February - 1
Dica
Hai, gue Adisa Mutiara Dewi, mahasiswi Sastra Jepang di salah satu universitas yang kalian gak perlu tau namanya, ya pokoknya kalian bayangkan seperti kampus-kampus pada umumnya saja.
Gue milih Sastra Jepang sebenernya alasannya sederhana banget, karena gue suka baca komik Sailormoon dari SD dan komik Gals dari SMP. Iya, cuma itu dasarnya. Jadi, waktu gue SD, setiap sore ayah gue selalu jemput sekalian beliau pulang kerja, lalu kita ngelewatin rental buku dan komik di jalan pulang, rental buku itu kebetulan punya teman ayah, menyatu dengan rumahnya. Ayah pertama kali ngajak gue ke situ waktu gue kelas 5 SD, ayah mau bertemu temannya sekalian meminjam beberapa buku tebal berbahasa Inggris.
Selagi ayah mengobrol, gue melipir untuk melihat-lihat seisi rental, tepatnya di bagian komik-komik. Mata gue memindai punggung-punggung komik yang berderet dan berurutan sesuai nomor itu. Gue ingat, Adisa yang masih berusia 10 tahun waktu itu terpukau sekali melihat koleksi komik yang tidak membiarkan seinci-pun rak tinggi itu kosong. Lalu teman ayah bilang, "Pinjem aja, Dica. Mau yang mana? Sailormoon? Candy-candy?"
Setelah itu, dua minggu sekali ayah mengizinkan gue untuk meminjam komik. Rental komik itu kemudian menjadi salah satu tempat favorit gue di bumi selain kamar gue sendiri dan Seaworld. Kebiasaan ini berlanjut sampai gue SMP, setelah gue sudah cukup besar untuk tidak diantar-jemput lagi dan sudah bisa naik angkot sendiri.
Pinjaman komik gue merambah ke komik-komik lainnya yang bergenre shoujo, meski gue masih menyukai para pasukan bulan dan masih berharap bisa menjadi Sailor Mercury suatu hari nanti, gue mulai menyukai komik lain. Gue meminjam Detective Conan, Kindaichi sampai Gals. Komik Gals inilah yang bisa dibilang memberikan kesan yang cukup dalam di diri gue.
Mungkin nggak banyak yang tahu, komik ini menceritakan tentang para Gal, sebutan untuk siswi-siswi SMA di Jepang yang berpakaian nyentrik dan sering nongkrong di Shibuya dan sekitarnya. Tiga tokoh utamanya bernama Kotobuki Ran, Yamazaki Miyu, dan Hoshino Aya. Jika orang hanya mendengar deskripsi awalnya saja, pasti mereka bilang tidak ada yang spesial dari komik ini, hanya terdengar seperti komik tentang cewek-cewek hobby dandan disertai cerita cinta-cintaan tidak penting. Padahal sebenarnya komik ini jauh jauh lebih deep dari itu.
Gue meminjam komik yang hanya berseri sampai 10 itu belasan kali, dan tidak pernah tidak tersenyum membaca bagian-bagian lucu nyelenehnya walaupun gue sudah membacanya berulang kali, dan kekaguman gue terhadap tokoh Kotobuki Ran juga tidak berkurang.
Bagaimana menggambarkan Kotobuki Ran? Kotobuki Ran adalah tipikal gadis yang akan kamu takuti di sekolah karena aura intimidatifnya, tapi juga akan membelamu habis-habisan sekali kamu menjadi temannya. Ia kadang terlihat sebodo amat tapi sebenarnya memikirkan orang-orang yang dia sayangi. Kalau lo tergolong introvert (seperti gue) yang kadang untuk menolak permintaan orang semena-mena saja tidak bisa, maka Kotobuki Ran akan menjadi sosok yang membuat kita ingin jadi seperti dia. Yang blak-blakan dan apa adanya, kalau tidak bisa dan tidak suka ya bilang tidak.
Ia juga satu-satunya anak dalam keluarganya yang menolak jadi polisi mengikuti jejak ayah ibunya, kedengarannya bandel tapi di mata gue itu adalah wujud keberanian dan pendirian. Ran melakukan apa yang ia suka dan menjalani hidup dengan caranya. Ia mungkin urakan, tapi ia tidak pernah membiarkan temannya yang membutuhkan bantuan tertinggal sendirian. See? Komik itu bukan sekadar tentang kenakalan cewek-cewek penggila fashion kan? Ada arti yang lebih dalam.
Ran membuat kagum sekaligus iri, iri karena gue tahu seberapa keraspun gue berusaha, gue tidak bisa menjadi seperti dia. Gue lebih mirip tokoh Hoshino Aya, teman Ran yang pemalu dan pendiam, menyimpan perasaan pada Otohata Rei, siswa SMA tampan juara Student Grand Prix atau apalah namanya itu. Meski pada akhirnya Aya dan Rei jadian, gue tetap lebih iri pada tokoh Ran.
Gambar Kotobuki Ran pun bersebelahan dengan Ami Mizuno alias Sailor Mercury di lembaran jurnal gue. Dan karena pengaruh mereka pulalah, gue bilang sama ayah dan bunda, gue ingin kuliah Sastra Jepang.
Gue bersyukur karena meski alasan gadis kecil mereka sesederhana komik kesukaannya, ayah dan bunda gue mengizinkan gue mengambil jurusan tempat gue akhirnya gue berkuliah sekarang.
Karena mereka juga gue bertekad untuk melakukan hal yang sama buat anak gue kelak, membebaskannya memilih apa yang dia suka.
Ayah bilang, pelajaran hidup bisa didapat dari mana saja, dan jika kamu menemukannya dari komik sekalipun, tidak mengurangi makna di dalamnya.
Hidup dan pandangan seseorang bisa berubah dan menjadi lebih baik lewat berbagai macam medium, bisa karena film berdurasi seratus dua puluh menit, buku setebal lima ratus halaman, puisi berbait sembilan, bahkan dari komik Jepang. Dari manapun asalnya, tidak ada patokan apakah medium tersebut lebih kecil atau lebih besar, lebih penting atau tidak penting, karena setiap orang memaknainya dengan cara masing-masing.
Jadi di sinilah sekarang putri kecilnya itu menuntut ilmu, dalam bidang yang memang ingin ditekuni, dilandasi kesukaannya terhadap cerita-cerita dalam komik. Putri kecilnya yang ia panggil Dica sedari kecil ini juga menyimpan mimpi besar untuk bisa pergi ke Jepang, menyebrangi jalan sibuk di Shibuya saat malam hari, membiarkan kerlip lampu jalanan terpantul di bola mata, menghirup udara musim semi, dan menyaksikan cahaya kembang api melukis langit di tengah salah satu festival musim panas.
Suatu hari nanti.
"Ca, kayaknya mau hujan," gumam Dea, teman sekelas gue ketika kami berdua melangkah keluar gedung jurusan sehabis kelas. Gue ikut menengadah menatap langit, sapuan warna monokrom yang terbentang seakan menguatkan dugaan Dea barusan.
"Gue bawa payung kok." Ujar gue sambil mengaduk ransel.
"Dih? Kenapa lo?" Dea menautkan alis mendapati gue tersenyum tipis setelah mengembangkan payung kecil gue.
"Nggak, gue seneng aja, ini pertama kalinya gue pake payung ini setelah gue beli seminggu lalu di miniso," senyum di wajah gue masih belum hilang ketika mulai melangkah ke jalanan becek dengan Dea di sebelah gue. "Lucu kan, De, payungnya? Bintangnya kecil-kecil gitu."
Dea mengangguk-angguk, dia sudah sangat mengenal gue sehingga paham bahwa hal-hal kecil yang kadang menurut dia sama sekali tidak penting bisa membuat gue senang. Karena itulah tidak jarang dia dan teman-teman gue yang lain berkata gusar, 'Gue gak ngerti deh Ca lucunya di mana??' atau 'Lo gampang dibikin bahagia ya?'
"Iya deh, Ca, iya." Sahut Dea.
Kami terus berjalan bersisian sambil sesekali menghindar dari genangan air. Dea melirik jam tangannya yang dibasahi titik-titik air, dan sekilas gue melirik, sudah pukul empat lewat sepuluh.
"Lo yakin gak ikut balik nih?" tanyanya memastikan.
Gue menggeleng, "Mau ketemu Rasyid dulu di kantin."
"OOOOOOH." Dea cengar-cengir sekarang, ih kenapa sih dia. "Udah janjian toh sama anak mesiiiin." ledeknya.
"Mau makan bareng aja."
"Makan apaan?? Lo kan udah makan siang tadi?"
"Ya... makan lagi."
Dea tertawa, "Eh, tapi gue seneng Ca kalian balikan. Kalian tuh cocok banget, kalo istilah fangirlnya gue ngeship kalian banget. Acid x Dica is my grand cruise."
"Apa sih, De..."
"Serius, Ca! Gue gak bisa bayangin lo sama orang lain selain Rasyid anak Teknik itu. Ngomong-ngomong dia drummer kan? Temen bandnya atau temen kosnya ada yang cakep dan jomblo gak tuh? Atau gak, ya anak Mesin yang lain deh. Kenalin dong."
Gue menggeleng-geleng, "Coba lo tanya langsung aja sama dia nanti."
"Gak ah, gue gak mau ganggu kalian. Pasangan baru... baru balikan. Heheheheheh."
Dea mulai deh.
"Eh by the way, bentar lagi kan Valentine, Ca!!!" Dea memuku-mukul bahu gue heboh sampai payung yang gue pegang berguncang.
"Ya terus kenapa?"
"Kan ultah lo barengan sama hari Valentine!!!"
"Iya, terus kenapa?" ulang gue kalem.
"Pas banget nih momennya, kalian baru balikan terus langsung Valentinan sekaligus ultah lo lagi kan! Eaaa."
Gue memutar bola mata, "Lo kayak gak tau gue aja. Gue anti kayak gitu-gituan, De."
Gue memang dilahirkan tanggal 14 Februari, hari yang disebut orang-orang sebagai kasih sayang. Tapi gue berterima kasih sebesar-besarnya karena baik ayah maupun bunda gak kepikiran buat memberi gue nama yang ada bau Valentine-valentinenya.
Bilang gue kaku, terlalu serius, dan gak seru, tapi gue emang gak menemukan sesuatu yang spesial dari tanggal itu (selain bahwa hari itu merupakan hari yang menguntungkan pabrik cokelat). Apalagi gue tau sejak kecil kalau Saint Valentine yang jadi asal-usul hari kasih sayang itu sebenarnya dibunuh di akhir penyiksaannya.
Gue juga gak begitu mementingkan hari ulang tahun, mungkin karena dari kecil juga gue gak dibiasain ngerayain ulang tahun. Jadi ya udahlah... di bulan Februari setiap tahunnya gue hanya melengos setiap kali menjumpai berbagai atribut Valentine dari mulai ornamen-ornamen bentuk hati sampai cokelat berpita.
"Acid bakal ngasih kado apa nih kira-kira, Ca?"
"Hmmm..."
"Gak mungkin dia gak nyiapin apa-apa kan? Secara gitu, pacarnya ulang tahun barengan sama hari kasih sayang."
Gue meringis mendengar yang terakhir itu. Kenapa sih namanya harus hari kasih sayang? Seolah saling menyayangi butuh peringatan padahal kita melakukannya setiap hari. Menyayangi Tuhan, menyayangi orang tua, menyayangi seseorang, menyayangi hewan peliharaan, menyayangi diri sendiri.
"Gak nyiapin apa-apa juga gue gak masalah, sama sekali."
"Pas taun kemaren dia ngasih apa???"
Pertanyaan Dea itu membuat gue menyadari satu hal. Bisa dibilang gue dan Rasyid belum pernah melewatkan pertengahan bulan Februari bersama-sama. Gue resmi jadian sama dia akhir Februari dua tahun lalu, setelah ulang tahun gue lewat. Kami putus setahun kemudian, sebelum hari ulang tahun gue. Jadi ya, bisa dibilang gue gak pernah melewatkan ulang tahun gue bersama dia.
Tunggu, berarti.... Bulan ini juga gue dan dia anniversary?
Gue menggigit bibir, menahan diri supaya tidak keceplosan, karena jika Dea tahu kalau ada tiga peringatan sekaligus bulan ini dia bisa tambah heboh.
Mendadak perut gue terasa mulas untuk sebab yang tidak gue ketahui.
"Dia telepon, ngucapin happy birthday, Adisa. Gitu aja sih."
"Gitu doang??? Acid cuma ngucapin gitu doang??"
"Emang harusnya gimana?"
Orang pas itu lagi putus, tambah gue dalam hati.
"Aneh aja, dari yang gue liat dia kayak yang bakal effort banget gitu buat pacarnya, kalo perlu jadi badut."
Gue tertawa pendek, "Gak gitu kok. Lagian guenya juga gak mau kalo sampe kaya, gitu."
Dea berdecak sambil sedikit menggeser langkahnya supaya bahunya terhindar dari air hujan yang menetes di ujung payung minimalis gue. "Lo tuh aneh tau gak sih, Ca."
"Kenapa tuh?"
"Ya aneh, lo bisa bahagia banget cuma karena pake payung bintang-bintang yang baru lo beli di Miniso, atau karena bau tanah abis hujan, atau karena donat gula danusan panitia gula putihnya merata dan banyak, pokoknya sama remeh temeh gitu deh. Tapi justru gak antusias sama ulang tahun lo sendiri. Aneh kan?"
"Gak aneh, biasa aja. Setiap orang punya ruang kebahagiaannya masing-masing, dan cuma mereka sendiri yang tau materi pengisinya."
"Aduh, ngomongnya berat bangeeet."
Tapi mau tidak mau gue memikirkan perkataan Dea, gue juga gak mengerti kenapa justru pada satu hal semacam ulang tahun yang menurut orang lain penting, menurut gue biasa aja?
Rasyid tiba-tiba ikut muncul di kepala gue, dengan senyum kotaknya yang biasa. Menurut gue, dia juga gak begitu menganggap penting hari ulang tahun. Bulan Agustus waktu itu, gue yang biasanya gak memikirkan ulang tahun-ulang tahunan, jadi memikirkan karena dia.
Bagaimanapun dia pacar pertama gue, jadi gue mikir keras gimana biar dia seneng pas hari ulang taunnya. Gue sampe tanya-tanya ke Vanya, dan suruh dia tanya ke Ikal selaku yang sudah kenal Rasyid sejak laki-laki itu masih kecil, kira-kira dia bakal suka dikadoin apa.
Akhirnya gue membelikan dia jam tangan hitam—yang masih sering dia pake bahkan setelah kami putus waktu itu—dan dengan niat, gue juga membuatkannya kue. Iya, kue bikinan gue sendiri, meminta semua penghuni kosan gue maklum dengan karena gue memonopoli dapur.
Ada senyum tertahan di wajah gue mengingat momen itu. Sejujurnya momen ini agak konyol. Jadi, hari itu Rasyid mengabari gue kalau dia bakal di kampus sampai sore. Karena gue terlalu malu untuk menghampiri dia ke Teknik membawa-bawa kue, akhirnya gue memutuskan untuk menaruh kue itu di Komet, di tempat kosnya, tanpa bilang-bilang dia. Maksudnya biar surprise, mengikuti cara orang-orang pacaran di teenlit dan sinetron.
Jadilah gue pergi ke Komet membawa kue tart berlumur krim cokelat buatan gue sendiri yang agak penyok di bagian ujungnya. (Jadi ini kue apa mobil nabrak pager? Kok penyok?). Gue berpikir waktu itu, apapun yang buatan sendiri pastilah lebih spesial dijadikan kado.
Gue masih ingat siapa yang menyambut gue di Komet hari itu, teman karib Rasyid yang berbadan besar dan ramah.
"Ini... Dica ya?" katanya yang sedang mencuci motor waktu itu.
"Iya," gue memegangi kotak berisi kue dengan salah tingkah.
"Gue Satrio."
Oh, jadi ini yang namanya Satrio Daniel, yang sering disebut Rasyid sebagai Bangsat dan Lengkoas. Dasar Rasyid, dilihat dari segi manapun, Satrio sama sekali tidak mirip Lengkoas.
"Acidnya belom pulang, Ca. Mau nunggu di teras?"
"Eh, nggak. Gue ke sini cuma mau nitipin ini aja."
Satrio menatap kotak di tangan gue, sejurus kemudian cengiran muncul di wajahnya, menambah kesan ramah yang sejak tadi sudah terlihat dari matanya.
"Kado buat si Kerak Ubin ya?"
Ya ampun, apa semua penghuni kos-kosan ini hampir selalu mengganti nama temannya dengan nama ajaib?
"Ngg, kue doang sih."
"Wah, kue??" Mata Satrio berbinar-binar.
"Iya, bisa titip gak?"
"Eh? Gak mau lo kasih sendiri aja? Pas si Acid pulang?"
Gue menggeleng, "Gak usah, gue titip aja. Nanti dianya gue telepon."
"Oh, ok deh."
"Kalo mau nyicipin boleh kok." Ujar gue karena menangkap mupengnya Satrio.
"Nggaklah, ini kan spesial dari lo, masa gue duluan yang nyicip? Bisa digantung di pohon jambu nanti gue sama si Acid. Hehe."
Setelah memastikan kalau Satrio meletakkan kue buatan gue di tempat yang terjangkau mata Rasyid saat ia pulang nanti, gue pun pulang, masih belum bilang pada Rasyid kalau gue membuatkannya kue dan kue itu sudah sampai ke Komet.
Baru ketika Rasyid mengabari gue dia otw pulang, gue bersiap-siap meneleponnya.
"Hallo, Ca." diangkat di sambungan pertama.
"Udah sampe Komet?"
"Iya nih, baru aja copot sepatu. Kenapa, Ca?"
"Gak apa-apa."
"Kangen ya?"
"...."
Rasanya gue bisa melihat dia tersenyum kotak di seberang sana.
"Rasyid, sebenernya aku tadi—"
"IH!!! ADA KUE!!!"
Nah, akhirnya dia menemukannya juga. Kue itu diletakkan oleh Satrio di meja ruang tengah tadi.
"Ni pasti bikinan Krucils buat aku nih, pantes kemaren aku liat si Galang belanja tepung. Emang gitu, Ca, mereka segitu sayangnya sama aku."
"Tapi itu—"
"Aku cobain ah,"
"...."
"Hmmm," Rasyid terdengar menggumam dengan mulut penuh, "Gak enak banget. Pait. HAHAHAHA TERUS AKU BARU SADAR KUENYA GOMPAL. KOCAK BANGET NI KUE."
Gue terdiam, tepat saat itu terdengar suara pintu menjeblak terbuka, lalu sayup-sayup suara Satrio, "ITU KUE DARI CEWEK LO, GOBLOK!!!"
Hening.
Hening yang cukup lama.
Sampai akhirnya Rasyid langsung bicara dengan cepat dan panik, "CA!!! MAAP AKU GAK TAU!!! YA AMPUN, CA. INI ENAK KOK MAYAN!!! CA????"
Selalu. Setiap mengingat momen itu gue tertawa dalam hati. Begitulah Rasyid Ananta. Gue tau dia sayang sama gue, tapi kadang sikapnya membuat gue kaget. Gue kadang tidak terbiasa dengan dia yang terlalu santai. Jadi sebenarnya kami cocok tapi juga tidak cocok. Alasan yang juga pernah membuat kami putus.
Tapi sekarang gue sadar kalau ketidakcocokan sebenarnya bukan jurang, selama ada perasaan yang sama di antara kami, makan perasaan itu akan menjadi jembatan kuat yang menyambungkan jurang.
"Tuh, Acid lo tuh, udah nungguin." Senggolan bahu Dea membuyarkan lamunan gue, menyadarkan gue kalau kami sudah berjalan sampai tiba di depan kantin, dan gue refleks mengarahkan mata gue pada satu titik.
Dia duduk di sana, di salah satu kursi yang terlihat dari depan kantin, begitu menyadari keberadaan gue dalam radius beberapa meter darinya, ujung-ujung bibirnya langsung tertarik menciptakan senyuman. Ia melambaikan satu tangannya seperti anak kecil yang sudah sedari tadi menunggu.
Ada sesuatu di hati gue yang bereaksi.
"Gue balik duluan ya." Ucap Dea dengan nada setengah menggoda. "Dadah, Caa."
"Eh, lo hujan-hujanan? Pake payung gue aja?"
Dea menggeleng, "Gak usah, gue bisa terobos kok. BYEE!!!"
"Eh! De!!"
Tapi Dea sudah keburu kabur dari bawah naungan payung gue.
Gue menghela napas, kembali menoleh pada seseorang yang sudah menunggu gue. Sudah sekian lama mengenal Rasyid Ananta, efek senyumnya masih sama, seperti membangunkan dinosaurus di perut gue. Iya, bukan kupu-kupu lagi, tapi t-rex kalau mengutip ucapan dia waktu itu.
"Udah lama?" tanya gue begitu duduk di depan dia setelah menutup payung gue dan menyandarkannya di kaki meja, dalam sekejap membuat genangan air mini di ujungnya.
"Nggak kok, tapi aku udah di sini sebelom hujan." Matanya memandangi gue dengan intens lagi, "Untung kamu gak hujan-hujanan. Nih, mau minum gak?" ia menawari sebotol air putih. "Tapi aku udah pesen ovaltine anget dua. Kamu suka kan?"
Gue mulai merasa mulas lagi. "Iya, makasih ya udah dipesenin."
"Kamu keluar kelas jam berapa emang tadi?" tanya gue, berusaha mengendalikan si t-rex sementara lelaki di depan gue yang menjadi faktor utama kemunculan t-rex itu melipat kedua tangannya di atas meja seperti duduk siap anak TK, matanya lurus menatap gue.
"Jam... berapa ya. Jam empat kurang sih, terus aku langsung ke sini."
Gue menoleh ke kanan kiri, "Gak sama temen-temen kamu?"
"Nggaklah. Kan aku mau ketemu kamu."
Ya udah, liatinnya biasa aja, Rasyid, bisa?
"Kok Dea gak kamu ajak ke sini juga tadi? Kasian ujan-ujanan."
"Tadi udah aku ajak, dianya malah kabur duluan."
"Emang kamu suruh pulang kali tuh. Biar berduaan sama aku."
"Idih?"
Rasyid tertawa melihat ekspresi gue. "Iya juga gak apa-apa, emang aku maunya juga berduaan."
"Cid, ini kantin rame lho. Dari mananya berdua?"
"Seenggaknya di sini," Rasyid menarik ujung telunjuknya mengitari meja seperti sedang menandai teritorial, "di meja ini, kita berdua."
"Iya deh."
"Eh, Ca, kayaknya hujannya awet deh." Ujarnya seraya melemparkan pandangan ke luar kantin, di mana air hujan masih menderas dan menguarkan hawa dingin yang akan cocok dikompensasi dengan segelas ovaltine hangat.
"Iya, kayaknya..."
"Kalo masih hujan sampe pulang, nanti ke parkirannya kita payungan aja ya."
Gue mengerjap-ngerjap, "Tapi payungku kecil lho?"
"Gak apa-apa, nanti dempet aja ke aku. Gak bakal kena hujan kok. Hehe."
"Maunya kamu. Gak aku pinjemin ah payungnya."
"Kok gitu, Ca? Aku nih bisa jadi ojek payung profesional lho."
"Dari mana, orang payungnya aja minjem."
"Kan aku gak pake payung biasa, kamu lupa jaket aku pernah kamu pake jadi payung?"
Uh, bahas-bahas jaket itu lagi.
"Itu namanya ojek jaket dong bukan ojek payung." Balas gue, berusaha menyamarkan gugup.
Rasyid terkekeh, tawa pendeknya seakan mengalahkan hujan, denting gelas, dan obrolan orang-orang di kantin lainnya, menyerap seluruh fokus gue.
"Ya udah nanti jalannya gak usah dempet, biasa aja, aku gak apa-apa kok kalo pundakku kehujanan. Hehe."
"Aku berdoa hujannya cepet reda aja kalo gitu."
"Oh, gak mau akunya kehujanan berarti?"
Gue pura-pura mau melempar tisu sementara dia tergelak lagi, tahu kalau sebenarnya tebakannya benar.
Saat gue menoleh, menerka kapan ovaltine kami datang, tahu-tahu sesuatu yang hangat terulur menyelipkan sedikit bagian depan rambut gue ke belakang telinga. Tangan Rasyid.
"Gimana tadi presentasi media komiknya? Kamu bilang minggu kemaren kamu takut nilainya jelek?"
Gue terkesiap karena banyak alasan.
Pertama, karena suara Rasyid yang berubah lembut seakan ia sudah menanti-nanti gue bercerita dan benar-benar ingin mendengarkan gue.
Kedua, karena dia ingat bahwa hari ini gue presentasi tentang media komik untuk mata kuliah Terjemahan Karya Kontemporer, bahkan gue tidak bilang apapun padanya tadi malam. Gue hanya bercerita sambil lalu di telepon minggu lalu.
"Heh? Gimana?" tanyanya lagi karena gue masih sibuk meredakan dentuman jantung gue yang mulai seperti music techno.
"Ngg, lancar kok. Aku dapet A."
"Bagus kalo gitu, tapi kalo aku jadi dosennya, kamu aku kasih A++++."
Dia tertawa lagi, dan di tengah debaran keras jantung, mata gue bertemu dengan sepasang mata teduh Rasyid Ananta yang kemudian menjadi segaris karena tertawa.
Adalah suatu kebodohan waktu itu gue memilih untuk berpisah dengan lelaki ini.
Lelaki yang bilang kue buatan gue tidak enak tapi ingat cerita dan kekhawatiran gue seminggu yang lalu. Tanda bahwa dia benar-benar memperhatikan.
Percakapan gue dan Dea tadi tebersit di benak gue.
"Ya aneh, lo bisa bahagia banget cuma karena pake payung bintang-bintang yang baru lo beli di Miniso, atau karena bau tanah abis hujan, atau karena donat gula danusan panitia gula putihnya merata dan banyak, pokoknya sama remeh temeh gitu deh. Tapi justru gak antusias sama ulang tahun lo sendiri. Aneh kan?"
"Gak aneh, biasa aja. Setiap orang punya ruang kebahagiaannya masing-masing, dan cuma mereka sendiri yang tau materi pengisinya."
Seperti inilah materi pengisi ruang kebahagiaan yang gue maksud.
*
Acid
Hallo, nama gue Rasyid Ganteng Ananta.
Eh maaf, maaf, 'Ganteng'-nya gue tambahin sendiri, sebenernya di akta kelahiran gue gak tercantum 'Ganteng' walaupun gue yakin pasti itu kata hati para suster yang merawat gue: 'Wah ganteng banget ni bayi.', 'Hmm pasti gedenya dia jadi lelaki tampan rupawan pujaan.' Lalu ramalan para suster itu menjadi kenyataan. Lihat gue sekarang.
Ok, udahan dulu. Ini gue harusnya kenalan, bukannya sombong.
Gue pernah tanya sama bokap dan nyokap gue kenapa gue dinamain Rasyid Ananta? Katanya Rasyid diambil dari bahasa Arab yang artinya Petunjuk dan Cerdas. Wuih, mantap kan? Sementara Ananta diambil dari bahasa Sanskrit yang artinya Tidak Terbatas.
Kecerdasan yang tidak terbatas. Yoi.
Pantes gue mampu namatin Sudoku dengan cepat, menghafal nama-nama bumbu dapur di phonebook gue tanpa salah, dan sering menang main monopoli dan UNO lawan krucils. IP gue juga gak pernah di bawah tiga. (asik)
Gue mahasiswa Teknik Mesin di salah satu universitas.
Bokap gue juga dulunya Teknik Mesin, karena pengaruh beliau juga sih gue ngambil jurusan itu. Bokap gue tuh gaul lho pada masanya, gue pernah liat foto-foto dia semasa kuliah. Ganteng banget, pantesan nyokap gue naksir. Kalo kalian penasaran bokap gue pas muda gimana ya bayangin diri gue aja. Gue mirip banget sama bokap waktu muda kok. Mirip banget beneran.
Ya udah, pada bersyukur deh sana, bersyukur karena waktu itu bokap dan nyokap gue memutuskan untuk tidak memakai pengaman, sehingga jadilah gue yang lahir sembilan bulan kemudian di bulan Agustus. Hehe.
Bokap gue dulu sering dengerin Elvis, The Beatles, Queen, dan gue dari kecil juga ikut dengerin itu. Jangan salah, di saat anak-anak lain masih nyanyi Balonku, gue udah nyanyi Let it Be. AND WHEN THE NIGHT IS CLOUDY, THERE IS STILL A LIGHT THAT SHINES ON ME. SHINE UNTIL TOMORROW. LET IT BE~~~.
Gedean dikit, bokap gue ngajarin gue drum, mungkin karena udah melihat bakat gue pas gue mukul-mukul pantat galon. Bukan main, lagu pertama yang harus gue pelajari adalah Bohemian Rhapsody-nya Queen.
Gue inget bokap gue bilang di sela latihan drum gue, "Rasyid, di dunia ini tuh masih banyak banget yang bisa ditekuni, dipelajari, didalami, gak ada abis-abisnya. Jangan cepet puas, jangan cepet sombong, kalo kamu udah bisa satu lagu, masih banyak lagu lainnya. Papa mau kamu eksplor diri kamu sendiri, kalo itu bikin kamu seneng, lakukan. Papa gak akan batasi selama itu positif."
Jadilah sekarang gue menjadi mahasiswa Teknik Mesin atas dasar pilihan gue sendiri yang juga tidak meninggalkan hobby gue. Gue masih suka gebuk drum, kadang nyanyi, niru suara kecapi (hei, selama itu bikin gue seneng, kenapa nggak?), terus sekarang gue juga lagi tertarik belajar bela diri. Pasti berguna suatu hari, buat melindungi diri, melindungi keluarga, melindungi cewek gue, atau buat gue ajarin ke anak gue kelak. Ya, pokoknya nanti kalo gue punya anak, gue bakal menerapkan cara yang sama kayak bokap gue ke gue.
Membebaskan dia melakukan apa yang dia suka.
Dia mau jadi apa? Insinyur? Silakan! Pilot? Boleh. Judoka? Boleh. Asal jangan bercita-cita jadi gembok pager aja. (ya siapa juga yang punya cita-cita jadi gembok)
Meski sejak kecil gue udah diperdengarkan selera musik bokap gue. Beranjak dewasa, gue punya selera musik sendiri. Gue suka banget Naif! Kalo ada Naif manggung di sekitaran Jakarta, dan gue lagi luang, pasti gue usahain dateng. Bang David adalah panutan gue.
Gue ngefans sama Naif sejak kapan ya? Gue juga lupa. Mungkin sejak denger lagu Mobil Balap, atau abis nonton video klip Posesif yang iconic pada masanya itu. Oh! Gue inget, gue dikenalin lagu-lagu Naif, SO7, Slank tuh sama Haikal, kakak sepupu gue yang emang deket dari kecil.
Gara-gara Naif juga gue menjadi pengendara vespa sampe sekarang. Gue gak tertarik naik motor gede-gede kayak motornya si Bang Sat, atau motor bebek bernama Rizqullah-nya si Wawan. Gue setia sama vespa biru tua yang ditempelin stiker logo Arctic Monkeys dan stiker tulisan-tulisan berbunyi: 'NGEBUT BENJUT', 'WALAUPUN RODA DUA NAMUN HATI TIDAK MENDUA', sampe 'ENAKNYA NAIK MOTOR, KALO HUJAN GAK KEPANASAN, KALO PANAS GAK KEHUJANAN'.
Iya, kalo luar negerinya gue suka Arctic Monkeys, Oasis, Nirvana, Greenday, Blur. Setelah goals gue ketemu Bang David terlaksana, goals gue yang lain adalah ketemu dan foto bareng sama Bang Alex Turner (akrab). Ya, kalo bisa gue ajakin ngewarkop juga.
Lagu-lagu AM tuh sama kayak lagu Naif, menjadi soundtrack hidup gue. Apalagi pas gue putus waktu itu. Aduh lagu Benci untuk Mencinta sama lagu 505 udah kayak lagu wajib gue.
Tapi itu dulu.
Sekarang gue udah balikan sama cewek gue. Hehe. Yah, jadi nyengir kan nih.
Cewek gue, Adisa Mutiara Dewi, satu-satunya yang gue tulis nama lengkapnya di phonebook. Dia cantik, iya, cantik, tapi segitu aja informasinya, takut banyak yang naksir.
Perempuan yang dinginnya kayak lantai masjid Puncak (kata Ikal, kalo kata gue sih dinginnya kayak dingin angin pas motor-motoran di Puncak gak pake baju) (bukan pengalaman pribadi) tapi sebenernya dia gak sedingin itu. Buktinya gue sering ngerasa anget setiap kali dia bilang 'Ati-ati pulangnya, jangan ngebut.' atau setiap dia rapiin rambut gue yang berantakan atau ngingetin gue makan.
Waktu gue putus sama dia, itu definisi sakit gak berdarah, tapi ya udah gak usah dibahas lagi karena sekarang udah balikan. Nih, gue baru pulang abis ketemuan sama dia di kantin kampus. Tadi gue payungan berdua pula, terima kasih Tuhan, tidak meredakan dulu hujanMu.
Sekarang gue baru selesai mandi dan keramas, seraya mengacak rambut basah gue dengan handuk, gue duduk di meja belajar gue di kamar kos. Mata gue tertumbuk ke arah kalender meja dengan tulisan 'Februari' terpampang jelas.
Ini nih yang jadi pikiran gue, ya, walaupun gue gak melingkari satupun tanggal di kalender, tapi gue inget tanggal 14 Februari itu hari apa. Hari ulang tahun Dica. Gue dari awal Februari udah mikir keras mau ngasih kado apa buat dia. Soalnya dia tuh bukan tipe yang nganggep ulang taun tuh penting. Lah, hari Valentine aja cuek, padahal kan di negara idaman dia aka Jepang itu cewek-ceweknya banyak yang suka ngasih cokelat buat cowok pas Vaentine, bener gak gue?
Tapi walaupun gue tau dia orangnya gimana sama ulang taun, tetep aja gue ngerasa perlu menyiapkan sesuatu yang spesial. Masalahnya ini ulang taun pertama dia yang dirayain bareng gue, setelah sebelumya takdir gak mengizinkan (seminggu sebelum ultah dia, gue sama dia putus, alhasil gue cuma ngucapin di telepon sebagai mantan)
Pas gue lagi sibuk mikir mau nyiapin apa, pintu kamar gue dibuka dengan brutal oleh si sikat WC—sorry maksud gue Kunyit Kisut, sorry lagi, maksud gue BAGAS ARRIZQI GUNAWAN. Ini dia nih, temen satu kos-kosan gue yang mulutnya gak punya lembaga sensor.
"Cid, liat headset gue gak?"
"Nggak. Ganggu aja lo, Wan."
"Wah, ganggu lo mikir jorok ya?"
"YEEEE."
"Headset gue mana, Cid???" Dia mengguncang-guncang gue.
Ck, ada yang mau gak nih temen kayak gini? Gue jual cepat.
"GAK TAU WAN, GUE GAK MAKE. Lo kan suka naro sembarangan, kapan hari ditemuin si Rama di bawah tudung saji. Itu headset apa ayam goreng."
"ADUH GUE MAU DENGERIN LAGU NIH, PINJEM HEADSET LO DAH?!"
"Ogah, bersihin dulu kuping lo."
"ANJING, BERSIH KOK!!!"
"Anjing siapa yang bersih?"
"CID??!!"
"Aduh bacot."
Wawan monyong-monyong, lalu dia menyadari apa yang sedang gue perhatikan.
"Lo lagi bengong mikirin bentar lagi palentinan ya?"
"Bukan valentine."
"Terus?"
"Ulang taun Dica. Ah elo sih ganggu gue mikir."
"OOOH ULANG TAUN NENG DICA."
"Nang neng nang neng."
"Hayo Cid, ngadoin apa lo?"
"Hmmm."
"Dia pas ulang taun lo aja bikinin lo kue eh tapi karena lo tolol, lo malah bilang kuenya gak enak. HAHAHAHAHAHAHHAH."
Nah gini nih, makin pengen nih gue ngeloakin temen model begini. Plis jangan ungkit kebodohan gue itu.
"Nih, nih, nih. Headset nih." Gue mengangsurkan headset gue dari laci untuk mengusir si kuman satu ini. Mukanya langsung semringah.
"Gitu dong, baru namanya Areng Batok yang baik. Tengs ya!"
"Ya, ya, udah sana lo keluar."
"Nanti salamin selamat ulang tahun buat Neng Adica ya. ANDICAAA ANDECIIII!!!"
Wawan langsung melesat keluar sebelum gue menjangkau barbelnya Satrio.
Sialan.
Gue baru akan kembali memelototi kalender ketika sesuatu di meja Satrio menarik perhatian gue. Koleksi komiknya.
Sepertinya gue tahu apa yang mau gue siapkan buat Dica.
(to be continued)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top