KEDATANGAN

Sudah 3 bulan berlalu sejak kematian Andirani dan kini Affan sudah menjalankan aktivitasnya seperti dulu dengan tenang.

Akan tetapi tetap saja rasanya ada yang berbeda karena saat ia memasuki kelas Arsitekur 3 dimana Andirani berada perasaan sesak itu selalu muncul bersama bayangan dimana Andirani tergeletak berlumuran darah setelah ia terjun dari lantai 21 tepat di depan matanya sendiri.

Kedua manik Affan lalu menatap meja mahasiswa dimana biasanya Andirani duduki sebelum ia menghela nafas kemudian.

“Baik, untuk pertemuan selanjutnya saya harap kalian sudah mampu menghitung kemiringan gedung yang akan di bangun di atas tanah yang juga memiliki kemiringan tertentu!”

“BAIK PAK!”

“Sampai jumpa di pertemuan selanjutnya!”

Affan melangkah keluar untuk menyelesaikan tugasnya di ruang dosen terlebuh dahulu sebelum ia pulang kerumahnya dan bermalas-malasan kemudian.

1 jam kemudian semua tugasnya selesai dan Affan lalu memutuskan untuk membaca sebuah buku jurnal yang ia tau di tulis oleh sang ayah yang sebagian besar merupakan pandangan ayahnya itu terhadap dimensi yang kini ia tinggali.

Dengan serius Affan membaca deretan kalimat yang ada di sana hingga di halaman ke-12 Affan mengeriyit bingung.

Bunyi kalimat itu adalah...

Seorang anak yang lahir dari dua manusia berbeda dimensi akan memiliki kekuatan untuk membuka potral antar dimensi juga kemampuan otak yang sangat luar biasa.

Anak itu di tandai dengan manik mata yang berwarna keemasan dan memiliki kemampuan bawaan lahir berupa kekuatan yang dalam medis dimensi ini di sebut dengan nama Psikometri dan Telekinesis.

Affan termenung, dirinya memiliki ciri-ciri yang di sebutkan itu.

Jadi...

Apakah benar jika ia adalah anak dari dua manusia berbeda dimensi?

“Ah... membingungkan!” gerutunya.
Sementara itu di kerajaan Anzaran.

Narai tengah menatap lamat cahaya bulan lewat jendela kamar kakaknya yang kini ia tempati untuk menekan kecurigaan bahwa sebenarnya raja kerajaan ini masih belum di temukan.

Besok adalah hari ke 22 kakaknya itu menghilang tanpa jejak dan situasi akan semakin runyam andai kakaknya itu tak segera di temukan.

“Kanda dimana sekarang? Pulanglah Kakanda...” gumamnya kemudian.

Narai berbalik untuk mengistirahatkan tubuhnya di ranjang andai tak ada sebuah cahaya berwarna biru terang yang muncul di sudut kamarnya tiba-tiba.

“Cahaya apa itu?” gumamnya.

Narai segera mengambil pedang yang tergeletak di samping tempat tidur sebelum ia kembali memperhatikan cahaya biru tersebut.

“Jendral Frain!” panggilnya.

Frain segera masuk ke dalam kamar kemudian menunduk hormat.

“Kamu ikuti saya, saya akan masuk ke dalam cahaya biru ini.”

“Apa? Bagaimana jika itu adalah hal yang berbahaya pangeran?”

“Insyaallah semuanya baik-baik saja, Ayo!”

Frain tak bisa berkata lagi kecuali ia menuruti tuannya untuk masuk ke dalam cahaya itu dan saat ia kembali membuka mata dapat ia lihat banyak bangunan tinggi yang menyambut.

“Woaahh... dimana ini Pangeran?”

Narai terdiam, ia juga tak tau sekarang ia dimana namun ia merasakan adanya pancaran kekuatan yang sangat kuat meski perhatiannya kini masih terfokus oleh aura kalung pusaka yang sudah ia rasakan sejak menginjakkan kaki di tempat asing ini.

“Jendral!”

“Hamba Pangeran.”

“Ikuti saya!”

“Baik!”

Narai lalu berjalan cepat mengikuti pancaran aura itu tanpa memperdulikan banyaknya pasang mata yang menatapnya dengan pandangan aneh.

Hingga ia sampai di sebuah rumah yang cukup mewah dengan desain yang sangat nyaman dan teduh.

“Pendopo siapa ini Pangeran?”

“Saya juga tidak tau, tapi aura kalung pusaka itu berasal dari sini.”

Narai menutup kedua matanya lalu membuka matanya kembali setelah ia malafalkan sebuah mantra dan ajaibnya pintu tersebut langsung terbuka.

Tanpa membuang banyak waktu lagi, Narai segera masuk dan mendapati seorang wanita dengan wajah yang hampir rusak karena pembusukkan itu manatapnya.

“Narai?” panggilnya.

Narai mengeriyit bingung mendengarnya, bagaimana wanita itu tau namanya?

“Siapa kamu? Bagaimana caranya kau tau nama saya?”

“Tenyata kau benar-benar Narai, wajahmu memang sama persis dengan mendiang suamiku Nirai.”

Narai tersentak saat nama kakaknya disebut dengan santai lalu ia menarik keluar pedangnya dan menhunuskannya kearah wanita itu.

“Kau mencuri kalung pusaka kerajaanku rupanya! Cepat kembalikan lalu temuilah ajalmu!”

Aiza tersentak lalu mengenggam erat kalung yang masih melingkar di lehernya lalu berlari dengan Narai yang mengejarnya.

Tidak, ia belum mau meninggalkan putranya seorang diri!

TBC

---

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top