MENGEMBALIKAN
AFFAN POV
Aku terdiam menatap di mana aku berada saat ini, sebuah ruangan yang sudah tak asing lagi bagiku.
“Mamah! Mamah!”
Aku menoleh saat sebuah suara cempreng khas anak kecil berseru di ikuti oleh munculnya seorang anak laki-laki berusia sekitar 6 tahun tengah berlari mendekati wanita dengan pakaian serba tertutup dari ujung kepala hingga kaki.
Affan mematung saat ia tahu siapa kedua manusia itu.
“Ada apa Affan sayang?”
“Pengontrol alam bawah sadar manusia itu maksudnya apa, Mah?”
Bayangan Aiza lalu mendudukkan dirinya di sofa dan memangku putra sematawayangnya.
“Kamu tau kan sayang bahwa manusia itu di lahirkan dengan hawa nafsu?”
“Hmm... pelajaran itu ada di ilmu fiqih.”
“Iya sayang, namun ada sebuah riset yang menjukkan bahwa hawa nafsu manusia itu di bagi menjadi dua macam.”
“Apa itu, Mah?”
“Emosi dan keinginan!”
“Hum?”
“Saat emosi menguasai dirinya, alam bawah sadar manusia tersebut akan sulit di kontrol karena sebuah perasaan marah, kecewa, atau lain sebagainya sudah menghitamkan kesadarannya.”
“...”
“Begitupun dengan keinginan, jika keinginan yang manusia inginkan itu berubah menjadi obsesi, segala cara akan ia tempuh guna mewujudkan hal tersebut. Mereaka tak perduli cara itu baik atau buruk.”
“...”
“Jadi alasan mengapa manusia di berikan akal oleh Allah menurut riset itu adalah karena kedua hal itu dimana Akal merupakan pusat alam sadar maupun bawah sadar manusia, tanpa Akal pasti sudah banyak sekali manusia yang kehilangan arah karena tak bisa membedakan hal baik dan buruk.”
“...”
“Jadi sayangnya Mamah harus mengedepankan Akal yah dalam bertindak, jangan terbawa emosi dan keinginan karena kedua hal itu bisa saja menyesatkan, pikirkan semuanya secara matang baru kamu bisa mengambil keputusan.”
Deg!
Perkataan itu...
“Cara mengontrol kekuatan portal aku yakin ada diantara keinginan dan emosi!”
Antara keinginan dan emosi?
Perlahan, kutatap kedua tanganku yang nampak tembus pandang itu sebelum kembali menatap kedepan yang seketika membuatku membatu karena kedua bayangan masalalunya sudah hilang entah kemana dan hanya menyisakan sebuah ruang putih bersih tanpa ujung.
Sreekkk!!
Aku masih terdiam saat ruang putih di depanku perlahan mengeluarkan sebuah kalimat yang di tulis dalam sebuah sandi yang masih bisa aku terjemahkan dengan baik.
”Bukalah pintu dan kembalikan semua cerita ke alur yang sesungguhnya...?”
Aku masih terdiam bahkan sampai tulisan itu perlahan mengabur karena sebuah cahaya yang sangat terang menyapuku.
AFFAN POV END
1 bulan kemudian...
Affan termenung diam di ruang kantornya, tak terasa sudah 1 bulan berlalu sejak malam menyeramkan yang terjadi di panti milik neneknya, Kasmia.
Ayah dan pamannya masih berada di dimensi ini seraya terus mengupayakan sesuatu yang sebenarnya Affan sudah tau jalan keluarnya.
Hanya saja ia tak ingin Ayahnya kembali ke dimensi itu dan pergi meninggalkannya, ia baru saja bersama sang ayah dalam waktu yang singkat, jadi ia ingin bersama ayahnya lebih lama lagi.
Terdengar egois memang, tapi baginya itu adalah sebuah permintaan yang sangat sederhana.
Namun hatinya terus berkata agar ia segera memulangkan sang ayah secepatnya karena kerajaan Anzaran lebih membutuhkan sang ayah ketimbang dirinya.
Saat sang senja mulai menampakkan keindahannya, Affan segera beranjak dari sana untuk segera kembali ke panti.
Keadaan panti sudah kembali seperti semua walau mungkin tidak seramai sebelum malam kelam itu muncul, anak-anak panti juga kebanyakan mengalami traumah psiskis yang membuat mereka awalnya kesulitan kembali ceria.
“Sudah pulang Sayang?”
Affan tersenyum hangat dan takzim kepada Nirai yang tengah bermain origami dengan beberapa anak-anak di ruang tengah sementara Narai tengah bermain kuda-kudaan.
“Bagaimana di kantor?”
Affan tak langsung menjawab, ia memperhatikan wajah rupawan sang ayah yang tengah serius melipat kertas ditangannya.
Wajah yang nampak tenang itu terlihat gelisah di mata Affan, saat ia melakukan telekinesis kepadanya, ia bisa melihat kegelisahan sang ayah selama ini.
“Ayah ingin pulang?”
Nirai berhenti melipat kertas dan menatap putranya itu dengan lamat sebelum ia tersenyum hangat kearahnya.
“Jangan terlalu di pikirkan sayang, santai saja.”
“Apa Ayah ingin pulang? Kembali ke kerajaan Anzaran?”
“...”
“Ayah lebih memilih kerajaan dari pada Affan?”
“...”
“Jawab Ayah!”
“Nak, Ayah bukannya tidak menyayangimu, tapi bukankah kamu harusnya tau kalau kisah yang kita alami ini seharusnya tak pernah terjadi?”
“Dan Affan juga seharusnya ngak pernah ada.”
“Jaga bicaramu Affan!”
“Ayah selalu bilang begitu, lalu apa gunanya Affan ada jika memang kisah ini seharusnya tak ada?”
“Iya, ini semua salah Ayah! Karena ingin kembali, awalnya Ayah menikahi ibumu dan membuatnya hamil walau Ayah tau anak yang akan lahir kelak adalah sebuah kutukan.”
“...”
“Tapi lambat laun Ayah sadar, keinginan Ayahlah yang seharusnya di kutuk, bukan kamu yang tak tau mengenai apapun.”
“...”
“Ayah tidak pernah sekalipun menceritakannya pada Mamah, karena Ayah berpikir Mamahmu tak akan mempercayai perkataan Ayah sama seperti ia tak percaya mengenai kekuatan magis kalung yang Ayah berikan kepadanya sebagai mahar.”
“...”
“Jadi Ayah memutuskan untuk membuat jurnal penelitian, namun jurnal itu tak selesai karena Ayah harus terbunuh di dimensi ini karena obsesi dari Hendra.”
“...jika Ayah kembali, bagaimana dengan Affan?”
“Kamu harus tetap di sini sayang, kamu lahir di dimensi ini... jika kau merindukan Ayah, kamu bisa menyebrangi dimensi dengan kekuatan milikmu walau Ayah sarankan untuk tidak sering melakukannya.”
“...”
“Ayah rasa ini yang terbaik untuk kita, Ayah tidak keberatan jika kamu berpikir bahwa Ayah sudah meninggal dan berbaring di samping pusara Mamahmu.”
“...baiklah.”
Nirai tersenyum sedih dan menarik sang anak ke dalam pelukannya lalu mengecup sayang pucuk kepalanya.
“Maaf yah sayang, kisahmu harus seperti ini... semuanya salah Ayah.”
“Tidak! Ini semua terjadi karena Takdir, tidak ada yang salah atau benar dalam kisah ini.”
“...”
“Affan sudah tau caranya Ayah.”
Nirai melepaskan pelukannya dan menatap lamat sang anak.
“Ayo kita kembalikan kisah ini ke alur yang sebenarnya.”
Tbc
----
A/N :
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top