BERBEDA


6 kali pertemuan sudah Andirani tak mengikuti jam pelajaran Affan dan hanya diam mendengarkan dari balik pintu masuk ruang kelas, hal itu tentu saja menuai banyak kritikkan dari para dosen yang mengetahuinya.

“Bukankah kamu terlalu keras kepada gadis itu, Pak Affan?”

Affan yang hendak masuk ke dalam ruangannya terdiam mendengar sebuah suara berat menyeru. Dengan cepat, ia menoleh dan menatap pria baruh baya yang merupakan seorang dosen senior di kampus ini. Pak Yusuf namanya.

“Tidak seharusnya anda menghukum dia seperti itu hanya karena masalah kecil.”

“...”

“Anda tidak boleh kekanakan begini, Pak.”

“Maaf menyela, dia sendiri yang ingin mengambil hukuman itu, saya sudah menawarinya hukuman lain tapi dia menolak.”

“Tapi anda tak seharusnya menurut begitu saja!”

“Jadi saya harus bagaimana? Memberinya kesempatan terus menerus?”

“...”

“Maaf, saya tinggal.”

Affan segera masuk ke dalam ruang dosennya dan duduk di kursi untuk memeriksa lembar jawaban kuis mahasiswanya hingga suara ketukkan pintu membuat semua aktivitasnya berhenti.

“Masuk!”

Orang yang tadi mengetuk pintu lalu segera masuk ke dalam, gadis dengan pakaian agamis itu menunduk dalam tanpa ada niatan menatap wajah Affan yang selalu datar tanpa ekspresi itu.

“Kenapa?” tanya Affan.

Andirani masih terdiam hingga akhirnya Affan memilih untuk kembali melanjutkan tugasnya.

“Saya ingin kembali masuk, Pak.”

“Kemana?”

“Kelas saat jam pelajaran Bapak berlangsung.”

“Saya bukan manusia sebaik itu.”
“Saya mohon, Pak.”

Affan tak menjawab sementara Andirani mengigit bibir bawahnya dengan gelisah, haruskah ia jujur dengan semua yang ia hadapi saat ini kepada dosennya itu?

Semuanya?

Termasuk rencananya malam ini?

“Pintu keluar masih sama seperti pintu yang kamu masuki tadi.”

“Pak—”

“Keluar!”

“Malam ini.”

“...”

“Saya akan membereskan semuanya kemudian memenuhi semua tugas yang di berikan kepada saya.”

Affan mendongak dan menatap Andirani yang masih setia menunduk untuk seperkian detik sebelum akhirnya gadis itu berbalik dan keluar dari ruang dosen.

Apa maksud gadis itu?

Skip Time...

3 hari kemudian

Affan mendudukkan dirinya di sofa ruang keluarga dengan kedua mata yang tak lepas dari tv yang masih menyala dan menampilkan sebuah siaran berita.

“Tumben Mamah liat berita, biasanya juga nonton gosip.”

“Eh, Mamah udah ngak ngeliat gosip lagi, insap!”

Affan tertawa kecil dan mulai memakan pudding coklat keju buatan sang ibu yang sebelumnya sudah ia ambil dari kulkas.

“Puddingnya jangan di habisin, bentar lagi Om Boim ke rumah.”

Affan yang hendak melahap sesendok penuh puding mengurungkan niatnya dan menatap sang ibu dengan bingung.

“Ngapain?” tanyanya kemudian seraya melanjutkan acara makan puddingnya.

“Ngapain? Masa Om mu main ke sini harus ada penting gitu?”

“Ngak Mah, maksud Affan emangnya Om sudah ngak ada kerjaan di luar kota?”

“Ya kalau pulang berarti sudah selesailah, kamu gimana sih?!”

Affan terdiam dan mengulum bibir tipis miliknya.

Salah lagi deh..

Ting...tong...

“BIAR AFFAN YANG BUKA!!”

Aiza yang awalnya ingin bangkit dari sofa terdiam dan menggelengkan kepalanya saat Affan sudah berlari dengan ceria kearah pintu masuk.
Hal seperti ini lah yang kadang membuat Aiza kembali ingat jika putranya itu kehilangan masa kecilnya, sehingga kadang ia bertingkah seperti anak-anak.

“Assalamu’alaikum Mbak!”

“Wa’alaikumussalam.”

Boim mengambil tangan Aiza untuk takzim sebelum ia menghempaskan tubuh lelahnya di sofa samping Aiza sementara Affan duduk di karpet depan televisi seraya membuka sebuah bingkisan yang ia dapatkan dari Boim.

“Gimana kerjaan kamu, Im?” tanya Aiza.

“Alhamdulillah lancar semua Mbak.”

“Maaf yah, Mbak selalu suruh kamu handle semua urusan di kantor.”

“Ngak masalah kok, Mbak, Boim malah senang bisa bantu Mbak.”

“Masya Allah.”

“Woaahh... lihat Mah, Affan di kasih jaket sama sepatu pantofel hitam!”

Aiza menatap lembut anak semata wayangnya yang terlihat sangat bahagia dengan pemberian Boim, atau nama lengkapnya Muhammad Ibrahim Saleh.

“Kamu tuh Fan, udah kerja juga tapi masih aja miskin!” olok Boim.

“Hish, aku ngak miskin Om, cuman ngirit.”

“Ngirit sama pelit beda tipis loh Fan.”

“Yaudah Nih! Kalau ngak iklas ngak usah ngasih!”

Affan melempar jaket dan sepatu yang ia dapatkan kearah Boim yang langsung di tangkap oleh pria itu.

“Wiihhh... galak amat anaknya, Mbak Za!”

“Affan! Ngak sopan ah!”

Affan terdiam, remaja itu memilih untuk mengabaikan pamannya yang terkenal jahil itu hingga sebuah berita menyita perhatiannya.

Berita yang mengabarkan tentang pembunuhan satu keluarga yang terjadi pada malam 3 hari yang lalu.

“Inalilahi... manusia ada-ada saja,” desis Boim.

Pria itu mengelengkan kepalanya sedikit saat melihat berita tersebut, nampak tak percaya sedangkan Affan berusaha keras mengingat alamat yang ada tertulis di layat televisi karena alamat itu nampak sangat familiar baginya.

“Alamat rumahnya Andirani...,” gumam Affan yang masih bisa di dengar oleh paman dan ibunya.

“Siapa itu?” tanya sang ibu.

“Salah satu mahasiswa di kelas yang Affan ajar Mah.”

“Halah, malu tuh, Mbak ngakuinya,”

“Apaan sih, Om!”

“Anaknya Mbak Za udah gede loh....”

“OM!”

“Ahahaha....”

Keesokan harinya.

Affan menghentikan langkahnya saat ia merasa ada yang janggal dengan seluruh penghuni kampus, sedari ia menginjakkan kaki di kampus, telinganya tak kunjung berhenti mendengar desas-desus yang tengah di perbincangkan banyak orang.

Kedua mata tajam miliknya lalu menyipit memperhatikan banyak mahasiswa tengah berkumpul dan nampak serius membicarakan sesuatu.

“Ada apa sih?” gumamnya.

Dengan bingung Affan segera melanjutkan langkahnya dan masuk ke kelas di mana pelajarannya akan di mulai.

“Pagi semuanya!” sapa Affan seraya meletakkan seluruh peralatan mengajarnya di meja dosen.

“PAGI PAK!”

“Baiklah, mari kita mulai saja!”

Affan hendak menyalakan proyektor andai tak ada sebuah buku tugas yang di sodorkan ke arahnya.

Setelah mendongak, ia tahu siapa orang yang menyodorkan tugas kearahnya.

“Ini tugas dari anda sekitar 4 minggu yang lalu Pak, juga tugas lain yang anda berikan kepada kelas ini.”

“Apa maksud kamu Andirani?”

“Saya sudah menyelesaikan semua tugas yang anda berikan, bolehkah saya ikut mata pelajaran anda mulai hari ini?”

“...”

“Dan saya juga akan menjelaskan mengenai Kalkulus untuk melanjutkan materi anda di pertemuan kemarin.”

“...”

Affan masih setia diam, menatap tak percaya kearah Andirani yang terlihat sangat tenang sekali berhadapan dengannya.

Tidak...

Dia bukan Andirani yang sebenarnya!

Affan yakin itu.

“Baiklah, silahkan jelaskan materi selanjutnya!”

Andirani mengangguk kemudian mulai mengotak atik proyektor dan laptop milik Affan setelah ia memasang Flasdisk miliknya. Sementara, Affan sudah mendudukkan dirinya di kursi kosong khusus mahasiswa.

Pikirannya lalu berkelana keluar, mengabaikan jalannya presentasi yang tengah Andirani lakukan di depan kelas.

“... aku dengar keluarga Andirani semuanya tewas terbunuh, benarkah itu?”

“!”

Affan menajamkan indra pendengarnya saat ada dua mahasiswi yang duduk tak jauh dari tempatnya tengah mengobrol.

“Iya, tapi kok bisa yah dia ngak ikut terbunuh? Dia juga kayaknya tenang-tenang saja.”

“Aku dengar dia tak ada di rumah saat kejadian berlangsung, dia mengaku sudah kabur dari rumah beberapa hari sebelum kejadian!”

“Yang benar? Kok aku merasa ada yang aneh yah?”

“Kan! Aku juga merasakan ada hal yang janggal.”

“Apa jangan-jangan... dia lagi yang bunuh keluarganya?”

“Hush... jangan ngaco ah!”

“Ya—”

“Tolong jangan bicara sendiri ketika ada yang sedang berbicara di depan!”

“Ah, maaf pak!”

Affan menggelengkan sedikit kepalanya lalu menatap lamat Andirani yang masih menjelaskan materi di depan dengan suara lantang dan lancar.

Jika boleh berpendapat.

Ia juga memiliki asumsi sama dengan siswi yang tadi mengobrol, mau bagaimanapun semua yang terjadi akan terasa janggal karena sikap Andirani malah terlihat sangat tenang sekali seolah tak terjadi apapun.

Affan sudah mencari kabar mengenai hasil penyelidikkan yang ada, namun tepat dugaannya.

Pelaku pembunuhan itu masih misteri karena pembunuhan itu terkesan di lakukan dengan sangat rapih seolah sudah di rencanakan.

Belum lagi semua korban yang di bunuh di letakkan di atas kasur kamar masing-masing, seolah mereka sedang tidur.

Sidik jari pelaku juga tak di temukan, CCTV yang terpasang juga mati, keadaan rumah yang sangat rapih dan bersih dari noda darah seolah semuanya sudah di rencanakan dengan sangat matang oleh pelaku.

Korban di temukan terbunuh setelah ada seseorang yang menghubungi polisi dan setelah di selidiki, no yang di gunakan juga tiba-tiba saja tak aktif dan menunjukkan posisi akhir panggilan di dalam rumah keluarga Shanubara.

Jadi...

Apakah asumsi yang kini beredar benar adanya?

Namun tak ada satupun bukti yang menujuk jika Andirani lah pelaku pembunuhan itu.

“Hah tau lah, bodo amat!” desis Affan seraya menfokuskan dirinya ke depan dan mendengarkan penjelasan Andirani dengan seksama.

Tbc

----

A/N : Hiks... sepinya kebangetan woe 😭😭😭 sadar sih ini cerita yang recehnya ngak ke kira 😔 atau mungkin pada kecewa karena FELIZ kagak up up 😔 mintaa maafnya deh, aku tu kalau ngetik di hp susah banget dapet moodnya, kalau ini cerita kan udah tamat jadi tinggal copas dari word ☹

oke lah, makasih udah baca cerita ini dan see you next chapter 😭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top