February - 2
Dica
February 14th tertera di layar ponsel gue, di bawah indikator jam yang menegaskan sore, tinggal puluhan menit lagi sampai lampu teras kosan dan lampu-lampu jalan dinyalakan, sebentar lagi arus detik akan menjemput malam dan artinya sebentar lagi pula hari ulang tahun gue tahun ini berakhir.
Ada puluhan chat di line yang belum gue baca, yang hampir semuanya berisi ucapan selamat ulang tahun. Gue memutuskan untuk membaca semua dan membalasnya nanti, bukannya mau mengabaikan, tapi gue merasa butuh konsentrasi penuh untuk membalas doa orang lain untuk gue. Gue boleh jadi tidak terlalu peduli dengan ulang tahun, tapi gue peduli dengan semua doa baik yang teman-teman gue repot-repot kirimkan ke gue.
Sekarang gue belum sempat membalasnya. Belum sempat karena chat masuk dari Rasyid Ananta menginterupsi semuanya:
'Ca, jam empatan aku jemput ya? Aku mau culik kamu. Aturannya: Jgn tanya ke mana. Liat aja nanti ke mana si Dongker bawa kita.'
Dasar, Rasyid. Mana ada orang nyulik pake aturan? Dan yang diculik harus mematuhi aturannya?
Jam empat kurang gue sudah bersiap-siap dan mengenakan sweater kesayangan gue dan jeans, satu-satunya aksesoris yang gue pakai hanya ikat rambut hitam yang gue alihfungsikan jadi gelang. Ketika gue baru selesai memakai sedikit maskara, dengan sedikit waswas semoga gue gak mengenakannya terlalu berlebihan, terdengar deru vespa yang sudah sangat akrab di telinga. Selang beberapa detik kemudian, saat deru itu tak kedengaran lagi, hp gue bergetar.
'Aku udh di dpn'
Seperti biasa, sejak awal pacaran, setiap kali Acid menjemput ke kos-kosan, gue tidak langsung turun. Gue akan memperhatikannya selama beberapa detik dulu dari jendela kamar gue, memperhatikannya duduk di jok vespa, melepas helmnya, membiarkan rambutnya yang sedikit berantakan sehabis mengenakan helm menunduk dan mengetik sesuatu di hpnya, tanpa menyadari kalau orang yang ia tunggu sedang memandanginya dari kamar di lantai dua. Entah kenapa, gue suka dengan pemandangan itu.
Baru setelah itu gue keluar kamar, mengunci pintu, dan menuruni tangga. Setiap pijakan kaki gue di anak tangga seperti ikut tersisip di antara irama detak jantung sebelum gue akhirnya membuka pintu depan, melangkah ke pagar dan menemui orang yang gue tunggu, yang juga sedang menunggu gue.
Acid menyunggingkan senyum lebar begitu gue menghampirinya. "Udah siap diculik aku sama si Dongker?"
"Si Dongker abis mandi ya?" tanya gue pura-pura mengamati vespa biru itu alih-alih mengamati pengendaranya yang mengenakan jaket denim di atas kaus hitam.
"Iya. Aku mandiin soalnya hari ini hari spesial tuan putri. Masa kuda pangerannya kotor. Ya nggak?"
Senyum tipis terbit di wajah gue mendengar itu, padahal seharian ini dia tidak mengatakan apapun soal ulang tahun di line atau di manapun, dia sepertinya satu-satunya yang belum mengucapkan selamat ulang tahun dan gue juga tidak memikirkannya karena sekali lagi, gue tidak mementingkan ulang tahun. Mungkin Dea akan berjengit kalau gue beritahu pacar gue sendiri belum mengucapkan apa-apa hari ini.
"Yuk." Kata Acid sambil melirik jam tangan hitamnya—iya, jam tangan itu—lalu menyalakan mesin motor. "Inget aturan yang aku bilang ya, jangan nanya ke mana."
"Iya, bawel."
"Berangkat?" tanyanya setelah gue mengenakan helm dan duduk di boncengannya.
Gue mengangguk karena tahu dia bisa melihat anggukan gue dari spion.
"Mau pake jalan langit apa jalan darat, Ca?"
"Rasyid..."
"Aku nanya lho, kalo kamu mau jalan langit, aku suruh si Dongker terbang."
"Jalan mana aja asal selamat." Jawab gue sabar.
"Tapi tujuan kita gak ngelewatin jalan Pak Slamet.." ia tergelak karena leluconnya sendiri, tambah tertawa melihat ekspresi gue dari spion. "Ok, ok, aku becanda. Yuk berangkat. Ksatria Baja Biru meluncuuuur."
Gue mendengus, "Ksatria macam apa yang nyulik?"
"Ksatria macam aku gini, tuh yang diculiknya juga seneng diculik. Cieee, seneng kan??"
Gue refleks mencubit pinggangnya sampai dia mengaduh.
"Ca, jangan dicubit, dipeluk aja."
Gue menghela napas.
Akhirnya setelah motor membelah jalan besar kota, terpaan angin mulai kencang, dan Acid samar-samar mulai menyenandungkan lagu Naif, gue pelan-pelan menggenggam jaket denimnya, bukan memeluk, hanya menggenggam, tapi gue merasa bisa mendengar dia tersenyum di sela senandungnya.
Di tengah keramaian jalan terisi polutan yang kami lalui, gue bisa mencium wangi jaket denim Acid dengan sangat baik. Persis seperti yang gue ingat. Bukan hanya wangi parfumnya yang sudah gue hafal, tapi sedikit wangi kamper dan obat nyamuk semprot aroma lavender yang gue tahu pasti membekas di sana karena dia sering menggantung jaket ini di belakang pintu kamar. Membiarkan anak Komet atau bahkan dirinya sendiri menyemprot obat nyamuk ke belakang pintu sehingga menyisakan wanginya di setiap serat denim kebiruan ini.
Gue ingat, waktu kecil dulu Bunda memarahi gue karena saking sukanya pada wangi obat nyamuk, gue berdiam diri di kamar yang baru disemprot obat nyamuk, Bunda mengomel karena katanya gue bisa keracunan. Sepertinya itu pertanda bahwa saat sudah besar nanti gue akan menyayangi lelaki dengan jaket wangi baygon.
Tanpa sadar, gue sedikit memajukan wajah gue, membiarkan wangi itu semakin akrab di hidung gue. Berpikir kalau gue bersekolah di Hogwarts dan mengikuti pelajaran ramuan, ramuan amortentia gue akan tercium seperti wangi jaket denim, obat nyamuk semprot, wangi tanah sehabis hujan, dan aroma kepulan asap tipis takoyaki matsuri yang baru diangkat. Semuanya merujuk pada satu orang, pada lelaki yang sekarang hanya berjarak beberapa senti dari gue.
Si Dongker masih terus melaju dan karena menurut aturan, gue gak diperbolehkan bertanya ke mana tujuan kami, gue pun melamunkan hal-hal lain untuk mengisi perjalanan sore ini, cerita-cerita lain, termasuk cerita yang sebelumnya belum pernah gue ceritakan, kalaupun gue ceritakan pasti tidak mendetail, karena gue takut akan merusak nilai kenangan itu.
Kenangan waktu dulu Acid mendekati gue sampai akhirnya meminta gue jadi pacarnya.
Meski dia sering tidak serius dan terlihat seperti orang yang akan nembak cewek pakai tarian belalang, tenyata gue salah, cara dia mendekati dan nembak gue jauh lebih spesial dari itu.
Waktu itu, setelah bertemu dan berkenalan dengannya di pernikahan Vanya dan Ikal dan setelah dia menanyakan instagram dan nomor gue, gue masih ingat pesan pertama yang ia kirimkan sehari setelah pertama kami. Bukan 'hai', 'hallo', maupun sapaan-sapaan standar lainnya, tapi 'Ca, ini Acid sepupunya Ikal. Kemaren gue masih ada utang sama lo.'
Gue bingung dong, kenapa nih, tiba-tiba ngechat bilang dia masih ada hutang. Hutang apa?? Gue sampe mikir keras sebelum bales.
'Utang apa ya, Cid? Kyknya gak ada.'
'Ada.'
'Apa?'
'Dari kemaren sampe sekarang gue udah dibikin senyum terus sama lo. Gue utang bikin lo senyum juga hehe.'
Sebelum gue sempat membalas pesannya, ia sudah mengirim pesan lagi.
'Kalo abis baca pesen gue td, lo senyum, berarti utang gue lunas satu.'
Ok, Rasyid. Kamu bener. Aku emang senyum abis baca itu.
Kenapa sih dia selalu punya cara? Bahkan sejak impresi pertama.
Dari situ kami mulai intens mengobrol di line, Acid sering menyelipkan bahasa Jepang sedikit-sedikit, katanya ia pelajari itu dari anime yang sekarang memenuhi harddisknya setelah merampas harddisk teman kosannya yang bernama Jafar.
'Ca, hanafubuki artinya apa? Kedengerannya bagus.'
'Di jurusan lo ada yang pernah bikin skripsi tentang One Piece gak?'
'Ca, jawab pertanyaan gue kenapa mata orang di manga bisa segede jengkol?'
'Gue suka komik juga lho, Ca. Suka Kobochan. Nih gue masih inget lagunya. NIPONG NIPONG CHA CHA CHA CHA KOBO DUDUK DI ATAS BATUUU. NIPONG NIPONG CHA CHA CHA CHA TRALALALALA GALILEO. SETIAP HARI HAHAHAHA AKU BENCI MAKAN PISAAANG.'
Selain mampu membuat gue mesem-mesem karena membayangkan dia menyanyikan lagu Kobochan itu, ia juga mampu membuat perasaan gue menghangat mengingat kenangan masa kecil, waktu kartun masih ditayangkan di TV secara rutin setiap Minggu pagi. Mengobrol dengan Acid juga memberikan gue perasaan yang sama dengan saat gue duduk manis di depan televisi dan menonton kartun sambil sarapan, karena setiap mengobrol dengannya, gue tidak mengkhawatirkan apapun, tidak memusingkan apapun, kenyamanan yang mungkin tidak bisa gue deskripsikan dengan jelas.
Saat gue sibuk menjadi kepanitiaan Matsuri dan beberapa hari pulang malam, Acid mengirim pesan berbunyi: 'Jangan capek-capek. Kamu setiap hari jadi cantik aja pasti capek, apalagi jadi panitia :]'
Ia juga memenuhi janjinya datang ke Matsuri, katanya untuk dua tujuan: untuk membeli takoyaki dan untuk menemui mahasiswi Sastra Jepang bernama Adisa Mutiara Dewi.
Masih jelas di ingatan gue, ia meloncat-loncat di antara kerumunan orang di Matsuri, padahal sebenarnya tidak perlu karena posturnya sudah cukup tinggi untuk menemukan gue.
Begitu menemukan gue, ia nyengir lebar dan berkata ia sengaja tidak mengabari di line sejak pagi, mau membuktikan kalau dia bisa menemukan gue di tengah keramaian melalui radar dan nalurinya.
Dan ia benar.
Saat itu juga orang-orang di antara kami seolah blur.
"Kamu mau makan takoyaki? Tuh standnya di sana." Ujar gue waktu itu seraya menuding ke satu titik.
"Sama kamu dong."
"Harus dianterin?"
"Iya, kalo makannya gak bareng kamu. Takoyakinya jadi gak enak. Hehe."
"Dasar."
"Kamu gak pake yukata, Ca?" tanyanya sambil memasukkan kedua tangan ke saku jeans dan berjalan di samping gue menuju stand takoyaki.
"Nggak."
"Sayang banget, tapi ya udah jangan deh. Takutnya besok ada berita anak Teknik Mesin pingsan di tengah Matsuri gara-gara kamu pake yukata."
"Apa sih, Ciiid."
Tapi gue tertawa, dia juga tertawa. Lagi-lagi perasaan menyenangkan dan menenangkan yang sama seperti waktu gue menonton dan membaca Kobochan.
Dan gue ingat takoyaki Matsuri kali itu menjadi takoyaki terenak yang pernah gue makan, mungkin bagi Rasyid Ananta juga.
Setelah sekitar tiga bulan, dia melancarkan pendekatannya, berusaha saling mengenal lebih dekat, pada satu malam Minggu di akhir bulan Februari, dia datang ke kos-kosan bersama si Dongker, vespa birunya.
Gue pikir dia hanya akan mengajak gue makan seperti minggu-minggu sebelumnya, tapi ternyata tidak. Dia bilang dia hanya sedang ingin mengobrol di teras, ada sesuatu yang mau dia bicarakan katanya.
Sudah ada beberapa indikasi yang membuat gue seakan bisa menerka apa yang mau ia bicarakan, mulai dari rambutnya yang terkena sentuhan gel, sepatunya yang sepertinya sudah ia cuci bersih, wangi parfumnya, dan keseriusan di matanya yang menyorot gue seperti laser.
Mendadak gue ingin mohon diri dulu ke toilet.
"Ca,"
"Hm?" gue memilin ujung benang sweater gue dengan canggung.
"Aku bawa ini buat kamu."
Mata gue membulat melihat kantong plastik besar yang sedari tadi ia sembunyikan di balik jaketnya.
Kantong plastik berisi air yang di dalamnya terdapat seekor ikan hias berenang-renang. Mulut ikan berwarna keemasan itu membuka dan menutup selagi ia berenang ke satu sisi plastik yang terlihat jelas dari pandangan gue. Gue menahan napas. Ngapain kamu bawa ikan, Rasyid....
"Untung plastiknya gak bocor di jalan." Ujarnya lega, sudut bibirnya tertarik ketika ia mengangkat kantong plastik itu sejajar dengan wajahnya, ia mengikuti ikan itu membuka dan menutup mulut dengan sangat lucu. Sejurus kemudian ia menoleh lagi, "Kamu cerita kamu punya akuarium kan, Ca?"
"Punya sih.... tapi kosong..." Gue mengerjap-ngerjap, kaget karena Acid ingat gue pernah bercerita soal akuarium di kosan gue yang kosong.
"Nah! Ini aku bawa nih, ada yang mau beli kavling akuarium kamu, Ca.. Kasih nama siapa ya ini?"
"Cid, kenapa kepikiran aja bawa ikan?" Gue tidak bisa menahan senyum.
"Soalnya kan kamu suka." Jawabnya lugas.
"Hah?"
"Inget gak, awalnya kenapa waktu itu kita ngobrolin akuarium?"
Gue mengerjap-ngerjap lagi, pasti wajah gue waktu itu sangat kaku. Hal yang memang terjadi setiap kali gue gugup.
"Waktu itu kita lagi ngobrolin soal Jepang, terus aku tanya tempat-tempat yang pengen kamu kunjungin di Jepang," Acid menghitung menggunakan jarinya yang bebas, "Kamu bilang, Tokyo Skytree, Taman Shinjuku, Kebun Binatang, Tsutenkaku, sama ini yang kamu bilang paling pengen kamu kunjungin,"
Acid mengambil napas sebelum melanjutkan, seakan memberi jeda untuk jantung gue yang semakin berkecepatan tidak normal, "Akuarium Kaiyukan di Osaka, akuarium terbesar di dunia." Dia melempar senyum yang membuat gue semakin sulit bernapas, "Alasannya kata kamu karena kamu suka ikan. Makanya sekarang aku bawain ikan."
Uh, kenapa selama ini gak ada yang bilang sama gue kalo jatuh cinta bisa membuat lo merasa oksigen di dunia terasa kurang?
"Ca?" panggilnya lagi, tidak memberi kesempatan bagi gue untuk menghirup udara banyak-banyak supaya hati gue tidak disesaki perasaan aneh sekaligus menyenangkan ini. "Selama ini aku jadi banyak-banyak baca sama nonton soal Jepang, terus dateng Matsurian, sekarang bawain kamu ikan, kamu tau kan karena apa?"
Gue tidak mampu menjawab, tapi gue bisa merasakan tatapannya melembut di bawah sinar lampu teras.
"Karena aku mau jadi yang kamu suka kayak kamu suka Jepang, matsuri, sama ikan," ia menyunggingkan senyuman khasnya, senyuman yang gue sebut 'senyum kotak' karena ujung-ujung bibirnya seperti membentuk persegi. "Karena kalau kamu gak suka aku, aku mau jadi apa yang kamu suka."
Sebelum kesadaran gue terbang ditiup angin, Acid berkata lagi, "If you can't love me, then I'd slowly become what you love."
Untuk pertama kalinya, gue merasa gue bisa meledak kapan saja jadi butiran popcorn atau mencair jadi genangan air. Satu detik, dua detik, tiga detik, gue menarik napas dalam-dalam seperti satu gerakan yoga yang pernah diajarkan Vanya.
Gue membalas tatapannya seraya mengambil ikan dalam plastik yang ia sodorkan, "Who said I can't love you?"
Begitu mendengar itu, sudut senyum kotak Acid semakin tinggi dan hari itu adalah hari pertama kami pacaran, sekaligus hari pertama akuarium di kamar gue terisi penghuni baru.
Dia pernah memberi gue secarik kertas berisi tulisan tangannya menyalin surat Alex Turner untuk Alexa Chung.
My mouth hasn't shut up about you since you kissed it. The idea that you may kiss it again is stuck in my brain, which hasn't stopped thinking about you since well before any kiss. And now, the prospect of those kisses seems to wind me like you slip on the stairs and one of the step hits you in the middle of the back. The notion of them continuing for what is traditionaly terrifying forever excites me to an unfamiliar degree.
"Surat dari Bang Turner buat pacarnya." katanya sambil menaik-naikkan alisnya lucu setelah gue selesai membaca.
"Dan kenapa kamu kasih ke aku?"
"Karena aku juga ngerasain yang sama kayak Bang Turner waktu itu. Persis. Semuanya gara-gara kamu."
Gue terdiam, tentunya kalian tahu kenapa gue diam. Diam adalah satu-satunya reaksi yang tepat ketika kita merasakan banyak hal dalam satu waktu secara bersamaan. Gue rasanya mau hanyut saja, apalagi mengingat 'waktu itu' yang dirujuk Acid.
"Ngomong-ngomong mereka lucu ya, Ca, nama depannya Alex sama Alexa, kayak kita aja gitu, Acid sama Dica hehehehehehe."
Gue gak bisa diserang begini. Jantung gue cuma satu dan gak bisa direparasi. Tolong.
"Bener kata Bang Turner, waktu itu tuh jantung aku kayak kelewatan satu anak tangga," ia melanjutkan sambil senyum-senyum, membuat umur gue seakan bisa makin berkurang.
Kamu pikir aku nggak????
"Kamu mau denger gak analisis aku soal lagu-lagu AM yang kayaknya buat Alexa? Atau lagu-lagu AM buat Adisa?"
"Cid, diem."
"Kan kamu tau caranya bikin aku diem?"
"Nggak."
Setelah itu ia tertawa dan mengusap-usap puncak kepala gue.
"Tapi Cid, Alex sama Alexa kan udah putus?" cetus gue dan gue bisa melihat sinar matanya sedkit meredup.
"Ya kalo Acid sama Adica jangan sampe." Jawabnya santai. "Lagian mereka bakal balikan kok. Aku yakin."
Gentian gue yang mengusap puncak kepalanya sekalian merapikan anak-anak rambutnya yang mencuat tidak rapi.
"Iya, jangan sampe." Ujar gue pelan.
Kenyataannya memang berkata lain.
Gue ngerti, kalo orang-orang tau pas gue putus sama dia gue pasti dibilang bodoh dan seterusnya dan seterusnya. Apalagi alasan gue mutusin dia juga karena diri gue sendiri yang insecure.
Tapi please, take a note, setelah semua cerita tentang dia dan cara gue menggambarkan dia, udah ketahuan kan kalo dia tuh too good to be true, minimal dua dari lima orang bakal nanya, 'Masih ada cowok kayak gitu?'
Iya, ada. Namanya Rasyid Ananta.
Dan gue gak bisa mengendalikan pikiran maupun perasaan gue sendiri. Gue merasa jadi beban banget, padahal gue tau dia juga gak nuntut gue harus gimana-gimana, gue sayang dia juga udah cukup buat Rasyid, tapi guenya itu lho. Gue terus-terusan berpikir kalo gue gak cocok sama dia.
Have you ever see someone so beautiful, it actually depresses you?
Itu yang gue rasain setelah setahun sama-sama Acid.
And insecurity is the dumbest thing that we all feel.
Gue insecure setiap kali gue denger cerita tentang segimana populernya dia bahkan sampe ke fakultas gue, gue insecure setiap kali dia ngajak gue ketemu temen-temennya dan gue yang awkward ini cuma bisa ngumpet di belakang punggungnya, dan gue insecure setiap kali dia bilang mau manggung sebagai drummer di acara-acara tertentu.
Gue bukan malaikat, bukan juga manusia mahasempurna, jadi gue akui kalo gue sering banget posesifin dia tanpa menyuarakannya, dan gue tau, makin hari perasaan itu makin gak sehat.
Tiap orang punya cara sendiri buat ngehandle insecuritynya dan kita gak bisa menilai cara yang dipilih orang itu udah bener atau belum karena bukan kita yang ngerasain. Beneran, kalau kata Nikita Gill, everyone deals with pain in their own way. You may not endure what thet are enduring right now.
Cara gue adalah menyimpannya rapat-rapat, tanpa bilang apapun ke Acid, sampe akhirnya satu hari gue mutusin dia, yang gue tau pasti mengundang kesinisan orang-orang. Padahal gue juga sama sakitnya.
Kalau ada yang tanya, 'Kalo lo juga sakit, kenapa lo minta putus?'
Karena gue pikir itu jalan yang terbaik, kalo gue terusin gue cuma bakal bikin diri gue makin tenggelam ke lautan dalam bernama insecurity, dan semakin diterusin, gue juga terus-terusan membohongi Acid kalau gue baik-baik aja.
Tapi tidak ada yang bertanya begitu karena ternyata tanpa kesepakatan apapun, gue dan Acid sama-sama tidak menceritakan soal putus pada orang sekitar kami masing-masing.
Mungkin kami sama-sama merayakan perpisahan dalam sunyi karena tahu kalau kami masih saling menyayangi, dan seperti yang dikatakan Acid dengan pedenya tentang Alex dan Alexa: 'Lagian mereka bakal balikan kok. Aku yakin.'
Pada akhirnya gue tau gue salah, gue mendapat pelajaran, bukan begitu mekanisme mengetahui 'jalan terbaik' untuk suatu hubungan, bukan dengan hanya mengandalkn argumentasi sendiri. Gue lupa mendengarkan dari sisi Acid, dan gue merasa bersalah karena itu.
Meskipun gue gak lagi merasa insecure setelah putus, tapi gue tau gue kehilangan sesuatu yang sangat penting, seperti langit yang kehilangan satu sudutnya kerena dikerat empat sisi oleh seorang pujangga untuk menjadikannya puisi.
Untungnya gue gak dibiarkan merasakan kehilangan itu lama-lama, karena lelaki bernama Rasyid Ananta itu datang kembali, menerobos hujan, membahas kenangan, menanyakan kabar, lalu berkata bahwa dia tidak pernah ke mana-mana, begitu juga hatinya.
Kadang begitulah cara kerja takdir, membiarkan perpisahan yang bersifat sementara terjadi dulu di antara dua manusia, untuk menyadarkan manusia itu bahwa sebenarnya pada akhirnya perasaan sesungguhnya yang punya kemampuan menyatukan, menyadarkan manusia bahwa saling menikmati kehilangan bukanlah cara yang tepat.
Dan di sinilah gue duduk sekarang, di boncengan si Dongker, dengan punggung lelaki berjaket denim di depan gue.
Senyuman terutas di wajah gue ketika perlahan gue mempererat genggaman gue di jaket Acid.
"Deketan, Ca." ujarnya begitu menyadari gerakan gue.
"Hah? Deketan?"
"Iya, deketan lagi kamunya. Biar kalo aku manggil 'sayang' kedengeran. Gak ketimpa suara klakson truk. HEHEHEHHEHE."
Gue menepuk lengannya sebal, walaupun senyuman tadi tidak pudar di wajah gue.
Selanjutnya membiarkan angin sore ikut mengisi celah antara gue dan Acid, melengkapi konversasi khas kami berdua: Acid dengan senandung lagu Naifnya dan gue dengan berbagai pikiran di benak gue sendiri.
Termasuk pikiran tentang betapa gue menyayangi lelaki ini.
Vespa biru, motor-motor lainnya di jalan raya, mobil, semuanya kendaraan yang memindahkan raga manusia dari satu tempat ke tempat lainnya. Namun hari itu gue tersadar, transportation move people, not only their bodies, but their heart.
Termasuk Vespa biru bernama Dongker ini juga.
Seiring putaran rodanya di atas aspal, si Dongker juga menyatukan dua hati manusia yang duduk di atasnya.
*
Acid
Kalo ditanya kapan aja momen-momen yang bikin gue seneng yang seneeeeng banget, kadarnya sampe nyaris 100% happiness, sini biar gue data:
1. Kalo bikin bangga bokap nyokap
2. Kalo jalan-jalan ke NY
3. Kalo Naif sama SO7 satu acara
4. Kalo liat Dica seneng
Alasan yang keempat lagi gue liat sekarang.
Gue emang udah menduga kalo dia bakalan seneng banget gue ajak ke sini tapi gue gak mengira sama sekali kalo matanya bakal bener-bener berbinar kayak sekarang, dan ngeliat itu hati gue jadi ikutan riang gembira. Sesederhana itu.
"Heh, malah bengong, tanyain sana sama abangnya, cari komik yang kamu mau." Gue berkata pelan sedikit menyenggol bahu Dica untuk menyadarkannya karena kayaknya cewek itu udah gak mijak di bumi ngeliat rak penuh berisi komik-komik bekas di depannya.
"Cid? Ini serius?" tanyanya dengan sinar mata yang masih sama cerahnya. Ya Tuhan, gemes amat gue punya cewek.
"Iya, serius." Gue nyengir. "Aku udah survey juga kemaren, kisaran harganya sepuluh sampe lima belas ribuan, ya gak, Bang?"
Dengan sok akrab gue menyapa abang penjualnya yang sedang membersihkan debu-debu di tumpukan buku bagian depan menggunakan kemoceng.
"Iya, murah di sini mah, kayak neng beli komik pas jaman dulu aja, masih bisa kebeli sepuluh ribu kurang. Sekarang mah di toko buku udah gak dapet harga segitu."
Gue mengangguk-angguk, melirik Dica, "Tuh. Kamu boleh lama-lama kok milihinnya, aku gak bakal protes. Terserah kamu mau sampe tokonya tutup juga."
Dica menoleh lagi menatap gue, "Kamu gak apa-apa lama."
"Gak apa-apa. Gak bakal bosen juga kalo liatan kamu kayak gini." Gue nyengir, memasukkan dua tangan gue ke saku jaket dan sedikit mundur untuk membiarkan Dica lebih leluasa.
Sedikit bangga sama diri gue sendiri karena punya gagasan ngajak dia ke sini, ke salah satu kios buku—kebanyakan komik—bekas di lantai basement Blok M. Gue tau kalo tempat ini bakal bikin Dica nostalgia, karena dia pernah cerita tentang rental komik yang jadi tempat favoritnya waktu SD-SMP.
Dan keputusan gue tepat, gue bisa liat wajahnya semringah kayak anak kecil dikasih permen kapas merah muda begitu berdiri di depan tumpukan komik-komik secondhand itu.
Selagi Dica menelusuri judul demi judul komik—bahkan sampai berjongkok—rambut panjangnya tergerai menutupi wajah, ia sampai lupa mengikatnya menggunakan ikat rambut yang melingkar di lengannya, saking senangnya.
Gue sebagai pacar yang baik, menunggu sambil ikut menyusuri judul-judul komik yang paling dekat dari tempat gue berdiri.
"Bang, kalo Narto ada gak?" tanya gue pada abangnya iseng.
"Naruto kali, Mas."
"Hehehe iya saya tau kok Bang, tadi becanda aja. Soalnya Pak Narto nama tetangga saya. Nggak kok Bang, saya gak tinggal di Desa Konoha."
Muka abangnya seakan bilang 'Terserah lo aja deh, udel.'
"Ada kok, Mas."
"Kalo Kobochan?"
"Ada, tuh deket tangan Mas."
Giliran mata gue yang membelalak senang, "Asik adaaa!!! Kesukaan saya nih, Bang!"
Gue baru aja hendak menyanyikan lagu Openingnya Kobochan yang gue hapal tanpa tau malu ketika tau-tau tangan Dica menarik ujung jaket gue dengan semangat.
"Cid!! Ada Mirumo de pon, Cid!! Ini bacaanku waktu SMP!!!"
Gue udah bilang belom kalo cewek gue gemes banget? Ini udah bilang kedua kali ya? Ya udah gak apa-apa, ampe puluhan kali gue bilang juga kegemesannya gak berkurang.
Sumpah kalo lagi kayak gini, mode lantai masjid puncaknya beneran ilang gak bersisa.
"Huhu gemes, aku gemes sama si Murumo."
Gila sih, kalo si Ikal ngeliat dia begini, gue yakin dia plongo, gak nyangka Dica yang biasanya kayak kulkas tiba-tiba jadi kayak anak TK kelas Bunga Matahari begini.
Ca. kalo aku gemesnya sama kamu, gimana tuh, Ca?
Setelah nyaris satu jam lebih di kios itu akhirnya gue dan Dica melangkah pergi, meski Dica keliatan masih gak rela dan berkali-kali bilang dia mau ke sini lagi.
Kami berdua pulang ofkors tidak dengan tangan kosong. Dica beli seplastik penuh komik dan meskipun dia bersikeras mau bayar sendiri, gue berhasil membuat gue yang membayar semuanya. Termasuk lima jilid komik Kobochan milik gue sendiri.
"Kenapa kamu suka Kobochan, Cid?" tanya Dica ketika kami sudah semakin dekat ke tempat vespa gue diparkir.
"Soalnya Kobo mirip aku waktu kecil."
Dica tertawa, "Iya juga ya mirip kalo liat dari foto waktu kecil kamu."
"Terus lagi, baca Kobochan tuh gak usah banyak mikir, per cerita cuma empat panel tapi cukup buat ngegambarin karakter Kobo sama keluarganya gimana. Ceritanya simple tapi lucu. Kayak aku gitu deh, simple dan lucu, tapi kalo aku plus tampan."
Dica menggumam, "Pret."
Gue mengangsurkan helm Dica, "Nih pake helmnya, kita lanjutin perjalanan."
"Eh? Perjalanan ke mana lagi? Bukannya abis ini pulang?"
"Oh, nggak, masih ada dua tempat tujuan lagi. Aturannya masih sama kayak tadi, gak boleh nanya."
"Dih? Gitu?"
"Iya, gitu."
Tempat kedua adalah.....
Jengjeng!!!! Pasar ikan hias di bilangan Jakarta Pusat.
Sekali lagi gue melihat wajah berseri-seri Dica begitu ia melihat apa yang ada di depannya, berpuluh akuarium dengan berbagai ukuran berderet di sisi kanan dan kiri, dengan beragam ikan berenang-renang di dalamnya.
"Sini, kita beli ikannya sepasang yuk." Gue menarik tangannya, tidak menyadari reaksinya ketika telapak tangan gue menyentuh telapak tangannya dan mengajaknya menuju satu toko.
"Kan si Kemiri udah mati waktu itu, jadi sekarang kita cari penghuni baru buat akuarium kamu." Ujar gue menyebut nama ikan hias keemasan yang dulu gue kasih pas nembak dia.
Dica yang masih tercekat melihat pemandangan di sekelilingnya sontak menatap gue, dengan genggaman tangannya yang masih belum lepas. Gue mencoba menerjemahkan arti sorot matanya, campuran tidak percaya dan tersentuh? Entahlah, yang gue tau, agenda gue hari ini berhasil.
Iya, agenda buat bikin dia seneng.
"Tuh kamu pilih, mau ikan yang mana. Sepasang ya! Si Kemiri waktu itu juga pasti kesepian makanya dia sakit terus mati. Makanya sekarang jangan cuma satu belinya."
Sebelum gue merepet sampai dua puluh dua paragraf lagi, Dica menarik gue ke salah satu akuarium, gue ikut membungkuk untuk mengikuti arah pandangannya.
"Yang itu gimana, Cid? Warnanya biru item, kaya Dory."
"Ok! Yang itu. Aku yang kasih nama ya?"
"Pasti mau kamu kasih nama bumbu dapur deh."
"Itu tauuu." Gue nyengir, dan melihat cengiran gue dari kaca akuarium, Dica otomatis ikut tersenyum.
Saat gue dan Dica menunggu sepasang ikan baru kami dimasukkan ke plastik yang diisi udara oleh penjualnya. Dica masih asik mengamati satu demi satu akuarium yang di sekitarnya.
"Ca," panggil gue.
"Apa?"
"Ikan tuh sebenernya gak hidup di laut atau di sungai lho."
Alis Dica bertaut, "Terus di mana?"
"Di air. HAHAHAHAHAH."
Dica memutar bola matanya, tapi gue bisa melihat senyumannya tergurat singkat sebelum ia kembali memperhatikan ikan-ikan di akuarium dengan sinar dreamy dari matanya. Kadang ini juga yang bikin gue makin sayang sama cewek gue, dia tuh segemes ini lho? Bahagia karena hal-hal yang kadang sepele buat orang lain. Itu juga yang jadi penyebab kenapa dia suka mengarsipkan benda-benda semacem tiket nonton.
Tanpa menimbulkan suara, gue menarik hp gue dari saku dan diam-diam memotret Dica yang sedang mengamati ikan-ikan badut yang ia sebut 'Nemo' di dalam satu akuarium. Cahaya remang dari lampu dim aneka warna akuarium di sekitar kami berdua menimpa wajahnya, bola matanya, dan rambutnya yang tergerai.
Gue menahan napas.
Sebelum akhirnya gue memasukkan foto itu ke Instastory gue, dengan caption 'Art ciptaan Tuhan'
Lalu seperti yang udah gue prediksi, sekejap kemudian bermunculan notif dari anak Komet menimpali story gue. Heran, pada gabut amat ni makhluk-makhluk.
Satrio: Ok.
Jime: Sip.
Rama: Ditunggu aja halalnya.
Galang: Kak Dicaaaaaaaaaaaaaaa
Wawan: Kencannya ke pasar ikan lu? Gua nitip mujaer lah.
Tolong kasih gue satu alasan logis kenapa sampe sekarang Bagas Arrizqi Gunawan ini belom gue block?
Gue pun membalas, 'Gak ada, Wan adanya tongkol.'
*
Tempat tujuan terakhir dari rangkaian kencan yang gue rancang hari ini adalah warung nasi goreng langganan kita berdua.
Gue dan Dica duduk bersisian sekarang karena hampir semua meja penuh. Sepasang ikan hias yang baru dibeli menatap gue dan dia sambil membuka tutup mulutnya dari balik plastik bening yang gue letakkan di sebelah kotak tisu.
Dica seperti biasa menaruh ati ampela dari nasi gorengnya ke piring gue. Sebenarnya dia bisa saja bilang ke abangnya yang udah kenal kita berdua supaya punya dia jangan dikasih ati, apalagi dikasih jantung, tapi Dica gak melakukannya karena katanya kalo gini kan gue bisa makan lebih banyak. Dia concern banget apalagi kalo gue udah mulai kurusan dikit. Aduh, enak ya diurusin cewek. Hehehe.
Gue melirik ke arah jaket denim gue yang gue lepas dari sejak duduk di kedai nasgor ini karena gerah, sekarang jaket itu ada di atas pangkuan Dica. Kenapa ya, ngeliat itu aja gue jadi pengen cengengesan sendiri.
Kalo ada yang nanya kenapa gue sering banget pake jaket itu (terutama Wawan nih yang sering nanya, dia menuduh gue gak mampu beli), gimana ya, tu jaket udah kayak mutlak jaket kesayangan gue. Bukan sekadar jaket, cuy. Jaket itu yang pernah mayungin Dica waktu hujan-hujanan pas first date kita. Nilai sentimentalnya tinggi buat gue, dan nilai sentimental gak bisa diitung pake itungan nominal, soalnya adanya di hati. (asik)
Waktu itu Dica sempet nanya, "Mau aku beliin jaket denim baru gak?"
Gue bilang gak usah, selain karena gue udah punya banyak, gue juga punya satu kesayangan. Mending gue sering-sering pake sampe buluk gak apa-apa. Kenapa? Karena gue tau Dica suka kalo gue pake jaket itu.
Kembali ke konsep 'If you can't love me, then I'd slowly become what you love'. Soal konsep ini Dica juga pernah bilang sama gue, dia juga pengen nyoba kayak gue.
Gue inget dia nanya dengan wajah seriusnya.
"Kalo kamu aja bisa usaha sampe bisa tau banget soal Jepang dan hal-hal lain yang aku suka, aku juga mau kayak gitu, biar kamu ngerasain yang sama, gak aku doang."
Gue gak bisa menahan senyum gue waktu denger dia ngomong begitu, "Emang kamu mau gimana? Mau belajar drum?"
Dia menggeleng, "Bukan, tapi aku mau kok nemenin kamu nonton Naif. Bentar lagi AnNaifersarry kan? Aku tau kan?" ujarnya bangga (dan gemesin)
Dan sebagaimana kekaguman gue sama David Bayu, panutan gue selain Alex Turner, dia juga tau gue bukan tipe penonton yang ngangkat hp. Sebisa mungkin kalo gue nonton band apa aja, gue membiarkan mata gue yang menjadi lensa kamera, merekamnya baik-baik dan menyimpannya dalam otak. Karena sayang aja kalo lo nonton band yang lo suka dari balik layar hp. Perantara musiknya nyampe ke hati tuh agak jauh.
Karena Dica tau itu, dia juga memposisikan diri jadi penonton yang sama kayak gue, membiarkan gue loncat-loncat, berteriak, dan mengangkat tangan sebebas-bebasnya dan yang dia lakukan adalah berdiri di sebelah gue sambil ikut bernyanyi. Itu cukup.
Tapi pulangnya, gue bilang sama dia, "Ca, aku cuma mau ngasih tau, kamu gak usah repot-repot jadi 'what I love' karena diri kamu sendiri aja udah jadi who I love kok."
Iya begitulah, gue berkata sejujurnya.
Karena gue emang sayang sama perempuan ini.
Dulu temen-temen gue sempet bingung, kenapa gue bisa kepatil sebegininya sama Dica, karena meskipun dia cantik banget, tapi personalitynya sangat bertolak belakang sama gue dan jauh dari bayangan temen-temen gue soal kriteria cewek Rasyid Ananta.
Tapi ya gimana ya? Lo gak bisa pake logika buat apa-apa yang kaitannya dengan hati.
Asik, Wan, kata-kata lo gue pake lagi nih, Wan.
Ada faedahnya juga si kunyit.
Iya, hati gue sendiri yang bilang kalo gue sayang sama dia.
Waktu kita putus dulu, sakit hati sih pasti, kacau banget sih gue waktu itu, gak gue tunjukkin aja. Tapi lama kelamaan gue juga berusaha ngertiin keputusan dia. Gue juga masih belom bener, masih agak brengsek karena Rasyid Ananta ini bukan manusia sempurna, bukan cowok yang bener-bener idaman. Salah kalo lo nyari cowok yang bener-bener idaman karena gak bakal ada, bahkan tokoh fiksi juga punya kekurangannya. Kekurangan gue adalah gue selow aja ngeladenin cewek-cewek yang naksir gue tanpa tau kalo cewek gue gak nyaman, gue juga gak nyadar kalo cewek gue sebenernya banyak kepikiran ini itu.
Jadi intinya, gue sama dia sama-sama salah. Tapi ya, namanya juga jodoh gak ke mana ya. HEHE, AMININ DONG.
"Aku tadinya mau bersihin tempat ini dari kenangan jelek," gumam gue selagi Dica menyuap nasi gorengnya. "Biar kalo ke sini aku gak inget pas kita putus, tapi kayaknya aku gak usah repot deh, dari sejak duduk lagi sama kamu gini terus kamu ngasih ati ampela dari piring kamu ke piring aku, kenangan jeleknya udah ilang."
Gue bisa menangkap semu merah sekilas di pipi Dica saat dia menyergah, "Apaan sih."
*
Dica turun dari boncengan begitu vespa Acid berhenti di depan pagar kos-kosannya. Gadis itu melepas helmnya lalu dengan hati-hati mengecek ikan-ikan dalam plastik.
"Masih sehat kan mereka?" tanya Acid, turun dari motor dan ikut mendekatkan wajahnya.
"Sehat." Jawab Dica, sedikit kaget karena jarak wajahnya dengan wajah Acid jadi semakin dekat dan hanya terpisah ikan-ikan. "Ya udah, aku masuk ya. Makasih Acid, buat hari ini. Ati-ati pulangnya, jangan ngebut."
"Eh, bentar." Acid menahan lengan Dica. "Aku belom ngasih ini."
Mengabaikan kerutan heran di dahi Dica, Acid merogoh saku jeansnya dan menyodorkan lipatan kertas.
"Surat buat Adisa." Katanya tidak lupa dengan cengiran di ujung kalimat. "Aku sengaja ngajak kamu ke toko komik bekas terus ke pasar ikan hias, karena aku tau kamu bakal suka. Orang kalo ngasih kado barang doang, bisa aja lupa, tapi kalo ngasih kado ingatan, aku jamin gak bakal lupa, dan itu yang pengen aku kasih buat kamu."
Dica terdiam, dadanya berdesir karena nada suara Acid dan juga kalimatnya.
Karena degup jantungnya yang mulai dikhawatirkan terdengar sampai ke luar angkasa, Dica menelan ludah, mengurangi kegugupan, "Terus ini suratnya, boleh aku buka?"
"Boleh dong."
Dica membuka lipatan kertas itu dengan Acid masih memperhatikan sambil memasukkan kedua tangan di saku jaket denimnya, matanya lekat mengamati ekspresi Dica.
Sebaris tulisan Acid menyambut mata Dica begitu membuka lipatan kertas.
Yts. Adisa,
"Yts apa, Cid?"
"Yts tuh Yang TerSayang."
Dica mulai merasa t-rex di perutnya bereaksi lagi, ia meneruskan membaca.
Yts. Adisa,
Waktu kamu baca surat ini berarti kamu baru aja pulang dari petualangan kecil kamu sama pacar kamu dan vespanya.
Pacar kamu emang gak sehebat Alex Turner dalam hal surat menyurat tapi Alex Turner pasti gak bisa niru suara kecapi kayak pacar kamu kan?
Gimana, Ca hari ini?
Walaupun bukan ke museum komik asli di Tokyo atau Akuarium Kaiyukan di Osaka, tapi semoga kamu seneng sama versi sederhananya ya :]
Ca, kamu tau gak aku jadi seneng sama Februari karena bulan ini belasan tahun silam, pacar aku dilahirin.
Rasanya mau sungkem sama ayah bunda kamu karena udah bawa kamu ke dunia ini dan akhirnya ketemu aku.
Aku juga seneng Februari karena bulan ini juga kita jadian.
Aku tau kita berdua sama-sama gak mentingin ulang taun atau anniv, tapi gak ada salahnya kan buat mengingat.
Doaku, semoga Februari-Februari berikutnya kita masih sama-sama.
Selamat bulan Februari!
Dari Yts-mu,
Rasyid.
Hening, tapi Dica bisa merasakan kehangatan tatapan Acid di depannya, yang menunggu ia selesai membaca. Membaca surat yang setiap huruf dan katanya, meskipun bukan kata-kata puitis, seperti masuk dan mengisi penuh isi hati Dica sampai nyaris tidak ada ruang tersisa lagi. Pelan-pelan ia mengangkat wajahnya untuk balas menatap Acid.
"Makasih ya, Rasy—"
Sebelum Dica menyelesaikan kalimatnya, Acid sudah mendekat dan mencium kening Dica. Pelan, namun mampu membuat kaki Dica melemas. Wajahnya dengan segera memanas seperti orang kena demam.
Apa
Sebenarnya
Motivasi
Rasyid Ananta ini.
Acid memamerkan senyuman khasnya, yang Dica sebut senyum kotak itu kemudian berkata, "Sengaja aku ciumnya di kening, soalnya di balik kening ada pikiran kamu. Jadi abis ini pasti ciumnya kamu pikirin terus."
Ya ampun, Rasyid.
"Selamat ulang tahun, cantik." Ujar Acid lembut.
Membiarkan sepasang ikan yang baru mereka beli, si Dongker, pagar kosan, pohon-pohon menjadi saksi dan iri pada mereka.
*
Suatu hari, November 2017
[Rasyid Ananta]
https://m.kumparan.com/anissa-maulida/alex-turner-arctic-monkeys-dan-alexa-chung-balikan
Liat Ca, Alex - Alexa balikan, ngikutin Acidica.
a/n:
hai kalian acidica enthusiast!!
mau ngucapin makasih dulu karena udah meninggalkan vote dan comment di chapter satu series baru ini.
bisa dibilang ini chapter awal emang aku test drive dulu gitu mau liat kayak gimana responsnya. hehe.
terus sebelum ada banyak pertanyaan, aku mau meluruskan konsep dari cerita ini.
aku sengaja buat dua chapter awal ini masih nyeritain manis-manisnya mereka abis balikan, terus kan ada jg yg belom diceritain kayak dulu Acid pdkt sama nembaknya gimana dll dll.
dan aku juga sengaja pake pov mereka gantian supaya kalian jd makin kenal setelah tau jalan pikiran Acid dan Dica.
oh jadi mereka begini dst.
terus apakah ada konflik? pasti ada dan baru akan munculkan di chapter 3 nanti. pelan-pelan ok. (pelan-pelan sajaaa)
terus kenapa anak komet muncul sedikit? karena series ini memang fokusnya di Acid dan Dica. anak komet aku kupas habisnya di Komet 101 (kupas lo kira bawang) tapi bukan berarti di sini gak muncul sama sekali.
tenang saja ok ok.
aku dengan senang hati akan membaca komen-komen, karena ini series baru, jadi aku mau tau aja apakah aku bakal semangat nerusin apa nggak.
semoga suka yaaa 💙
luvs.
-rns
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top