CINTA YANG MENYESATKAN
Sreekk...
Affan menghentikan langkahnya dan memperhatikan sekitarnya yang penuh dengan pepohonan yang rimbun.
Hari ini ia berencana mengunjungi TKP dan mencoba mencari pemecah teka-teki yang mungkin di lewatkan oleh para polisi.
Kedua manik emasnya lalu menatap sebuah pohon yang sama dengan yang ada di foto olah TKP di mana mayat ayahnya tergantung.
Rasa sesak tiba-tiba saja merangkak naik dan menikam dadanya yang sudah penuh dengan ribuan luka berdarah yang tak pernah kering.
“Ayah...” gumamnya lirih.
Dengan perlahan, Affan mendekati pohon itu dan menyentuhnya hingga ada sebuah film yang berputar di depan matanya dimana mayat ayahnya yang sudah berlumuran banyak darah di seret oleh seseorang yang menutupi seluruh tubuhnya dengan pakaian serba hitam dengan wajah yang di sembunyikan di balik masker juga topi hitam sebelum akhirnya di gantung di sana hingga beberaapa hari kemudian ada salah satu warga yang mengetahuinya.
Affan menarik tangannya dari dahan pohon itu lalu berjongkok, berusaha meredam isak yang sudah ingin keluar.
Bagaimana ia tak menangis melihat perputaran Film itu?
“Hik... Ayah....”
Setelah menghabiskan beberapa menit menangis di sana, Affan berusaha berdiri lalu menghela nafas sejenak untuk menetralkan aliran nafasnya yang kurang bersahabat karena ia menangis tadi.
“Yosh, mari kita cari jejak dari kasus kematian Ayah!”
Affan kembali melangkah ke tempat dimana ia melihat ayahnya di seret tadi lalu langkahnya berhenti saat ia sadar jika ia sudah keluar dari hutan karena dapat ia lihat sebuah jalan raya yang nampak sangat sepi karena hanya sesekali saja kendaraan melewati jalanan itu.
“Tempat dimana mayat Ayah di temukan ternyata dekat jalan raya,” gumamnya seraya terus menatap sekitarnya hingga ia berbalik dan termenung melihat siapa yang berdiri tak jauh dari tempatnya.
Seorang laki-laki berpakaian rapih dengan kemeja berwarna maroon dengan celana bahan berwarna hitam itu berdiri menatapnya dengan sengit.
Wajah laki-laki itu tertutup topi dan masker hitam, hal yang membuatnya termenung adalah tangan laki-laki tersebut yang tertutup sarung tangan itu membawa sebuah pisau dapur.
“Dia yang membunuh Ayah,” gumamnya lagi sebelum ia berbalik dan berlari cepat mengikuti jalan raya dengan dikejar oleh laki-laki tersebut.
Affan terus berlari dengan cepat dan saat ia hampir sampai di sebuah tikungan, kedua mata Affan terbelalak kaget saat ada sebuah sedan melaju cepat kearahnya hingga hal terakhir yang ia lihat adalah cahaya terang mobil sebelum semuanya menjadi gelap dengan bau anyir darah yang menguasai indra penciumnya.
Sementara itu tak jauh dari tempat Affan tertabrak.
Hendra terdiam menatap tubuh Affan yang sebelumnya terpental beberapa meter sebelum akhirnya membentur aspal dengan keras hingga warna jalanan di dekat tubuhnya perlahan berubah warna.
Pria itu juga hanya tertawa kecil saat melihat mobil yang tadi menabrak remaja itu pergi begitu saja seolah tak terjadi apapun.
“Woah, siapa sangka aku tak harus mengotori tanganku?”
Hendra melangkahkan kakinya menuju tubuh penuh darah milik Affan sebelum ia berjongkok di dekatnya.
“Aku yakin kamu sekarat, Nak... tapi maaf aku harus memastikan kematianmu!”
Hendra kemudian menancapkan pisau yang ia bawa ke perut bagian kanan bawah lalu menariknya kembali sebelum ia berjalan pergi dengan sebuah tawa keras yang membahana.
Sementara itu...
Boim yang baru menyelesaikan urusan kantornya kini tengah mengemudi dengan riang untuk pulang ke rumah kakak angkatnya, Aiza.
Untuk menghemat waktu tempuh, Boim memilih melewati jalanan tengah hutan yang ada di kota Cirebon.
Jalanan yang memiliki pemandangan sangat indah nan asri namu jarang di gunakan karena hampir semua warga memilih menggunakan transportasi umum dan tak ada satupun transportasi umum yang melewati jalanan ini karena mereka memilih jalan raya besar yang ada.
Di tengah perjalanan, kedua matanya lalu menyipit heran dengan sebuah objek yang terlihat seperti orang tengah berbaring dengan darah yang membanjiri tubuhnya.
“Beneran orang?” gumam Boim.
Karena penasaran, akhirnya Boim menepikan mobil pribadi yang ia kemdarai itu lalu keluar untuk mengecek objek tersebut.
“Inalilahi! Affan?!”
Boim segera meraih tubuh tak berdaya itu dan mengecek denyut nadinya.
Samar, nadinya terasa sangat samar.
“Ya Allah Fan, kok bisa sih kamu begini?”
Tanpa membuang banyak waktu, Boim segera membawa tubuh keponakannya itu ke dalam mobil untuk di bawa ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, Affan segera di bawa ke ruang UGD sementara Boim berusaha menghubungi sang kakak walau ia tau kalau kakaknya itu tak akan ke rumah sakit. Namun setidaknya ia sudah memberitahu keadaan putra semata wayangnya.
“Hallo Assalamu’alaikum, Mbak!”
“Wa’alaikumussalam, kenapa, Im?”
“Mbak....”
“Iya?”
“Affan kecelakaan.”
Hening...
Dapat Boim dengar sebuah suara benda jatuh dan hening kemudian sampai akhirnya suara isak tangis menyita perhatiannya.
“Ba—bagaimana bisa?”
“Aku juga kurang tau, Mbak, saat menemukannya, dia sudah tergeletak bersimbah darah di jalan tengah hutan di mana dulu mayat Mas Nirai di temukan.”
“A—apa?”
“Aku rasa dia tau semuanya, Mbak!”
“...”
“Makanya dia ada di hutan itu, untuk kembali menyelidikki kematian ayahnya.”
“Tidak, itu berbahaya!”
“Keputusan Mbak untuk menyembunyikan semuanya bukanlah jalan keluar yang baik, bukankah Ibu sudah bilang itu bekali-kali?”
“Hiks... a—aku... aku hanya tak ingin dia terseret masalah ini, Im!”
“Aku paham Mbak, tapi cepat atau lambat Affan pasti akan ia incar juga!”
“Hiks.. tidak! Jangan putraku! ... hiks... jangan!”
“Kita harus kembali mencari bukti dan menyeretnya ke penjara, Mbak! Agar Affan aman.”
“Hiks... kenapa sebuah perasaan bisa menyebabkan semua masalah rumit ini, Im? Kenapa?”
“Aku tak tau, Mbak, yang jelas... Cinta memang bisa menyesatkan orang yang salah mengartikan kedatangannya.”
“Ya Allah... kenapa semua misteri dan masalah ini tak pernah berakhir?”
“Mbak jangan khawatir, aku akan menjamin keamanannya di sini, aku membawanya ke rumah sakit Subang Larang, bukan rumah sakit pusat kota Cirebon... jadi aku harap dia tak akan bisa menyentuh keponakanku.”
“Iya, makasih, Im.”
“Iya, Mbak, Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Boim menyimpan kembali ponselnya setelah ia memutuskan sambungan telefon dan melihat Affan yang masih di tangani oleh tim medis dari pintu kaca ruang UGD.
Mereka memang sudah tau siapa yang membunuh Nirai, Ayah Affan sekaligus suami Aiza karena laki-laki itu mengirimi mereka surat yang menyatakan bahwa ia yang membunuhnya dan akan ikut membunuh bayi yang ada dalam kandungan Aiza saat lahir nanti.
Sebenarnya keduanya bisa saja langsung melaporkan Hendra ke polisi, namun laki-laki itu bukan orang sembarangan, karena semua rencananya sudah ia susun dengan sangat rapih sehingga mereka tak memiliki celah apapun untuk berkutik, karena jika polisi tau ia yang membunuh Nirai maka laki-laki itu akan mengutus beberapa orang pembunuh bayaran yang sudah ia siapkan untuk membantai habis orang-orang yang ada di panti asuhan.
Hal itulah yang membuat keduanya tutup mulut dan memilih untuk diam hingga akhirnya berita kelahiran Affan dan kematian Aiza sampai di telinganya, membuat laki-laki yang sudah di lumpuhkan hatinya oleh cinta itu kembali panas dan selalu mencoba membunuh Affan sejak kecil, namun semuanya bisa teratasi karena sebuah rumor yang menyita perhatiannya lalu mulai melupakan niatnya walau kini niat itu kembali muncul.
“Anda adalah keluarga dari pasien dengan nama Affan?”
Boim tersentak dari lamunanya dan segera menatap seorang dokter wanita paruh baya yang tadi menangani Affan.
“Iya, saya pamannya.”
“Karena benturan yang sangat kuat, pasien mengalami cidera serius di kepalanya juga patah tulang di beberapa bagian... luka tusuk yang kami temukan juga hampir saja membuat organ vitalnya bermasalah... namun untungnya pasien sangat kuat sehingga kami bisa selamatkan walau keadaannya kini kritis.”
“...”
“Untuk masalah selanjutnya, biarkan Tuhan yang memutuskan.”
“Iya, Dok, terima kasih.”
“Iya, pasien akan di pindahkan ke ruang rawat Mawar dengan 3 orang yang sudah menempati ruangan itu atau anda mau memesan ruang VIP?”
“Tidak, kamar reguler saja.”
“Baiklah.”
Boim lalu mengikuti beberapa suster yang mendorong ranjang dimana Affan terlelap hingga sampai di ruangan yang di maksudkan tadi.
“Jika ada sesuatu, anda tau kan apa yang harus di lakukan?”
“Iya, dok.”
“Baiklah jika begitu, saya permisi!”
“Iya, sekali lagi terima kasih.”
Setelah dokter itu pergi, Boim kembali menatap keponakannya yang rupawan itu sebelum ia menatap kesekitarnya dimana ada beberapa keluarga pasien lain yang tengah sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing.
Dengan ini Affan akan aman, karena ia yakin laki-laki gila itu tak akan bisa menyentuh keponakannya itu karena ruangan ini sangat ramai.
“Aku akan menyeretmu ke penjara! Aku bersumpah Mas Hendra!” gumamnya dengan kedua tangan terkepal kuat di sisi tubuhnya.
Tbc
-----
A/N : up suka suka yaakk 😆
see you next chapter 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top