June -
Dica
Sepertinya tidak ada kata yang tepat untuk mendeskripsikan bagaimana perasaanku sejak kakiku akhirnya menginjakkan tanah Jepang, sejak indera penciumanku menghirup udara Jepang, indera penglihatanku merekam pemandangan dari balik kaca mobil jemputan yang membawaku ke dorm mahasiswa asing yang disediakan pihak universitas. Di sepanjang jalan berkali-kali isi kepalaku menekankan kembali kalau ini nyata, aku bukan lagi sedang berkhayal berada di negara impianku, yang biasanya hanya aku imajinasikan lewat lembar-lembar komik sejak aku kecil, atau scene-scene anime dan dorama yang aku tonton.
Keberadaan Irham di sampingku seketika tidak jadi masalah lagi, dia dan ucapan sinisnya di pesawat yang membuaku mendongkol hanya menjadi setitik debu yang aku abaikan selama pikiranku disibukkan dengan bayangan hal-hal menyenangkan yang akan aku alami. Aku akan belajar sastra Jepang dengan lebih mendalam, aku akan naik kereta—entah kenapa hanya membayangkan aku duduk di dalam satu gerbong kereta di kota ini membuatku senang—aku mungkin akan melihat daun gingko untuk pertama kalinya saat musim gugur, aku bisa mengunjungi toko buku tua di Chiyoda-ku dan.... aku menahan napas, bisa melihat ikan-ikan di Osaka Aquarium Kaiyukan.
Pada hari keduaku menetap di dorm, sehari sebelum aku mulai kuliah, aku sudah menyulap kamarku menjadi mirip dengan kamar kos-ku di Indonesia. Foto Rasyid yang tadinya diselipkan di agenda, aku bingkai dan aku letakkan di meja belajar, berdampingan dengan foto aku dan ayah bunda.
Rasyid Ananta..
Sekarang aku menyadari betapa aku membutuhkan apa yang tertulis di akhir checklist bawaanku: Rasyid Ananta. Rasanya aneh karena aku merasakan kebahagiaan merekah di tiap sisi hati tapi tanpa dia. Apalagi selama ini sebagian besar kebahagiaanku alasannya adalah dia. Kalau ada pintu ke mana saja milik Doraemon di negara asalnya ini, aku akan membelinya, berapapun harganya, demi membuat Rasyid berada di sini.
Sayangnya, hanya sebagian dari dirinya yang bisa aku bawa, mataku mengerling jaket denim biru tua yang tergantung di balik pintu. Jaket itu. Jika selama ini tugasnya hanya untuk dipakai pemiliknya, melindunginya dari terik dan hujan, menemaninya menembus angin di tengah perjalanannya bersama si Dongker, sekarang bersamaku, tugasnya juga adalah sarana pelukanku saat aku tidur, sambil berharap pemiliknya juga sedang tidur nyenyak dan nyaman.
Ponselku bergetar dan satu notifikasi muncul di layar. Tepat ketika aku sedang melamunkan orangnya.
[Rasyid Ananta]
Besok udah mulai kuliah ya?
Salam buat dosen kamu
Bilangin, dia beruntung banget bisa kamu perhatiin
Aku iri
Senyum terkembang begitu saja saat aku membaca pesan itu, setelah dua hari jauh dari dia, aku memahami bagaimana cara dia menghadapi hubungan jarak jauh ini. Seperti biasa ia terdengar seperti sedang bercanda, ucapannya tetap ringan dan penuh candaan seolah ia tidak sedang terpisah negara denganku. Saat aku mengabarinya kalau aku sudah sampai di dorm dan sudah siap melewati malam pertamaku di Jepang, dia menemaniku di chat sampai aku terlelap. Bercerita bahwa semalam ia makan nasi goreng sendirian, bahwa si Dongker juga kehilangan aku yang duduk di boncengannya, jadi si Dongker ngambek dan mogok, membuatnya repot.
'Dikira dia doang apa yang kangen. Aku juga kali. Songong nih si dongker.'
Semua candaan-candaan itu justru membuatku semakin kangen, karena aku tidak bisa dengan mudah menjulurkan tangan untuk mengacak rambutnya atau mencubit lengannya seperti biasa. Aku lalu mengetik balasan pesan itu, masih dengan senyum di wajah.
[Adisa Mutiara Dewi]
Kenapa mesti iri?
Kan kamu jg aku perhatiin dari sini
[Rasyid Ananta]
Pokoknya aku iri sama semua orang yg ada di jepang :[
Oh ya ca
Hari ini aku jadi bantal di kamar kamu ya
Ini juga salah satu cara Rasyid, sejak kemarin dia mengumpamakan dirinya sebagai benda-benda yang ada di sekitarku. Seolah dia bertransformasi menjadi bentuk lain selain jaket denim tentu saja, karena itu sudah absolut perwakilan dirinya. Hari pertama dia bilang dia jadi gorden, setelah sebelumnya bertanya apa warna gorden di kamar gue.
'Posisi jendela sama gorden kamar kamu di sebelah mana? Deket tempat tidur gak? Kalo iya, berarti pas kamu bangun kamu langsung liat aku.'
Kedengarannya lucu dan kekanak-kanakkan, dan mungkin aneh, tapi aku mendapati diriku terbangun keesokan paginya langsung mengarahkan tatapanku pada gorden kamar yang belum gue sibak, yang seakan tersenyum bersama sorot lembut matahari yang menerobosnya. Seolah Rasyid Ananta mengucapkan selamat pagi lewat benda yang ia ibaratkan sebagai dirinya itu.
Rasyid sebisa mungkin membuatku merasa dekat dengannya, membuatku bertanya, 'Kata kamu kan kalo aku kangen kamu hari ini, aku liat gorden. Terus kamu gimana?'
'Kamu gak usah. Benda-benda di sekitar aku gak ada yang cocok disamain sama cewek secantik kamu.'
'Ck. Rasyid. Serius.'
'Serius. Udah, kamu jadi langit aja. Kalo kangen kamu, aku liatin langit.'
'Kenapa langit?'
'Soalnya langit gak kemana-mana, tetep di situ. Kayaknya pengaruh Rara si gila astronomi itu deh aku jadi suka liatin langit. Kata Rara, langit selalu ngasih jawaban. Termasuk kangen.'
Kembali ke hari ini, aku membalas lagi pesan Rasyid.
[Adisa Mutiara Dewi]
Ok, hari ini bantal ya
[Rasyid Ananta]
Iya, tapi harus yang guling ya
Biar kamu peluk
Ada guling kan???
[Adisa Mutiara Dewi]
Adaaaa
Kan aku kalo tidur harus meluk sesuatu
Jd pasti ada guling
[Rasyid Ananta]
Wah ca
Aku jg kalo tidur suka meluk sesuatu
Kita cocok berarti
Buat saling memeluk pas bobo
Hehehe
[Adisa Mutiara Dewi]
Rasyid...
[Rasyid Ananta]
BENERAN
Kasian dong sama aku
Selama ini asem
Kalo gak meluk guling ya paling banter meluk si Satrio sama Wawan
Yaelaaaaaaaa dua beruk lagi dua beruk lagi
...
Btw udah disenyumin blm bantalnya?
Rasyid... Rasyid...
Aku meraih guling di tempat tidur dan memeluknya. Erat.
*
Pagi ini aku adalah manusia pertama yang keluar dari bangunan dormitory, saking antusiasnya aku pada kuliah hari ini. Aku mengecek kembali jadwal yang sebenarnya sudah aku hafal di luar kepala, aku membacanya lagi supaya semangatku tambah terpompa. Pagi ini jadwal kuliahku masih di Ryuugakusei Sentaaa (Pusat Mahasiswa Asing) tapi siang nanti, pada beberapa mata kuliah yang diambil bebas, aku akan bergabung bersama mahasiswa Jepang.
Kampusku sendiri berada tidak jauh dari dorm, hanya sekitar lima belas menit. Tapi sesuai instruksi dari kaikan chuuta (tutor asrama), mahasiswa yang tinggal di dorm dipersilakan mengendarai sepeda yang disediakan untuk sampai ke kampus. Dia sempat bertanya padaku, 'Kamu bisa naik sepeda kan? Kalau gak bisa naik sepeda bisa repot.' Aku tahu kenapa repot, ini bukan di Indonesia yang bisa dengan mudah memanggil ojek atau memesan ojek online. Makanya biasanya para pelajar di sini, khususnya mahasiswa di universitasku lebih suka naik sepeda ke mana-mana dan aku dengan segera menyukai gagasan bersepeda ke kampus.
Mungkin rasanya seperti tokoh-tokoh komik yang bersepeda ke sekolah, menaruh tas mereka di keranjang depan, dan membunyikan bel sebagai klakson, lalu pulang seraya menuntun sepedanya, beriringan dengan siluet dirinya yang diciptakan mentari sore. Kedengarannya saja menggemaskan.
Aku memilih salah satu sepeda di antara deretan sepeda yang diparkir menghadap dinding asrama. Sudah lama aku tidak naik sepeda, semoga aku tidak oleng. Sebelum mulai mengayuh, aku melirik ke kanan, tepatnya ke asrama putra yang sebenarnya masih satu bangunan dengan asrama putri. Berharap Irham tidak tiba-tiba muncul. Aku masih kesal karena ucapannya tentang Rasyid tempo hari, tapi pasti sulit menghindar darinya, apalagi kami pasti satu jadwal.
Detik berikutnya aku tersadar kalau aku tidak perlu memikirkannya. Ketemu atau tidak itu tidak penting, aku akan mencoba sikapnya terhadapku selama ini: menganggap tidak ada.
Dengan sedikit goyah, kukayuh sepeda sambil mengingat-ingat jalanan yang ditunjukkan tutor asramaku saat survey sehari sebelumnya. Dalam hati bertekad untuk menceritakan soal sepeda ini pada Rasyid nanti.
Saat bangunan kampus sudah terjangkau dekat di mataku, aku memelankan kecepatan, sedikit terengah karena sepertinya aku mengayuhnya terlalu cepat. Beberapa mahasiswa asing yang satu asrama denganku satu persatu melewatiku di jalan yang bersisian dengan barisan pepohonan itu, mereka juga mengendarai sepeda sepertiku.
Salah satu mahasiswi dari Vietnam yang berkenalan denganku kemarin melemparkan senyumnya ketika melewatiku. Saat memandang punggungnya menjauh, aku baru menyadari ada yang aneh dengan sepedaku. Mendadak tidak bisa dikayuh. Tanganku mengerem sebelum melongok ke bawah, mengecek rantai sepedanya.
Uh, sepertinya rantainya putus? Atau apa? Aku masih menunduk, rambutku yang dibiarkan tergerai pastilah membuatku terlihat seperti sadako di tengah hari. Sebelum aku turun, tahu-tahu terdengar suara decit rem sepeda tepat di sebelahku, dan yang kulihat ketika aku mengangkat wajah adalah Irham.
Hari ini ia mengenakan kacamata bulat, mengenakan sweater dan jaket seperti sedang musim dingin padahal ini masih bulan Juni, dengan ransel yang kelihatannya berat di punggungnya. Matanya di balik kacamata memandangku tajam, kalau aku tidak kenal dia dan ekspresinya yang seperti itu, mungkin aku sudah berlari menjauh karena mengira aku akan diculik.
"Kenapa?" tanyanya datar.
"Kenapa apanya?" aku mengerutkan kening.
"Kenapa sepeda lo?" telunjuknya mendorong kacamata ke belakang, masih dengan tatapan yang sama.
"Gak tau, kayaknya rantainya putus." jawabku sekenanya, berharap dia terus mengayuh dan tidak mempedulikanku.
Tapi Irham tidak mengikuti harapanku, ia menepikan sepedanya dan memberi isyarat supaya aku mengikutinya.
"Ke pinggir dulu, kalau di tengah ngalangin jalan orang."
Aku memutar bola mata, kenapa juga aku harus menuruti perkataannya? Tapi mau tidak mau aku menepi dan turun dari sepeda.
Tanpa mengatakan apa-apa, Irham juga turun dari sepeda dan mengambil alih sepedaku, menurunkan standar lalu berjongkok di sampingnya, memeriksa rantai sepedaku.
"Bukan putus, ini cuma kendor." ia bergumam pelan.
"Oh, ya udah, gue tuntun aja sini. Udah deket juga." aku menimpali cepat, tidak ingin berurusan lama-lama dengannya.
Irham mengabaikanku, ia malah menggulung lengan jaketnya dan mulai mengutak-atik rantai sepedaku, membuatku tercengang. Kenapa sih dia? Aku kan tidak minta? Kenapa dia inisiatif menolong seperti ini?
"Lo ngapain?" tanyaku karena Irham tidak juga menyingkir.
"Gak liat gue lagi benerin?"
Aku menahan kekesalan yang membuncah di dadaku, mencoba tetap menjaga intonasiku tetap tenang, aku berkata, "Gak usah, udah gue bilang gue tuntun aja."
"Terus? Ntar balik lo tuntun juga? Gitu? Udah, lo duduk aja."
"Tapi—"
"Lo pilih, mau gue benerin rantenya atau gue bonceng?"
Mulutku yang tadinya sudah siap meloloskan kata-kata seketika terkatup rapat. Apa-apaan sih Irham ini?
"Pasti mendingan gue benerin kan?" ujarnya, masih sambil berkonsentrasi pada rantai sepeda.
"Mendingan gue jalan kaki." jawabku lugas.
Irham tidak menjawab lagi, tapi ia berdiri seraya menepuk-nepuk tangannya yang kotor akibat rantai sepedaku. "Udah bener, bisalah dipake sekali lagi pas pulang ntar. Tapi besok jangan pake sepeda yang ini lagi. Mata gearnya juga udah tajem." katanya sambil mencoba mengayuh sepedaku dengan satu kaki dalam keadaan masih distandar.
Aku masih menatapnya dengan kerutan dalam di kening, masih mempertanyakan tindakannya yang tiba-tiba ini.
"Ada tisu gak?" tanyanya sambil memperhatikan telapak tangannya. Sebelum aku sempat menjawab ia sudah mengibaskan tangannya lalu melangkah menuju sepedanya sendiri, "Gak usah deh."
Tidak ada cermin di sekitarku untuk tahu bagaimana wajahku sekarang, tapi pasti sarat kebingungan.
Irham menoleh dan memandangku melewati bahunya sebelum mulai mengayuh sepeda kembali, "Ayo, lo mau telat di hari pertama kuliah?"
*
Dua minggu pertama kuliahku di Jepang kulewati dengan baik. Aku sempat khawatir tubuhku butuh waktu yang lama untuk beradaptasi dengan cuaca Jepang, tapi ternyata tidak. Aku juga senang dengan kuliahku, kampusku, dan teman-teman baruku. Intinya aku suka lingkungan baruku yang cukup kooperatif sehingga aku bisa meminimalisasi homesick.
Aku juga suka hari ini, hari ini jadwalku cukup padat sehingga baru pulang dari kampus malam pukul tujuh lewat. Kadang memang manusia membutuhkan dan menyukai kesibukan, supaya tidak sempat memikirkan hati yang terasa kosong dan sepi.
Meski yang namanya rindu tidak semudah itu bisa disamarkan kesibukan, kerinduan terselip di mana-mana, lewat medium apa saja, di tengah kesibukan sekalipun, dan aku tidak pernah menahannya. Karena lewat rindulah aku bisa menghadirkan Rasyid Ananta di dekatku.
Bukannya langsung pulang ke dorm, aku melangkahkan kakiku ke sebuah kafe kecil tidak jauh dari dorm. Kafe yang sudah menarik perhatianku sejak pertama kali melihatnya sepulang kuliah. Kafe kecil dan sederhana dengan nuansa kayu ini milik perempuan paruh baya yang kemudian kupanggil obaa-chan. Dia menjalankan usaha kafe kecil ini bersama anak perempuannya yang sudah menikah dan tinggal tidak jauh dari kafe, katanya anak-anaknya yang lain ada yang tinggal di prefektur Tottori, ada juga yang tinggal di Hokkaido, semuanya sudah memberinya cucu.
Dengan segera aku jatuh hati pada tempat ini, obaa-chan sangat ramah, ia menanyakan kuliahku, Negara tempat aku berasal dan menawariku marshmallow untuk teman secangkir cokelat panas yang kupesan. Anak perempuannya juga sangat ramah dan membiarkan aku menggendong anaknya yang masih dua tahun, Himeko namanya, artinya putri. Tiba-tiba aku kangen Vino, anak Ikal dan Vanya yang juga seumuran dengan Hime-chan. Pasti lucu kalau mereka berdua bertemu.
Sudah tiga puluh menit aku duduk di satu meja di dekat jendela kafe ini, bertopang dagu sambil mencoret-coret agendaku. Membubuhi tanda ceklis di samping rencana yang sudah kulakukan pada pekan pertamaku di sini. Naik kereta, sudah, memotret stasiun dengan kamera analog, sudah, berkenalan dengan obaa-chan pemilik kafe, sudah.
Aku mengurutkan rencana-rencanaku yang lain yang mengisi lembaran agendaku sampai penuh. Sepertinya dalam waktu dekat ini aku belum bisa pergi ke Osaka jadi aku menahan dulu rencana besarku mengunjungi ikan-ikan di Kaiyukan. Rencana paling dekat yang ingin kulakukan adalah baito atau kerja sambilan. Kebanyakan mahasiswa di sini—termasuk mahasiswa asing—menambah uang saku mereka dengan kerja part-time.
Hal itu sudah menarik minatku sejak awal, bukan hanya untuk menambah uang saku, tapi juga untuk menambah pengalaman. Bagaimanapun aku tidak ingin melewati setahun di sini lalu pulang dengan pengalaman yang minim atau biasa-biasa saja. Jadi aku ingin memanfaatkan apapun kesempatan yang bisa kuambil, termasuk baito.
Saat aku sedang memikirkan di mana sebaiknya aku mencoba melamar pekerjaan sambilan, lonceng di pintu kafe berdenting. Aku tersentak begitu mengangkat wajahku dari lembaran agenda dan mendapati siapa yang masuk. Da lagi. Irham lagi. Semakin ke sini, ia semakin seperti makhluk gaib yang bisa muncul kapan saja di mana saja.
Aku ingin kembali menunduk supaya ia tidak melihatku tapi terlambat, matanya langsung menuju ke arahku seolah sudah melihatku dari luar sebelumnya. Setelah memesan sesuatu, ia berjalan ke arahku. Sia-sia saja aku menghindar atau mengharapkan ada invisible cloak milik Harry Potter yang bisa kusambar untuk menyembunyikan diri.
Tanpa senyum dan sapaan apapun ia duduk di kursi di depanku. Dari sekian meja yang kosong di kafe ini, kenapa dia harus duduk di sini? Aku menggerutu dalam hati, semoga saja Irham bisa membaca lewat air mukaku kalau aku terganggu dengan kehadirannya.
"Sendirian?" tanyanya retoris.
"Keliatannya gimana?" aku balik bertanya, dingin.
Irham sekilas melirik ponselku yang kuletakkan di samping cangkir, lalu ia mengangkat bahu dan mengeluarkan buku sketsa dari dalam ranselnya. Mau apa dia?
Masih tanpa basa-basi bertanya apakah aku mengizinkannya duduk di mejaku, ia mengeluarkan sebatang pensil lalu mulai menggambar di salah satu sketsa komiknya yang sepertinya belum selesai.
Begitu saja, tanpa obrolan apa-apa, dia menghabiskan waktu bermenit-menit di depanku, menggambar, matanya di balik kacamata bulat itu terfokus sepenuhnya pada sketsa yang sedang ia kerjakan, kopi yang ia pesan dibiarkan mendingin di samping lengannya.
Sebenarnya sejak pagi itu, waktu ia membetulkan rantai sepedaku, aku tidak berinteraksi lagi dengannya. Aku sudah mengucapkan terima kasih dan menganggap tindakannya itu adalah tindakan wajar sebagai teman yang datang dari satu negara, bahkan universitas yang sama ke sini. Tapi hanya itu. Aku memang hampir setiap hari bertemu dengannya, dan sempat duduk bersebelahan pula dengannya di kelas manga karena waktu itu aku datang telat dan satu-satunya kursi yang kosong adalah di sebelah irham.
Waktu itu aku melihat matanya bersinar, ekspresinya tidak lagi kaku, sepertinya itu kelas favoritnya—mungkin akan menjadi kelas favoritku juga—karena kelas itu membahas sejarah manga sejak awal, perkembangan manga dari masa ke masa. Minggu depan kami akan mempresentasikan analisis manga pilihan kami dan aku bisa merasakan semangat Irham untuk tugas itu. Aku mencuri pandang ke arah sketsa komiknya, mungkin itu juga untuk kepentingan presentasinya minggu depan? Entahlah. Tapi harus kuakui, dia memang berbakat, bisa kutebak, dosen kelas manga kami pasti akan langsung menyukainya. Sejenak aku lupa memprotes kenapa dia duduk di mejaku dan mengusik aku yang sedang melamun.
"Kenapa ya," gumamnya tiba-tiba, masih sambil mengarsir bagian tertentu pada sketsanya, "banyak shoujo manga kalo nyeritain kencan, pasti tujuannya ke akuarium."
Aku tertegun.
"Ada apa sama akuarium sampe banyak pasangan yang suka pergi ke sana?" gumamnya lagi.
Sejenak aku menyadari kalau sedari tadi Irham sedang menggambar latar akuarium, dua orang menatap ke akuarium besar berisi ikan-ikan pari yang sayapnya mengepak-ngepak di dalam air.
"Tokoh komik lo ceritanya lagi ngedate di akuarium?" Tanyaku, tiba-tiba teringat akuarium Osaka.
Irham mengangguk samar, masih tanpa memandangku, ia melanjutkan ucapannya, "Tapi gue belom bisa bayangin jelas. Gue belom pernah ke akuarium manapun selain Seaworld."
"Ya udah lo ke Shinagawa aja, di Tokyo."
"Kalo yang terbesar di sini di mana?"
Pertanyaan itu terdengar aneh karena Irham pasti tahu di mana.
"Osaka." jawabku.
"Lo gak ke sana?"
"Mau. Mungkin nanti." dalam hati aku heran karena pertanyaan Irham mengisyaratkan dia tahu tempat itu masuk ke dalam daftar destinasi wajibku.
"Bareng aja kalo mau ke sana. Gue juga mau riset buat komik gue."
Aku tertegun lagi.
Apa Irham baru saja mengajakku pergi secara kasual?
Ke akuarium?
Ke Osaka?
Seolah memutus pertanyaan-pertanyaan dalam kepalaku, Irham mengangkat wajahnya, matanya menatapku dari balik kacamata dengan sorot yang tidak bisa kuartikan.
Tiba-tiba ponselku di atas meja bergetar, mengalihkan perhatianku dan juga Irham. Jantungku nyaris mencelos melihat nama yang tertera di layar.
[Rasyid Ananta]
Ca, hari ini aku jadi lampu :]
Refleks aku sedikit menengadah, menatap lampu putih di langit-langit kafe, lalu ke arah lampu meja kecil di dekat pintu kafe yang menebarkan sinar keremangan.
Bahkan Rasyid mampu menyita perhatianku lewat benda mati.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu tentang akuarium, yang pernah kulewatkan bersamanya.
Maaf Irham, tapi walaupun kamu baru saja mengajakku ke tempat yang paling ingin kukunjugi di Jepang, seseorang bisa menguasai pikiranku kembali.
*
Acid
Sejak ditinggal Dica ke Jepang, ada beberapa perubahan dalam hidup gue. Gue yang dari dulu udah gak bisa diem—kayak lintah digaremin kalo kata Wawan, sialan, padahal dia bekicot—jadi makin gak bisa diem. Kalo hari libur, selain main ular tangga atau mabar (istilah main bareng, digunakan para pemain mobile legend), gue sibuk benerin berbagai macam benda di Komet. Kayak gak betah gitu gue kalo gak ngulik sesuatu. Berawal dari Rama mengeluhkan vacuum cleanernya yang rusak, gue menawarkan bantuan, siapa tau gue bisa benerin. Ya walaupun sebenernya ungkapan: 'Minta benerin aja ke anak mesin, pasti bisa.' tuh stereotip doang sebenernya. Tapi gue seneng nyoba-nyoba benerin, siapa tau beneran bisa.
Terus beneran bisa dong ternyata, vacuum cleaner yang udah kayak belahan jiwanya Rama itu bisa bener lagi. Asik. Keren gak sih Rasyid Ganteng Ananta ini? Apa yang gue gak bisa?? Bentar, bentar, pasang kacamata item dulu.
Alhasil sejak itu semua benda yang rusak dan udah siap Rama pensiunkan dan semayamkan di gudang, gue ambil alih dan gue coba benerin dulu. Gue jadi lebih peka, "Eh eh!! Jim!! mejikom rusak ya? Sini coba gue benerin!" terus gue digetok centong karena Jime lagi masak nasi eh gue main boyong aja tu magicom.
Tapi para krucils seneng pas tau gue jadi hobi benerin alat-alat, si Galang terutama.
"Bang, benerin robot ironman Galang dong? Bisa gak?" Terus dia anteng di sebelah gue, ngeliatin gue ngotak-ngatik sambil terkagum-kagum.
"Kalo drone bisa, Bang?" tanyanya ngelunjak. Buset Lang, itu mah lo bawa aja ke tokonya, masih garansi kan?
Krucils lain yang sering nyatronin bengkel gue di teras belakang Komet adalah Fariz sama Opang, Fariz berkali-kali bawa pesawat remote controlnya minta tolong gue benerin. Hari pertama katanya rusak gara-gara nyangkut di semak-semak, hari kedua rusak gara-gara nyemplung ke got. Yaelah, lo mainnya gimana sih Riz, Riz, brutal banget. Pengen gue suruh buang aja, beli baru tapi karena gue baik hati, gue tetep coba benerin. Itung-itung latihan jadi ayah ntar kalo anak gue laki, gue bisa benerin mainannya. Sedaaaap. Pasang kacamata item lagi ah.
Si Opang lebih ajaib lagi, kapan hari dia nyamperin gue.
"Bang benerin dong."
"Benerin apaan? Mainan lo? Apa ukulele lo si Maudy? Kalo si Maudy mah lo kasih Bang Wawan aja, dia lebih bisa."
"Bukan. Benerin ini." dia nyodorin sesuatu yang langsung bikin mata gue melotot.
"MANA BISA GUE BENERIN LAYAR HP LOOOO, BOCAAAAH. ITU KE TUKANG KONTER AJA SONO."
Lagian itu layar hpnya dia jedugin ke mana sih, ampe pecah gitu.
Oh ya, si Biru juga pernah datang ke gue, minta benerin sesuatu.
"Apa Riq yang mesti abang reparasi? Sini."
"Hati aku, Bang."
Yeeeeeeeeeeeee ini lagi belom kelar-kelar emonya, gara-gara si Dzaky sih nih.
Tapi jujur gue seneng sama kebiasaan baru gue, soalnya gue jadi lebih sibuk. Walupun di tengah kesibukan itu gue tetep kangen Dica, seenggaknya kangennya bisa gue nikmati dengan cara yang bermanfaat.
Kalo gue berhasil benerin sesuatu, gue pasti langsung cerita ke Dica.
'Ca!! Aku abis benerin hairdryer kucingnya Satrio!! Bangga gak sama aku?'
Terus abis itu Dica bilang dia seneng karena gue seneng, dia juga bilang kalo dia pengen liat gue benerin benda-benda itu, katanya dia suka ngeliatin pas gue lagi fokus sama sesuatu. Menurut yts, gue suka gak sadar manyun-manyun atau julurin lidah, gemes. Ah, pantesan waktu itu dia betah nemenin gue jadi tukang perkakas, masangin rak buku dia. Hehehe.
Perubahan lainnya adalah.... gue jadi lebih hemat. Soalnya gue udah bertekad kuat gue mau ke Jepang, kalo gak bisa pas musim panas tahun ini, pas musim gugur deh, atau musim dingin juga gak apa-apa sih, kan di sana juga ketemu yang bikin anget. TAPI KELAMAAN KALO MUSIM DINGIN, keburu gue abis dimakan rindu.
Gue mulai rajin nabung, pake cara sederhana aja, selain gak sering-sering gesek di ATM, gue juga beli celengan murah di warung, gue tulisin pake spidol: 'Tabungan Nyusul Adisa' terus gue taro di meja belajar gue. Sekarang juga gue jarang makan di luar selain di warteg murah deket Komet, atau nggak bawa bekel masakan Rama (yang gue todong suruh masakin), pokoknya demi cepet-cepet ke Jepang.
Dengan keadaan bokap gue yang lagi diterpa kasus, gue cukup tau diri dengan gak minta-minta uang tambahan ke dia. Pokoknya uang bulanan rutin gue harus cukup buat nabung ke Jepang. Ya sebenernya kalopun ntar kasus bokap gue selesai, gue gak bakal minta doi juga sih, gue udah berada di usia yang bikin gue mikir gue harus mandiri, apalagi buat kepentingan gue sendiri.
Buat memotivasi, gue juga pasang wallpaper hp foto jalanan malam di Jepang yang gue comot dari pinterest. Supaya tiap buka hp, gue inget kalo gue mau cepet-cepet ke sana, bisa jalan pegangan tangan nyusurin jalanan itu sama Dica. Saking niatnya, gue juga udah belajar bahasa Jepang dikit-dikit buat persiapan gue nanti jadi turis di sana. Paling gue inget tuh 'Toire wa doko desuka?' yang artinya 'Toilet di mana?' soalnya itu paling penting. Iyalah kalo di sana lo kebelet boker pas lagi sendirian di tengah jalan gimana? Kan gawat.
Anak-anak Komet juga tahu sama gerakan ketatkan ikat pinggang gue dan sejauh ini mereka mencoba ikut menyukseskan program tersebut. Meski para bajinguk macem Wawan sama Satrio suka menggoda gue layaknya setan.
"Cid, yakiiiin gak mau nonton weekend? Yailaah selain weekend kapan lagi coba lo sempet nonton?"
"Cid, lo gak mau modif si Dongker? Temen gue tau tuh bengkel vespa yang murah. Oi, Cid."
"Cid, beli diamond dong. Ah payah lo." (ini diamond game ya, bukan permata beneran)
"Ikut gue gak Cid? Besok gue sama Satrio mau foya-foya."
Brengsek.
Kalo udah gitu, gue cuma bisa nyebut, but.. but... but...
Ati-ati aja tuh si Wawan, udah godain gue paling kenceng, taunya ntar akhir bulan doi bangkrut.
"Cid!!!!" pintu kamar gue menjeblak terbuka. Kan, kan, kan. Si gendeng nongol, baru juga gue pikirin.
"Apaan?" tukas gue sebelum menyadari kalau Galang mengikuti di belakangnya.
"Ikut yok besok."
"Ke mana?"
"Ke Jakcloth."
Tai kan, ngajak gue boros.
"Nonton panggung musiknya, Bang. Ada Naif sama SO7." Galang nimbrung.
"Hmmmm..."
"Yaela pake ragu lo. Biasanya ok aja kalo Naif." Wawan dengan santai merebahkan badannya ke kasur gue.
"Gue kan lagi irit, Nyet."
"Palingan berapa sih."
"Bukan masalah itunya. Ntar gue di sana laper mata."
"Ya udah lo kenyangin dulu di sini."
"Bodo amat."
"Bang Acid, nanti Galang bantuin tutup mata biar gak kegoda beli baju di sana."
"Tau lo, Cid. Rame-rame nih ke sananya, si Bangsat, Jime, Awang, Onyo, Fariz, Opang juga ikut. Kita konvoi naik motor."
"Kenapa lo pengen banget gue ikut? Gak ada gue gak rame ya?" Gue naik-naikin alis centil dan langsung kena lempar bantal sama si Wawan.
"Lagian lo udah berapa minggu gak keluar-keluar pas weekend, Cid. Aneh banget buat cowok tongkrongan macem lo tau-tau cuma ngedekem di Komet, ngutak-ngatik perkakas,"
"Ooooh jadi pada perhatian sama gue nih ceritanyaaaa?"
Kena lempar lagi gue, kali ini keset yang dilempar.
"Ya udah, ya udah, gue ikut." kata gue akhirnya, gak ada salahnya sih, udah lama gue gak nonton acara musik, kayaknya terakhir tuh pensi SMA-nya Galang.
"Gitu dong, Bang." Galang mengacungkan jempolnya, gue jadi makin yakin kalo sebenernya mereka khawatir sama gue. Padahal gue gak apa-apa? Cuma lelah dilanda rindu aja?
"Emang kenapa, Cid?" Tanya Wawan setelah Galang keluar kamar.
"Kenapa apanya?"
"Kenapa lo jadi jarang nongkrong-nongkrong gitu sama temen lo?"
"Dibilangin lagi ngirit."
"Lo udah berubah banyak ye?"
"Berubah banyak gimana?"
"Iya, dulu kan sebelum jadian sama Dica, lo gaul banget."
"Ah, sekarang juga gue tetep gaul kali, Nyuk."
"Nggak, gaulnya beda," Wawan menggeleng-geleng sotoy, biasanya kalo dia sotoy gue selalu pengen nyumpel mulutnya pake kaleng kerupuk, tapi berhubung kali ini dia lagi bahas gue dan agak serius, gue jadi dengerin saksama, kan jarang-jarang si botol marjan serius.
"Gaulnya sekarang tuh gimana ya, lebih sopan? Paling sama temen-temen laki doang kalo ngumpul, terus jarang ngemodus sama cewek-cewek." Wawan kedengeran kayak menganalisis.
"Ya masa gue kayak dulu? Tepe-tepe sana-sini? Gaklah, Wan. Gue udah tobat." Gue membuka lockscreen hp dan memandangi wallpaper hp gue, tanpa sadar gue menggumam, "Ada yang mikirin gue di sana."
Dalam sekejap Wawan merusak suasana yang mendadak sendu itu dengan celetukan, "Taunya Neng Dica di sana lagi mikirin martabak telor, Cid, bukan mikirin elo. Di Jepang gak ada martabak telor kan?"
*
Ada yang ajaib dari Naif. Gue pertama kali nonton Naif live itu pas SMA, diajak Ikal di acara kampusnya, waktu itu pake iming-iming 'Banyak cewek cakep di kampus gue, Cid. Bisa sambil cuci mata.'
Dan gue inget pulang dari situ, yang berkesan bukan cewek cakepnya. tapi Naifnya. Gimana ya, gue suka banget sama musiknya, dan sama keseluruhan penampilannya. Gak semua band bisa bikin penampilan mereka kerasa deket sama penonton, bikin mereka kayak lagi ngobrol sama penonton, bikin penonton nikmatin musik lewat cara yang akrab, bikin penonton lupa besok Senin, banyak kerjaan nunggu, atau banyak masalah belom selesai.
Sebelumnya gue cuma suka Naif sebatas dengerin lagunya doang, tapi sejak nonton perform mereka, gue beneran ngefans. Gue sering banget bawain lagu mereka kalo lagi latihan band, CDnya berserakan di kamar gue, dan lagu-lagu mereka jadi playlist wajib gue nyetir selain Arctic Monkeys.
Lagu-lagunya kayak nemenin lika-liku hidup gue dan juga Ikal selaku orang yang mengenalkan gue sama Naif. Sampe akhirnya salah satu lagunya juga jadi lagu pernikahan Ikal, yang judulnya Janji Setia.
Janji setia tidaklah mudah
Kapan saja pasti banyak rintangannya
Janji setia pasti kan mudah
Bila hanya satu hati yang kau cinta
Sadis. Kalo kata banyak orang pasti tu lirik biasa aja, tapi bagi gue, sejak pertama kali dengerin tu lagu, itu tuh manis banget men. Deuh jadi kapan nih gue nyusul Ikal nyanyiin itu juga di pelaminan?
Ciaaa, lulus aja belom, tapi setianya sih udah ya.
Ajaibnya Naif tuh, mau berapa kalipun gue selesai nonton mereka manggung, mereka masih ngasih feeling yang sama kayak waktu pertama gue nonton mereka di acara kampus Ikal, padahal itu udah bertahun-tahun lewat, tapi rasanya masih sama. Udah gitu Bang David juga, doooh, bang, kok bisa gitu gayanya always muda dan asik. Gue juga pengen kayak gitu deh, sekalipun udah om-om ntar gue mau tetep asik asal gak bersisik.
"Dari semua priaa, aku yang juaraaa, dari semua wanita, kau yang paling sejiwaa." Galang di sebelah gue menyenandungkan lirik lagu Karena Kamu Cuma Satu yang tadi jadi lagu penutup dari Naif tadi. Wah, udah kena racun juga ni anak.
Gue sama anak-anak Komet lagi jalan balik ke parkiran Kemayoran, waktu itu udah jam sepuluh lewat dan Jime udah bawel aja, takutnya pintu Komet dikunci gerendel sama Dzaky, padahal kan dia tadi udah nitip pesen. Selow aja napa, Jim.
Di belakang gue Fariz sama Opang lagi rebutan teh poci yang mereka beli di tengah acara tadi. Ck, lagian siapa suruh belinya barengan, satu es teh, sedotannya dua. Jadi rebutan kan. Makin lama ini gue sama abang-abang yang lain lebih kayak bawa bocah TK ke acara musik, padahal mereka udah SMA. Hadeh.
Mana tadi si Opang sempet ilang pas SO7 lagi nampil, taunya lagi nyari WC, ck bikin panik aja.
"Akhirnya gak kepake nih kresek, gue pikir bakal ujan." kata Wawan ke Ibnu, suara cemprengnya kedengeran nyaring banget di antara orang lalu lalang.
Baru juga gue mau nyela si Wawan dan keudikannya, tau-tau Jime yang jalan di depan gue berhenti mendadak, bikin gue langsung nubruk.
"Napa sih, Jim???"
Jime nengok dengan muka waswas kayak abis ngeliat setan, "Puter balik! Puter balik!"
"Hah??" Gue bengong, kenapa dah?
Tentu saja tidak ada yang putar balik mengikuti instruksi Jime karena.. MAU PUTER BALIK KE MANA? Orang motor-motor kita di depan. Karena penasaran, gue sengaja dangak-dangak ngelewatin kepala Jime buat ngeliat apa yang bikin dia kaget gitu. Tepat ketika gue melihatnya, gue langsung ternganga.
Ada yang lagi kissing.
Nyet.
HAHAHAHAHAHAHAHAHAH. Sumpah, ada yang lagi kissing di bawah pohon, kayaknya abis nonton acara tadi juga. Anjirlah, di parkiran banget woy???? Gue mau ngakak.
"Kenapa sih, Bang?" Galang kedengeran heran, sementara Satrio, Wawan, Ibnu sama Awang sama-sama ngeliat apa yang gue liat.
"Wow." cetus Satrio kayak ngeliat Transformers.
Wawan, Ibnu sama Awang sama-sama mangap.
"Kenapa sih, Bang? Ada apa?" Tanya Fariz, bikin Jime langsung bereaksi cepat, dia melesat dan menarik masker Fariz ke atas, menutupi matanya. Masker mulut mendadak alihfungsi jadi eyemask. HAHAHAHAHHAHAHAHHAHAHAH.
"Adadadah!!! Kenapa sih Bang Jim???? Kenapa mata Fariz ditutupin?????"
"Udah, jangan dilepas sampe nyampe motor!!"
"TERUS FARIZ GIMANA JALANNYA KALO DITUTUPIN GINI????"
"ABANG TUNTUN—LAH SI OPANG MANA?? PANG???? JANGAN DISAMPERIN!!!!!! ITU SI SATRIO JUGA NGAPAIN?? MALAH DISAMPERIN BEGO."
Gue ngakak, terus ngelirik Galang, dia bengong, baru sadar sama pemandangan di remang-remang itu. Kocak banget dah, itu yang lagi kissingnya juga masa gak nyadar sih kalo tiba-tiba jadi berisik? Apa saking enaknya jadi beneran gak denger apa-apa? Gileee. Seenggaknya jangan di alam terbuka gini kek? Tahan dulu gitu?? Kan masih banyak orang lewat. Gue ngakak lagi.
Wawan yang pertama nerusin lewat tanpa repot-repot menutup congornya, "Wiiiidiiiiiih, terus Bang, terus, banting kanan bang!!!" katanya berapi-api.
Tokai banget si Wawan.
Tapi pas di perjalanan pulang, setelah Jime susah payah menyeret Opang dan Satrio yang tadinya mau nontonin tu pasangan sampe mereka malu, gue jadi inget sesuatu. Yang begitu mengingatnya langsung membuat gue mesem-mesem sendiri.
Waktu itu juga...
Di parkiran....
*
Acid dan Dica pernah dimintai tolong oleh Ikal dan Vanya menjaga Vino seharian. Waktu itu sahabat Vanya di Semarang menikah sehingga ia harus menempuh perjalanan ke sana, sementara itu Ikal tidak bisa meninggalkan kantor karena sedang ada proyek besar yang tidak bisa ia tinggalkan. Vanya langsung meminta bantuan Dica untuk menjaga Vino.
"Ca, lo hari ini gak ke mana-mana kan? Libur kan kuliahnya? Ini hari Sabtu kan? Tolong jagain Vino dong, ajakin ke mana gitu. Plisss. Gue gak bisa bawa dia ke Semarang, kasian nanti pasti capek, soalnya gue ke sana naik mobil sama temen-temen gue yang lain."
"Iya, Van, gue jagain." jawab Dica kalem. "Lo sampe kapan di Semarang?"
"Besok sore juga udah langsung balik lagi gue."
"Ok."
"Ikal kayaknya bakal pulang tengah malem deh. Gak apa-apa kan?"
"Gak apa-apa, Van. Nanti Vino tidur di kosan gue aja."
"Ca?"
"Apa?"
"Gue minta tolong cowok lo juga deh ya, si Asem, biar jagainnya berdua."
Jadilah dua jam setelah itu, Acid dan Dica ada di Seaworld bersama Vino. Seaworld tentu saja adalah ide Dica.
"Vino belum pernah ke Seaworld kata Vanya, jadi gak apa-apa kan ke sini?" katanya setelah mereka membeli tiket masuk untuk bertiga.
"Iya gak apa-apa," Acid nyengir, "Aku ngerti kalo ini juga sekalian kamu pengen ke sini, mau liat ikan kan?"
"Nggak." kilah Dica, tapi Acid kenal baik pacarnya.
Selanjutnya mereka berdua sudah sibuk menunjuk akuarium demi akurium, menunjukkannya pada Vino.
"Keliatan gak, Vin? Nggak ya? Sini Bang Junot gendong!"
"Apa sih, Cid? Kok Junot.." Dica tertawa.
"Ya kan dia Vino G. Bastian, aku Herjunot Alinya." Acid menjunjung Vino seperti menjadikan Vino pesawat-pesawatan, membuat Vino tertawa-tawa lucu, Dica jadi ikut tertawa.
"Mau liat apa, Bos Vino??? Kura-kura? Tuh kura-kura tuh." Acid menggendong Vino di lengannya dan mendekat ke kaca akuarium kura-kura.
Dica ikut mendekat, tidak bisa menahan senyumnya melihat Vino terpukau melihat kura-kura.
"Ada pari lewat, Dek!!! Liat tuh! Tuh!" Acid dengan sangat antusias menunjuk-nunjuk saat mereka memasuki terowongan, bahkan dia lebih bersemangat dari Vinonya.
"Ca, mau aku fotoin gak?" Acid menoleh pada Dica tapi perempuan itu tidak menjawab, terlalu berkonsentrasi memperhatikan hewan-hewan laut yang berenang seperti melayang di atasnya. Acid menahan senyum, ekspresi Dica setiap melihat ikan selalu precious seperti itu, membuatnya ingin mengabadikannya dalam foto supaya ia bisa memandanginya lagi setiap saat.
Dica sebegitu sayangnya pada ikan dan makhluk laut lainnya, dia sering berkata pada Acid kalau ia suka ikan, ia suka pergi ke akuarium tapi setiap itu juga ia sedih memikirkan nasib hewan-hewan itu yang seharusnya berada di laut lepas, bukannya di akuarium. Setiap itu pula Acid menenangkan Dica dengan berkata kalau di akuarium pun mereka dirawat dengan baik jadi dia tidak perlu khawatir.
Tadi juga ketika mereka melihat bintang-bintang laut, Dica mengajarkan Vino untuk tidak menyentuh mereka. Katanya ia teringat di film Finding Dory, bintang-bintang laut yang bisa bicara mengutarakan ketidaksukaan mereka setiap tangan-tangan manusia menyentuh mereka. Apalagi kalau tangan manusia itu kotor. "Kasian kan bintang lautnyaa." kata Dica pada Vino sambil memperhatikan bintang laut di antara batuan kolam.
Setelah mengajak Vino melihat ubur-ubur—dengan Acid tidak lupa meniru tarian ubur-ubur dan meminta Dica merekamnya—berhenti lama di depan akuarium tabung berisi kuda laut, disertai trivia yang dilontarkan Acid, "Kuda laut tuh yang hamil sama yang ngelahirinnya yang laki ya, Ca? Duh coba aku juga kuda laut, biar kamu ntar gak sakit ngelahirin—ADAAAAW." Dica menghadiahinya cubitan.
"Kamu capek pasti, sini gantian gendong." ujar Dica ketika mereka berdiri di depan akuarium hiu yang besar dan menyorotkan sinar biru temaram ke wajah mereka.
"Nggak. Gak capek kok." sahut Acid, kali ini mendudukkan Vino di bahunya, kedua tangannya mengangkat-angkat tangan mungil Vino seperti sedang mengendalikan boneka.
Lucu.
"Vin!!! Tuh Hiu martil!!! Kok mirip temen Bang Acid ya. Bang Wawan HAHAHAHHAHA."
Dica tersenyum simpul, ia sedikit melangkah mundur untuk memotret Acid yang sedang menggendong Vino dengan kameranya. Hasilnya seperti siluet karena memang mereka menghadap cahaya terang akuarium sementara di sekelilingnya gelap. Tapi bagus sekali, Dica menyukainya. Sejenak jantungnya berdebar agak keras membayangkan di masa depan ia dan Acid mungkin akan kembali lagi ke Seaworld, bertiga dengan....
"Ca, kayaknya aku ngerti deh kenapa kalo di komik-komik Jepang romantis, cowok sama ceweknya pacarannya ke akuarium." gumaman Acid memecah lamunan Dica, membuat gadis itu langsung tersadar, ia mendeham salah tingkah.
"Emangnya kamu baca komik romantis?"
"Nggak, tapi kamu kan pernah cerita, banyak yang tokohnya tuh ngedatenya ke akuarium."
"Oh... Kenapa emang menurut kamu?"
"Soalnya sekeliling warnanya biru, tenang gitu, jadi mendorong tindakan-tindakan romantis."
"Masa sih," Dica tersenyum mendengar teori Acid.
"Iya," Acid menoleh menatap Dica tiba-tiba, masih sambil memegangi tangan Vino di gendongannya. "Buktinya sekarang aku pengen nyium kamu, biar gak cuma ikan-ikan yang kita tontonin tapi ikan-ikan juga nontonin kita."
Dica terbatuk, kenapa sih pacarnya ini sefrontal ini?
"Apa sih Rasyiiiiid." katanya sambil mengalihkan pandangan pada sirip ikan hiu yang mendekat ke kaca tebal akuarium. Dia tiba-tiba teringat salah satu cerita komik yang pernah ia baca, tokoh perempuan dan laki-lakinya juga berkencan di akuarium dan di depan akuarium besar ikan pari, mereka..... Pipi Dica perlahan memerah.
"Hehe."
"Kamu tuh gak pernah keabisan gombalan ya?" Dica berkata, masih sambil memperhatikan ikan-ikan hiu, "Kata temenku kamu kayak Dilan."
"Emang Dilan suka ngegombal?"
"Nggak tau sih, aku gak selesai baca Dilan."
"Gak suka ya kamu?"
"Ya... tapi bukan berarti gak bagus ya. Karya kan gak bisa dinilai bagus jelek dari satu preferensi aja. Aku gak suka bukan berarti itu jelek, simply cuma masalah selera."
"Iyalah kamu gak suka Dilan, kan kamu sukanya Rasyid."
Dica melirik Acid, menahan diri untuk tidak mencubiti lelaki itu karena bisa membahayakan Vino di gendongannya.
"Tapi bener kan Ca? Mending aku daripada Dilan?"
"Hmmmm."
"Iya berarti."
"Aku gak bilang apa-apa."
"'Hmm' kamu aja udah jawaban." Acid nyengir.
Sejenak hening, Vino menunjuk-nunjuk ikan hiu yang mendekat ke kaca lagi. sehingga Acid melangkah lebih dekat ke akuarium.
"Tapi itu cara aku sayang kamu, mungkin kata orang gombalan doang tapi buat aku gak masalah kalo gombalannya sungguh-sungguh."
"Gombalan yang sungguh-sungguh tuh kayak gimana, Rasyid?" Dica ingin sekali mengacak rambut Acid waktu itu.
"Gombalan yang gak kosong, gak cuma omongan doang, tapi dibuktiin juga pake tindakan. Kata orang, love is not about how much you say 'I love you', but how much you can prove that its true." Acid menoleh lagi pada Dica, memamerkan senyum kotaknya. "Jadi selama gombalan itu bisa aku buktiin, gak apa-apa dong?"
"Iya, iya." Dica tidak sanggup memperhatikan senyuman itu lama-lama, dia tidak ingin lumer di sini.
"Lagian gak ada salahnya pake kata-kata manis buat perempuan manis."
Mulai lagi dia.
Memang beginilah Rasyid Ananta.
Kalau perempuan lain mungkin akan bereaksi macam-macam mulai dari lututnya lemas, atau mendengus, atau malah merinding. Tapi Dica, saking seringnya mendengar perkataan sejenis, hanya menghela napas, walaupun sebenarnya dia juga deg-degan. Karena dia tahu, ucapan Rasyid benar, yang ia katakan bukanlah rayuan kosong.
Setelah bersusah payah mengenyahkan berbagai bayangan di benaknya yang sudah kemana-mana—akibat terlalu banyak membaca shoujo manga—Dica mengajak Acid pulang.
"Vino juga kayaknya udah capek. Kamu coba telepon Ikal deh, dia kira-kira pulang kantor jam berapa. Kalo misalnya malem banget, Vino nginep di aku aja."
"Aku nginep juga gak?"
"...."
"Becandaaaaaaa." Acid mencubit pipi Dica sambil melangkah mendahului gadis itu ke pintu keluar.
Sebelum Dica sempat berkata lagi, Acid sudah melompat-lompat di toko souvenir yang mereka lewati sebelum benar-benar keluar area Seaworld.
"Vino!! Mau beli apa?? Bang Junot beliin!! Boneka anjing laut aja!!"
Beberapa menit kemudian mereka berjalan keluar Seaworld bertiga, dengan Vino di tengah-tengah menggenggam sebelah tangan mereka masing-masing, dan sebelah tangan Dica yang lain mengempit dua boneka anjing laut.
*
Dica berlari kecil keluar supermarket menuju tempat mobil Acid diparkir. Tadi di tengah perjalanan pulang ke rumah Ikal, Acid menepikan mobilnya dulu ke supermarket, menuruti perkataan Dica yang bersikukuh mereka harus mampir.
"Kamu ngantuk, kita harus beli permen sama cemilan lain. Mau aku beliin kopi juga?" Dica sudah seperti istri siaga.
Acid hanya mesem-mesem karena Dica mengkhawatirkannya.
"Ya udah beliin kopi kaleng deh."
Ketika Dica membuka pintu mobil dan masuk, ia tertegun melihat kepala Acid terkulai miring ke dekat joknya. Dia ketiduran....
Rasyid.. Rasyid.. pintunya tadi gak kamu kunci pula. Coba yang masuk bukan aku. Dica menggeleng-geleng, ia mengarahkan pandangannya pada Vino yang juga tertidur di carseat khususnya di belakang, sambil memeluk boneka anjing laut yang dibelikan Acid.
Jagoannya tidur dua-duanya. Tapi memang sebaiknya begtu, daripada Acid menyetir sambil ngantuk.
Dica lalu mengatur suhu ac dan mengecek belanjaannya. Kopi kaleng titipan Acid, freshcare karena ia lupa bawa, biskuit cokelat untuk Vino, chitato keju kesukaan Acid, permen susu kesukaannya. Dica membuka kemasan permen susu itu dan mulai mengunyah satu.
Setelah meletakkan kantong belanjaan itu di atas dashboard, Dica mengecek jam tangannya, sudah pukul sembilan lewat, wajar mengingat perjalanan mereka juga diselingi makan dan terjebak macet. Wajar juga kalau Acid capek.
Dica memperhatikan Acid yang masih tidur dengan posisi terkulai, sebentar lagi mungkin kepalanya akan mendarat di bahu Dica, melewati celah kosong di antara jok pengemudi dan jok sebelahnya. Dica ingin membetulkan posisi Acid karena sepertinya tidak nyaman tertidur miring begitu, tapi ia juga tidak ingin membangunkan Acid.
Pasti Acid benar-benar capek meskipun ia tidak mengeluh sedikitpun. Dia sudah menggendong-gendong Vino, mulai dari menggendong biasa sampai membiarkan tengkuknya diduduki anak itu supaya anak itu bisa melihat ikan lebih jelas. Saat itulah Dica terdiam, matanya menelusuri puncak kepala Acid dengan anak-anak rambutnya yang mencuat, lalu poninya yang panjang dan menusuk mata, menyembunyikan bulu matanya, lalu matanya yang terpejam, dan bibirnya.... Dica menahan napas. Bibir Acid terbuka sedikit, sepertinya salah satu kebiasaan tidurnya. Tidur mangap dikit, mungkin itu istilahnya, tapi itu terlihat menggemaskan di mata Dica. Acid terlihat sangat pure, dan... dan apa ya...
Pikiran Dica mendadak kacau, jantungnya langsung berdetak keras sampai ia cemas suara detaknya terdengar di seisi parkiran ini. Mungkin karena bayangan-bayangannya sejak di Seaworld tadi dan sekelebat ingatan tentang shoujo manga yang ia baca kembali hadir di benaknya.
Lo kebanyakan baca manga. Dica mengutuki dirinya sendiri. Tapi kemudian ia terngiang perkataan Acid di depan akuarium hiu tadi sore.
'Buktinya sekarang aku pengen nyium kamu, biar gak cuma ikan-ikan yang kita tontonin tapi ikan-ikan juga nontonin kita.'
"Gombalan yang gak kosong, gak cuma omongan doang, tapi dibuktiin juga pake tindakan. Kata orang, love is not about how much you say 'I love you', but how much you can prove that its true."
Bukan salah Dica sepenuhnya jika detik berikutnya, didorong perasaan magis yang entah dari mana asalnya, Dica memajukan badannya perlahan, tangannya terasa dingin karena ini adalah pertama kalinya dia terpikir untuk benar-benar melakukannya.
Dica menahan napas sedetik, menatap wajah tertidur Acid dari dekat, ia suka semuanya pada diri Acid yang saat itu hanya berjarak beberapa inci dari wajahnya. Tiga titik di pipinya, sudut bibirnya, dagunya, semuanya. Di tengah debaran keras jantungnya yang mungkin kedengaran seperti parade, Dica memejamkan mata dan pelan-pelan menyentuh bibir Acid yang terbuka sedikit itu dengan bibirnya.
Hanya lima detik. Lima detik di mana Dica menyampaikan perasaannya. Lima detik yang manis. Mungkin karena permen susu yang baru dimakan Dica masih menyisakan rasa dan menyatu dengan rasa mint dari bibir Acid.
Hanya sepersekian detik setelah Dica menyudahi kecupan singkat itu, Acid perlahan membuka matanya, menatap Dica dengan intens, membuat Dica merasa jantungnya sudah bukan berparade lagi, tapi sudah melambung menuju bulan. Dia bahkan tidak tahu semerah apa wajahnya sekarang.
"Kamu....dari tadi gak tid—"
Dica tidak sempat menyelesaikan kalimatnya karena Acid bangun dan mengulurkan tangannya, menyentuh lembut tengkuk Dica, membuat wajah Dica kembali mendekat ke wajah Acid, sangat dekat, sampai rasanya bulu mata mereka berdua saling bergesekan ketika mereka mengerjap bersamaan. Dica menggigit bibirnya gugup sementara lelaki di depannya tersenyum. Rasyid tersenyum.
Tersenyum lembut sebelum tangannya berpindah dari tengkuk Dica ke helaian rambutnya, menyelipkan helaian rambut itu ke belakang telinga seperti yang sering ia lakukan lalu mengusap pipi Dica dengan ibu jarinya sebelum memejamkan mata dan mencium bibir Dica. Mata Dica ikut terpejam ketika bibir mint itu kembali menemui bibirnya. Bukan lagi kecupan singkat, tapi ciuman yang membuat tangan Dica semakin dingin karena gugup.
Ciuman yang terasa sangat wajar, seakan berkata bahwa mereka berdua sudah seharusnya saling menemukan. Ciuman yang merangkum perasaan mereka berdua, yang mewakilkan semua aksara di kepala mereka saat itu, yang menyuarakan betapa mereka saling menyayangi satu sama lain. Ciuman yang membuat Acid paham makna surat Alex Turner untuk Alexa Chung. Ciuman yang jika diceritakan dari sudut pandang langit, akan membuat orang-orang seketika ingin jatuh cinta. Ciuman yang seperti melibatkan seisi semesta yang berputar di kepala mereka. Atau mungkin sebenarnya ia tengah mencium semestanya.
Di komik, di novel, atau di film ciuman digambarkan sangat indah, mungkin bisa terdengar ada dawai harpa di telinga, atau kelopak bunga mawar berjatuhan di sekitar, kembang api meluncur bersahutan di langit. Tapi Dica kini merasakannya sendiri, merasakan berbagai sensasi sendiri. Tidak ada dawai harpa, apalagi kelopak bunga, ataupun kembang api, yang ada hanya ia dan Acid berdua, dengan debaran jantung mereka masing-masing, dan perasaan mereka masing-masing. Dengan sinar lampu berkeretap di kaca mobil yang berembun, seakan ingin ikut mengembunkan momen itu.
Dica tidak ingat berapa lama Acid menciumnya, yang pasti ketika ia memberanikan diri meletakkan tangannya di bahu Acid dan mengusap pelan bahu lelaki itu, Acid akhirnya melepaskan bibirnya perlahan. Meski dari tatapannya, ia terlihat masih belum rela menyudahinya, belum rela menjauhkan bibirnya dari bibir Dica yang manis. Seperti permen.
Napas Dica tidak beraturan ketika mereka saling menatap lagi, masih dalam jarak dekat. Suhu di dalam mobil tiba-tiba terasa terlalu hangat, dengan suara dengkuran Vino di kursi belakang melatari mereka.
Sudut bibir Acid membentuk ujung persegi sebelum ia cengengesan salah tingkah dan memajukan badannya seperti memeluk setir. Benar-benar terlihat salah tingkah. Bahkan di tengah sinar yang hanya berasal dari lampu di luar, Dica bisa melihat ujung telinga Acid merah padam.
Tidak pernah terbayang di benak Dica kalau ia bisa melihat Acid se-blushing ini selain waktu ia membawa si Kemiri pertama kali ke kosan dan menyatakan perasaannya. Dica kira Acid sudah terbiasa dengan hal-hal semacam ini, apalagi mengingat mantan-mantannya dulu. Tapi saat itu Acid terlihat sama groginya seperti Dica.
Menggemaskan. Sama menggemaskannya seperti tadi saat ia tidur dengan mulut agak terbuka.
Dica menaruh kedua telapak tangannya di pipi, mencoba mengecek suhu tubuhnya sendiri seraya kembali menatap ke depan, tidak berani menatap Acid, apalagi ketika Acid memiringkan kepalanya, menatapnya intens.
"You're as excited as I am." katanya, sesuatu dalam suaranya membuat Dica gugup lagi.
"Tau dari mana."
"Pupil kamu. Your pupil dilates."
Dica terdiam, dalam hatinya sudah tidak karuan.
"Mine too probably, but I guess you don't notice it since you keep avoiding my gaze." Acid tersenyum kotak.
"Kamu tadi gak beneran tidur ya." Dica masih kelihatan mengatur napas.
"Tidur kok, tapi kebangun pas kamu buka pintu."
"Ih, abis itu kenapa pura-pura tidur?"
"Biar kamu cium."
Dica menepuk-nepuk pipinya sendiri, malu.
"Ca,"
"Apaaaa." Dica masih menatap ke mana-mana selain ke mata Acid.
"Aku gak keberatan dibangunin kayak gitu terus tiap pagi sama kamu. Nanti gitu ya. Nantiii... kalo kita udah satu rumah dan satu tangga. Rumah tangga. Hehehehe."
Dica menutup wajahnya dengan kedua tangan, tapi Acid tahu perempuannya itu sedang tersenyum.
Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan, dengan alunan lagu dari music player.
Your kisses, it could put creases in the rain.
Acid tidak bisa menahan sudut-sudut bibirnya tertarik ke atas sepanjang jalan. Ia bahkan sudah tidak membutuhkan kopi kaleng lagi untuk membuat matanya tetap terbuka, seperti halnya Dica tidak membutuhkan permen susu lagi saat itu.
That kiss
In a parking lot
It took my breath away
I think I died that day.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top