MALAM BERDARAH
“Engh...”
Affan perlahan membuka kedua matanya dan hal pertama yang ia rasakan saat kesadarannya kembali adalah rasa sakit yang berasal dari lehernya yang memang sudah tersayat.
Kedua manik yang sudah kehilangan soflensnya saat ia memberontak tadi mengerjab untuk beberapa kali sebelum akhirnya ia melihat dengan jelas dimana ia berada saat ini.
“Oh, sudah bangun rupanya!”
Affan tersentak dan menoleh ke sumber suara dimana Hendra tengah duduk di sebuah kursi seraya menghisap cerutu miliknya dengan damai, berikutnya ia sadar jika dirinya kini tengah di ikat dengan kuat di dalam lemari kaca besar.
Dahi Affan mengeriyit kemudian saat sadar wajah pria di depannya nampak tak asing.
“Kau....”
“Yah, aku pernah mengunjungi rumahmu beberapa waktu lalu.”
Hendra mematikan cerutu miliknya sebelum ia berjalan menghampiri lemari kaca dimana Affan berada dan membuka pintunya agar suara yang ia keluar terdengar nyaring bagi remaja itu.
“Aku sudah lama ingin bermain denganmu, apa sebaiknya kita mulai saja permainannya?”
Hendra mengambil sebuah cutter yang ada di meja dan menunjukkannya kepada Affan.
“Oh, warna kedua manik matamu indah sekali... tapi seingatku laki-laki sial yang menjadi ayahmu tak memiliki warna mata keemasan sepertimu apalagi gadis cantik yang seharusnya menjadi milikku itu.”
“Laki-laki sial...?”
“Yah, siapa namanya? Nirai Fazairan? Laki-laki yang tak jelas asal usulnya itu berani sekali merebut gadisku!”
“...”
Hendra mulai menyayat kulit lengan Affan dengan cutternya membentuk sayatan yang dalam di sana dengan indah mengabaikan ringis kesakitan yang di keluarkan oleh remaja laki-laki itu.
“Ah, kemejamu menganggu sekali!”
Sraakk!!
Dengan sekali sentak kemeja yang di gunakan Affan sobek hingga mengekspos badan Affan yang cukup berisi karena ia memang menyukai olahraga.
“Waahh... rupanya kamu merawat tubuhmu dengan baik yah, tapi apakah tubuh ini masih indah besok?”
Dan siksaan itu terus berlanjut hingga lewat dari tengah malam, dimana akhirnya Hendra harus kembali ke rumahnya dan meninggalkan Affan yang sudah bermandikan darah itu sendirian di gubug reot tersebut.
Sekuat tenaga Affan terus mempertahankan kesadarannya dengan mengalihkan perhatian otaknya ke hal lain namun semua caranya hampir sia-sia karena Hendra menyiksanya tanpa ampun.
Dengan sisa tenaga yang tersisa, Affan mendongak dengan kedua mata sayunya terus menyusuri ruang gelap di gubug tersebut seraya terus berpikir bagaimana cara ia bisa kabur dari sini dengan keadaan yang cukup mengenaskan karena Hendra tadi mematahkan beberapa tulangnya.
Andai kakinya bebas, ia pasti akan menendang kaca di depannya hingga pecah lalu merobohkan lemari ini.
Ah tunggu!
Dalam gelap dan sakit, Affan menyeringai sebelum ia menggerakkan tubuhnya dengan sekuat tenaga agar lemari itu roboh dan kacanya pecah.
Setelah berjuang hampir 6 menit lamanya, akhirnya lemari tersebut oleng dan.
Bruk!
PRANG!
Affan meringis keras saat sebagian pecahan kaca lemari itu malah menancap di tubuhnya namun sekarang bukan waktunya untuk meringis kesakitan.
Jadi dengan sekuat tenaga ia mengesek tambang yang mengikat tangannya ke pecahan kaca terdekat, Affan terus melakukannya walau sesekali pecahan itu malah menggores lengannya.
Setelah lama berjuang, akhirnya ikatan tersebut terlepas dan Affan segera melepaskan sisanya dengan mengandalkan gigi hingga tambang itu benar-benar terlepas.
“Akh....”
Setelah lepas, Affan merangkak keluar dari sana dengan susah payah karena kini seluruh tubuhnya benar-benar terasa sakit sekali.
Namun saat ia ingin berdiri tiba-tiba saja pintu gubug tersebut terbuka dan menampakkan Hendra yang tengah berdiri di ambang pintu dengan senter yang menyorot kearah tubuh penuh darah milik Affan.
“Ah, kau mencoba kabur ternyata.”
“!”
“Menarik!”
Affan mengumpat dan dengan segera ia berdiri meski kaki kirinya terasa sangat linu karena Hendra sempat mematahkan tulangnya sementara Hendra meletakkan senter yang ia bawa di meja sebagai satu-satunya penerangan yang ada di gubung tersebut.
Sebelumnya ia berniat untuk pulang namun urung karena ia tau jika Affan bukanlah remaja biasa karena ia sangat pintar jadi ia kembali lagi dan siapa sangka jika dugaannya benar bahwa Affan akan berusaha kabur dari sana?
“Harusnya kamu menjadi anak baik dengan tidak kabur begini!”
Affan terkesiap saat Hendra meraih pecahan kaca yang cukup besar yang ada disana sebelum ia melangkah mendekat dengan cepat.
“Mati kamu anak sialan!”
Grep!
Affan berhasil menangkap pecahan kaca itu dengan tangannya lalu menyerang balik Hendra hingga meninggalkan luka di wajah laki-laki itu akibat tersayat kaca.
Andai pergerakkan Affan tak terbatas, ia pasti sudah kabur dari sana saat Hendra merintih kesakitan, namun karena pergerakkannya terbatas Affan jadi meraih pecahan kaca lalu menusuk Hendra tepat di leher belakangnya dan membuat laki-laki itu tersungkur jatuh.
Awalnya Affan mengira bahwa pria itu pingsan namun nyatanya tidak karena kini pria itu berlahan berdiri dengan sebuah tawa kecil yang terdengar sangat menyeramkan.
“Aku bodoh menganggapmu sebagai lawan yang enteng, harusnya aku sudah menduga kamu secerdik ini sebelumnya.”
Hendra menatap keji Affan yang nampak bersiap untuk menyerangnya balik.
“Tapi kita harus akhiri ini dengan melihat siapa yang mampu bertahan hidup, aku atau kamu.”
Hendra meraih pisau yang dekat dengannya lalu maju menyerang Affan tanpa ampun hingga akhirnya remaja itu terpojok dan terdiam saat merasakan pisau tersebut menghujam bahu kanannya.
Tidak!
Ia tidak boleh mati di sini!
“Pergilah kau menyusul Ayah sialanmu itu!”
Affan menahan teriak kesakitannya saat Hendra menekan pisau itu untuk menancap lebih dalam lagi di bahu Affan sebelum pria itu mencabutnya dengan cepat, namun saat ia hendak kembali menusuk Affan, remaja itu sudah terlebih dahulu melayangkan pecahan kaca kearahnya hingga wajahnya tersayat parah.
“Huwaarrghh...!”
Dengan susah payah Affan berdiri lalu memukuli Hendra tanpa ampun hingga ia rasa laki-laki itu kehilangan kesadarannya.
Sadar dengan hal itu, Affan segera keluar dari gubug dan kedua matanya langsung menatap mobil milik Hendra yang terparkir tak jauh dari gubug. Jadi dengan cepat ia manaikinya namun saat ia akan menginjak gas kaca mobilnya pecah dan disusul dengan sebuah tangan yang menyekik lehernya dengan kuat.
“Huak! Aaarhg...”
“Kau pikir bisa kabur dengan mudah dariku? Jangan bermimpi kau Nak!”
Affan mencengkram kedua tangan Hendra yang masih mencekik lehernya untuk beberapa saat sebelum salah satu tangannya memegang stir lalu kakinya menginjak gas dengan dalam.
Karena ia tak tau kemana arah mobil tersebut, jadi mobil yang ia kendarai melaju kencang dan menghancurkan gubug tua itu dan menjatuhkan Hendra lalu tubuhnya tertusuk batang pohon yang runcing hingga tewas.
Ckiiitt!
“Uhuk..uhuk..uhukk...”
Dengan kesadaran yang hampir hilang, Affan mencoba mengendarai mobil yang sudah setengah rusak tersebut untuk menuju kantor polisi dan melaporkan apa yang terjadi semalam.
Namun karena memang kondisinya sangat parah, Affan tak mampu mengendarai mobil dengan benar hingga mobilnya keluar jalur lalu terserempet truk yang lewat hingga mobil itu terbalik beberapa kali dan karena lukanya bertambah parah, Affanpun kehilangan kesadarannya.
TBC
----
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top