February - May

Dica

Besok adalah 14 Februari tanpa vespa biru dongker, tanpa tumpukan komik di toko buku bekas, tanpa pasar ikan hias, tanpa ikan kecil yang berenang-renang di dalam plastik yang kubawa pulang. Mungkin besok aku akan menghabiskan waktu dengan menaiki kereta, transit di stasiun demi stasiun, merayakan hari ulang tahunku di tempat paling ramai sekaligus paling sepi di kota ini, atau mungkin aku hanya akan berdiam di kamar sepanjang hari, mendengarkan lagu, menulis, mengerjakan tugas, atau menonton film Makoto Shinkai. Film dan gambar buatannya mungkin depresif tapi itu justru memberiku kenyamanan karena begitu banyak realitas dan kejujuran yang disampaikan lewat gambar maupun dialognya.

Mungkin mendengar kalimat 'A faint clap of thunder, cloudes skies, perhaps rain comes, will you stay here with me?' atau 'I'm sure that even if we had written 1.000 text messages back and forth, our hearts probably wouldn't have moved even 1 centimeter closer.' pada hari ulang tahun adalah keputusan yang tepat untuk menamparku bolak-balik seperti yang semestinya dilakukan realita.

Saat aku sedang memikirkan alternatif kegiatan selanjutnya, mataku terarah pada punggung seseorang yang kukenal di ambang pintu gedung kampus. Orang itu menunduk seperti sedang mengamati ujung sepatunya sambil mengempit buku sketsa di antara lengan dan pinggangnya.

Irham.


Padahal baru beberapa menit yang lalu kami berada di satu kelas yang sama, apa dia sedang menungguku yang menyempatkan diri ke toilet sebelum pulang? Sejak project bersama kami yang sudah hampir rampung, Irham jadi sering menungguku untuk sekadar pulang atau makan bersama. Saking seringnya ia melakukan riset di berbagai tempat, ia jadi mengetahui banyak tempat makan atau tempat menarik lainnya, ramen terenak sampai es krim terenak pun ia tahu.

Tinggal selangkah lagi sampai aku tiba di sampingnya ketika ia menoleh, seperti biasa, tidak ada senyum di wajahnya tapi tatapannya sudah tidak sedingin dulu.

"Besok," ujarnya tanpa menyapa sebelumnya, kalimatnya menggantung.

"Kenapa besok?"

"Besok lo ada acara ke mana?"

Aku tertegun, sampai semenit yang lalu aku masih memikirkan apa yang akan aku lakukan besok.

"Besok... gue juga belum tau."

"Pergi sama gue."

"Hah?" Aku mengerutkan kening.

Irham memejamkan matanya sedetik, seperti sedang mengutuki dirinya sendiri.

"Sorry, gue bukannya maksa tapi... gue mau... apa sih... ngajak. Gue mau ngajak."

Aku menahan senyum melihat kebingungan Irham.

"Ke stasiun mana lagi? Kan udah mau selesai tugas proyek kita, Ham."

Irham kelihatan bingung lagi, sikap kakunya seperti mencair, yang kulihat adalah Irham yang seperti anak kecil ditanya oleh gurunya tentang materi pelajaran yang tidak ia pahami.

"Bukan ke stasiun."

"Ke mana?"

"Ke kebun binatang." Volumenya mengecil sampai aku harus mencondongkan sedikit kepalaku untuk mendengarnya.

"Ke mana?"

"Ke Kebun Binatang Ueno." Ulang Irham setelah menarik napas dalam-dalam.

"Lo mau riset? Ada scene komik lo yang latarnya di kebun binatang?"

Irham menatapku lurus-lurus, seperti ingin mengatakan sesuatu tapi ia memejamkan matanya lagi seperti meminta kekuatan dari langit. Ada apa sih dengan Irham hari ini? Aku menahan senyum lagi.

"Ya udah, anggap aja gitu. Temenin gue ya."

Kebun binatang.. Aku menatap seserpih asa di bola mata Irham. Karena sepertinya kalau aku tidak kunjung mengiyakan akan muncul keringat sebesar biji jagung di dahinya, aku mengangguk. "Ya udah, boleh. Gue juga belum pernah ke kebun binatang sejak di sini."

Harapan di mata Irham tergantikan oleh kelegaan luar biasa. "Ok, besok jam sepuluh."

"Besok jam sepuluh," Aku mengangguk, "berangkat sendiri-sendiri atau—"

"Gue tunggu di depan dorm." potong Irham.

Mataku melebar karena setelah mengatakannya Irham melangkah cepat meninggalkanku.

Ajakan yang aneh dan sekilas terdengar seperti diktator.

Atau mungkin seperti pesan telegram zaman dulu.

Besok. Kebun binatang. Jam sepuluh.

*

Aku mungkin tidak melewatkan 14 Februari dengan ikan-ikan tapi di depanku kini ada seekor panda dan itu sama-sama menerbitkan senyum di wajah.

"Mau ke tempat polar bear gak abis ini?" Tanya Irham yang menghampiriku setelah memotret dari sisi lainnya. Seperti yang biasa ia lakukan saat riset, kalau tidak memotret, ia akan membiarkan kameranya yang ia kalungkan di leher, lalu mengeluarkan buku sketsa dan pensil dari ranselnya. Tapi hari ini alat perangnya itu masih tersimpan di ransel, mungkin karena sejak pertama kali kami datang kami belum sempat duduk-duduk. Kami langsung mengunjungi kandang demi kandang mengingat kebun binatang ini tutup pukul lima sore dan hujan yang turun siang tadi membuat kami baru bisa masuk dan berkeliling pukul setengah dua. Waktu kami tidak begitu banyak.

"Boleh." Aku memasukkan kedua tanganku kembali ke dalam saku jaket lalu mengikuti Irham ke kandang polar bear.

"Nih, Ham, dibaca buat referensi." Aku menuding papan di sudut kandang kaca polar bear yang berisi penjelasan tentang hewan itu dalam aksara kanji. "Ada gambar cara polar bear tidur bareng anak-anaknya, mungkin bisa dimasukin ke scene komik lo."

Irham menurunkan lensa kamera dari matanya untuk menatapku, "Kayak gimana misalnya?"

"Ya... misalnya di scene komik lo, tokoh utama cewek sama tokoh utama cowoknya lagi berdiri di depan kandang polar bear terus ceweknya bilang, 'Lucu ya bayi beruang kutub bakal di sarang terus selama lima bulan terus tidurnya ndusel gini.'"

"Yang mau bilang gitu lo apa tokoh utama komik gue?" Sekilas aku seperti melihat senyuman Irham sebelum lelaki itu kembali membidikkan lensa kamera pada beruang putih di balik kaca tebal.

Sepanjang petualanganku dengan Irham di kebun binatang, aku merasa Irham tidak sependiam biasanya. Pada hari-hari riset stasiun, aku sudah biasa dengan kehematannya dalam bicara, dia lebih banyak memotret dan menggambar. Hanya bicara saat kami berdiskusi sedikit tentang alur cerita dalam proyek kami, atau saat ia memberiku makanan atau minuman. Oh ya, selain peralatan menggambarnya, di dalam ransel Irham juga hampir selalu ada makanan. Katanya ia tidak bisa benar-benar berpikir kalau lapar. Ranselnya sudah seperti warung berjalan, satu hari ia menawariku cokelat, hari berikutnya ia menawariku permen. Berbanding terbalik dengan semua gula-gula yang ada di dalam ranselnya, wajahnya selalu datar. Namun tidak hari ini.

Hari ini dia sepertinya sedang senang karena berkali-kali aku melihat sekelebat senyuman di wajahnya saat memotret ataupun saat memperhatikan tingkah binatang. Ia juga tertawa waktu tadi kami mengunjungi kandang gajah dan hanya berhasil melihat belalainya saja, sepertinya gajah itu malas keluar rumah menyambut cuaca setelah hujan.

Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore waktu kami berdua tiba di depan kandang flamingo. Aku mencondongkan badan di pagar yang memisahkan kami dengan burung-burung cantik berwarna merah muda itu. Irham di sebelahku memotret beberapa kali sebelum mengikutiku menyandarkan tubuh ke pagar. Memandangi gerakan halus kawanan flamingo di depan kami santai.

Berbeda dengan kunjungan kami ke kandang-kandang sebelumnya, kali ini kami tidak terburu-buru karena ini adalah kandang terakhir sebelum pulang. Langit yang menaungi kota masih mendung, jalanan masih basah dengan beberapa sisa genangan air. Sore yang kelabu untuk hari pertama Februari.

Irham mengabaikan kameranya lalu menarik ranselnya ke depan, di luar dugaan, dia tidak mengeluarkan makanan manis tapi mengeluarkan segulung kertas dan sebuah stoples kaca kecil yang berisi banyak kertas warna-warni.

Keningku berkerut ketika dia menyodorkan kedua benda itu padaku.

"Kado." Ujarnya singkat, masih tanpa ekspresi.

Mataku melebar karena ternyata ia tahu hari ini hari ulang tahunku, seingatku, aku tidak pernah memberitahunya.

Aku menerimanya dengan alis bertaut, "Ini apa?"

"Buka aja." Ujarnya datar tanpa melihatku, warna merah muda dari burung-burung flamingo di depan kami terpantul di bola matanya.

Masih dengan alis yang bertaut, aku membuka perlahan gulungan kertas itu.

"Sketsa stasiun?"

"Perhatiin pusat gambarnya." Cetus Irham, masih tanpa memandangku.

Aku semakin keheranan tapi kemudian mataku tertuju pada sosok yang digambar di tengah orang-orang yang berhamburan keluar dari gerbong kereta menuju ke satu arah. Sosok itu seperti memiliki dunianya sendiri, ada ikan-ikan yang berenang berputar di atas kepalanya, ikan-ikan yang lazimnya tidak ada di stasiun kereta. Mengingatkanku pada video klip Up & Up Coldplay.

Perlahan aku menyadari kalau sosok perempuan itu adalah aku.

"Itu bukan bagian dari proyek. Itu kado buat lo."

Aku terdiam, di tengah semua gambar stasiun yang dibuat Irham untuk proyek kami, dia masih sempat menggambar khusus untukku. Aku teringat gambarnya yang lain yang ia berikan waktu aku sakit, gambarku di depan akuarium besar. Seberapa sering sebenarnya Irham menggambar orang-orang yang ia kenal termasuk aku?

Seakan menjawab pertanyaanku, Irham berkata lagi, "Sebenernya masih ada gambar-gambar lain buat lo tapi nanti aja gue kasihnya pas graduation kita di sini."

"Bulan Mei ntar?"

"Iya.."

"Kenapa harus nunggu graduation?" tanyaku penasaran.

Alih-alih menjawab, Irham melirik stoples yang kugenggam di tangan satunya, "Kalo yang di stoples itu isinya pertanyaan-pertanyaan, semacem bottle of questions."

Aku langsung tertarik mendengarnya.

"Pertanyaan-pertanyaan apa?"

"Pertanyaan apa aja. Itu sebagian kertasnya udah gue isi pertanyaan-pertanyaan umum kayak kenapa langit warnanya biru atau kenapa kita perlu belajar segmentasi manga."

Aku tertawa, "Itu sih pertanyaan lo."

"Iya," Irham memandangi flamingo lagi, kali ini air mukanya seperti sedang mengenang. "Sebenernya dari kecil gue udah punya stoples kayak gitu. Waktu kecil, gue sadar kalo sumber dari kesedihan gue adalah pertanyaan-pertanyaan yang gak bisa dijawab,"

Aku terdiam, ini adalah pertama kalinya Irham bicara tentang dirinya. Maksudku, topik yang intinya benar-benar dia. Meski ganjil, aku tetap mendengarkan.

"Beda sama anak kecil lain yang pertanyaan-pertanyaannya bisa dijawab sama orang tuanya atau sama orang dewasa lainnya, gue gak punya orang yang bisa ngasih gue jawaban. Gak ada yang menjawab pertanyaan gue dari mulai yang remeh temeh sampe penting, kayak.. apakah growing up selalu sesedih ini, apakah gue bisa ngelewatin itu semua sendiri, apakah gue bisa punya temen kayak anak-anak lain, apa yang harus gue lakukan biar punya temen, apa gue harus bagi-bagi makanan setiap hari supaya punya temen dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.

"Gak ada yang jawab pertanyaan-pertanyaan dan rasa penasaran gue, jadi gue terbiasa nulisin semua pertanyaan itu di kertas terus gue masukin di satu tempat, kalo waktu kecil dulu, gue pake botol minum. Dari kecil gue belajar kalo waktu yang bakal menjawab pertanyaan gue di botol, bukan orang, tapi waktu. Pas gue udah tau jawabannya gue bakal nulis jawaban itu terus gue masukin lagi, jadi pertanyaannya ditemenin sama jawaban.

"Tapi gue tau ada juga pertanyaan yang gak ada jawabannya," perlahan sinar mata Irham meredup, "tentang kenapa nyokap cuma bawa kakak gue pergi dari rumah, kenapa dia ninggalin gue. Kertas pertanyaan itu sampe sekarang masih ada di bottle of questions gue, gak ada pasangan jawabannya."

"Ham..."

"Sorry, gue kebanyakan ngomong."

Aku menatapnya simpati.

"Dis, lo mungkin juga butuh itu. Kebanyakan kesedihan manusia berasal dari pertanyaan-pertanyaan yang gak ada jawabannya, tapi hidup kan sebenernya terdiri dari banyak pertanyaan dan keraguan, seiring berjalannya waktu kita bakal nemuin jawaban dan penerimaan. Lo bisa tulis pertanyaan lo dan liat beberapa tahun lagi mungkin lo bakal lega karena akhirnya lo tau jawabannya."

Irham hari ini Irham yang tiba-tiba lupa pada kecenderungannya hemat bicara, Irham yang membagi sedikit hidupnya—yang mungkin menjadi alasan mengapa ia jadi pribadi yang dingin—Irham yang memberiku kado ulang tahun.

Aku tersenyum, "Iya, makasih, Ham."

Untuk beberapa saat hanya suara keramaian pengunjung kebun binatang yang melatari kami berdua. Aku juga tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Jadi aku hanya memutar-mutar stoples kaca kecil di tanganku sambil melamun.

"Lo masih punya pertanyaan yang belum juga ketemu jawabannya selain yang tadi?" tanyaku pelan.

"Punya, udah lama gue masukin dan sampe sekarang gue gak tau jawabannya."

"Apa?"

"Kenapa langit keliatan lebih deket pas gue masih kecil, sekarang pas udah gede, seharusnya gue bisa lebih menjangkau langit, tapi nggak. When I was a little, the sky was closer."

Aku tersentak, "Itu kan kata-katanya..."

"Makoto Shinkai. Lo tau juga?"

Lagi-lagi. Sama seperti pembicaraan tentang stasiun, kali ini Irham mengejutkanku kembali, menunjukkan betapa dekatnya kami dalam satu frekuensi yang sama, bahkan aku baru melamunkan Makoto Shinkai kemarin.

Kulihat ujung bibir Irham sedikit tertarik.

Aku ingin bilang pada Irham bahwa ia dan hadiah stoples pertanyaan ini mengingatkanku pada kata-kata Takaki Toono dalam 5 cm per second karya Makoto Shinkai:

'It must really be a lonelier journey than anyone could imagine. Cutting through absolute darkness, encountering nothing but the occasional hydrogen atom. Flying blindly into the abyss, believing therein lie the answers to the mysteries of the universe.'

Bagaimana kalimat itu terdengar sangat Irham. Tapi aku tidak bisa mengatakannya karena mendadak aku teringat kado yang lain.

'Surat buat Adisa.'

'Aku sengaja ngajak kamu ke toko komik bekas terus ke pasar ikan hias, karena aku tau kamu bakal suka. Orang kalo ngasih kado barang doang, bisa aja lupa, tapi kalo ngasih kado ingatan, aku jamin gak bakal lupa, dan itu yang pengen aku kasih buat kamu.'

Aku merasakan denyut perih di dadaku saat suara seseorang yang akrab itu bergaung di benakku. Betapa waktu satu tahun tidak begitu saja memunahkan kenangan malam itu, malam tanggal 1 Februari di depan pagar kos-ku, saat aku baru turun dari vespa biru dongker miliknya sambil memegangi plastik kecil berisi ikan hias.

Bohong kalau aku bilang aku tidak memikirkan dia seharian ini. Setiap menatap tingkah hewan di kandang, aku membayangkan dia akan antusias menyapa semua hewan yang ia temui lalu menjadi dubber hewan seperti Komeng di acara Spontan. Apalagi sewaktu di kandang monyet, rasanya bisa terdengar ia pura-pura menyuarakan isi hati binatang itu sambil mengubah suaranya ala dubber.

Terputar kembali malam 1 Februari setahun lalu.

'Yts apa, Cid?'

'Yts tuh Yang TerSayang.'

Aku merasakan mataku panas, masih sambil menatap stoples di tanganku.

"Ham,"

Irham menoleh sementara aku menunduk.

"Bener kata lo, hidup itu pertanyaan-pertanyaan. Sebenernya kita semua sama-sama gak tau, sama-sama bertanya-tanya, tapi terus kita belajar, kita tau jawabannya walaupun ada juga pertanyaan yang bukan buat dijawab," aku menarik napas sekaligus menahan air mata yang siap jatuh, "tapi beruntungnya orang-orang yang bisa membagi ketidaktahuan maupun jawaban-jawaban dalam hidup mereka sama seseorang. Seseorang yang bener-bener memahami 'bahasa'nya."

Aku bisa merasakan tatapan Irham semakin lekat.

"Because the best thing to hold onto in life is each other." Aku berhasil menahan airmataku menetes tepat setelah mengatakannya. "Meskipun kita sama-sama bingung gak tau jawaban, tapi semuanya bakal baik-baik aja selama kita sama-sama. Kira-kira kayak gitu."

"Lo bisa bagi semua pertanyaan dan jawaban itu sama gue." Ujar Irham. Mataku mengerjap saat balas menatapnya. Aku sudah biasa melihat Irham serius dan tanpa tawa tapi keseriusan dalam sorot matanya saat mengatakan hal tadi membuatku mendadak gugup. Seketika potongan akhir surat seseorang muncul di kepalaku.

Doaku, semoga Februari-Februari berikutnya kita masih sama-sama.

Selamat bulan Februari!

Dari Yts-mu,

Rasyid.

Perlahan aku memasukkan kado Irham ke dalam saku jaket yang kukenakan. Jaket denim kebesaran yang sengaja kupakai hari ini. Jaket milik Rasyid.

Sesuatu dalam hatiku seperti teriris.

Banyak pertanyaan yang sering kupikirkan jawabannya secara acak, seperti misalnya di mana anak-anak dandelion akan mendarat setelah tertiup angin, atau apa yang dibicarakan ikan-ikan ketika sama-sama melihat umpan untuk memancing mereka. Hingga pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan perasaan.

Hidup memang penuh dengan pertanyaan dan kecemasan, akan menyenangkan jika kita bisa membagi semua itu dengan orang lain, saling menyelamatkan dalam ketidaktahuan.

Sayangnya seseorang yang bisa kubagi sekaligus menjadi jawaban dari sebagian pertanyaanku kini mungkin sudah menjadi jawaban untuk orang lain.

Burung flamingo yang berjalan dengan kakinya yang kurus melihat ke arahku seolah menyuarakan kutipan kalimat—lagi-lagi dalam film Makoto Shinkai—You seem like you want to go somewhere far away for some reason...'

*

Malam melarut. Satu-satunya pencahayaan di kamar Irham bersumber dari lampu mejanya yang setia menemaninya menggambar sampai malam kian pekat. Pensilnya tidak beristirahat sejak tiga puluh menit yang lalu di atas lembaran kertas sketsa, segera setelah ia pulang dari kebun binatang Ueno bersama Dica.

Meski tangannya menekan pensil dan matanya terpaku pada gambar, pikirannya sedang dipenuhi ingatan saat ia bertemu Rasyid Ananta sebelum ia kembali ke Jepang dari tanah air, setelah membeberkan bukti kasus ayahnya.

"Lo sadar gak kalo lo lagi ngorbanin bokap lo?" tanya Rasyid.

Irham tidak menjawab, tapi matanya yang gelap itu tetap menatap Rasyid tanpa menghindar, meski terik matahari yang menyorot pelataran depan kantor polisi juga menyilaukannya.

Irham tidak berusaha menjelaskan bahwa ia tidak sedang menjerumuskan ayahnya, ia hanya memberikan kebenaran, seolah ini adalah langkah yang telah lama ia tahan dan baru bisa terlaksanakan sekarang. Seakan dengan melakukan ini, sebenarnya ia bukan hanya memisahkan Adisa dengan Rasyid tapi juga sedang membebaskan dirinya sendiri, sebaliknya ia berkata,

"Pilihannya cuma dua, lo yang ngorbanin bokap lo, atau gue yang ngorbanin bokap gue. Gue tau lo gak bakal melakukan pilihan yang pertama, jadi pada akhirnya gue yang bakal jadi pihak jahat di sini."

Ketajaman dalam sorot mata Rasyid mulai menjelma seperti sebilah pisau, "Apa sih maksud lo?"

Irham mengangkat bahu, tidak ingin memperpanjang dialog yang mungkin akan membuatnya merinding meski ia sudah menyuarakannya sejak tadi dalam hati, ia berbalik pergi.

Setelah beberapa meter ia menoleh melihat Rasyid yang juga berbalik, di luar dugaan, Rasyid juga tidak mengatakan apapun lagi atau menunjukkan perlawanan. Punggungnya terlihat pasrah seperti lawan yang tahu kalau ia telah kalah.

Saat itu yang berseliweran di benak Irham adalah bayangan Rasyid dan Adisa yang ia lihat di Jepang, menaiki sepeda berdua, senyuman di raut wajah Adisa terlihat jauh lebih manis ketika bersama Rasyid. Sebentuk senyum yang mungkin tidak akan bisa Irham ciptakan sekalipun jika ia menggambar ratusan gambar atau mengajak Adisa ke seluruh akuarium di Jepang.

Setelah berbagai macam cara Irham untuk melarikan diri dari realitanya, lalu menemukan menggambar sebagai bentuk bahagianya satu-satunya, di mana dia bisa menggambar kisah-kisah yang lebih menyenangkan dari hidupnya sendiri. Irham membatin, sedikit pedih.

'Biarin gue buat sekali ini aja ngerasain bahagia yang sebenarnya, biarin gue senyum dan nyiptain senyumannya, bukan fiksi dan bukan lewat goresan pensil.'

Gambarnya selesai. Irham meniup permukaan kertas, menyingkirkan ampas penghapus dari gambar yang didominasi warna merah muda lembut itu. Gambar kerumunan flamingo yang ia lihat bersama Adisa tadi sore, namun di tengah-tengah terlihat dua ekor flamingo yang melangkah ke arah berlawanan, kepalanya yang melengkung membentuk hati.

Perlahan tangan Irham memberi sentuhan terakhir di sudut gambarnya.

'14-02, Happy Birthday Adisa.'

*

Acid

Tak tik tak tik. Bunyi jari gue ngadu sama keyboard laptop, bunyi yang akhir-akhir ini lebih sering kedengeran di kamar gue dibanding lagunya Arctic Monkeys. Sama gak asingnya sama pemandangan gue udah duduk menghadap laptop hari Minggu mulai dari jam sepuluhan, pake kacamata yang modelnya mirip kacamata bapak-bapak, dengan setumpuk buku—yang sebagian cuma ditaro buat gegayaan—di samping asbak.

Gue harus ngejar ketinggalan supaya bisa cepet sidang proposal tugas akhir, ngajuin proposal kerja praktek dan bisa lulus tepat waktu taun depan. Makanya gue mulai mengurangi main-main keluar dan menenggelamkan diri sendiri ke dalam teori-teori energi dan teman-temannya.

Tau-tau gue udah mau lulus aja, artinya sebentar lagi gue bakal ninggalin Komet? Sudut mata gue ngelirik dua makhluk setengah manusia setengah singkong yang geletakan di lantai kamar, main game bareng sambil sesekali teriak "Savage!" dari tadi.

Wawan sama Satrio juga bakal pergi dari Komet suatu hari, Rama juga, Jime, Awang juga. Siapa ya dari kita yang bakal duluan? Apakah pas tiba harinya nanti, Jime bakal ngadain serah terima jabatan ke salah satu krucil yang masih bakal ngekos di sini? Gimana suasananya Komet kehilangan punggawa-punggawanya?

Padahal masih agak lama juga tapi gue udah kepikiran dari sekarang. Ini membuktikan betapa melankolinya gue sebenernya. Meski yang keluar dari mulut gue setelah ngeliatin dua orang itu cuma, "Wan, lo diusir Rama lagi? Sekalian ajalah lo pindahan kamar ke sini." terus sok cuek ngetik lagi.

Nada intro yang gue kenal tau-tau kedengeran sampe kamar gue, bikin gue yang tadinya nyandar ke punggung kursi langsung tegak dan noleh ke arah pintu yang kebuka setengah.

"LANG???? ITU LO YA YANG NYETEL???? KECILIN LANG. BERISIK!!!"

Wawan mendengus tanpa ngalihin pandangannya dari layar, "Masih sensi aja lo sama tu lagu, Cid, Cid."

"LAAANG????!!!" Gue mulai kesetanan.

Alih-alih nyaut, Galang malah nongol di celah pintu, cengar-cengir sambil bawa-bawa secangkir kopi yang harumnya bikin cuping hidung Wawan langsung peka.

"Ini lagu Dekat Di Hati versi baru, Bang, dengerin deh."

"Hah?" Gue mengernyit.

"Versi Jepang. Judulnya jadi Kokoro Wa Sugu Soba Ni."

Hening sebelum gue mengumpat dalam hati.

Kunyuk.

Versi Jepang katanya.

Lagu LDR versi Jepang.

Hahaha.

"Wadaw." Cetus Satrio, entah karena dia baru aja triple kill atau sengaja melengkapi kenestapaan gue, di sebelahnya si Wawan nahan ngakak.

"Emangnya Bang Acid baru tau ya? Udah lama tau." Ujar Galang mengaduk kopinya sambil berdiri.

"Gue baru tau!" Sahut gue sewot, mendadak gue sesensi emak-emak disalip bajaj. "Kecilin coba, Lang, berisik. Ganggu konsentrasi gue nih."

"Suuuure, ganggu konsentrasi." Nah yang ini emang udah jelas motif Satrio ngeledek.

"Gak ah. Galang lagi kangen. Bang Acid pake headset aja kalo gak mau denger." Abis bilang gitu, Galang langsung melenggang, bikin gue langsung mangap keki. Makin gede tu anak makin songong. Gue masih panutannya gak sih? Kok gak nurut sama gue? Wah, pertanda gue harus cari anak buah baru.

"Udahlah Cid, cuma lagu, lagian lo emangnya masih dekat di hati? Kan sekarang udah jauh di mata, jauh di hati?" Wawan berkata sambil menyenggol kaki kursi gue pake kakinya.

"Tai." Gue melempar pulpen ke arah dua duyung itu sebelum menggeser laci, mencari headset karena lagu dari speaker Galang di ruang tengah itu volumenya makin kenceng.

Setelah berlalu hampir tiga bulan, gue memang memasuki suatu fase yang gue sebut fase lanjutan dari six degrees of separation, alias degree ketujuh. Saat luka yang tadinya buat diungkap aja berat, sekarang bertransformasi jadi sesuatu yang ringan dan gak segan lagi buat dibecandain. Mungkin ini yang namanya adaptasi waktu. Gue pikir gue gak bakal sampe di fase ini alias gue bakal terus-terusan fucked up, tapi nyatanya sekarang-sekarang gue udah santai diledekin sama temen-temen di Komet. Sekarang semuanya udah tau kalo gue udah putus sama Dica. Awal-awal ya semuanya juga gak ada yang berani bahas, tapi karena pembawaan gue yang semakin ahli menyamarkan perasaan gue yang sebenernya, akhirnya mereka berhasil bikin peristiwa 'putusnya gue' itu jadi biasa.

Gimanapun gue gak mungkin selamanya meratap, jadi bisa dibilang mereka membantu gue lewat cara itu. Membuat move on jadi sesuatu yang gak berasa mustahil. Apalagi si Wawan tuh, kayaknya dia totalitas banget kalo ngeledek gue, mungkin dendam karena dia udah berkali-kali jadi korban pelampiasan gue. Gue keselnya sama si dickhead, eh malah dia yang gue tendang sampe keseleo, terus pernah juga si Wawan lagi gak ngapa-ngapain cuma nguap, ngusap-ngusap perut sambil jalan ke kamar mandi, terus gue gebuk karena tiba-tiba inget si brengsek.

Intinya... its all good now.

Mengutip kata-kata Wawan yang kadang bijaknya musiman, 'Sebelumnya lo pernah lebih sedih dari ini, selanjutnya lo baik-baik aja kan?'

"Si Galang mulai jadi pembangkang nih. Lagunya tambah digedein coba." Gue bersungut-sungut.

"Ya udah sih, namanya juga lagi kangen pacar. Lo kayak gak pernah ngerasain aja, Cid."

"Gue kalo kangen kan gak ganggu ketenangan orang????"

"Wah kagak ngaca ni orang. Heh, lo lupa pas lo LDR kemaren lo tiap malem Minggu karaoke lagu Kangennya Dewa 19?"

"Tau lo, Sambil benerin perkakas kan berisik 'KU TRIMA SURATMU TLAH KUBACA DAN AKU MENGERTIIII.'"

"Tapi Galang awet juga ya LDRan ampe sekarang."

Gue sekuat tenaga tidak merasa tersindir.

"Doi kayaknya bakal ambil HI di Melbourne juga deh."

"Masa, Sat?"

"Iya. Papapnya sih pasti boleh-bolehin aja gak sih?"

"Galang kalo lulus dari HI ntar jadi Bunderan HI gak ya?" Tanya Wawan mulai tolol dan langsung gue samber.

"Nggak, dia langsung lanjut S2 HI, dapet gelarnya HI HI."

"Apa sih, Cid? Jayus lo."

"Tau lo. Kering sih, jadinya garing."

"Lah anjing."

"Cid, lo gak minat nanggepin salah satu dari cewek-cewek yang suka deketin lo gitu?" tanya Wawan, bikin gue mengurungkan niat mengenakan headset.

"Pasti ada kan? Banyak?" Sambung Satrio, "Apa mau gue kenalin sama cewek komunikasi?"

Gue mengendikkan bahu, kembali lanjut mengetik, "Gak ada waktu buat pacaran. Gue sibuk."

"Eh, ngerjain skripsi atau TA tuh ya, harus ada penyemangatnya cuy. Biar pas mumet bisa langsung ngecharge energi." Wawan sok menggurui.

"Emangnya lo ngechargenya gimana, Wan? Kerjaannya berantem mulu ama cewek lo."

"Ya, cara Wawan kan ngecharge energi kan dengan ribut." Satrio tertawa. "Pembangkit Listrik Tenaga Ribut."

"Charge adek, baaang~" Wawan merengek manja. Menggelikan.

"Lo gak usah sok tau, Wan. Gue yang paling paham soal charge-charge ini."

"Terus?? Kenapa sampe sekarang lo gak bergerak juga? Keluarkan dong skill lo. Masa udah melempem sih. Dulunyaaa playboy kabeeel."

"Kabelnya udah angus sekarang HAHAHA." Satrio tertawa lagi. Gue lagi nahan-nahan gak ngelempar semua benda di meja ke mereka berdua.

"Bacot ah. Liat aja ntar kalo gue udah legaan dikit nih, udah kelar sidang proposal, gue mulai beraksi lagi."

"Preeet."

"Udah ada kandidatnya, Cid? Yang mau dipepet?"

Gue diem bentar. Karena emang belom ada.

"Ada kok."

"Ada? Di mana?"

"Didadadididadada~"

"MALAH SHOLAWATAN NISA SABYAN LU." Wawan yang biasanya bikin sewot orang sekarang lebih sewot sama gue. Gue ngakak.

"Sat, lo kan banyak waktu luang tuh. Bikin Didadadididada 10 jam gih, Sat." Gue melirik Satrio.

"Udah bikin gue Hmm Hmm Hmm 10 jam."

"HAHAHA."

Tapi ternyata meskipun udah gue alihkan, pembahasan pasangan masih dipertahankan Wawan.

"Maunya yang kayak gimana, Cid?" Wawan mulai bertingkah kayak agen biro jodoh.

"Yang cantik luar dalem, yang baik," Satrio sengaja mewakili gue menjawab pertanyaan Wawan. "terus yang diajak ngobrolnya nyambung. Biasalah standar selebgram kalo ditanyain tipe cewek. Yoi gak, Cid?"

Wawan mengernyit jelek, "Ya iyalah kalo ngobrol nyambung. Kalo gak nyambung lo ngobrol ama pohon kali?"

"Kan maksudnya..."

"Gak pernah kan lo ngobrol ama cewek, ditanya 'kamu sibuk apa?' terus dijawab 'aku sih pake pantene'."

"Bodo amat, Wan."

"Ok, ok, terus gimana Cid tipe lo? Gue sama si Bang Sat cariin dah."

"Yang rambut panjang ya, Cid?"

"Rambut panjang, nongkrong di pohon beringin gak nih?"

"Yang kalem ya, Cid?"

"Anak sasjep gak nih, Cid?"

"Keparaaaaaat."

"Hah? Yang keparat? Waduh, lo mau sama si Bang Sat dong, Cid? Dia kan keparat iya, brengsek iya."

"Sialan lo, Wan."

Gue beneran masang headset sekarang sementara Satrio sama Wawan gulat di belakang. Mereka tuh hari Minggu gini gak pergi ke mana gitu? Atau nggak, double date ke Dufan kek gitu. Daripada ngerecokin gue.

Pas gue lagi milihin lagu di playlist, hp di sebelah laptop gue geter. Gue ngelirik nama yang tertera di layar.

"Hallo."

"Hallo, Cid. Lagi di mana lo?"

Gue noleh dikit ke dua kutu kasur di belakang gue sebelum jawab, "Di kosan. Napa, Shil?"

Mendengar nama yang keluar dari mulut gue, Satrio sama Wawan berhenti berantem, mereka kompak langsung nguping. Rese banget emang.

"Oh.. ini, gue mau ngajak lo ke LBH. Diundang Mas Bima."

"Ada acara apaan emang di LBH?"

Satrio melotot, "APAAAA??? BEHAAA???"

Keputusan yang tepat emang manggil dia Bangsat.

"CIEEEEEE MO JALAN YA CIEEEE." Mulut Wawan mulai primitif.

"Acara tumpengan kantor baru—lo di kosan apa di mana sih? Rame banget."

Belum juga gue jawab udah ada koar-koar lagi.

"Cid, ini Shilla senior gue, Cid???"

"HAH LO SUKANYA YANG LEBIH TUA, NYET?"

Makin sontoloyo. Gue langsung bangkit, mendingan nerima telepon di luar emang kalo gini caranya.

"CID MAU KE MANA??"

"CID??? ITU BENERAN SHILLA?? SHILLA KINANTI??"

Gue mengembuskan napas lega pas udah menjauh dari kamar, dan lebih lega karena duo itu gak buntutin gue sampe dapur.

"Sorry tadi temen gue rese." Gue menjepit hp di antara bahu dan kuping gue sambil buka kulkas, mencari botol minum di antara jajanan minuman dan makanan punya Iqbal. "Apaan tadi? Sampe mana?"

Tidak ada jawaban selagi gue menuang air ke gelas, bikin alis gue bertaut. Napa si Shilla? Apa jangan-jangan dia sempet denger tadi namanya disebut-sebut? Terus denger ledekan Wawan.

"Oi?"

Di seberang sana, Shilla terbatuk. Gue jadi makin yakin kalo dia sempet denger ledekan-ledekan tadi.

"Iya, jadi Mas Bima bilang LBH punya kantor baru, terus kita diundang tumpengannya. Sebenernya yang diundang Kak Rara, tapi karena Kak Rara di NY, jadi kita aja yang wakilin."

Gue kenal Mas Bima dari LBH, dia cukup bantu banyak buat keluarga gue waktu Rara ngusut kasus ayah. Baik banget orangnya, gak enak juga sih kalo gak dateng. Tapi...

"Kenapa si Nyi Blorong gak nelpon gue langsung nyuruh gue gantiin dia?"

"Hah? Nyi Blorong?"

"Rara, maksud gue, Rara."

"Oooh, tau tuh, semalem dia ngirimin capture chat Mas Bima ngundang dia terus bilang 'Lo yang dateng gih sama Acid.' gitu."

"Hmmm."

"Hmmm hmmm aja. Terus gimana? Lo bisa gak?"

"Anjir galak banget, Mbak. Ya udah, hari apa?"

"Tanggal 14 tuh hari apa sih... Kamis ya?"

Gue gak jadi meneguk air yang udah gue tuang ke gelas.

"Iya bener Kamis. Lo balik dari kampus jam berapa?"

Gantian gue yang diem.

"Heh, Cid? Kenapa nih? Sinyal ilang ya?"

"Sorry, tanggal segitu gue gak bisa."

"Hah?"

"Iya, gak bisa. Gue ada urusan."

"Yah," Nada kecewa kedengeran jelas dari satu kata itu meski selanjutnya dia balik ceria kayak biasa, "lo mau valentinan ya?"

"Haha apaan anjir valentinan, nggak. Tapi emang gue mau pergi hari itu."

"Ya udah mo gimana lagi. Gue sendirian gak apa-apa deh."

"Sorry ya, Shil. Sampein salam gue sama Mas Bima!"

"Nggak ah males, gue mau bilang ke Mas Bima, lo lebih milih valentinan ketimbang tumpengan."

"Yeeee." Gue ketawa lalu berkata dengan volume yang lebih kecil, "Beneran, itu hari penting. Gue gak bisa."

Setelah telepon ditutup gue mengisi air lagi ke dalam gelas gue sambil mengembuskan napas berat. Gue baru mau balik ke kamar sambil bawa gelas, ketika Rama tau-tau muncul di dapur, keliatan abis mandi. Kenapa ya dia kayaknya sering banget mandi?Sementara temen sekamarnya malah mandi kalo inget doang.

Rama senyum samar gue bikin gue langsung merasa kalo dia udah dari tadi di deket dapur dan denger percakapan telepon gue. Dia juga paham kenapa gue gak bisa pergi sama Shilla hari Kamis itu.

Sama seperti dia paham kalo di antara semua tipe yang disebut Satrio dan Wawan sebagai tipe cewek gue, yang paling tepat adalah... semua yang ada di diri Adisa.

*

"Gak sekalian The Pitcher juga nih, Mas?" Penjual toko komik bekas yang lagi menata buku latihan soal UN itu menawari gue komik baseball yang gue balas dengan gelengan sambil nyengir.

"Ini aja saya udah ngeborong nih, Mas. Jadi berapa semuanya?" Gue mengeluarkan dompet dari saku jins sementara si penjual menghitung tumpukan komik Kobochan dan Kindaichi yang gue pilih.

"Buat koleksi apa kado, Mas?" tanya penjualnya kepo setelah menerima uang gue dan memasukkan komik-komik bekas yang gue beli ke dalam kantong plastik. Kayaknya gue gak keliatan kayak cowok yang suka ngoleksi komik, lebih kayak yang suka ngoleksi cewek.

Gue melirik penjual itu sekilas, mencoba menggali detail ingatan gue setahun lalu, apakah dia penjual yang sama yang gue tanyain tentang komik Narto? Maksud gue Naruto. Tapi kayaknya bukan, yang sekarang lebih tua.

"Buat koleksi aja, Mas. Hehehe." Gue memasukkan kembalian ke dompet sambil menenteng kantong plastik berisi komik-komik itu, "Eh iya mas, di sini ada yang jual vinyl records juga ya? Di mananya sih?"

"Banyak mas, tuh di sana, di sana, di sana."

"Asiiik," pandangan gue mengikuti arah telunjuk mas-mas penjual komik, "pas saya ke sini waktu itu saya gak sempet mau mampir. Sekarang wajib nih."

"Iya, beli aja Mas, banyak pilihannya kok. Gak Cuma piringan hitam, ada CD juga."

Mata gue berbinar, "Saya mau borong deh kayaknya. Masnya pernah beli vinyl records juga?"

Sekarang mata si penjual itu yang kelihatan berbinar, "Nggak pernah sih mas, gak punya pemutarnya tapi sering denger kalo mampir ke toko situ. Kadang The Beatles, kadang Bee Gees, kadang David Bowie terus Chrisye. Gimana ya mas, walaupun udah jaman digital, rasanya tetep lain kalo dengerin dari kaset, CD atau piringan hitam gitu."

"Iya bener banget, Mas. Ya ampun." Gue senang karena ternyata mas penjual ini asik, dalam sekejap gue merasa gue ke mas penjual komik ini bakalan kayak gue ke Ian. Disatukan lewat kegemaran dan satu pemikiran.

"Lagu lawas artinya lebih dalem, Mas." Lanjut mas penjual itu lagi, kali ini seraya bersihin debu rak komiknya menggunakan kemoceng, "Gak cuma liriknya, tapi juga perasaan kita pas dengerinnya. Kalo denger lagu Bon Jovi, misalnya, yang itu lho... shaaat tu de haaart en yu tu bleeem."

"You give love a bad name?" Tebak gue langsung.

"Iya, itu saya keinget bapak saya mas. Dulu Minggu pagi kalo buka toko grosiran pake lagu itu biar pada semangat ngangkut-ngangkut kardusnya katanya."

Gue ketawa, langsung suka sama mas penjual komik ini.

"Jadinya sekarang kalo denger lagu itu perasaan saya semangat kayak bisa naklukin dunia gitu lho padahal cuma angkat kardus. Hahaha. Tapi semangat karena inget bapak saya juga sih. Terus kalo denger lagunya Kla Project yang liriknya puitis-puitis mantep itu lho, saya langsung inget kenangan waktu saya di Jogja."

"Masnya orang Jogja?"

"Bukan sih, cuma pernah ke sana aja. Tapi itu hebatnya lagu lama mas, mau didengerin kapan aja, di mana aja, bikin kita jadi ngerasa ada di satu tempat gitu."

Gue manggut-manggut setuju.

"Eeeh saya jadi kebanyakan ngomong gini, Mas haha. Masnya kan mau beli kaset. Dah sana, Mas. Nanti saya keterusan curcol."

"Gak apa-apa Mas, kayaknya kalo diterusin gentian saya yang curhat hehe."

"Masnya emang mau beli kaset apa?"

"Tadinya sih mau beli vinyl records Naif Mas, yang 7 Bidadari, album barunya taun lalu. Mas tau gak?"

"Wadu, saya gak tau. Tapi Naif keren ya, masih ngeluarin vinyl recordsnya?"

"Mereka sih selalu mas. Saya baru punya CDnya tuh yang 7 Bidadari, makanya pengen punya vinyl recordsnya juga. Tapi kayaknya di sana saya khilaf beli yang lain juga yang lawas-lawas hahaha."

"Sip Mas, selamat belanja."

"Gak ditawarin pulsa sekalian, Mas?"

Mas penjual itu ketawa renyah denger guyonan gue, dan sebelum gue pergi, gue berkata, "Mas nyalain kaset juga dong di sini sambil jaga tokooo. Shot through the heart, and you're to blame!!! You give love..."

"A bad name!!!" Gue dan dia sama-sama menyanyikan bagian itu dengan gesture tangan memetik gitar sok badass. Menyenangkan. Bisa dipastikan gue bakal balik lagi ke sini walaupun gue gak koleksi komik.

Bener aja dugaan gue, gue keluar dari area basement Blok M Square dengan satu kantong plastik gede berisi piringan hitam Naif, The Beatles, A Flock of Seagulls, dan CD Stereomantic, Nonaria, The Kills, dan Maroon 5. Ini namanya berbeda-beda genre tapi tetap satu jua.

Saat gue mengeluarkan si Dongker dari parkiran, gue terngiang-ngiang lagi pembicaraan gue sama mas-mas penjual komik tadi.

Gue sendiri berpendapat, alasan di Jakarta aja ada lebih dari satu tempat jual buku bekas sampai kaset bekas yang masih eksis sampe sekarang karena satu. Manusia senang mempertahankan memori, lewat cara apa aja, bisa lewat baca buku, nonton film, atau dengerin lagu.

Cuma baca satu judul komik zaman baheula aja bisa langsung keinget masa kecil, masa-masa muka masih cemong bedak. Atau cuma denger sebait lagu tertentu langsung keinget satu momen waktu kencan pertama, atau nonton live music pertama hujan-hujanan atau momen-momen lainnya.

Ada banyak toko barang bekas dan tetap laku dibeli adalah bukti manusia selalu ingin mendirikan toko nostalgia sendiri di kepalanya. Kita gak cuma beli barang yang jelas bentuk fisiknya, tapi juga beli memori yang abstrak.

Kayak yang gue lakukan sekarang, mata gue tertuju ke kantong plastik yang gue gantung, isi dari kantong itu, satunya favorit seseorang, satunya lagi favorit gue. Gue menyatukan apa yang dia suka dan gue suka ke dalam satu kantong plastik untuk jadi satu memori. Memori waktu gue ke sini sama dia setahun lalu. Dengan kata lain, gue sedang pertahankan memori.

Sekarang... ke pasar ikan.

*

Sejak tiga bulan lalu, gue jadi sering kayak gini. Keliling-keliling menjelajah kota Jakarta. Bedanya kalo sekarang, satu hari di pertengahan Februari ini, jelas tujuannya ke mana dan ngapain. Di hari-hari sebelumnya, biasanya gue cuma puter-puter gak jelas juntrungannya. Bisa tau-tau ada di Jalan Surabaya, liat-liat barang antik dan furnitur tempo dulu yang gak gue beli, atau tiba-tiba ada di Aneka Foto Pasar Baru buat liat-liat kamera, Pasar Santa, nonton di Metropole, dan terakhir ke Taman Menteng.

Ngapain? Ya jalan-jalan aja. Ngalor ngidul.

Kadang kita tuh perlu sekali-sekali gitu, jalan jauh gak takut nyasar, ngebiarin angin nerpa kita. Gue percaya itu bisa ngosongin pikiran sebentar dari semua distraksi yang bikin stress.

Kegiatan ngalor ngidul itu kemudian jadi repetitif, minimal dua minggu sekali, gue bakal ngeluarin si Dongker buat memulai jalan-jalan tanpa destinasi sampe malem. Sampe pas pulang gue gak kepikiran apa-apa dan langsung tidur.

Menyibukkan diri gue sama perjalanan spontan yang bikin gue untuk beberapa saat lupa tentang Adisa. Gue anggap diri gue lagi lari dan pas lari gue gak mikirin Adisa karena tujuan gue bukan lagi dia. Semakin jauh gue pergi, semakin gue yakin gue gak mikirin dia buat beberapa saat. Biarpun mungkin gue cuma lupa semenit, gak apa-apa. Karena saking gedenya kavling dia di otak gue, rasanya mustahil buat lupa sama dia, sebentar doang juga.

Udah jam sepuluh pas gue nepiin vespa gue bentar di pinggir jalan buat ngecek apakah ikan yang gue beli di pasar ikan tadi masih hidup. Masih ternyata. Sabar ya, Bro Sis, bentar lagi kita sampe di Bikini Bottom alias akuariumnya Dek Ariq di Komet.

Sebelum ngelanjutin perjalanan, gue nepuk-nepuk lampu depan si Dongker terus gue bisik, ngajak ngomong si Dongker, "Khusus hari ini, misi ngelupain Ytsnya gagal, Ker. Sedetik aja gak ada."

Lalu gue pun pulang, bawa semua memori yang sengaja gue kumpulkan hari ini.

Selamat ulang tahun, yang tersayang.

*

May

Gue lagi happy hari ini, proposal kerja praktek gue udah disetujui sama perusahaan yang gue pengen. Perusahaan yang ngasih persyaratan pendaftaran sejak dua bulan lalu. Untung gue udah prepare dari Januari – Februari. Jadi gue bakal mulai kerja praktek minggu depan. Yuhu.

"Asik dah Pak Rasyid bentar lagi pake helm safety." Dion, temen sekelas gue mulai ngecengin. Gue sama beberapa temen kelas sekaligus temen nongkrong gue di kampus lagi makan bareng di kantin sekaligus ngerayain asesmen.

"Pak Rasyid bukannya dosen elektro, Bro?" Temen gue yang lain, si Ekky langsung nyamber. Masih ajeee sok-sok ketuker antara Rasyid Ananta dan Pak Rasyid dosen Teknik Elektro. Becandaan mereka emang lapuk.

"Pake helm safetynya masih ntar, getokin palanya sekarang boleh gak, Cid?" Nando ambil ancang-ancang mau noyor gue tapi gue langsung berkelit.

"Wey wey ah. Gak usah norak-norak deh lo pada."

"Ya udah yang penting ni kita makan ditraktir gak?" Tagih Dion.

"Lah lo juga udah asesmen, duluan lo malah, kok gue yang dipalak? Bedebah."

Mereka ngakak.

"Gengsi perusahaan lo beda kelas, cuy."

"Perusahaan tempat gue kerja prakteeek." Gue mengoreksi sekaligus merendah.

"Ntar gue coba megang helm lo, Cid."

"Gue juga dong. Kali aja jadi enteng jodoh."

"Najeeees. Lebay lo ah. Tiap hari udah pake helm juga kalo naek motor."

"Dibilang perusahaan lo kelasss."

"Iye tapi ntar laporannya ribet juga." Cetus gue sebelum menyeruput kuah soto ayam di mangkok.

"Eh, ntar TA lo perancangan apa penelitian, Do?" Mereka beralih ke Nando dan sisa acara makan bareng di kantin itu diabisin dengan topik TA, mekatronika, dan pertandingan bola.

Setelah isi piring, mangkok dan gelas kami di meja udah tandas, gue yang bangkit dari bangku duluan buat bayar.

"Cid, ntar ngerokok dulu depan." Kata Ekky sambil ikutan bangkit.

"Gue bayar jus dulu."

"Eh lo ada permen karet gak? Gue bagi dong." Ekky tiba-tiba nanya, berhentiin langkah gue.

Mata gue langsung nyipit, "Lo kan mo ngerokok, Nyuk, ngapain makan permen karet?"

"Ya pengen aja. Biasanya lo selalu bawa."

Perasaan hampa yang aneh yang tadinya udah lama gak muncul kali ini berdenyut lagi. Brengsek emang si Ekky.

"Gue udah gak pernah bawa sekarang." Timpal gue pendek lalu melanjutkan langkah ke penjual minuman di sudut kantin sambil ngerogoh saku jins.

"Bu, tadi jus jeruknya satu."

"Bu, ini bayar jus sirsak."

Gue otomatis ngelirik orang yang ngomongnya berbarengan sama gue itu, bermaksud bilang 'Lo duluan aja.' tapi begitu ngelirik, mulut gue langsung terkatup. Lah dia kan...

"Eh? Rasyid ya?"

Gue bengong dulu—yang pasti keliatan bego—sebelum jawab, "Iya."

Gue kenal tu cewek siapa, Dea, temennya...

"Lo duluan aja." Dia mempersilakan gue rame.

"Eh, nggak, jus sirsak duluan aja."

Dea tertawa, ia lalu menyerahkan uang sepuluh ribuan ke ibu penjual minuman.

"Bisa barengan gitu Neng, jodoh kali?" Ibu penjual minuman itu mesem-mesem ngeliat kita berdua.

Dea ketawa lagi, "Ih, dia ini pacarnya temen saya, Bu. Ibu tau kan? Si Dicaaa."

Wadaw.

Sekarang gue mules, bukan pengaruh soto dan jus jeruk.

"Cieee, Cid. Bentar lagi LDRannya selesai ya?" Dea menaik-naikkan alisnya.

"Hah?" Gue masih campuran bingung dan mules, nyerahin uang sepuluh ribuan ke si ibu. Apaan tuh maksud perkataannya Dea?

"Iyaaa, kan lusa Dica balik dari Jepang. Lo udah tau kan?"

Sesuatu yang tadinya bikin gue mules sekarang bikin organ gue kayak dipelintir begitu denger itu.

Gue tau kalo sekarang bulan Mei yang artinya udah setaun sejak Dica berangkat kuliah di Jepang tapi gue bener-bener baru tau kalo dia bakal pulang dalam kurun waktu dua hari lagi. Shit.

Sorot mata Dea mulai curiga ngeliat reaksi gue yang kayaknya jauh banget dari perkiraan dia. Satu hal udah jelas, Dica belom bilang sama temen deketnya kalo dia udah gak sama gue.

"Cid?" Dea menelengkan kepalanya, bingung.

Akhirnya gue buka mulut, "Iya asik banget bentar lagi balik. Hehe."

ASIK APAAN TOLOL?

"Gue duluan ya. Udah ditungguin temen gue di depan." Gue menghindari tatapan Dea yang menyelidiki gue dengan berbalik dan melangkah cepat meninggalkan etalase buah penjual minuman itu. Berjalan keluar kantin.

*

Semerbak wangi nasi yang sedang digoreng di dalam kuali yang menghitam di beberapa sisinya mampir di hidung-hidung pengunjung warung tenda pinggir jalan itu, termasuk hidung Acid yang sedari tadi menunduk sambil mengaduk-aduk es tehnya hampa.

Ketika si abang pelayan warung nasgor menyajikan nasi goreng panas lengkap dengan guyuran acar, segenggam kerupuk dan sebaran ati ampela di tepi piring, Acid tersenyum lebar. Senyum pertamanya hari ini.

"Tengkyu, Bang." Seperti biasa Acid mengacungkan jempol pada abang pelayan yang sudah ia kenal itu.

Meski sudah hampir jam setengah sebelas malam, warung-warung tenda masih ramai pengunjung, kebanyakan pegawai kantoran berwajah lelah yang masih akan menghadapi hari kerja besok.

Acid menatap ati ampela di piringnya sebelum menatap sedih ke bangku plastik di sampingnya yang kosong. Sekali lagi, ia membeli memori.

"Kamu mau ati ampelanya gak?" Tanya Dica sambil menyelipkan rambut ke belakang telinganya.

"Kamu gak suka?"

Dica menggeleng, "Aku lupa tadi gak bilang abangnya, punyaku jangan dikasih ati."

"Gak apa-apa, kan kamu juga gak tau kalo di sini semua menu nasgornya dikasih ati." Acid menyendok ati ampela di piring Dica ke piringnya sendiri. "Acarnya gak suka juga? Kerupuknya? Nasi gorengnya sekalian buat aku semua? Hehe."

Dica tertawa.

"Piringnya gak suka juga?" Acid pura-pura mau mengangkat piring Disa.

"Ya masa aku makan beliing." Dica menggembungkan pipinya, tidak bermaksud sok manja tapi seketika raut wajahnya yang biasanya dingin langsung mencair, membuat Acid terpana selama beberapa detik.

"Ca,"

"Apa?"

"Ini semua ati kamu dikasih ke aku, aku balesnya ngasih hati aku buat kamu gimana?" Tidak lupa tersenyum kotak.

"Apa sih Rasyid, aku gak mempan gombalan gitu," tapi Acid bisa melihat gestur samar Dica mengipas-ngipas wajahnya salah tingkah. "lagian kalo kamu ngasih hati kamu, kamunya mati."

"Weits santai Ca, masa doain aku mati??" Acid nyengir.

"Ya abis kamu. Gak usah macem-macem."

"Terus kamu maunya apa kalo gak mau hati aku? Isinya ya?"

"Rasyid.."

"Hehe."

"Stop. Pembicaraan kita mulai gore."

"Kok gore sih??"

"Soalnya kesannya kayak aku mau ngambil organ kamu."

"Kan kamu emang udah ngambil hati aku?"

"Hmmm."

"Bawa yang jauh aja hati saya, Neng, saya ikhlas. Makasih juga Neng udah ngizinin saya nyuri hati Neng."

Dica menggeleng-geleng tanpa menahan senyumnya, "Ini awalnya cuma gara-gara aku ngasih ati ampela lho. Jadi panjang gini?"

"Iyalah jadi panjang, orang aku maunya jangka panjang kok sama kamu."

"Cid, udah."

Kini Aciid yang tertawa, lalu mengganti topik menjadi film yang baru mereka tonton di bioskop sebelum ke sini, "Tadi sepanjang film deg-degan gak?"

"Deg-degan kenapa?" Dica menatap Rasyid bingung, "Kan filmnya komedi, kok deg-degan?"

"Oh, berarti aku deg-degannya bukan karena film."

"Terus?"

"Karena deket kamu."

Mulut Dica menganga dua detik mendengar itu, ia menatap Acid tidak percaya, "Kamu tuh bener-bener ya..."

"Kenapa? Sekarang gantian kamu yang deg-degan?" Acid tersenyum kotak lagi.

Dica sengaja menghindari mata Rasyid, "Udah dari tadi malah."

"OH GITUUU??" Setengah bersorak dengan wajah semringah, Rasyid tidak peduli risiko dilempar kotak tisu dari meja sebelah, yang penting sekarang dia orang paling bahagia di kedai nasgor ini, di kecamatan ini, di kelurahan ini, di kota ini, di provinsi ini, di negara ini, karena kalimat yang dilontarkan perempuan di sebelahnya dengan wajah malu-malunya yang menggemaskan.

Lalu saat mereka membayar nasi goreng sebelum pulang, Acid berkata iseng pada si abang nasgor di depan Dica, "Bang, besok-besok kalo saya sama mbak pacar saya ke sini lagi, tetep kasih ati ya. Soalnya hatinya dia buat saya katanya."

"Siap, Mas. Hehehe."

"ADAW?? KOK AKU DICUBIT SIH CA??? KAN BENER BUAT AKU?"

Sekarang, Acid menyuap ati ampela di antara sesendok nasi gorengnya dengan perasaan ganjil. Perasaan sedih sekaligus kosong. Ia menatap ke sekelilingnya sekilas. Warung nasi goreng tempat ia dan Dica pernah putus, tempat mereka makan sepulang dari petualangan kecil mereka di hari ulang tahun Dica, tempat yang ia tuju sepulang dari mengantar Dica ke bandara. Malam di mana Acid merasa Jakarta muram dan terang lampu kota tidak lagi sama.

Di hari Dica pulan, Acid memutuskan kembali juga ke sini, untuk menghirup memori sebanyak-banyaknya karena cuma itu yang bisa ia lakukan karena ia tahu ia tidak bisa lagi mengompensasi rindu dengan pertemuan atau pelukan.

Jadi dia di sini sekarang, mencoba membenamkan diri di antara kenangan yang mencuat dari meja kayu bertaplak kain tenda dengan sisa air es dari gelas-gelas es teh tercetak di atasnya, kursi-kursi plastik yang sedikit goyah, obrolan orang-orang, aroma nasi goreng, serta kepulan asap sate dari warung tenda sebelah. Tanpa bisa melenyapkan bayangan Dica pulang dengan mengenakan jaket denim milik Acid, atau mungkin jaket itu berada di lapisan terdalam kopernya? Entahlah.

Rasanya Acid berhalusinasi mencium wangi sampo bayi dari rambut Dica di antara semua pusaran memori ini.

Acid tidak tahu kapan tepatnya Dica tiba, ia hanya tahu kalau Dica pulang hari ini. Pulang ke rumahnya, ke ayah dan bundanya... Pulang bersama Irham.

Tanpa sadar Acid mencengkram pegangan gelasnya terlalu kuat, ia meneguk es tehnya dan merasakan pahit padahal yang ia pesan es teh manis.

Seharusnya, malam ini dia bisa mendengar Dica bercerita macam-macam tentang Jepang, tentang betapa dia menyukai negara itu dan sempat berat untuk pergi, atau tentang pengalaman-pengalaman lainnya yang belum sempat ia ceritakan. Acid rela mendengarkan perempuan itu bercerita sepanjang malam dengan kerlip antusias di matanya.

Seharusnya, malam ini terang lampu kota kembali seperti semula, seharusnya hari ini kota tersenyum. Tapi di mata Acid, semua masih temaram.

Jam sebelas lewat, Acid berdiri untuk membayar nasi gorengnya. Si abang nasgor yang sudah sangat mengenalnya itu tersenyum padanya, ada sedikit penasaran pada air mukanya membuat Acid tau apa yang akan ditanyakan si abang: 'Kok gak sama Mbak Pacar, Mas? Mbak pacarnya ke mana sih jarang keliatan?'

Tapi ternyata si abang tidak bertanya seperti itu, ia malah sedikit terlihat ragu.

"Kenapa, Bang? Kok kayak bingung gitu?" Tanya Acid seraya menerima uang kembalian.

"Ngg... Mas lagi berantem ya sama Mbak Pacar?"

"Emangnya kenapa, Bang?"

Si abang nasgor masih kelihatan ragu apakah sebaiknya ia mengatakannya, tapi ekspresi Acid membuatnya akhirnya menyerah, "Soalnya... bingung... Kok datengnya misah-misah."

Acid tersentak, ia menatap Abang Nasgor tanpa berkedip, "Dia dateng ke sini?"

"Iya Mas, tapi tadi jam delapanan, duduknya di meja sebelah masnya makan tadi." Acid refleks menoleh cepat ke meja sebelah mejanya tadi, seolah masih bisa menemukan Dica di sana sementara Abang Nasgor melanjutkan bercerita, "Saya perhatiin makannya lama juga kayak masnya tadi. Soalnya sambil ngelamun. Awalnya kirain saya, masnya bakal nyusul eeeeh nyusulnya kok pas mbaknya udah pulang. Makanya saya bingung. Saya sebelumnya tanya 'Mbak ke mana aja kok udah lama gak keliatan?' Dia jawabnya senyum doang, Mas."

Mulut Acid seperti terkunci, sekarang pandangannya tertuju ke jalanan di luar warung tenda.

"Mas? Beneran berantem ya, Mas? Waduh baikan dong, Mas."

Dica benar-benar sudah pulang.

Dan sepertinya, sama seperti Acid, Dica juga mengganti pertemuan dan pelukan dengan menggali kenangan.

The fridge light washes this room white
Moon dances over your good side
This was all we used to need
Tongue-tied like we've never known
Telling those stories we already told
'Cause we don't say what we really mean

We're not who we used to be
We're not who we used to be

We're just two ghosts standing in the place of you and me

We're not who we used to be
We're not who we used to be

We're just two ghosts swimming in a glass half empty

Trying to remember how it feels to have a heartbeat

(Two Ghost – Harry Styles)

*to be continued*



a/n:

akhirnyaaa bisa juga apdet tulisan huhu menanges terharu.

maaf beribu maaf, seperti yang aku post di instagram komet (komet101), aku emang lagi sibuk yang beneran sibuk banget tiap hari balik malem sampe rasanya ku ingin terbang aja naik awan atau guling-guling di pasir dan pura-pura jadi kepiting.

sekarang juga sebenernya masih sibuk tapi aku menyempatkan diri sebisa mungkin buat nulis, selain buat yang nungguin, juga buat diri aku sendiri karena aku perlu 'bernapas' di tengah ini semua dan menulis adalah caranya.

TERIMA KASIH SEBESAR-BESARNYA BUAT YANG NUNGGU DAN NYEMANGATIN AKU. AKU SAYANG KALIAN.

mungkin komet baru bisa kuapdet minggu depan ya. akan kucari terus celah untuk menulisnya.

terima kasih sekali lagi. semoga kalian sehat-sehat.

loves,

saturnisa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top