October - 3
Sepasang mata yang sedang ditatap Rasyid itu terlihat lebih cekung daripada kali terakhir Rasyid melihatnya. Ayahnya seperti bertambah tua dalam waktu seminggu, dia pasti lelah dan tertekan, namun ia yakin senyuman lebar dan antusiasmenya akan cukup untuk menyembunyikan semua kelelahan yang dirasakannya.
Meski ia tahu dari tatapan putranya di depannya, tidak mudah mengelabui anak sendiri.
"Ibu udah mau diajak kumpul keluarga lagi sama Tante No, Yah." Kata Rasyid setelah memastikan suaranya tidak akan terdengar lirih. "Udah rajin masak lagi tapi masih sering ngelamun di dapur sih. Tapi selebihnya udah membaik, kasus kegosongan makanan karena ngelamun cuma kejadian dua kali minggu ini."
Ayah Rasyid tertawa karena Rasyid sengaja memakai intonasi seperti seorang anak buah melapor pada atasan.
"Ini juga gak gosong, Yah. Tapi ini Rara yang masak." Rasyid mendorong tiga kotak makanan yang disusun bertumpuk di atas meja di antara mereka. "Bisa masak juga ternyata anak gadis Ayah, kirain bisanya bikin jagung susu keju doang."
"Ayah bisa nebak, ini pasti ada sayur asem kesukaan Ayah juga kan?" Ayah Rasyid menarik kotak makan itu lebih dekat, masih hangat.
"Yap!"
Selagi ayahnya membuka kotak makan untuk menghirup sekilas wangi sayur asem favoritnya, Rasyid memperhatikan ayahnya lekat.
"Kenapa, Dek?" Tanya ayahnya tersadar, ia dalam sekejap tahu ada yang aneh dengan putranya, jadi ia melipat tangan, balik memperhatikan Rasyid. "Ada apa di Jepang? Semuanya baik-baik aja kan? Kabar Adisa baik?"
Rasyid menghela napas mendengar nama itu, dia memejamkan mata beberapa detik sebelum memajukan badannya, bicara dengan lebih pelan.
"Yah, ayah inget gak waktu Rasyid kecil, ayah sering nyalain lagu-lagu The Beatles tiap hari Minggu pagi, ganggu Rara yang lagi nonton Doraemon."
Kening Ayah Rasyid sedikit berkerut, tidak mengerti akan ke mana arah pembicaraan ini.
"Gak cuma The Beatles, ayah juga sering dengerin Queen, The Clash, The Police, Africa, Joy Divison, Oasis..."
Ayahnya mengangguk, membiarkan Rasyid menyelesaikan ucapannya tanpa memotong.
"Terus dari kecil Rasyid udah apal lagu-lagu mereka karena kebiasaan rutin Ayah dengerin lagu-lagu mereka, Rasyid juga ayah ajarin main gitar pake gitar kesayangan ayah, main drum mini. Inget lagu yang paling kita suka gak, Yah? Let it be-nya The Beatles."
Ayah menatap lurus ke mata Rasyid.
"Terus pas kelas tiga SMP, ayah beliin Rasyid drum. Drum beneran. Drum merk Yamaha. Lagu pertama yang ayah contohin pas main drum itu Here Comes The Sun The Beatles, dari semua lagu jedag-jedug, ayah nyontohin lagu itu, yang bahkan gak terlalu jedag-jedug," Rasyid tertawa singkat, "Terus ayah nyuruh Rasyid nyoba, Rasyid bisa. Rasyid langsung ngerasa paling keren satu sekolah. Punya dan bisa main drum."
Ayah tadinya ingin menjawab bahwa ia memang tahu anaknya punya bakat tapi ia memutuskan tetap diam, karena ia tahu Rasyid belum selesai bercerita.
"Tapi Rasyid juga tau kalo ayah pake sebagian gaji ayah sebagai dosen buat beliin drum itu. Ayah kerja lembur sampe malem di kampus. Ayah juga jual gitar listrik ayah demi beliin drum."
"Itu emang ayah pengen beliin buat kamu."
"Ayah selalu ngeusahain buat anak-anaknya. Aku sama Rara gak dimanja tapi ayah selalu mastiin kita seneng sama apa yang kita lakuin. Aku dibeliin drum, Rara dibeliin teleskop."
Suara Rasyid mulai pecah dan bergetar.
"Ayah udah banyak berkorban buat Rasyid, sekarang giliran Rasyid yang berkorban buat ayah."
"Maksudnya apa, Nak?"
Rasyid tersenyum, tangannya terulur, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia menggenggam tangan ayahnya. Biasanya mereka berdua sama-sama menunjukkan afeksi dengan cara yang lain, jarang seperti ini, tapi kali ini Rasyid merasa harus melakukannya.
Tangan ayahnya, tangan yang kasar namun menandakan kekuatan dan kehangatan mengingat apa saja yang sudah dilakukan tangan itu untuk keluarga. Tangan yang menggendongnya saat ibu sibuk memasak, tangan yang menjunjungnya lalu meletakannya di pundaknya yang kokoh, tangan yang menuntunnya saat mereka sekeluarga pergi ke kebun binatang, tangan yang membetulkan rantai sepedanya, tangan yang mengusap kepalanya saat ia menangis, meyakinkannya kalau ia jauh lebih kuat dari yang bisa ia bayangkan. Tangan lelaki yang telah banyak berkorban tanpa pernah mengumbar pengorbanannya, apalagi minta dibalas.
Dan meskipun kini Rasyid telah jauh lebih dewasa, telah mengerti kalau dia bisa kuat seperti ayahnya, tetap saja ia masih ingin tangan kasar dan hangat itu memeluknya lagi, mengusap kepala atau menepuk pundaknya, meredakan tangisnya. Seperti waktu kecil dulu.
Kali ini giliran ia yang berkorban.
Tiba-tiba terdengar sayup-sayup lagu itu memenuhi ruangan, lagu yang dimainkan pertama kali saat satu set drum tiba di rumah mereka, bertahun-tahun lalu.
Here comes the sun
Here comes the sun
And I say, It's alright
Little darling,
It's been a long cold lonely winter
Little darling,
It feels like years since it's been here
Here comes the sun
Here comes the sun
And I say, It's alright
Mungkin lagu itu hanya terputar di kepala mereka berdua, tapi keduanya tahu matahari akan terbit kembali, seperti dalam lagu itu. Semuanya akan baik-baik saja.
*
Acid
Dari kecil gue jarang nangis, waktu gue pertama kali masuk TK, anak lain ada yang sampe kejer karena gak mau ditinggal orang tuanya, maunya orang tuanya ngeliatin dari jendela kelas, tapi gue nggak, gue malah langsung main bajak laut di taman bermain TK.
Waktu gue ngikutin ondel-ondel sampe jauh, sampe gue gak tau jalan pulang, yang disangkanya gue diculik, gue gak panik dan nangis. Gue ngikutin gerobak tukang mi ayam yang gue yakin pasti ke kompleks rumah gue sampe akhirnya bisa pulang.
Waktu kakek gue meninggal, Rara sama Ikal nangis sampe sesenggukan di lorong rumah sakit, tapi gue gak nangis. Gue langsung megangin tangan Nin, karena gue tau Nin yang paling sedih, Nin yang ngerasa ditinggalin, lebih dari yang lain.
Waktu gue jatoh dari sepeda, gue gak nangis, tapi gue langsung berdiri dan ngayuh sepeda gue pulang, biar lukanya cepet diobatin ibu.
Gue juga gak nangis waktu gue putus sama perempuan yang gue sayang, yang pernah ngubah pandangan gue tentang hujan jadi kesedihan.
Bukan karena gue baik-baik aja, bukan karena gue bisa ngelewatin itu semua. Kalo dibilang ancur, bisa dibilang dalemnya gue udah ancur berantakan tapi gue gak bisa dan gak mau nangis.
Padahal baik ayah maupun ibu gak pernah ngelarang gue nangis atau tanpa sadar menerapkan mindset 'Anak laki gak boleh nangis', gak sama sekali, tapi emang gue yang memilih untuk gak nangis, dan gue bisa.
Emang gak ada yang salah dari nangis, justru Tuhan baik sama manusia. Bahagia sama sedih diciptakan barengan dan bakal bergantian di hidup semua orang, tapi Tuhan ngasih kita punya cara buat nunjukin kalo kita sedih, kita punya cara buat keluarin emosi kita dengan nangis.
Orang yang bikin gue selalu bisa menempatkan tangisan gue cukup di dalam hati aja mungkin ayah. Karena gue tau dari kecil, ayah gak pernah nangis, di depan gue, di depan siapapun. Tapi waktu itu gue gak sengaja liat ayah nangis, d kamar yang pintunya gak bener-bener ketutup. Ayah nangis, bukan cuma mata berkaca-kaca doang, ayah nangis sambil nutupin muka tapi gak bersuara. Itu adalah hari waktu ayahnya ayah meninggal. Kakek gue.
Gue terbiasa melihat ayah, melihat bagaimana dia selalu bisa mengendalikan emosinya dan sedih diam-diam, atau mungkin gue begini karena sifat ayah nurun ke gue?
Entahlah. Tapi terakhir kali gue bener-bener nangis tanpa nahan adalah waktu ayah dijatuhi hukuman penjara. Sekarang... gue nangis lagi. Begitu jam kunjungan tahanan selesai, gue langsung keluar, duduk anak tangga yang menuju keluar bangunan lapas.
Gak tau, rasanya kayak semua sakit hati yang pernah gue rasain tiba-tiba dateng lagi. Dan perihnya berkali-kali lipat dibanding pas gue jatoh dari sepeda.
Mata gue mulai berkaca-kaca ketika gue baru sadar kalo hujan mulai turun, menetes ke ujung sepatu gue. Gue langsung inget seseorang, inget orang yang jauh di sana, yang ngasih gue boneka penangkal hujan.
Gue punya janji sama dia kalo pertemuan berikutnya gak bakal berasa lama, tapi hari ini gue tau gue bakal mengingkari janji itu.
Tapi gue harus memilih dan pilihan itulah yang membuat hati gue perih. Banget. Mata gue berkaca-kaca, kalo gue biarin air mata ini netes, apa gue bakal ngerasa baikan? Apa gue bakal tenang? Atau mungkin setelah ini gue bakal terus nangis tanpa suara?
Tepat sebelum air mata meluncur turun ke pipi gue, kedengeran suara langkah di belakang gue, dan suara payung dibuka.
Gue menatap payung abu-abu yang terkembang di atas kepala gue sebelum menoleh dan mendapati cewek reporter itu berdiri di belakang gue.
"Gue cariin, kok gak nelpon sih?" tanyanya, tertegun sekilas menatap mata gue.
Shit. Gue berkedip, berharap akan menyembunyikan fakta kalo gue di ambang nangis.
"Lo bawa payung ternyata." kata gue singkat sambil berdiri, menatap hujan yang mulai deras di depan gue.
"Iya, tadi juga ke minimarket. Eh balik-balik jam kunjungan udah selesai terus lo gak ada di mana-mana."
"Tadi gue ke toilet bentar." Gue memijit pelipis gue karena langsung mendengar celotehan cewek itu.
Cewek itu masih termasuk ke dalam tim yang dibentuk Rara buat proses ngeluarin ayah dari penjara jadi udah beberapa hari ini dia ngekor ke mana-mana, pas hari libur aja sih karena hari biasa kan dia magang di media.
Hari ini harusnya gue jenguk ayah sendirian tapi karena setelah ini gue disuruh Rara nyusul ke Lembaga Bantuan Hukum, dan butuh si cewek reporter ini juga, akhirnya dia ikut ke lapas sebelum ikut ke LBH.
Oh ya, namanya Shilla. Kenapa gue lupa mulu sama temennya Bang Sat ini.
Gue sampe nanya berkali-kali ke Rara, emangnya peran Shilla seberapa penting sih di kasus ayah? Rara gak jawab tapi akhirnya gue bisa liat sendiri kalo dia ngebantu banget dalam urusan sama LBH, gak tau deh, mungkin karena dia berkutat di bidang jurnalistik, dia juga punya banyak kenalan yang bisa ngasih beberapa titik terang. Misalnya wartawan senior yang pernah ngeliput banyak kasus-kasus korupsi. Tugas mereka emang ngeliput dan ngelaporin, bukan nyelidikin, tapi informasi yang mereka punya bisa bermanfaat buat kasus ayah.
Untuk urusan teamwork, Shilla emang oke, dia gak pernah rewel atau ngeluh, terus kerjanya cepet dan lincah, dia juga bisa diandelin dalam banyak hal. Tapi satu sih, dia cerewet banget. Beneran cerewet. Lebih cerewet dari Nyi Blorong—Rara maksud gue.
Sebenernya soal urusan berisik dan pecicilan, gue sendiri juga gitu, terus temen-temen gue di Komet atau di kampus juga. Tapi interaksi sama cewek yang ramenya kayak bawa orang sekampung pawai itu bikin kaget. Gak tau ya, mungkin karena gue kebiasa sama cewek yang kalem, yang sedingin lantai masjid Puncak, makanya gue kaget.
Tapi iya sih, gue akui, kadang kita butuh Shilla—di luar kemampuan dia ngorek informasi dan kehebatan jurnalistik lainnya—soalnya penyelidikan ini bikin stress, gak ada hari yang dilewatin tanpa pusing dan hampir putus asa, tapi si Shilla yang gue curiga punya batre alkaline di dalem badannya ini jadi orang yang sering bikin ketawa sama kelakuannya atau sama leluconnya, yang beliin makanan atau bikinin kopi, dan orang yang nyalain musik di tengah kepusingan orang-orang lainnya. Selera musiknya juga bagus-bagus, rata-rata musik 80-an.
"Lo gak mau pake payung?" Gue nengok pas jalan ke tempat mobil gue diparkir.
Shilla di belakang gue lagi loncat-loncat ngehindarin becekan dan hujan-hujanan. Bangunan lapas yang suram di belakangnya jadi keliatan kayak latar yang janggal.
"Nggak, lo duluan aja."
"Nanti jok mobil gue basah." Gue menggerutu, tapi orangnya malah nyengir. Syukurlah dia gak tanya gue kenapa. padahal gue yakin dia nyadar kalo air mata gue tadi udah tinggal netes.
"Jadi ke LBH langsung kan?" Gue memastikan ketika udah di dalam mobil. Gue menyalakan mesin mobil setelah memasang sabuk pengaman. Shilla ngelirik gue, keliatan kayak ragu mau bilang sesuatu.
"Iya, Rara sama Ian udah di sana."
Gue mengangguk samar, mengembuskan napas lelah. Makin lama penyelidikan ini makin kerasa mustahil dan gue yakin gue bukan satu-satunya orang yang ngerasa ini cuma bakal berujung di jalan buntu. Gue menghela napas berat lagi, abis ini... gue bisa bawa semua orang keluar dari jalan buntu, Ayah, ibu, Rara. Tapi nggak diri gue sendiri.
Gue udah ngambil keputusan.
"Cid," panggil Shilla. Aneh banget denger dia yang biasanya berisik tiba-tiba jadi masang volume pelan.
"Apa?" Gue yang tadinya fokus sama jalan di depan, ngelirik dia.
"Nggak, nih tadi gue ke minimarket sekalian beli jajanan."
Kebiasaan penyuplai makanan.
"Ntar aja deh, gue gak laper."
Kayaknya chitato keju, my ultimate favorite juga gak bakal bisa bikin gue nafsu makan sekarang.
Lagian kan gue lagi nyetir. Batin gue.
"Nih, kalo gak laper, kunyah ini aja." Shilla menyodorkan sekotak permen karet mint.
Gue diem bentar ngeliat permen karet yang dia kasih.
"Thanks." kata gue akhirnya, setelah jeda panjang. Satu tangan gue mengambil permen karet itu, menaruhnya satu di mulut dengan satu tangan yang lain masih di setir.
Mata gue lurus ke depan, nembus kaca mobil dan wiper yang ngehalangin air hujan.
Gue tiba-tiba pengen nangis. Lagi.
Brengsek. Lemah banget gue hari ini.
*
Permen mint yang selalu ada stoknya di ransel atau di mobil gue itu punya sejarahnya sendiri. Bukan, bukan kenangan di parkiran itu. Jauh sebelum itu.
Jadi.. sebelum gue pacaran sama Adisa, gue perokok, lumayan berat. Sehari tuh gak mungkin gak sebats. Awal deket sama Adisa dia tahu kalo gue ngerokok, tapi dia gak bilang apa-apa karena gue juga gak pernah ngerokok di depan dia. Kotak rokok dan korek bakalan kesimpen di lipatan ransel gue yang paling dalem setiap gue sama dia.
Terus suatu hari, gue pernah kelepasan. Eh? Namanya kelepasan bukan ya? Soalnya kan dia juga tau gue ngerokok.
Ada tugas yang bikin gue sering ke perpustakaan kampus, karena Adisa juga sering ke perpus, gue ke perpus bareng dia. Jangan tanya apakah gue ganggu orang lain di perpus dengan pacaran? Nggak. Yang ada gue dicuekin, gila.
Dica tekun banget ngetik di laptop, dua buku kebuka di sebelahnya, ditahan buku lainnya. Gue juga punya tugas sendiri sih jadi ya gue di sebelahnya juga sibuk walaupun berkali-kali ngelirik dia. Oh, jadi gini rasanya pacaran di perpus.
Kadang kalo tugas gue udah kelar, gue tidur di sebelah dia, nelungkup di meja, atau baca-baca buku puisi yang gue ambil dari rak sastra, nyatetin bagian-bagian yang gue suka, dengerin musik pake earphone atau pindah duduk di depan dia sambil mangku tangan ngeliatin dia, bikin dia salting dan bilang, "Rasyid, aku lagi konsen nugas."
Jadi gue ganggu konsentrasi ya? Biarin, dia juga sering bikin gue gak konsen, terutama pas makan ramen pedes itu. Ckck.
Hari itu, gue seperti biasa ngelarin tugas gue duluan. Gue dengerin musik sambil sengaja duduk di depan dia di seberang meja. Ngeliatin dia sambil mangku tangan.
Lagu yang gue dengerin waktu itu lagu Bila Aku Jatuh Cintanya Nidji. Langsung lembek ni hati kayak tape.
Dica langsung sadar gue liatin, terus dia langsung salting. Lucu deh dia kalo lagi salting.
"Rasyid, aku lagi nugas."
"Iya sayang, siapa bilang lagi nyambel?"
Dica tambah salting, dan gue gak menyalahkannya. Gue senyum terus beralih mainin pulpen.
"Kok pulpen kamu gak nyata sih, Ca? Udah abis ya? Apa rusak?"
"Hah? Masa?"
"Iya, cobain deh, tulis Acid lope Dica di meja perpus, nyata gak?"
Dica mengembuskan napas lelah, "Vandalisme dilarang keras di perpus."
"Ya udah di buku kamu aja."
"Kenapa sih, Rasyid?" Dia keliatan nahan tawa, malah keliatan lebih lucu di mata gue. "Kalo kamu bosen, baca buku puisi aja. Biasanya kamu suka."
Gue masih mangku tangan dan masih ngeliatin dia, "Bosen. Di perpus gak boleh ngerokok sih."
Eh...
Gue kelepasan.
Dica berhenti ngetik, dia bales ngeliatin gue tapi tatapannya gak bisa gue tebak.
"Eh sorry Ca. Maksud aku gak gitu kok. Gak ngerokok depan kamu juga."
Dica masih diam, tapi gak keliatan marah, dia benar-benar berhenti ngetik sekarang, sebaliknya dia ikut nopang dagu terus ngeliatin gue. Bagus, sekarang gue yang salting.
"Kamu abis dari perpus ini bakalan ngerokok ya?"
"Hah? Eh... iya kayaknya... Tapi di kantin kok kantin, sama anak-anak. Bukan di depan kamu. Gak bakal."
Sekilas gue ngeliat mata Dica kayak sedih, gue langsung ngerasa bersalah.
"Kamu tau selama ini aku gak pernah ngelarang kamu ngerokok," Dica berkata pelan, "tapi sebenernya aku pengen kamu berhenti."
"Hah?"
"Kamu bisa gak ngerokok kalo di depan aku kan, itu kenapa?"
"Kenapa, ya karena aku gak mau... ngeracunin kamu pake asap rokok."
"Tapi kamu ngeracunin diri kamu sendiri, Rasyid, aku gak mau."
Mampus gue.
"Kamu bisa berhenti ngerokok kalo ada aku, sekarang bisa gak pelan-pelan kamu juga berhenti ngerokok buat diri kamu sendiri?" Adisa tersenyum menenangkan, mungkin karena ngeliat gue panik dikit. "Pelan-pelan aja, aku ngerti kok gak bisa langsung."
Gue kira dia masih bakal ngasih tau gue panjang lebar, tapi dia cuma bilang itu aja, terus balik ngetik lagi.
Iya sih cuma ngomong gitu aja tapi gue langsung kepikiran sampe keluar dari perpus. Gue inget hari itu gue beneran gak ngerokok sama sekali. Tapi besoknya masih, soalnya mulut gue asem kalo gak ngerokok.
Terus seminggu setelah itu, kelompok gue di kelas butuh minjem buku dari perpus, disuruh dosen gue dengan ancaman kalo kita gak dapetin tu buku, nilai kita C semua. Waktu itu kartu perpus gue udah limit, udah minjem dua buku dan dua-duanya ada di kosan, gak gue bawa, temen sekelompok gue lebih parah, kartu perpusnya ilanglah, belom ngembaliin buku padahal udah tujuh bulanlah. Sinting, besok-besok mereka ternak pokemon ajalah, gak usah kuliah.
Tadinya gue udah mau otw balik ke Komet, ngambil buku yang gue pinjem, tapi terus gue inget Adisa. Gue langsung ngeline dia, nanya gue bisa gak minjem kartu dia dulu buat minjem satu buku. Dia bilang bisa, tapi karena jadwal kelas gue sama dia bentrok hari itu akhirnya kita sepakat supaya Dica nitipin kartu dia di petugas perpus aja.
"Jadinya minjem kartu cewek lo, Cid?" Tanya temen sekelompok gue pas kita bertiga jalan ke perpus.
"Iye."
"Asik ketemu ceweknya Acid."
"Eits mo ngapain lo?" Gue pura-pura mau ngegebuk dia pas denger nada genit itu.
"Yaelaaa posesif deh."
"Dianya gak ada, lagi kelas. Kartunya dititipin."
"Yaaaah." Heran kok temen-temen gue kecewa gitu. Penasaran banget apa ya sama Adisa.
"Gak usah macem-macem lo benga."
"Gak macem-macem, orang cuma mau kenalan, Cid."
"Gak usah kenal-kenalan."
Temen gue bersiul ngegodain.
Terus pas udah sampe perpus, gue langsung dipanggil sama petugas penitipan barang, bahkan sebelum gue sempet nanya.
"Rasyid Teknik kan? Nih tadi ada titipan dari anak Sastra Jepang." Mas-mas petugas itu nyodorin kartu sama.... apaan tuh? Mata gue menyipit mengambil benda itu. Sekotak permen karet.
"Ini titipan dari siapa?"
Dahi mas-mas petugas itu berkerut, "Dari anak Sastra Jepang juga. Itu yang kartu perpusnya lo pegang."
Temen gue di belakang gue bersiul lagi.
"Buat gue? Permennya?"
"Iya."
"Dia gak bilang apa-apa pas ngasih?"
Mas-mas itu ngegeleng, "Nggak, cuma bilang titipan buat Rasyid Ananta, Teknik Mesin. Eh, tapi kalo lo mau ngunyah tu permen di perpus, jangan sampe ketauan ya, terus jangan lo peperin di meja."
Mas-mas itu mulai ngomong panjang kali lebar kali tinggi tapi gue bengong sambil ngeliatin permen karet di tangan gue.
Pas banget ada line yang masuk dari Adisa.
[Adisa Mutiara Dewi]
Udah diambil kartunya?
Oh ya, aku juga nitipin permen karet
Siapa tau bisa gantiin rokok kamu hari ini
Kalo mau dimakan di perpus, diem2 ya
Abis baca, gue langsung mules, Man. Tau kenapa? Karena gue tau ini cara Dica sayang sama gue.
Terus dia juga pelan-pelan bikin gue berhentinya, gak langsung 'GAK BOLEH NGEROKOK!' gitu. Kalo nemenin dia belanja juga dia pasti beli permen karet itu terus dia kasih ke gue. Terus pas kita putus, pas gue nganterin dia pulang, dia narik kotak rokok dari kantong jaket gue, ngebaca niat gue buat langsung ngabisin rokok sekotak begitu balik. Tapi gue gak suka inget bagian itu, terlalu perih.
Sampe akhirnya gue jadi kebiasa dan suka nyetok sendiri. Bawa permen karet itu ke mana-mana, gue pelan-pelan juga berhenti ngerokok, gantinya ngunyah permen karet.
Gue inget kata temen gue pas liat gue dikasih permen karet, "Tuh Cid, biar kalo kissing mulut lo gak bau rokok."
Mulut temen gue tuh emang gak punya lembaga sensor. Tapi gue mikir juga, iya sih.
Dan gak lama kemudian... Beneran. Hehehehe. Beneran kissingnya gak bau rokok maksudnya.
Jadi itu alasan gue sampe sekarang selalu beli permen karet itu, udah kayak kebutuhan primer.
Ah Adisa, Adisa.
Liat apa yang kamu lakukan karena sayang sama laki-laki ini.
*
Dica
"Stasiun, tempat paling ramai sekaligus paling sepi di kota ini."
Aku tidak bisa mencegah kalimat Irham bergaung di benakku saat aku menunggu kereta di stasiun sepulang kuliah sore itu, menuju tempatku kerja sambilan.
Pertama kali aku mendengar kalimat itu aku sempat mengerjap menatapnya, menatap mata yang kurasa adalah bagian dari kutub saking dinginnya. Waktu itu dia untuk kedua kalinya duduk di kursi depanku di kafe obaa-san, seperti waktu awal-awal aku datang ke Jepang.
"Irham, stop nguntit gue." Ujarku saat itu. Sudah lelah dengan kehadirannya yang seringkali tiba-tiba di hadapanku. Setelah muncul begitu saja beberapa hari sebelumnya di tempatku bekerja sambilan, memayungiku dari hujan, membuatku tidak punya pilihan selain pulang ke dorm bersamanya, kali ini ia juga muncul di depanku yang sedang menikmati secangkir cokelat panas favorit dan novel yang belum sempat kuselesaikan.
Dia membuatku terpaksa menyelipkan pembatas di antara halaman novelku untuk mengetahui apa maun
Irham kelihatan bingung.
"Gue kayak stalker?"
"Apa namanya kalo bukan?" Aku menghela napas, padahal aku sudah mulai menerima dia sebagai partner dan teman sekelas yang baik, tapi sepertinya aku berubah pikiran.
"Gue juga sering ke kafe ini, bukan lo doang kan?"
"Tapi masih banyak meja selain meja gue,"
"Gue gak boleh duduk satu meja sama lo?"
"Nggak, bukan gitu. Tapi...." Aku menghela napas lagi, "Ya udahlah terserah."
Irham menghirup kopi hitam yang selalu ia pesan di sini lalu mengeluarkan buku sketsa dari dalam ranselnya, seperti yang sudah kuduga.
"Gue boleh ngomong dulu sama lo? Sebelum lo ngelanjutin baca? Abis itu gue juga bakal ngelanjutin gambar."
Aku tidak mengangguk maupun menggeleng, hanya menatapnya, dan Irham menganggap itu sebagai persetujuan.
Dia membuka buku sketsanya dengan sinar mata antusias yang biasanya hanya kutangkap kalau ia sedang membicarakan komik atau saat mengikuti mata kuliah yang menarik.
Lalu mataku melebar saat ia menyodorkan buku sketsanya yang terbuka ke depanku.
"Lo gambar denah?"
"Lebih tepatnya gambar rute kereta di Tokyo."
Irham memang aneh tapi untuk keanehannya yang satu ini aku tidak bisa menemukan alasan logisnya. Untuk apa dia menggambar rute yang dari jauh terlihat coretan garis bersaling-silang rumit.
"Lo inget obrolan kita di ayunan, Dis?"
Kadang aku menyayangkan ingatanku yang kuat dalam momen-momen yang sebenarnya tidak benar-benar ingin kuingat. Tapi ya, aku ingat malam itu, waktu aku makan es krim dan aku pilek, dan Irham bicara tentang mimpi.
"Lo juga pasti inget tawaran gue waktu itu. Lo yang nulis, gue yang gambar ilustrasi buat tulisan lo."
Kali ini aku menatap Irham lurus-lurus, lelaki itu mendorong kacamatanya menggunakan telunjuk sebelum melanjutkan kata-katanya.
"Sekarang gue nawarin sekali lagi. Kali ini gue udah tau konsepnya apa."
Apakah gambar rute kereta ini konsepnya? Aku bertanya-tanya dalam hati, dan benar saja, Irham menunjuk gambarnya.
"Selama ini setiap gue naik kereta, di sini maupun di Jakarta. Gue selalu beranggapan kalo stasiun dan kereta adalah tempat dan moda transportasi yang paling punya banyak cerita. Tangganya, garis pembatasnya, tempat duduknya, suara pemberitahuannya, gerbong keretanya." Irham menjelaskan seperti seorang nerd menjelaskan penemuan ilmiah sementara aku duduk termangu mendengar ucapannya seraya membatin bahwa ini pertama kalinya aku merasa pemikiranku sendiri dikuliti.
Aku tidak berani mengakui aku punya pemikiran yang sama tentang stasiun, aku tidak berani menyela Irham dengan berkata bahwa kami sebenarnya tidak sekadar melihat, kami mengobservasi sementara kebanyakan orang seperti yang dikatakan Sherlock Holmes, 'You see but you don't observe. The distinction is clear.'
Lamat-lamat aku mendengar kata-kata Dea dalam kepalaku, 'Lo sama Irham kan disebut anak kembar.'
Kini aku benar-benar menyadari kenapa.
"Jadi?" Irham bertanya setelah menutup ceritanya. Aku rasa itu adalah pertama kalinya aku mendengar dia bicara sepanjang itu. Lebih panjang dari saat di ayunan.
"Jadi apa?"
"Ada tujuh jalur, ada banyak stasiun, ada banyak cerita. Lo tertarik nulis cerita berlatar stasiun dan kereta yang beda-beda? Nanti gue yang gambar."
Aku terdiam sepenuhnya dan berharap aku punya senter pengecil, aku ingin mengecil dan hilang dari pandangan Irham. Tawarannya memanggil denyut mimpi di dalam hatiku.
"Dis?" Panggil Irham.
Aku ingin menolak, tapi lidahku kelu.
"Ini juga bisa buat tugas akhir kita, matkul manga, inget?"
Aku lupa sama sekali pada tugas akhir itu, atau mungkin enggan mengingat karena aku masih belum merancang konsep, lalu tahu-tahu Irham datang dan menyodorkan konsep untuk dipakai bersama. Konsep yang aku juga menyukainya.
Benar, di saat seperti ini aku benar-benar butuh senter pengecil atau yang lebih mendukungku untuk kabur: pintu ke mana saja.
"Lo pikirin dulu aja." Ujar Irham karena aku masih mematung, ia lalu menarik lipatan kertas yang terselip di buku sketsanya dan menyerahkannya padaku. Apa lagi ini.
"Contoh ilustrasi stasiun yang gue buat."
Perlahan kubuka lipatan kertas itu dan sama seperti reaksiku waktu melihat gambar akuarium yang dibuat Irham: aku menahan napas. Kagum atas semua detail yang Irham buat, cahaya petang yang menyorot lantai stasiun, lampu dari mesin penjual minuman, ekspresi orang-orang yang menunggu kereta maupun melangkah pergi.
Saat itulah aku mendengar dia berkata pelan seraya meletakkan cangkir kopi yang baru ia hirup, "Stasiun, tempat paling ramai sekaligus paling sepi di kota ini."
Lagi-lagi aku tersentak, seseorang kembali memasuki pikiranku, membacanya, lalu menyuarakannya. Bicara dengan Irham membuatku merasa benakku transparan.
Lalu hal terakhir yang kusadari adalah cokelat panasku telah mendingin.
Kini aku berdiri menunggu kereta, di stasiun yang digambar Irham, melamunkan kata-kata Irham.
Benar, stasiun adalah tempat paling ramai sekaligus sepi di kota ini. Semua orang pulang pergi membawa beban, semua orang menjelma jadi pengemis waktu, derap langkah mereka ramai, pengeras suara tidak pernah libur mengumumkan, tapi pikiran mereka sepi, karena luka yang diam-diam mereka lamunkan sambil menunggu kereta, sambil berada di dalam kereta.
Dan mereka yang kumaksud juga termasuk diriku sendiri.
Aku masuk ke dalam gerbong, menaruh ranselku di pangkuan.
Lamunan mengiringi perjalananku selama beberapa menit sebelum tanganku perlahan membuka ransel, menarik kertas yang terselip di jurnalku. Gambar stasiun yang diberikan Irham.
Aku ingat sebelum pembicaraan kami di kafe usai, Irham berkata, "Kalo lo setuju kita bisa mulai observe stasiun-stasiun minggu depan." Dia terlihat ragu sebelum melanjutkan, "Minggu ini gue pulang ke Indonesia."
"Ngapain?" Tanyaku spontan.
"Ada urusan keluarga." Dari nada bicaranya, aku merasa dia tidak ingin membahas lebih jauh.
"Terus? Bolos kuliah?"
"Cuma sehari."
Aku kaget mendengar jawabannya, kaget karena aku menanyakannya tanpa kusadari. Seharusnya aku tidak peduli.
Terlepas apapun tujuan Irham pulang ke Indonesia, aku tidak bisa berhenti memikirkan seseorang di sana. Seseorang yang menghindariku akhir-akhir ini.
Aku melipat kembali gambar stasiun itu dan merogoh ponsel, membuka chatroomku dengan Rasyid.
Masih belum dibaca.
Masih belum dibalas.
Bahkan sejak tujuh hari yang lalu.
Ibu jariku sudah mengetik cepat: 'Rasyid, ada apa? Kamu masih belum bisa dihubungin?'
'Rasyid, aku diajak Irham project bareng.'
Perlahan aku merasa airmataku mulai menggenang dan kuputuskan untuk menghapus semua huruf yang sudah kuketik. Kupandangi display picture Rasyid dengan perasaan tidak tenang.
Kupikir salah satu cara untuk menghancurkan hati seseorang adalah membiarkan orang itu berspekulasi apa kesalahannya sampai ia dihindari tanpa kabar. Membiarkan pikiran orang itu terpenjara prasangkanya sendiri.
Dan itu yang kurasakan seseorang. Aku mencoba meneleponnya tapi tidak diangkat.
Aku memasukkan kembali ponselku ke dalam ransel lalu memeluk ransel di pangkuanku sambil menatap ke luar kaca jendela kereta. Mengingat beberapa waktu lalu aku naik kereta bersama Rasyid sepulang dari Shinjuku. Kami berdua tertidur, saling menyandarkan kepala.
Aku menelan ludah. Stasiun dan kereta memang tempat paling ramai sekaligus paling sepi di kota ini, atau mungkin itu hanya untuk hatiku saja, yang kurasa mulai ditinggalkan penghuni tetapnya.
*
Untuk kesepuluh kalinya dalam satu menit, Ian menoleh tidak tenang ke arah gerbang bangunan yang terlihat dari tempat mobilnya diparkir, seperti menunggu seseorang muncul dari balik pintu itu sesegera mungkin.
Ian menyandarkan tubuhnya ke jok pengemudi, mengusap wajahnya, berharap ia tidak sekhawatir ini. Ia melirik jok penumpang yang kosong di sebelahnya. Mengingat adiknya yang satu jam lalu duduk di sana.
Ingatan Ian lalu kembali berputar pada suatu hari yang terjadi beberapa tahun lalu. Meski berpisah, Ian dan ibunya selalu mengusahakan supaya mereka bertemu Irham minimal sebulan sekali. Dan karena hubungannya dengan ayah tidak begitu baik, mereka biasanya bertemu tanpa persetujuan ayah mereka.
Hari itu Irham seperti biasa duduk di depan Ian, mereka makan siang bersama tanpa banyak bicara, Ian seperti biasa masih berusaha memposisikan dirinya menjadi seorang abang yang baik.
Imbas dari semua permasalahan orang tua mereka memang mereka berdua, tapi Ian tahu Irham merasakan efek yang jauh lebih dalam. Ian tidak terperangkap di rumah ayahnya yang sedikit abusif seperti Irham, Ian juga tidak harus menghadapi ibu tiri yang hanya pura-pura peduli setiap hari seperti yang harus dihadapi Irham.
"Kuliah lancar kan Am?" Tanya Ian, di depannya Irham hanya memainkan saus pastanya menggunakan garpu.
"Am?" Tanyanya lagi karena Irham tidak menjawab.
"Kalopun gak lancar juga harus dibikin lancar." Sahut Irham tanpa minat.
Ian berdeham, masih harus membiasakan diri dengan sikap Irham yang dingin. Adiknya telah berubah dan Ian tidak bisa menyalahkannya. Dia juga tidak bisa memaksa Irham cerita.
"Pas libur main aja ke rumah, Am, mama juga kangen."
Irham tidak menjawab.
"Oh ya, gimana komik lo? Ada yang baru? Gue mau baca dong." Ian sengaja mengangkat topik komik karena ia tahu hanya itu yang bisa membuat Irham mersepons lebih dari kalimat-kalimat singkat.
"Ada." Jawab Irham, Ian melihat mata adiknya yang biasanya selalu redup itu seperti berkilat.
Irham menyerahkan buku sketsanya pada Ian yang menerimanya dengan ekspresi senang dan langsung membalik lembar demi lembar.
Saat Irham ke toilet, saat itulah Ian menemukan sesuatu terselip di buku sketsa adiknya. Tanpa curiga, Ian membuka lipatan kertas itu dan menemukan gambar seorang perempuan sedang tersenyum. Hanya dari gambar saja, Ian bisa melihat kalau perempuan yang digambar adiknya ini pasti cantik, dan cara Irham menggambar senyuman perempuan ini membuat Ian sebagai seorang abang langsung mengetahui bahwa dia adalah perempuan yang diam-diam disukai adiknya.
Ian tidak mampu menahan senyum, bersyukur bahwa sedingin apapun adiknya, ia tidak kehilangan alasan untuk menggambar senyuman seseorang seperti ini, ia tidak lupa jatuh cinta.
Sebelum melipat kembali kertas itu dan menyelipkannya kembali di antara halaman buku sketsa, mata Ian tertumbuk pada sebaris tulisan adiknya di sudut bawah gambar.
"Adisa Mutiara Dewi?" Gumam Ian membaca tulisan adiknya.
Nama itu seperti membunyikan dering di kepalanya, di mana dia pernah mendengar atau membaca nama ini?
Sesuatu seperti menyala dalam pikiran Ian ketika ia ingat di mana dia pernah membaca nama ini, namun dalam sekejap ia diliputi perasaan aneh.
Gak mungkin kan? Pikirnya sembari mengeluarkan hp dari sakunya, membuka aplikasi instagram, mencari satu nama di followingnya, berharap dugaannya salah.
Ketika ia menemukan profile Rasyid Ananta, adik dari pacarnya, Rara, ia langsung menggulirkan ibu jarinya mencari satu foto. Foto seorang perempuan yang pernah diupload Rasyid dengan caption 'Yts.' bersama dengan foto-foto mereka berdua yang lain.
Begitu menemukan foto yang dimaksud dan mengecek nama orang yang Rasyid tag di foto itu, perasaan Ian semakin tidak enak.
"Adisa Mutiara Dewi, persis." Ian menatap perempuan di foto ini dan senyumannya yang memang mirip seperti yang digambar adiknya.
Mata Ian menatap Irham yang berjalan kembali dari toilet.
Kenapa harus dia, Am?
Kenapa harus milik orang lain?
Ingatan itu buyar tepat ketika pintu mobil Ian dibuka dan Irham langsung duduk di jok penumpang yang sempat kosong itu, menyudahi penantian gelisah Ian.
Ian menatap adiknya, menunggu. Tapi adiknya tanpa emosi berkata, "Ayo, udah selesai."
"Am, beneran udah?"
"Iya, udah, udah gue serahin semuanya, udah ngelewatin prosedur juga. Interogasi menyeluruhnya besok. Gak ada reporter. Clear."
"You okay?"
Irham memicing menatap kakaknya, "Emangnya kenapa?"
Ian merasa hatinya remuk.
"Apa ini beneran yang lo mau? Nyerahin bukti yang disembunyiin papa? Lo paham kan risikonya apa? Apa akibatnya buat papa dan terlebih buat lo sendiri? Lo paham?"
"Yan, kita udah ngomongin ini rasanya ratusan kali dari sejak gue sampe di Jakarta. Iya, ini yang gue mau. Ok?"
"Lo serius? Lo punya pilihan buat tutup mulut dan gak terlibat, Am."
Irham memutar bola matanya. "Terus biarin papa jadi koruptor licik selamanya?"
"Tapi lo tau kan mungkin setelah ini lo gak bakal bisa—"
"Tinggal di rumah itu lagi? Ya udah, gue bisa tinggal di rumah mama kan? Kecuali kalo mama sama lo gak menginginkan gue."
"Am! Bukan itu maksud gue! Lo ngerti kan ini gak main-main? Ini nyangkut hidup sama reputasi banyak orang termasuk papa."
"Sekali lagi gue tanya, lo mau biarin papa jadi koruptor licik selamanya?"
"Ini bukan cara lo balas dendam ke papa kan?" Tanya Ian hati-hati.
"Ini bukan sinetron, Yan." jawab Irham datar.
Ian mengembuskan napas, ia lalu menepuk bahu Irham meski Irham sedikit berjengit seperti tidak ingin disentuh.
"Semoga keputusan lo ini bukan karena mau bales dendam sama papa, bukan juga karena hal lain," Ian memilah kata-katanya, "karena lo paham risikonya."
Mulut Irham terkunci, tapi air mukanya tetap datar.
"Tapi di luar semua itu, gue bangga sama lo." Ian melanjutkan, kali ini suaranya terdengar bergetar. "Lo berani banget."
Apalagi setelah semua yang dia alami selama hidupnya. Tambah Ian dalam hati.
Ketika mobil Ian melaju meninggalkan kantor polisi. Ian bisa mendengar Irham menggumam pelan sambil menatap ke luar kaca jendela mobil di sampingnya.
"Satu-satunya risiko berat yang harus gue tanggung adalah gue iri sama orang-orang yang berjuang buat ayahnya di kasus ini. Mereka berjuang karena tau ayah mereka gak bersalah. Sementara dia, Yan? Dia bahkan gak bisa dibela sama sekali, justru kalau kita bela, kita sama kayak dia."
Ian merasakan pahit menyelimuti perasaannya.
*
Pada hari kesekian tidak mendapat kabar apapun dari Acid—bahkan Rara juga tidak membalas pesannya—Dica berkali-kali bermimpi tentang Acid.
Malam ini, mimpinya masih tentang Acid, namun mimpi ini terasa nyata karena memang Dica pernah mengalaminya. Mimpi kali ini seperti film lama yang kembali diputar.
Mimpi kencan kedua mereka.
Waktu itu Acid tidak lagi mengajak nonton, ini juga sangat tiba-tiba.
Tahu-tahu malam jam delapanan, ada line masuk dari Acid.
[Rasyid Ananta]
Selamat malam Mbak Adisa
Ini dongker lagi ngebajak hpnya bos
Dongker abis dimandiin, udah cakep
Jadi dongker pengen yang cakep duduk di boncengan dongker malem ini
Mbak Adisa ada waktu?
Jawab ya, mbak. Sebelum bosnya rizqullah yg suka kentut itu yg duduk di boncengan dongker :"(
Dica tersenyum membaca pesan itu. Kembali lagi dalam episode 'Ada-ada saja, Rasyid'
[Adisa Mutiara Dewi]
Selamat malam, Dongker
Aku sebenernya mikirin gimana cara kamu ngetiknya tp yaudh gak usah dipikirin
Emg dongker mau ngajak ke mana?
.
[Rasyid Ananta]
Ngajak makan Mbak Adisa yang cantik
Makan nasi goreng enak (kata si bos, bukan kata dongker soalnya dongker makannya bensin)
Terus beli bola ubi sama teh poci susu
Pulang-pulang kenyang deh
Mau ya? Dongker udah kece nih
.
[Adisa Mutiara Dewi]
Hahaha yaudh boleh deh
.
[Rasyid Ananta]
ALHAMDULILLAH GAK JADI BAWA WAWAN
Baik kalau begitu
Tunggu ya Dongker meluncur sama si bos
Jgn lupa pake jaket
ps: bos juga udah kece kok
.
[Adisa Mutiara Dewi]
Iyaaa dongker
.
[Rasyid Ananta]
Ya udah siap-siap doooong
Jangan senyum terus, bikin seneng aja
.
[Adisa Mutiara Dewi]
Aku gak senyum-senyum
.
[Rasyid Ananta]
Itu dp kamu senyum terus
.
[Adisa Mutiara Dewi]
Dongker modus :p
.
[Rasyid Ananta]
Skrg udah bukan dongker :]
Ini aku :]
Abis zoom dp kamu.
Bola ubi ntar ilang semua dah nih manisnya
.
[Adisa Mutiara Dewi]
Rasyiiiiiid
Tidak lama kemudian, Acid menjemput Dica di kos-kosannya, bersama vespa birunya, si Dongker yang katanya sudah kece itu.
"Kita mau makan nasi goreng di mana, Cid?" Tanya Dica saat sudah duduk di boncengan, sebelum Acid menstarter.
"Liat aja ntar, favorit aku. Hehe."
"Kebiasaan deh kamu gak bilang, tau-tau nyampe aja."
"Hehe. Tapi beneran enak, Ca! Terus banyak yang jual makanan pokoknya."
Sepertinya Dica tahu tempat yang dimaksud Acid. Pasti kawasan kuliner, tidak begitu jauh dari Komet di mana penjual bermacam makanan dari mulai ringan sampai berat berjejer.
"Ehem, Ca, btw tadi si Dongker ngebisikin aku." Acid berkata saat vespa biru itu masih berjalan lambat menuju jalan raya.
"Ngebisikin apa?"
"Katanya pentingkan keselamatan."
"Hah? Kan aku udah pake helm."
"Bukan, maksudnya suruh pegangan, Ca."
"Pegangan ke mana? Oh..." Dica langsung paham, waktu kencan pertama mereka kemarin, dan waktu ia diantar pulang Acid saat masa pdkt dia tidak pernah pegangan ke pinggang Acid.
"Pegangan Ca, ini aturan dari Si Dongker, katanya kalo gak pegangan, bisa-bisa kamu terbang kebawa angin."
Dica menahan senyum lalu pelan-pelan memegang jaket Acid. Hanya begitu saja, tidak memeluk, apalagi melingkarkan tangannya. Tapi jantungnya berdebar keras.
"Yah, sekarang aku deh yang terbang." Gumam Acid lalu nyengir menggemaskan.
"Kan ditahan nih, biar gak terbang." Dica mengencangkan genggamannya di jaket Acid. Dari luar pasti ia terlihat kaku, tapi ia masih belum berani memeluk Acid sampai...
"Sini megang jaketnya yang bagian depan kalo mau nahan aku biar gak terbang." Satu tangan Acid perlahan memindahkan tangan Dica supaya menggenggam bagian depan jaketnya. Jarak mereka menjadi semakin dekat, baru setelah itu Acid menderukan vespanya lebih kencang di arus lalu lintas jalan raya.
Apa yang Dica ingat dari kencan keduanya dengan Acid selain ajakan Dongker adalah mereka makan nasi goreng di warung nasgor favorit Acid di pinggir jalan di kawasan kuliner yang memang ramai dengan penjual berbagai macam makanan, dari mulai nasgor, sate, mi ayam, soto mi, sampai jajanan-jajanan seperti roti cane, es serut, serabi dan alasan Acid mengajak Dica ke sini: Bola ubi.
Selanjutnya, warung nasi goreng itu sering mereka kunjungi berdua, termasuk menjadi tempat mereka putus dulu.
Dica ingat saat kencan kedua itu, sebelum pulang, mereka seperti sudah direncanakan, membeli bola ubi. Sambil menunggu bola-bola ubi itu selesai digoreng, mereka berdua berdiri mengobrol di dekat gerobak penjual bola ubi.
Lalu terdengar sayup-sayup suara pengamen tidak jauh dari mereka, menghibur orang-orang yang sedang makan sate di pinggiran toko.
Dari intronya saja Dica sudah tahu lagu apa itu. Lagu Sheila on 7 berjudul Anugerah Terindah.
Tertarik, Dica memperhatikan pengamen bersuara bagus itu bersama teman-temannya mengubah pinggir jalan menjadi panggung mereka. Gitar, kajon, kecrekan membentuk harmonisasi sampai tanpa sadar Dica ikut tersihir, Acid di sebelahnya juga ikut bersenandung.
"Saat kau di sisiku, kembali dunia teriak.. Tegaskan bahwa kamu... anugerah terindah yang pernah kumiliki." Acid perlahan mengaitkan jemarinya ke jemari Dica sebelum menggenggam tangannya. "Bagus banget ya liriknya. Lagu mereka tuh liriknya sebagus itu."
Dica menunduk, menatap tangannya yang digenggam Acid.
Saat itu seolah dunia yang ia dengar hanya suara Acid dan alunan musik dan suara pengamen tadi. Tidak bunyi penggorengan bola ubi, tidak juga riuh orang mengobrol di sekitar mereka maupun bunyi kesibukan penjual lainnya.
Sinar bulan sedang berpindah ke lampu-lampu kecil yang terbentang di sepanjang daerah kuliner itu dan juga berpindah ke mata Dica yang menatap Acid.
Acid masih bersenandung tanpa melepaskan tangan Dica, ia mengayun-ayunkan tangan Dica mengikuti irama musik sementara tangan Dica yang satunya menyelipkan rambut ke belakang telinga, gugup.
Saat lagu sudah selesai dan penjual bola ubi sudah memberikan mereka sekantong bola ubi dalam kertas, Acid menarik tangan Dica setelah membayar bola ubi, memberi pengamen tadi selembar lima ribuan.
Mereka lalu berjalan bersisian menuju parkiran tempat si Dongker diparkir.
Begitu sampai di tepi jalan, Acid yang mendahului Dica namun tetap tidak melepas genggaman tangannya menoleh lalu tersenyum.
"Tetep pegangan, takut kamu terbang."
Dica tidak bisa tidak tersenyum, "Kan gak lagi naik si Dongker? Masih bisa terbang juga ya?"
"Iya, susah emang kalo punya pacar bidadari, takut terbang balik ke langit."
"Apa sih, Rasyid?"
"Hehe, udah ayo, jangan lepas ya." Katanya tersenyum lagi, melemahkan Dica seketika.
"Kamu lebay deh, Rasyid. Nyebrang gini aja aku bisa kok gak dipegangin." Dica berusaha mengalihkan kegugupannya karena genggaman Acid semakin erat.
"Nggak dong, aku kan harus mastiin kamu—"
"Gak terbang?"
"Bukan, aku harus mastiin kamu aman." Acid tersenyum lagi.
Saat itu Dica merasa yakin pengamen yang tadi menyanyikan lagu Anugerah Terindah sekali lagi, meski mereka sudah melangkah jauh, Dica masih bisa mendengarnya.
*
Dica terbangun dari mimpi itu dan langsung menatap langit-langit kamarnya. Kamarnya gelap karena ia sengaja tidak menyalakan lampu. Satu-satunya cahaya hanya dari berkas lampu di luar yang masuk dari balik gordennya.
Perlahan Dica bangun, memijit kepalanya yang pusing. Ia menatap bantalnya yang basah. Ia menangis lagi dalam tidurnya atau itu hanya keringat karena ia juga sengaja tidak menyalakan pendingin?
Mata Dica terpaku pada motif selimutnya, tadi bukan mimpi buruk. Tadi mimpi yang samar-samar namun manis, didukung ingatan Dica tentang kencan kedua yang dialaminya. Jadi harusnya ia tidak menangis.
Ia menatap hp yang tergeletak begitu saja di sisi bantal dengan sorot mata sedih. Ketika ia membuka lockscreen, di layarnya masih terpampang halaman website berita yang ia baca sebelum tidur. Berita dengan headline:
'Dekan Kampus X Dinyatakan Tidak Bersalah'
Lalu ia membuka line, mendapati satu pesan baru yang masuk. Tangan Dica gemetar membuka pesan itu. Pesan dari lelaki yang baru saja datang ke mimpinya bersama semua kenangan manis, lelaki yang menganggapnya tidak ada selama beberapa minggu terakhir.
[Rasyid Ananta]
Ca, maaf.
Kita putus ya.
Bantal Dica benar-benar basah karena air mata.
*
Rama terbangun dari tidurnya karena suara deras hujan. Ia mengecek hpnya, waktu sudah menunjukkan pukul satu pagi dan terlihat simbol awan berhujan di layar hpnya. Wawan di tempat tidur sebelahnya sudah tidur dengan posisi cicak, hujan membuat tidurnya makin pulas.
Karena haus, Rama beranjak dari tempat tidur menuju dapur. Namun begitu keluar kamar, ia tertegun melihat lampu ruang tamu menyala. Siapa yang lupa matiin? Pikir Rama.
Keningnya berkerut heran melihat pintu depan juga terbuka da nada siluet seseorang yang Rama kenal, duduk di teras, memunggungi kaca jendela. Rama menatap sosok itu dari pintu.
Asap rokok terembus dari mulutnya sementara matanya yang terlihat seperti habis dipukuli menatap hujan. Di meja di sebelahnya tergeletak korek dan sekotak rokok yang hampir kosong.
"Cid? Lo ngerokok lagi?"
*
a/n:
aku mau cerita sedikit.
jadi tadi siang, pas aku nulis part acid ngomong sama ayah, aku diline temenku. dikirimin post fancafenya ybs di New York terus aku refleks nangis.
beneran netes gitu aja.
he's too good to be true, really.
post dia juga bikin aku mikirin mimpiku.
kalau suatu hari mimpiku kecapai, aku harus makasih juga sama dia.
mungkin dukunganku buat dia gak seberapa, tapi aku harap dia bahagia ya. di manapun dia dan jalan apapun yang dia ambil.
aamiiin.
tanpa sadar dia juga udah bikin banyak orang berani bermimpi.
:")
AHELAH KENAPA SIH DIA RASYID ANANTA BANGET
DAN KENAPA. KENAPA AKU HARUS INVEST FEELING KE DIA KAYAK GINI.
GIMANA CARANYA BENCI.
BENCI UNTUK MENCINTAIMU BY NAIF.
SEKIAN MISUH-MISUHNYA.
aku mau lanjutin nangis.
eh iya, gimana chapter ini? hehe
-rns
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top