November - December
Rama merasakan dirinya tertarik ke dalam déjà vu. Dirinya dan Rasyid, teras depan, asap rokok, seperti mengulang pada satu waktu berbulan-bulan lalu. Waktu Rasyid baru tahu ayahnya yang tidak bersalah harus terseret kasus korupsi dan Rasyid mulai merokok lagi setelah sekian lama berhenti.
Mata Rama mengerling tangan Rasyid yang menjentikkan abu rokoknya ke asbak. Rama diam-diam masih berusaha mencerna kisah yang baru diceritakan Acid, tentang mengapa ada kaitan antara Adisa dan pembebasan ayah Rasyid. Rama pikir hal-hal seperti ini hanya terjadi dalam fiksi atau drama, tapi nyatanya temannya sendiri yang mengalaminya.
Jika Rama jadi Rasyid, ia tahu kalau hal terakhir yang ia inginkan saat ini adalah dinasihati, jadi Rama memutuskan untuk diam dan mendengarkan, tanpa meninggalkan Rasyid yang jelas-jelas sedang kacau itu. Sampai akhirnya kisah pedih itu mencapai klimaksnya.
"Gue mutusin Dica, Ram."
Bunyi dari derai hujan di depan mereka seakan bertambah nyaring, menjadi satu-satunya pengisi kekosongan malam dan entah kenapa Rama ikut membeku mendengarnya. Ia menatap Rasyid dengan sorot mata simpatik, benaknya sibuk mencari kata penghiburan yang tepat meski ia tahu penghiburan jenis apapun tidak akan mempan sekarang.
"Lo yakin... ini jalan keluar yang paling tepat?" tanya Rama hati-hati.
Rasyid mendengus setengah tertawa penuh ironi, "Keliatannya gue punya pilihan, Ram, tapi sebenernya nggak. Pada akhirnya gue emang harus putus sama dia."
Rama terdiam, hatinya ikut sakit melihat temannya seperti ini.
"Gue mutusin dia di line," gumam Acid sembari mengembuskan asap rokok dari mulutnya, "Cuma dua kalimat, intinya maaf sama putus. Setelah berminggu-minggu gue gak bales apapun line dia atau ngangkat telepon dia."
Alis Rama bertaut, tapi dia menahan komentarnya.
"Dengan kayak gitu, bakalan lebih mudah buat dia benci sama gue. Dia harus benci sama gue."
"Cid,"
"Gue gak apa-apa kok, Ram. Gue udah pernah putus sama dia sebelumnya, udah pernah pisah sama dia sebelumnya. Gue gak apa-apa kan? Gue bisa kan?"
Rama menatap Rasyid sedih.
"Gue bakalan bisa move on lebih cepet sekarang, gue udah pengalaman. Hahaha." Rasyid tertawa getir. "Gue bakalan lewatin six degrees of separation lagi, terus gue bakalan ketemu cewek baru, satu, atau dua, atau mungkin tiga, dan gak perlu LDR."
Rama menggeleng, "Ini bukan lo, Cid."
Rasyid mengisap rokoknya dalam-dalam lagi, matanya masih terpaku pada hujan. "Gue udah kehilangan diri gue. Gue gak tau lagi."
Rama menghela napas, dia mengamati rokok Rasyid yang sudah semakin memendek lalu perlahan mengambil kotak rokok yang masih tergeletak di meja dan menaruhnya di kantung celananya. Rasyid sudah terlalu banyak merokok dan menyiksa dirinya sendiri malam ini. Ditambah lagi, ia juga meracau. Rasyid butuh waktu lebih banyak untuk berpikir.
"Tidur gih." Ujar Rama seperti menyuruh adiknya tidur. "I'm so sorry it happened to you. For the meantime, take as much as you need to be sad." katanya bijak.
Rasyid membisu, masih tetap membisu sampai Rama menepuk bahunya mencoba memberinya sedikit ketenangan.
"It will hurt from time to time, but you're gonna be okay."
Rasyid mematikan rokoknya lalu menengadah menatap sumber hujan yang mengguyur halaman depan Komet.
"I hope she's okay." bisiknya menimpali ucapan Rama.
Rama mengangguk menenangkan, "She's gonna be okay and you too, you're gonna be okay."
*
Sekembalinya ke kamar, Rasyid tidak langsung menarik selimut lalu mencoba tidur seperti niatnya sebelumnya, sebaliknya ia duduk di tepi tempat tidurnya, menutup mulutnya dengan kedua tangan seperti sedang berdoa.
Matanya nanar menatap boneka teru-teru bozu yang diberikan Dica untuknya waktu ia pulang dari Jepang. Boneka penangkal hujan katanya. Boneka itu tersenyum keluar kaca jendela, ke arah hujan yang turun deras, tanpa sadar menunjukkan bahwa pada akhirnya tidak akan ada yang bisa menahan kesedihan datang, sama seperti tidak pernah ada yang bisa benar-benar menangkal turunnya hujan.
Rasyid memejamkan matanya. Ia seketika teringat surat Disa yang diberikan bersamaan dengan boneka teru-teru bozu, bagian dalam surat yang paling terngiang di kepala Rasyid, surat Disa yang sebenarnya ditujukan untuk langit.
Kalau awan-awanmu lagi menurunkan hujan dan Rasyid ngeliatin kamu dari balik jendela, bisa kan kamu memastikan rintik hujan itu jadi lagu yang nemenin dia, bukannya jadi alasan dia sedih?
Rasyid merasakan tangannya gemetar.
Terima kasih udah jadi pengirim rindu selama ini. Semoga kamu masih bisa jadi perantara tatapan Rasyid dan aku sampai nanti akhirnya kita ketemu lagi, di bawah langit yang sama.
Sayangnya, meski pada saatnya nanti mereka berada di bawah langit yang sama, mereka tidak lagi berada di jalan yang sama. Mereka telah berpisah di persimpangan. Jejak dan punggung mereka saling menyaksikan satu sama lain menjauh. Dan tidak ada yang lebih perih bagi Rasyid saat ini selain memikirkan perpisahan itu, perpisahan yang terjadi saat mereka telah lebih dahulu dipisahkan jarak.
Rasyid menundukkan kepalanya lebih dalam.
*
Hari itu Rara ikut Ian mengantar adik Ian ke bandara karena ia belum mengucapkan terima kasih secara langsung pada Irham, bagaimanapun Irham berperan penting dalam pembebasan ayah Rara. Irham telah menanggung risiko dengan membeberkan semua bukti yang tadinya tersembunyi rapi di rumah ayahnya, yang dikira akan aman tak tersentuh. Termasuk bukti bahwa sebagian uang korupsi masuk ke rekening Irham.
Setelah melalui sekelumit proses pengadilan, akhirnya bukti-bukti itu mengantarkan ayah Rara pada kebebasan.
Rara menatap adik Ian tersebut dengan sedikit heran. Rara tidak bisa membayangkan kalau berada di posisi Irham. Sudah berapa kali kira-kira ia 'digunakan' untuk ayahnya sendiri dalam kejahatan yang dilakukan ayahnya? Terlebih kalau mendengar cerita Ian tentang bagaimana kehidupannya setelah perceraian ayah ibu mereka.
Irham berdiri canggung sebelum melanjutkan langkah, ia berbalik memandang Ian dan Rara dengan sorot mata yang seakan berkata ia cukup diantar sampai sini saja.
"Take care ya, Iam." Rara tersenyum, berusaha akrab, ia mengurungkan niat mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Irham karena sepertinya Irham tidak akan membalasnya. "Gue cuma bisa lang makasih berkali-kali karena udah bantuin. Gue sekeluarga hutang budi sama lo, kalo ada apa-apa bilang aja ya, gue bakal bantu."
Ian melirik Rara mendengar kalimatnya.
Irham hanya mengangguk singkat, memaksakan diri tersenyum meski senyumnya jadi terlihat ganjil. Irham lalu menoleh pada kakaknya dan berkata pelan, "Kalo pulang dari Jepang tahun depan gue beneran udah gak bisa tinggal di rumah neraka itu, gue bisa tinggal sama lo kan?"
Ian mengerjap-ngerjap, tidak menduga sama sekali Irham akan bertanya seperti itu. Mendadak ia merasa berat menatap adiknya karena ia bisa membaca sedikit keputusasaan di mata Irham. Pastilah ini juga berat untuknya, berpikir bahwa setelah ini semua, ia tidak punya lagi tempat untuk pulang. Irham sudah terlalu lama menghuni rumah yang tidak seperti rumah. Rumah yang tidak lebih dari bangunan tinggi dan beratap. Bukan rumah untuk benar-benar pulang.
"Ya, of course, gue bakal urus supaya lo bisa tinggal bareng gue sama mama." Ian menenangkan. "Baik-baik ya di Jepang."
Lalu dalam satu gerakan cepat seperti takut Irham akan menepisnya, Ian memeluk Irham. Sesuatu yang sudah lama tidak pernah mereka lakukan lagi.
"Am," Ian berkata pelan seraya menepuk-nepuk punggung Ian. "Lo yakin kan lo gak lagi ngancurin perasaan orang dan ngehalangin kebahagiaan orang demi bikin diri lo sendiri bahagia?"
Irham terpaku sebelum melepas pelukan kakaknya, tanpa berkata apa-apa, ia mengerudungkan hoodienya, ekspresinya dingin.
"Gue pergi."
Ian menghela napas berat, menyaksikan punggung adiknya menjauh. Ia tahu perkataannya tadi pasti akan jadi tamparan bagi Irham, tapi Ian perlu mengatakannya, untuk membuat Irham sadar bahwa yang ia lakukan sama saja membuat perasaan pempuan yang disayanginya hancur.
"There's something about your brother," gumam Rara di belakang Ian, "something complicated, tapi gue bisa ngerasa sebenernya di balik semua sikap dingin dia, dia sama baiknya kayak abangnya. Ya gak, Yan?"
Ian tersenyum tipis, Rara tidak tahu apa yang dilakukan Irham pada adik semata wayangnya dan Ian tidak ingin memberitahunya.
"Pulang yuk, ajakin si Acid nonton gimana? Sama si Shilla juga." Rara mengecek jam tangannya.
"Kenapa tiba-tiba ngajak nonton?"
"Gak apa-apa, refreshing aja setelah berminggu-minggu kita mabok hukum," Rara mengangkat bahu, "Lagian sekalian ngehibur si Acid tuh, dia kayaknya galau gak tau kenapa. Dasar pejuang LDR."
Ian menelan ludah.
*
Irham mengetuk pintu kamar Disa dengan ketukan pelan namun tergesa.
"Dis?" Panggil Irham, kali ini agak keras karena setelah beberapa kali ketukan, Disa tidak juga menjawab.
Sehari setelah kembali ke Jepang, Irham mendapati kalau Disa kemarin tidak masuk kuliah dan semua temannya tidak tahu ia ke mana, Disa hanya bilang ia sakit dan menolak dijenguk. Menurut teman satu asrama mereka, Disa hampir tidak pernah keluar kamar.
Karena khawatir, sepulang kuliah, Irham langsung mendatangi kamar Disa.
"Dis?" Irham mengetuk lagi, kali ini suaranya terdengar putus asa, ia berharap Disa ada di dalam kamar dan baik-baik saja. Kalau tidak, ia tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri.
Tepat setelah Irham berpikir seperti itu, pintu di depannya mengayun terbuka.
Mata Irham melebar begitu melihat perempuan yang dicemaskannya sedari tadi menatapnya dengan mata bengkak seperti habis menangis berhari-hari, rambutnya diikat tapi anak-anak rambutnya mencuat ke sana-sini.
Irham merasakan sesuatu yang aneh menyelimuti hatinya melihat Disa yang terlihat kacau seperti itu.
"Lo sakit?" tanya Irham sedikit lirih.
Disa tidak menjawab, sebaliknya ia menunduk menyembunyikan matanya yang memerah menahan tangis. Pertanyaan Irham bagai pemicu bom waktu yang sedari tadi hanya menyatu dengan detik.
Saat Disa mulai terisak, Irham bisa melihat dengan jelas keadaan kamar di belakang punggung Disa. Jendela dan gorden tertutup rapat tapi Disa tidak menyalakan lampu. Kaktus-kaktus mini milik Disa yang biasanya selalu ia deretkan di sekat jendela supaya menerima sinar matahari saat itu berjajar di lantai di dekat tempat tidur, bersama kotak dari kardus yang terlihat sekilas seperti kerajinan anak-anak. Buku-buku terlihat berserakan di atas tempat tidur. Keseluruhan kamar itu terlihat berantakan dan gelap.
Isakan Disa semakin menusuki hati Irham, apalagi saat ia melihat bahu Disa gemetar sementara gadis itu menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Belum pernah Irham melihat Disa menangis seperti ini.
Perlahan Irham mendekat dan menarik bahu Disa lebih dekat, lalu ia memejamkan mata sebelum memeluk Disa.
Disa masih menangis sambil menutupi wajahnya, Irham bahkan ragu Disa sadar siapa yang sedang memeluknya untuk memberinya ketenangan.
Irham menatap ke arah board yang menggantung di dekat meja belajar Disa, yang terlihat langsung dari pintu. Terlihat foto Rasyid tersenyum lebar yang ditempel di sana. Foto yang pernah Irham lihat di jurnal Disa sewaktu mereka duduk bersebelahan di pesawat.
Seketika ucapan Ian di bandara tempo hari bergema lagi di benak Irham.
"Lo yakin kan lo gak lagi ngancurin perasaan orang dan ngehalangin kebahagiaan orang demi bikin diri lo sendiri bahagia?"
Rahang Irham menguat, dalam hatinya ia menyuarakan jawaban untuk pertanyaan kakaknya.
'Mungkin sekarang gue ngancurin perasaan dia, tapi setelah ini dan seterusnya, gue bakal ngelindungin dia.'
*
Acid, dua bulan kemudian.
Waktu putus pertama kali sama Dica yang dulu itu, gue pernah mikir kalo sebenernya dalam perpisahan dua orang, keadaan sama-sama berat baik buat yang ninggalin maupun yang ditinggalin.
Sekarang gue kembali mikirin itu, apalagi sekarang gue jadi pihak yang ninggalin. Gak gampang sama sekali. Sekarang udah satu bulan berlalu sejak gue sengaja bersikap brengsek dan mutusin Disa di line.
Masih berasa sakit sampe sekarang.
Dari semua luka yang pernah gue punya, luka jatoh dari sepeda, luka keserempet mobil, luka jatoh dari si Dongker gara-gara nyoba lepas tangan pas ngelewatin polisi tidur, luka keiris piso waktu sok-sokan bantuin ibu sama Rara masak, dan luka-luka lainnya, luka yang sekarang yang paling lama sembuhnya. Atau mungkin gak bakal bisa sembuh-sembuh. Luka yang gak bakal kering.
Dan luka itu sebenernya udah mulai ada sejak gue tau apa yang gue hadapi. Gue cuma sengaja menikmati luka itu dan gak mengobatinya. Gue kembali merayakan perpisahan.
Anak Komet yang tau kalo gue putus dan tau alasan putusnya cuma Rama. Meski gue yakin, gitu-gitu, Wawan, Satrio sama yang lain juga ngerasa ada yang aneh sama gue. Mereka gak secara langsung nanya aja. Apalagi Galang, tu anak beneran peka. Kayaknya dia mulai sadar pas masuk ke kamar gue dan liat boneka teru-teru bozu yang biasanya ngegantung di teralis jendela kamar udah gue copot.
Gue kembali fokus sama kuliah gue, gue juga mulai aktif latihan band lagi sama temen-temen di jurusan. Pokoknya gue membiarkan diri gue sibuk. Gue deactive instagram, buka line juga cuma buat komunikasi sama temen atau sama Rara doang. Oh ya, Rara sebentar lagi pulang ke NY. Katanya kalo kelamaan cuti bisa-bisa keduluan lulusnya sama gue.
Dan di antara hari-hari gue yang sebenernya penuh dengan usaha nyari distraksi, satu hal yang paling bikin hati gue lapang adalah ayah kembali jadi dosen. Ayah juga kembali ke rumah, nyalain lagu-lagu lama di hari Minggu pagi.
Walaupun yang harus gue relakan untuk itu adalah hati gue sendiri.
Gue masih inget dengan jelas, hari waktu gue memutuskan. Gue duduk di balkon rumah gue, tempat gue bilang ke Dica kalo gue ngelepas dia ke Jepang. Miris ya, hari itu gue juga ngelepas Dica.
"Jagain Dica. Lo yang bikin gue gak bisa jagain dia, jadi lo harus jagain dia. Jangan bikin dia sedih." Kata gue ke si dickhead alias Irham waktu itu, sebelum sambungan gue putus dan hp gue lempar.
Kata siapa gue udah ikhlas?
Tau kenapa akhir-akhir ini kalo gue futsal, tendangan gue selalu kenceng sampe pernah bikin cedera si Wawan terus dia harus dibawa ke Haji Naim? Bukan karena dendam pribadi, emang pas nendang gue kepikiran di Jepang sana Irham lagi deketin Dica.
Gue juga masih sering gak sadar buka-buka website pemesanan tiket pesawat buat pergi ke Jepang lagi.
Gue nahan-nahan gak scroll kontak gue di line buat nemuin nama Adisa Mutiara di antara barisan nama bumbu dapur sampe rasanya gue nyaris gila.
Gue masih suka dengerin lagu Do I Wanna Know dan ngulang-ngulang part:
'Cause there's this tune I found that makes me think of you somehow when I play it on repeat until I fall asleep.'
Atau sengaja ngejar Naif manggung cuma buat nyanyi lagu Benci untuk Mencinta bareng-bareng sama penonton lain.
Ikhlas tuh susah anjir. Tapi apa yang bisa gue lakukan selain nerima? Karena setelah merenung berhari-hari gue sadar kalo hidup tuh sebenernya penerimaan. Ada hal-hal yang bisa lo usahakan, ada juga yang harus lo terima dan ada yang harus lo lepas. Gue tau let go of someone tuh susah, but sometimes that's the best thing we can do. Jadi, ini yang sekarang berusaha gue terima di hidup gue: Perpisahan.
Sampe sekarang gue masih sering mikir, apa masih ada kesempatan buat gue sama Dica lagi. Tapi gue udah sengaja bikin dia benci sama gue. Kesempatan kedua udah pernah kita ambil. Kayaknya gak mungkin ada kesempatan ketiga atau seterusnya.
Mungkin gue sama Dica emang gak jodoh.
Tuh kan, perih lagi. Brengsek.
Kata orang, satu-satunya yang bisa nyembuhin patah hati adalah waktu. Tapi gimana kalo dia ada di setiap waktu gue? Adisa ada di dalam nada lagu yang gue dengerin atau gue nyanyiin, ada di bayangan gue pas gue nyoba tidur, ada di pikiran gue, dan pikiran tentang dia mengalahkan satuan maupun aturan waktu manapun.
"Bang?" Teguran Galang memutus lamunan gue yang lagi nontonin youtube sambil ngangkat kaki di sofa ruang tamu Komet, walaupun sebenernya pikiran gue ke mana-mana.
"Yoi?"
"Ikut Galang yuk." Galang melempar kunci motor si Dongker yang mendarat langsung ke perut gue, untung bukan ke jidat gue, Lang.
"Ke mane? Lo mau ngajak gue malem mingguan?" Tanya gue, tersadar kalo ini Sabtu sore, dan mengingat si Galang adalah pejuang LDR, pantesan aja dia ngajak mantan pejuang LDR kayak gue. (mantan, anjis)
Galang nyengir, "Papap beli vespa baru."
Mata gue melebar, "Terus?"
"Galang cerita kalo ahlinya vespa di Komet tuh Bang Acid, jadi papap minta tolong Bang Acid buat nganterin ke bengkel vespa langganannya Bang Acid. Papap mau modif vespanya."
Wow, penawaran yang menarik. Apapun tentang vespa selalu membuat gue tertarik.
"Sekarang nih?"
"Sekaranglah. Tuh papap udah di depan."
Gue langsung bangun, dari balik jendela keliatan Papapnya Galang yang tinggi dan gaul itu lagi duduk di atas vespa warna biru muda kehijauan, lagi main hp. Asik banget gayanya.
"Ok, bentar gue ganti celana sama pake jaket dulu." Gue membalas toss Galang sebelum melesat ke kamar.
Diliat dari ekspresi ceria Galang, kok gue ngerasa sebenernya dia lagi berusaha ngehibur gue ya? Makasih lho Lang udah menyelamatkan gue dari Malam Minggu Nelangsa.
"Oi, Cid." Papap Galang mengajak gue brofist ala-ala brofist dia dan Galang waktu gue menghampiri beliau dan Galang di luar. Gue udah pake jaket dan ganti dari celana kolor ke celana jeans belel.
"Vespa baru nih, Om?" Gue membalas tinjunya.
"Yoiiii, baru sampe kemaren, terus langsung pengen gue modif."
"Mau diapain nih, Om? Didetailin? Dicoating?"
"Waduh dipoles dah pokoknya, Cid, biar makin kece, kayak yang punya."
"Aseeek, mantaplah. Bentar om, saya ngeluarin si Dongker dulu."
"Punya papap juga kasih nama dong, biar kayak Bang Acid." celetuk Galang saat gue mengeluarkan vespa gue dari garasi.
"Weits, udah dong, Bro."
"Apa namanya?"
"Asin."
"Hah??"
Gue nahan ketawa denger keheranan Galang.
"Soalnya warnanya biru telor asin, Bro."
"Kayak gak ada nama lain sih, Pap."
"Tadinya mau gue kasih nama cewek. Tapi mamammu marah-marah."
"Ya iyalah, paaap, paaap." Galang berdecak.
"Sin, kenalan nih, sama Dongker." Gue sengaja memarkir si Dongker di sebelah vespa baru papap Galang.
"Cakep juga, Cid." komentar papap Galang.
"Iyalah, kan diurus terus sama Bang Acid."
Gue cengar-cengir, "Serahin aja sama Acid, Om. Acid udah kenal lama banget sama yang punya bengkel. Gak bakal mengecewakan."
"Ya udah, yuk, cabut." Papap melempar helm ke arah Galang sementara gue pake helm gue sendiri.
Terus kita berangkat dengan Galang duduk di boncengan papapnya. Lucu deh tu bocah. Dia sering cerita katanya dia pengen punya vespa juga kayak gue eh dibeliinnya matic, terus sekarang malah papapnya yang beli vespa duluan. Orang tua yang lucu. Kemungkinan gue juga jadi orang tua yang kayak gitu sih kelak. Tapi sama siapaaaa anyeeeng.
Gak lama, gue sama Galang dan papapnya udah duduk berjejer di kursi panjang yang nempel sama dinding bengkel, ngeliatin proses modif si Asin.
"Baru beli udah keluar uang banyak nih, Om." Kata gue ke papap Galang. karena gue tau banget harga modif-modifan ini, papapnya Galang langsung ambil yang mahal anjir.
"Hahah, kepuasan sendiri, Cid."
"Iya sih." Gue ngangguk-ngangguk paham, "kenapa beli vespa, Om? Kirain selera om tuh motor gede gitu."
Papap Galang senyum miring sebelum jawab, "Gak apa-apa, sebenernya gue naksir sama vespa udah lama. Terus kayaknya seru kalo pacaran sama istri naik vespa."
"Oh.." Gue meringis. Ada apaan nih yang berdenyut nyeri??
"Emangnya mamam mau diajak jalan naik vespa?" Cibir Galang sambil meletakkan botol minumannya di atas meja, "orang papap belom bilang mamam kan beli vespa? Langsung modif lagi. Pasti mamam ngomel."
"Udah pasti itu sih, Bro." Papap Galang ketawa santai. "Tapi gak apa-apa, prinsip papap, mendingan minta maaf daripada minta izin."
"What a trick." Galang mencibir lagi.
"Bener, Bro?? Minta maaf belakangan lebih aman, kalopun marah juga kan udah kebeli, udah kemodif, mau apa hayoo? Nah, kalo minta izin dulu, baru tuh susah."
Gue ngakak, boleh juga tuh prinsipnya.
"Liat aja, sebelum mamam kamu marah-marah, papap bilang kalo dia tuh Vespa PTS?"
"Vespa PTS apaan?"
"Jenis vespa." Gue menimpali pertanyaan Galang.
"Terus? Kok mamam Vespa PTS?"
"Pertama Tuk Selamanya. Anjaaay, langsung dah tuh gue sama dia pacaran naik vespa keliling kota."
Gue menggeleng-geleng kagum, papap Galang nih emang panutan.
"Iya deh, iyaaa. Tapi yakin tuh, mamam yang pertama? Mantan-mantan papap gimana?"
"Dia yang pertama dan terakhir gue seriusin maksudnya, Bro."
Edan emang ni orang.
"Si Dongker gak sekalian lo modif, Cid? Ganti warna gitu? Atau ceramic coating?" Papap Galang beralih ke gue, bikin gue otomatis nengok ke si Dongker yang lagi sekalian gue service.
"Nggak, Om." Gue gak sadar tersenyum tipis, masih sambil ngeliatin si Dongker, "Terlalu banyak kenangannya. Kalo gue ubah, takutnya gue bakal ngilangin kenangan itu."
Gue bisa merasakan tatapan Galang dan Papapnya. Mereka gak tau, si Dongker adalah motor yang nganterin gue pas gue nyatain cinta, dia juga yang nemenin gue muter-muter nyari ikan hias sebelum gue nyatain itu, dia yang nganterin gue sama Dica di kencan pertama, kedua, dan seterusnya, dari mulai kepanasan sampe kehujanan. Dia yang nganterin gue sama Dica jalan-jalan ke kios buku bekas sama pasar ikan hias waktu ulang tahun Dica.
Kalo mempertahankan warna dan bentuk dia sama kayak menjaga memori-memori itu, memori yang gak bakal bisa gue ulang maupun gue tambah lagi, maka gue bakal melakukannya. Kalo satu-satunya yang gue punya tentang Adisa adalah kenangan, maka gue bakal jagain itu. Termasuk dengan gak mengubah si Dongker.
"Namanya Dongker?" tanya Dica waktu itu, waktu pertama kali gue jemput dia di kosannya buat first date.
"Iya. Dongker udah aku training sebelum ke sini. Aku kasih tau supaya gak ngebut-ngebut. Soalnya dia kalo bawa cewek cantik suka over, Ca, tau-tau ngebut."
"Oooh, sering ya bawa cewek cantik?" Dica tersenyum kalem, sengaja banget mau bikin gue lemah.
"Iya, ibu aku maksudnyaaa. Kan Dongker anggap cewek cantik juga. Ya gak, Ker?" Gue pura-pura ngedeketin kuping gue ke lampu depan si Dongker, "Apa? Yang sekarang mau duduk di boncengan juga sama cantiknya kayak ibu? Ah bisa aja lo. Jangan godain Yts-nya bos lo dong, Ker? Gak gue kasih bensin nih. Apa??? Lo nervous mau bawa cewek cantik? Apalagi gueeee?? Mules."
"Cid?" Dica ketawa ngeliat gue kayak orang sinting, ngobrol sama motor.
"Yuk, Ca, naik. Si Dongker udah gak sabar katanya bawa Yts Bosnya. Dia janji gak bakal mogok."
Gue kembali ke tempat gue duduk di masa sekarang, di bengkel, menatap vespa gue yang lagi diservice, yang baru aja membawa gue ke satu momen di masa lalu.
"Yaela, Bro. Udah LDR, chatnya gak kreatif pula." Cetus Papap Galang, membuat gue tertarik sepenuhnya ke tempat gue duduk. Ternyata Papap Galang lagi ngintip layar HP Galang. Galang keliatan langsung cemberut.
"Papap diem deh."
"Coba sekali-kali jangan tanyain 'Lagi apa?', 'Udah makan belom?' boring ah, Bro."
"Terus apa dooong?" Protes Galang, tambah merengut.
Papap Galang melipat tangan di depan dada, dengan gaya asik, dia menggoyang-goyangkan kakinya. "Tanyain, kilogram disingkat jadi apa? Gitu."
"Hah, ya kilogram disingkat jadi kg lah?"
"Kalo dia bales 'kg', lo bales lagi, 'Aku tambahin 'n' boleh?"
"Kgn?" Galang mengerutkan kening gak ngerti.
"Kangen, Lang, Kangeeeen." Gue ketawa liat kepolosan Galang.
"Nah!" Papap Galang langsung menepuk punggung gue, "Jago emang lo."
"Gue pernah bilang gitu juga soalnya." Gue berkata perih.
Galang dan Papapnya kembali menatap gue dengan tatapan ganjil. Jadi gue merogoh saku jaket, "Ke depan dulu, ngerokok." Ujar gue singkat sebelum melarikan diri. Padahal ngerokok di dalem juga gak apa-apa tapi gue gak pengen ditanya-tanya karena pasti mereka langsung sadar gue lagi galau kronis.
Waktu gue berusaha nyalain rokok pake korek gas, Papap Galang tau-tau nyamperin gue. Dia ikut nyender di tembok, masih sambil ngelipet tangan.
"Gak apa-apa, Cid. Gak usah ngomong, gue ngerti kok."
Gue langsung diem, ngeliatin papap Galang dari samping dengan rokok yang belom dinyalain terselip di bibir gue.
"Gue tau saran apapun gak bakal mempan buat lo sekarang. Gue juga pernah patah hati dulu. Sebelum jadi sama mamamnya Galang, berkali-kali gue patah hati, Cid."
Gue masih diem, tapi gue mendengarkan.
"Mau orang lain ngasih nasihat kayak apa juga tetep gak ngaruh karena pada akhirnya semua tergantung sama diri lo," Papap Galang kedengeran kayak lagi nostalgia, mungkin sebenernya dia juga lagi nyeritain diri dia, "jadi apapun yang menurut lo bisa bikin lo baikan lagi, lakukanlah, tapi yang jauh lebih penting, lo harus belajar maafin. Luka bakal terus jadi luka selama lo gak maafin orang-orang termasuk maafin diri lo sendiri."
Kata-kata Papap Galang pelan-pelan kayak ngerambat ke sekujur tubuh gue, lalu hari itu gue mengurungkan niat gue buat ngerokok.
*
Malem tahun baru rumah gue rame. Ayah sama ibu ngadain kumpul-kumpul bareng keluarga besar walaupun gak semua dateng. Selain karena udah lama gak ngumpul, ayah juga mau ngucapin terima kasih buat sodara-sodara yang udah bantu banyak pas ayah dipenjara sampe ayah bebas.
Ikal, Vanya sama anak mereka, Vino juga dateng. Rumah rame banget deh. Rara yang lusa bakal balik ke New York juga ngundang Ian, cuma yang bikin gue hampir muncrat pas lagi minum jus jeruk adalah... NGAPAIN ADA SHILLA???
Cewek enerjik itu muncul di pintu sok malu-malu terus dadah-dadah ke gue, Rara, Ian sebelum salim ke bokap nyokap.
"Lo ngajak dia??" Gue menyikut Rara.
"Iya, kan dia juga udah bantuin banyak. Masa gak diundang? Ayah sama ibu juga kan udah kenal."
Alis gue bertaut tapi gue gak berkomentar lagi.
Sesuai dugaan gue, Shilla cepet banget berbaur, dalam waktu singkat dia udah akrab ngobrol sama ayah, ibu, tante-tante gue, bahkan Ikal sama Vanya. Baru gue tinggal pipis bentar aja dia udah kenalan sama Vino.
"Hai Vino, kenalin aku Chilla." Katanya ramah sambil memegang tangan mungil Vino.
"Sok imut lo." Sela gue sambil melewatinya.
"Dih sewot—Chilla, Vino, panggil Chillaaa." Shilla kembali bertingkah seperti anak kecil di depan Vino.
"Atau gak, Achil aja Achil." Seloroh Rara yang lagi mengudap jagung susu keju di sofa sebelahnya.
"A...cid?" Vino bertanya lucu membuat Rara tergelak.
"Salaaaah, Acid mah om kamu noooh. Tapi lucu ya, Achil sama Acid."
Gue mendelik, kayaknya Rara juga gak sadar ngomong gitu. Aneh-aneh aja.
"Cid," Tau-tau Ikal duduk sebelah gue di karpet, menepuk bahu gue.
"Oi guru." Gue mengeluarkan gesture hormat.
"Hahah anjir, guru apaan?"
"Guru spiritual guelah." Jawab gue cuek. "Makan, Kal, makan. Masa perlu gue ambilin sih? Mau ayam bakar gak? Dadanya? Pahanya?"
"Nggak, Cid. Lagi diambilin nasinya sama Vanya."
"Apa gak mau paha ayam? Maunya paha gue?"
"Woy, Cid."
"Lagian apaan sih, Kal? Kayak mau nyeramahin gue gitu. Ceramahin si Rara aja tuh, suruh cepetan lulus terus nyusul lo nikah."
Haikal mendengus, dia menepuk bahu gue lagi, "Gue mau ngomong sama lo, Man."
"Apa? Gue kenapa?" Mendadak gue mules karena mukanya Ikal serius banget, masa dia tau sih kalo gue putus sama Dica? Gue melirik Shilla yang sekarang udah mangku Vino. Jangan-jangan si Ikal nyangkanya Shilla pacar baru gue???
"Gue salut sama lo karena lo udah sekuat ini sampe sekarang, Cid. Sorry kalo bantuan gue mungkin gak terlalu berpengaruh selama ini."
Oh ternyata itu topiknya.
"Gak apa-apa, Kal. Gue ngerti kok."
"Tapi lo tau kan, Cid?"
"Tau apa?"
"Walaupun gue udah nikah, udah punya anak, gue masih Haikal yang bisa jadi tempat lo cerita, atau bisa lo mintain bantuan. Orang yang selalu lo anggap abang."
Gue menelan ludah, berusaha memasang air muka tetap biasa.
"Jangan pernah ngerasa gue jauh, Cid. Gue sedih karena lo gak bisa terbuka, bahkan sama gue."
Gue tersenyum kecut dalam hati, gue bahkan gak bisa terbuka sama siapa-siapa, Kal.
"Ngaco lo, Kal, gue gak bisa terbuka sama lo lah."
Ikal mengerutkan kening, "Kok?"
"Gawat urusannya, Bro kalo gue buka baju depan lo."
"Bangke lo."
"Eits, ada anak Kal, inget, ada anak." Gue berkelit dari Ikal yang sudah mau menjepit kepala gue di keteknya, seperti yang sering dilakukannya waktu kecil dulu.
"Itu siapa by the way?" Tanya Ikal seraya mengarahkan bola matanya ke Shilla.
"Udah deketin sampe mangku anak lo, baru lo tanya siapa. Bapak macam apa."
"Nggak, serius."
"Shilla, reporter yang ikut bantu kasus ayah kemaren."
"Oh."
"Itu Ian,"
"Kalo itu gue tau, Rara balikan lagi ama dia?"
"Iya."
Ikal mengerling ke gue, kayaknya dia mau bilang sesuatu tapi gak jadi. Gak tau karena gue deket sama dia apa gimana, tapi kok gue bisa nebak ya dia tadi pasti mau ngomongin Dica?
Mungkin dia mau bilang, 'Coba aja ada Dica ya, Cid.'
Bagus deh lo gak jadi nanya, Kal, karena gue gak bakal tau gimana cara nanggepinnya tanpa ngerasa ada yang retak di hati gue.
Sementara itu, gak jauh di depan gue, Shilla udah gendong-gendong Vino, dia juga bikin Vino ngakak, gak tau karena apa. Tapi kan emang anak kecil gampang banget ketawa, gue batuk aja diketawain sama si Vino.
Tanpa sadar gue ngeliatin Shilla sambil ngebayangin, coba aja Dica yang ada di situ. Dica yang lagi gendong-gendong Vino dengan lucunya. Terus wangi mereka sama soalnya Dica kan suka pake sampo sama sabun bayi.
Gila, ngebayangin gitu doang aja hati gue sakit. Kemungkinan gue bakal liat pemandangan itu di masa depan kecil banget soalnya.
Gue langsung ngalihin perhatian ke piring makanan Ikal yang baru disodorin Vanya.
Sekitar jam sepuluhan, sebelum pada bubar, Ikal ngajakin Vino sama beberapa sepupu kecil main kembang api. Padahal masih lama sebelum countdown tahun baru, katanya kalo makin malem, keburu Vinonya tidur. Gitu emang pemikiran bapak-bapak.
Selagi bapak-bapak anak satu itu siap-siap nyalain kembang api gede di tengah halaman rumah gue, gue nyamperin Vino yang lagi jongkok.
"Halo ganteng," sapa gue sambil mengajaknya toss. "Kok jongkok sih? Mau eek ya? Hehe."
Gue ikutan jongkok terus narik badan Vino biar nyender ke gue, "Vin? Boneka anjing laut yang dari Om Acid sama Tante Dica masih disimpen gak?"
Vino menatap gue, mata bulatnya yang lucu berkilat-kilat terkena sinar lampu.
"Kangen Tante Dica gak, Vin?"
"Ca?"
"Iya, Tante Dica."
Cid, lo ngapain sih nyiksa diri sendiri? Gue bertanya dalam hati.
Mata Vino berkedip-kedip, tapi sebelum dia buka mulut, Shilla datang bawa-bawa kembang api kecil.
"Liat Achil punya kembang api!"
Gue menghela napas, Shilla berisik banget. "Bapaknya juga punya kembang api, lebih gede malah, tuh lagi mau dinyalain."
Shilla memicing, "Biarin sih. Sirik aja lo gue deket sama dia."
"Deketan gue kaliii. Kan dia Vino, gue Junot."
Shilla memutar bola mata.
Tepat saat itu kembang api yang dinyalakan Ikal membubung dan meledak di udara, menghasilkan warna-warna dan nyala terang di langit hitam. Suara ledakannya bersahut-sahutan meskipun pergantian tahun masih beberapa jam lagi.
Gue refleks menengadah. Nyala kembang api itu terpantul ke bola mata gue sementara Vino di sebelah gue melompat-lompat bersemangat.
Pikiran gue melayang ke suatu tempat di Jepang.
Pasti di sana juga lagi rame kembang api.
Apa Dica juga bakal sama kayak gue? Langsung inget malem itu, waktu gue dateng ke sana dan pergi bareng dia ke festival musim panas?
Masih jelas di benak gue, di bawah kembang api yang bersahut-sahutan. Gue ngeliat matanya yang jernih itu, deket banget sama mata gue, sedetik sebelum gue bikin mata itu terpejam.
Rasanya manis. Selalu manis. Lebih manis dari permen kapas atau permen susu atau semua kandungan glukosa dalam satu toko permen dijadikan satu.
Gue perlahan berdiri, masih sambil menengadah menatap kembang api yang seperti merayakan kesepian dan penyesalan gue. Sepi dan sesal yang gue simpan sendiri. Menyesal karena bukan gue yang ada di sana untuk memeluknya. Justru gue-lah yang menyakitinya.
'Happy new year, Ca.' bisik gue dalam hati.
Kalau memang cuma lewat kenangan yang hidup di kepala gue dan dia, gue bisa menyelipkan pelukan dan kata-kata yang tertahan, maka gue akan terus-terusan belajar mengenang.
*
Dica
Kurapatkan kembali syal yang membelit leherku, sementara di depanku orang-orang melangkah cepat seperti biasa. Aku kembali berada di tempat paling ramai sekaligus paling sepi di kota ini. Keramaian malam tahun baru seakan menambah ironi dalam istilah itu.
Suasananya lebih ramai, tapi ramai yang aneh. Ramai yang mengandung perayaan, selebrasi menyambut tahun yang baru. Kebanyakan orang-orang pergi ke Shibuya. Membayangkan harus berdesakan di Shibuya saat malam tahun baru saja aku sudah merinding.
Sudah lebih dari dua puluh menit aku duduk di salah satu kursi di stasiun ini, mengenakan jaket tebal dan syal karena aku kedinginan, memperhatikan orang lalu lalang. Sudah dua puluh menit juga aku memutar-mutar pulpen lalu mencatat sedikit demi sedikit di jurnal yang terbuka di pangkuanku. Berusaha berkonsentrasi karena tekadku, saat pulang ke dorm nanti, aku sudah harus punya banyak ide.
Akhirnya aku memutuskan untuk ikut dalam project yang ditawarkan Irham dua bulan lalu. Tujuh jalur, banyak stasiun, banyak cerita.
Stasiun Asakusa tempatku duduk sekarang adalah stasiun kedua yang kudatangi untuk mengobservasi. Aku sengaja memilih waktu malam tahun baru, tidak peduli risiko padat dan ramai karena menurutku akan banyak ide cerita yang mendatangiku dari momen malam tahun baru itu sendiri. Padahal aku tahu, jauh di dalam hatiku, aku memilih keluar di malam tahun baru seperti sekarang alih-alih bergelung di balik selimut sambil menonton film atau dorama adalah karena aku tidak ingin sendirian sementara kembang api meluncur tiada henti di langit di luar sana.
Meski sekarang pun aku tetap merasa sendirian dan tetap mengingat seseorang, setidaknya aku punya banyak pengalih perhatian, di stasiun yang ramai sekaligus sepi ini.
Sudah berlalu dua bulan sejak hari itu. Sejak aku dan Rasyid putus.
Bohong kalau aku bilang aku sudah baik-baik saja, tapi apa lagi yang bisa kulakukan selain berusaha baik-baik saja?
Sampai hari ini, aku masih sering berpikir, apa sebenarnya alasan Rasyid tahu-tahu memutuskan hubungan setelah sebelumnya menghilang. Aku masih sering tidak bisa tidur karena kegelisahan yang menyelinap lewat celah pintu kamarku lalu jadi kalut yang menyelimutiku sepanjang malam. Tapi kadang ada hal-hal yang aku tahu tidak bisa atau tidak ada jawabannya.
Terakhir, aku sempat memastikan bahwa Rasyid baik-baik saja lewat salah satu teman kosnya, setelah itu aku tidak berusaha mengecek lagi. Aku tidak ingin mengganggunya.
And I stopped chasing for closure I'm not gonna get.
Aku lalu berhenti menangis, lalu berhenti menyalahkan dan mengasihani diri sendiri. Sayangnya, aku belum bisa berhenti memikirkannya.
Aku hanya bisa berharap dia di sana baik-baik saja.
Semakin malam saat aku kembali memperhatikan langkah orang-orang di depanku. Wajah-wajah yang kuperhatikan terlihat bahagia dan antusias. Mungkin mereka tidak sabar menghitung mundur pergantian tahun nanti bersama teman, sahabat, atau pacar. Lalu mereka akan bangun pagi besok dan menikmati osechi bersama keluarga.
Kereta kesekian tiba di hadapanku dan seketika mataku tertuju ke satu titik. Seorang perempuan dan laki-laki berjalan berdua sambil bergandengan tangan, erat. Pasangan itu memakai syal bermotif sama—mungkin si perempuan yang merajut—mereka masuk ke kereta dengan senyum malu-malu di wajah, jemari mereka masih saling menyatu, sampai pintu kereta menutup lalu mereka menghilang dari pandanganku.
Aku mengerjap-ngerjap, dan tanpa kuminta, sekeping kenangan menguasai benakku. Sejurus kemudian pikiranku terbang dari stasiun Asakusa ke satu masa. Waktu aku pulang dari menonton Rasyid manggung. Sesuai janjinya di pertemuan pertama kami di pernikahan Vanya dan Ikal. Dia benar-benar memintaku datang menontonnya main drum di sebuah acara kampus yang membuat beberapa titik di area kampus sempat sangat ramai.
"Si Dongker tadi diparkirnya jauh Ca, gak apa-apa ya jalan agak jauhan?" Tanya Rasyid, ia masih terlihat berkeringat sehabis manggung tadi.
"Cid, gak apa-apa kok aku gak perlu dianter. Bisa pulang ke kosan sendiri, masih jam segini."
"Nggak, pokoknya aku anterin." Dia sibuk melambai ke sana-sini sambil berseru: 'Gue balik duluan ya!'
"Kamu minum dulu, Cid."
"Udah kok tadi, ayo jalan."
Kami berdua berjalan beriringan di antara keramaian malam itu.
"Acaranya masih lama ya? Padahal gak apa-apa kalo kamu masih belum mau pulang." Ujarku merasa tidak enak.
"Nggak kok, emang aku mau pulang," sahut Rasyid santai, "eh gimana tadi band aku? Keren gak?"
"Keren kok." Aku menjawab kalem.
"Aku drummer beneran kan? Bukan tukang sound?" Katanya mengingatkan kembali pada pertanyaan polosku waktu pertemuan pertama kami.
"Iya, drummer beneran, udah terbukti." Aku tertawa sebelum salah tingkah karena Rasyid menatapku sambil berjalan. "Kenapa sih?"
"Gak apa-apa, tadi ketawa kamu bikin deg-degan."
"Hah?" Aku semakin gugup.
"Liat aku ngedrum tadi kamu deg-degan gak? Ikut jedug-jedug gak?"
"Hmmm, bentar aku inget-inget dulu." Aku tidak tahu harus menjawab apa karena tiba-tiba jantungku berdegup cepat.
"Eh nyebrang dulu nyebrang," Rasyid menghentikan langkah di tepi jalan, aku mengikutinya. "Sorry ya, Ca, tadi aku markirnya jauh soalnya parkiran biasa penuh,"
"Gak apa-apa."
Lalu aku merasakan tangannya yang hangat meraih pergelangan tanganku dan menggenggamnya sebelum kami berdua melintasi jalan, membuatku sedikit terbelalak. Aku melirik Rasyid, merasa yakin dia bisa merasakan nadiku yang berdenyut cepat selagi menyebrang.
Begitu sampai di ujung jalan, ia memperlambat langkah, menatapku dari samping. Aku berharap lampu jalan tidak cukup terang untuk menyinari wajahku yang pasti sudah sangat merah sekarang.
"Ca, aku boleh gak megang tangan kamu?"
Aku balas menatapnya heran, matanya berpendar atau mungkin itu hanya ilusiku?
"Kan ini kamu udah megang tangan aku, Cid?" Aku bertanya pelan, nyaris tidak kedengaran.
"Iya, tapi tadi kan pas nyebrang. Kalo sekarang diizinin, aku terusin megang tangan kamu sampe motor."
Rasyid, Rasyid....
"Ca?" Dia bertanya lagi, tidak paham kalau aku sedang sibuk meredakan kegugupan. "Boleh kan?"
"I...ya... boleh." Aku menunduk.
Samar-samar aku mendengar 'Yes.' keluar dari mulut Rasyid.
Perlahan ia menurunkan tangannya dari pergelangan tanganku lalu menyatukan jemarinya dengan celah jemariku.
"Aku udah cek juga SOP keluarga kamu, boleh kok megang tangan pas nyebrang jalan demi keamanan. Nah, selanjutnya kalo mau diterusin baru harus izin. Ya kan? Bener gak?"
"SOP apa siiih Rasyid, kamu pikir perusahaan?"
Rasyid tertawa, tawanya menyenangkan. "Ya udah yang penting boleh megang tangan kamu." Ia mengeratkan genggamannya.
"Kamu tadi tanya kan aku ikut jedug-jedug gak pas kamu main drum?" Tanyaku, masih pelan, tapi aku yakin Rasyid mendengarnya, "Lebih jedug-jedug sekarang tau."
Rasyid tertawa lagi, matanya berpendar cahaya lagi.
"Tau gini aku parkirin motornya lebih jauh lagi aja ya." Katanya lucu, tanpa tahu kalau dia baru saja menghadirkan t-rex di perutku.
Dan aku juga yakin, kalau Rasyid menatap mataku dari bawah cahaya lampu sekarang, dia akan melihat pupilku berdilasi.
Derap langkah orang-orang di lantai stasiun menyeretku kembali ke tempat aku duduk. Tanpa sadar, ujung bibirku perlahan tertarik ke atas meski mataku mulai terlapisi air mata. Aku menunduk, membiarkan air mata itu jatuh ke lembaran kertas jurnalku.
Malam tahun baru itu semakin dingin dengan adanya kenangan lama yang menghampiriku. Kenangan lama yang masih manis diingat sampai sekarang. Seperti juga kenangan-kenangan lainnya yang kusimpan rapi seperti halnya aku selalu menyimpan rapi semua tiket sampai bon makanan. Adisa si pengarsip kembali lagi dalam arsip menyedihkannya yang lain.
"Dis?" Aku menoleh, Irham berdiri di sampingku dengan kamera di tangannya. Ia sudah selesai mengobservasi. Sejak kunjungan pertama kami ke stasiun untuk project bersama ini, kami memang telah membagi tugas. Dia memotret untuk memudahkannya menggambar nanti, sementara aku melamun dan mencatat.
"Nih." Irham menyodorkan minuman hangat dalam papercup.
"Makasih." aku menerimanya, hangat dalam sekejap menyebar lewat telapak tanganku. "Lo udah selesai?"
"Udah. Lo gimana? Udah dapet ide buat cerita di stasiun ini?"
Aku meneguk minumanku seraya menatap ke tempat aku melihat sepasang muda-mudi yang berpegangan tangan tadi.
"Udah." Jawabku sedikit lirih.
Kata orang, yang kita rindukan adalah kenangan atau momen bersama seseorang, bukan orang itu sendiri. Tapi aku menolak setuju. Karena tanpa seseorang itu, tidak akan ada kenangan atau momen yang kurindukan sekarang.
'Happy new year, Rasyid.'
*
Forever yours...
and I can feel you in the morning sun.
You warm me like no other one.
Forever yours...
Your voice is fading. I call your name,
'cause I'm still here,
and the only thing that's left for me is listening.
It's the only way I make it through the night.
Are we just fooling ourselves, living in the moment?
Am I just dying inside, living all alone here?
In a storm of quiet voices,
you're the only one that I can never find.
Just say you're mine and the fog would lift,
'cause the only thing that's missing now is everything.
You're the only way I make it through the night.
In the morning light, in the darkest night,
and in between, I'm forever yours.
I hear you call my name. It never sounds the same.
I hear you call my name.
If only I could call out through the void to reach you.
If only I could stretch across the depths to hold you.
If only for a moment I could make two parts a whole.
If only for a moment I could rest beside your soul.
(Chiromancer - Copeland)
*
(to be continued)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top