?”

“Belom Omma.”

“Mau makan dulu? Ayo ke dapur.”

Affan menaruh kotak penyimpanan itu di tas sebelum ia berdiri dan mengikuti Kasmia ke dapur.

Puk!

“ABAANG!!”

Affan tersentak dan menundukkan kepala saat ada seorang gadis kecil berhijab ungu yang tengah memeluk pinggangnya dan menatap ia dengan kedua mata bundar yang indah.

“Halo Dek Dwi.”

“Dwi main aja gih sama yang lain, Abang nya mau makan,” seru Kasmia.

“Nda mau!”

Affan tertawa kecil dan membawa Dwi ke dalam gendongannya lalu mengecup pipi chubby tersebut.

“Tuh akibat kamu jarang main ke panti, pada langket kan jadinya.”

Affan tertawa dan mulai bermain dengan Dwi sedangkan Kamia memperhatikan mereka dengan sorot hangat namun sedu di waktu yang sama.

Karena Kasmia tau, Affan kehilangan masa kecilnya.

Tbc

-----

A/N : ummm... tes...😅 mau tanya kok kalian mau sih baca cerita recehan begini?

tapi walau gitu aku tetap seneng ada yang bersedia baca 😢 terharu aku 😭

lov you all

see you next chapter 🤗

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top