OBSESI
Banyak manusia mengartikan kata Cinta.
Satu huruf dengan jutaan arti dan ekspresi namun memiliki satu makna yang sesungguhnya.
Ada ribuan bahkan jutaan orang yang pernah terpedaya oleh Cinta yang menyesatkan namun hanya sedikit dari mereka yang sanggup keluar dengan selamat dari kobaraan amarah tipudaya Cinta.
“Huft!”
Dengan gotai, Hendra memasukki rumahnya yang terbilang sederhana itu dan mengistirahatkan tubuh lelahnya di ranjang kamar yang di dominasi warna hitam putih dengan banyak tempelan foto di dindingnya.
Laki-laki berusia 45 tahun itu mendesah lelah sebelum ia bangkit dan menatap lurus kearah dinding di mana ada foto yang disusun macam silsilah.
Foto milik Aiza Hanum yang dipajang bersebelahan dengan foto seorang laki-laki yang memiliki wajah sangat rupawan yang di bawahnya tertulis nama Nirai Fazairan dimana kedua foto itu sudah tertulis kata DIE dengan sepidol warna merah, lalu di bawah mereka ada foto seorang remaja yang di ambil secara diam-diam dengan nama Affan Aryasatya Fazairan.
Kedua matanya lalu beralih ke foto besar yang ada di dinding sebelah kanan dekat jendela kamarnya, foto Aiza yang tengah tersenyum lebar kearah kamera.
“Kenapa kamu tidak memilihku Za? Kenapa kamu malah memilih menikah dengan laki-laki dengan asal-usul tak jelas itu?” gumamnya.
“Andai kamu memilihku, aku tak akan segila ini!”
Hendra mengacak rambutnya dengan frustasi sebelum ia menghela nafas kasar.
“Kamu sekarang dimana Za? Kamu sudah hidup atau sudah tiada?”
“...”
“Jika memang kamu tiada, mengapa aku tak menemukan pusaramu di samping suami sialanmu itu?”
“...”
“Tapi jika kamu masih hidup, kenapa fakta yang ada mengatakan bahwa kamu sudah meninggal 17 tahun yang lalu karena pendarahan hebat?”
“...”
“Aiza... kamu menjadi misteri besar setelah anak sialan itu menumpang lahir lewat dirimu.”
“...”
“Aku akan membunuhnya, sama seperti aku membunuh suamimu itu!”
“...”
“Tak ada yang boleh memilikimu kecuali aku!”
Hendra berdiri dan berjalan menuju meja kerjanya dan mengambil sebuah pisau dari dalam sana.
“Kamu tau Za? Pisau ini yang dahulu mengoyak tubuh suamimu, terlihat sangat indah bukan?”
“...”
“Aku masih ingat jerit kesakitan yang ia keluarkan saat itu, sungguh indah.”
“...”
Hendra memainkan pisau itu sebelum ia menatap foto Affan dengan pandangan penuh amarah.
“Lihatlah anak sial, aku akan membunuhmu segera!”
Sementara itu di kampus Maung Bodas.
Affan tengah serius menatap laptop yang ada di meja ruang dosen miliknya, layar laptop itu menunjukkan sebuah artikel panjang yang berisikan rumor yang terkait dengan dirinya serta fakta pendukung bahwa rumor itu memang benar.
Remaja laki-laki itu mengigit keras bibir bagian bawahnya saat ia akan membuka file video youtube yang berisi rekaman sang ibu saat keluar dari kamar mayat dengan keadaan tak normal hingga hilangnya wanita itu bersama bayi yang tengah ia dekap dalam gelapnya malam setelah ia keluar dari rumah sakit dan semakin menguatkan gigitannya saat ia selesai menonton video tersebut hingga dapat ia rasakan rasa amis mulai menjalar di dalam mulutnya.
“Mamah... benar-benar sudah meninggal? Lalu yang merawatku selama ini siapa?” gumamnya.
Kriieett!
Affan dengan cepat menutup laptop miliknya dan menatap kearah pintu masuk di mana ada seorang cleaning service yang datang untuk membersihkan ruangannya.
“Oh Maaf, Pak, saya kira ngak ada orang tadi.”
Affan terdiam dan melirik jam dinding, pukul setengah enam sore, pantas saja beliau mengira ruang dosen sudah kosong. Karena biasanya para dosen sudah pulang paling lambat pukul 4 sore.
“Ijin membersihkan ruangan yah Pak.”
“Oh iya Pak, silahkan.”
Affan dengan segera membereskan peralatan mengajarnya dan memasukkannya ke dalam tas.
“Banyak tugas yah, Pak? Sampai lupa waktu begitu.”
“Eh? Iya mungkin Pak.”
Affan kikuk, pasalnya ia terlambat pulang bukan karena banyak tugas melainkan asik mendownload film serta membaca artikel mengenai rumor hidupnya, astagfirullah Affan!
“Saya duluan pulang yah, Pak.”
“Iya, Pak hati-hati!”
Affan segera melesat ke luar ruangan lalu mengeluarkan ponsel pintarnya untuk menghubungi sang ibu.
Dreekk!
“Assalamu’alaikum Mah.”
“Wa’alaikumussalam, iya kenapa sayang?”
“Affan pulang telat banget hari ini Mah, ada beberapa hal yang harus Affan urus,” ucapnya seraya memberhentikan sebuah angkot dan naik.
“Iya ngak papa, hal apa sih memangnya kalau Mamah boleh tau?”
“Soal kampus sih Mah, Affan belom cari materi buat seminar BEM kampus nanti,” ucapnya dengan lancar yang bisa di bilang setengah bohong.
“Oh yaudah, hati-hati yah di jalannya.”
“Iya Mah, Affan tutup yah, Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Setelah menutup telefon, Affan segera menyimpannya kembali ke dalam saku jas yang ia kenakan dan mendongak. Sinar matanya lalu berubah bingung saat ia melihat orang yang ada di angkot itu menatap takut dan menjauh darinya.
Ah, sepertinya Affan tau alasannya jadi remaja itu memilih cuek dan menikmati pandangan luar dengan damai sampai akhirnya ia tiba di tujuannya.
Yaitu kantor kepolisian.
“Permisi, Pak!” serunya begitu memasuki pintu.
Seorang polisi dengan pakaian lengkap muncul dan tersenyum ramah kearahnya.
“Iya, ada yang bisa kami bantu Dik?” tanyanya kemudian.
“Maaf sebelumnya, Pak, tapi apakah saya boleh meminta laporan hasil penyeledikkan sebuah kasus?”
Polisi itu mengeriyit sebentar lalu menyuruh Affan duduk di salah satu meja anggota polisi yang ada di sana.
“Untuk apa Adik meminta laporan penyelidikkan?”
“Ada sesuatu yang harus saya urus sehingga saya memerlukan laporan itu.”
“Maaf, tapi itu adalah data rahasia kepolisian dan tak bisa di minta jika adik tak ada sangku pautnya dengan kasus itu juga jika tak ada persetujuan dari pihak keluarga.”
“Data laporan yang akan saya minta adalah hasil penyelidikkan dari kematian ayah kandung saya sendiri, Nirai Fazairan.”
Polisi itu terkejut bukan main untuk beberapa saat sebelum ia mulai menghidupkan komputer di depannya untuk memprintout laporan yang di butuhkan oleh Affan.
“Maaf, sambil menunggu... bisakah kita berbincang?”
Affan menatap lurus polisi tersebut sebelum ia mengangguk dengan santai.
“Kamu benar-benar di besarkan oleh ibumu?”
“!”
“Maaf jika ini adalah pertanyaan pribadi, karena sejak 17 tahun lalu banyak laporan warga mengenai manusia yang hidup kembali dan merawat bayinya di rumah milik keluarga Fazairan namun kami tak dapat mengambil tindakan apapun karena hal itu tak menganggu keamanan warga.”
“Jika ada yang bertanya siapa yang selama ini merawatmu, bilang saja selama ini kamu di rawat olehku.”
Suara Boim tiba-tiba saja terngiang di telinganya, sehingga memilih untuk menurut.
“Saya di besarkan oleh paman saya.”
“Begitukah? Lalu dimana Ibumu?”
“Entahlah.”
Polisi itu terdiam dan memilih untuk tak kembali bertanya karena ia takut menyinggung perasaan remaja itu kemudian membereskan berkas yang sudah terprint sebelum ia menyerahkannya kepada Affan.
“Apakah saya perlu membayarnya?”
“Tidak perlu, semoga berkas ini bisa membantu menyelesaikan urusanmu yah Dik.”
“Ah, iya, terima kasih, Pak! Saya permisi.”
Affan segera melangkah keluar yang bertepatan dengan azan maghrib sehingga ia memutuskan untuk mampir ke masjid dan pulang setelah sholat isya karena ia berencana membaca berkas itu di masjid setelah sholat.
“Semoga teka-teki yang ada bisa aku pecahkan,” gumamnya dengan lirih bagai bisikan kepada dedaunan yang gugur tertiup angin.
Tbc
----
A/N : sebodo ah sama yg baca, aku mau bahagiain diri aja 😆
see you next chap 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top