epilogue
Stasiun Shinjuku
Rambut agak ikal milik seorang lelaki bergaris wajah tegas itu sesekali diterbangkan angin sisa laju kereta yang baru meninggalkan stasiun. Di belakang dan di sampingnya manusia-manusia yang baru sampai dan baru akan berangkat saling menghindar dari langkah masing-masing, tangan-tangan mereka berlindung di dalam saku jaket dan mantel, begitu juga kedua tangan lelaki itu.
Matanya yang tajam melirik ke ujung peron, memperkirakan jam tiba keretanya untuk pulang sementara hari sebentar lagi malam. Tangannya diam-diam mengecek keberadaan benda yang ada dalam saku jaketnya. Masih pada tempatnya.
Di tengah kesendiriannya dalam satu tempat yang pernah ia juluki sebagai tempat paling ramai sekaligus paling sepi di kota bersama seseorang di masa lalu, lelaki itu terjun dalam lamunan, membawanya pada ingatan sebelum ia kembali ke ke negara ini lagi.
"Apa kabar, Pa?" Pertanyaan pertama yang diloloskan Irham dari mulutnya melihat lelaki tua yang pertama kalinya ia jenguk setelah bertahun-tahun lamanya. Ia tahu mamanya dan Ian beberapa kali menjenguk papanya di penjara tapi bagi Irham ini adalah pertama kalinya. Bahkan Irham masih merasa sangat ganjil memanggilnya 'Pa' lagi. Irham sudah merasa kehilangan sosok Papa jauh sebelum papanya dipenjara.
Mata lelaki tua itu berpuluh kali lipat menjadi lebih redup, ambisi berapi-api yang dulu selalu ada di sana kini telah lenyap, yang ada hanya lelah bercampur kosong.
Menyingkirkan semua perasaan yang tidak nyaman yang sedari tadi melingkupinya, Irham berkata lagi, "Gak apa-apa kalau papa sebenernya gak mau ketemu saya. Saya tahu, di mata papa sekarang saya gak lebih dari anak durhaka yang bikin papanya sendiri kayak gini," Napas Irham seketika seperti tercekat, tapi ia melanjutkan, "tapi saya yakin selama papa di penjara, papa udah cukup berpikir kalau semua ini sebenarnya karena perbuatan papa juga, saya hanya memberi penutupnya."
Irham menarik napas dalam-dalam lagi, "Dan harusnya setiap papa berpikir tentang kenapa anak papa sendiri gak menolong papa, papa juga bertanya sama diri papa, kapan papa pernah menolong saya."
Dada Irham terasa sakit lagi. Lebih sakit daripada saat ia ditinggalkan Adisa.
"Mungkin saya memang hidup sama papa tapi semua amarah, pukulan dan paksaan papa kepada saya gak pernah membuat saya merasa benar-benar hidup."
Mata Bapak Iskandar Prakasa kini tidak lagi kosong tapi kini ia menatap putranya dengan luapan kesedihan yang tidak bisa ia ungkapkan ke dalam kata-kata.
"Maaf, Iam." Bisik papanya lirih, membuat Irham tersentak karena rasanya terakhir kali papanya memanggilnya dengan nama itu adalah waktu dia masih kecil, waktu semuanya baik-baik saja.
"Kalo nanti papa bebas," Gumam Irham dengan suara yang tidak kalah bergetar, "ajarin Iam yang baik-baik aja. Jangan tentang mengambil apa yang bukan milik Iam."
Air mata penyesalan mengalir di wajah papa Irham dan masih di sana saat Irham bangkit berdiri, mengepalkan tangan.
"Liat apa yang papa lakukan sama Iam. Pada akhirnya Iam sama kayak papa, nyakitin orang yang Iam sayang."
Sebelum pergi, Irham berkata lagi sambil menahan tangis.
"Seharusnya kalo papa gak pengen ada Iam, usir Iam dari awal, biar Iam ikut Mama sama Ian. Jangan bikin Iam punya banyak pertanyaan yang gak ada jawabannya, jangan bikin Iam gak pernah tau mana harapan dan mana yang cuma ego seumur hidup Iam."
Irham berbalik pergi meninggalkan papanya yang menangis semakin menjadi. Meski begitu, ia tahu ia sudah dimaafkan dan ia masih punya kesempatan.
Ada kereta lain yang lewat begitu saja di depan Irham, memamerkan isi gerbongnya dalam satu kilasan cepat yang terpantul di bola matanya. Bunyi roda beradu dengan relnya seperti sebuah lagu di telinga Irham, lagu yang mengantarkannya pada satu periode. Saat ia dan Adisa berdua berjalan menyusuri banyak stasiun, duduk di bangku kereta yang satu ke bangku kereta yang lain, merayakan mimpi kecil mereka yang sepakat mereka satukan untuk sementara.
Mimpi yang masih selalu dikenang Irham sampai ia kembali lagi ke Jepang untuk melanjutkan studinya, untuk lebih serius menggeluti dunia ilustrasi dan manga.
Setelah beberapa belas menit, kereta lainnya datang. Pintunya membuka tepat di depan Irham. Sedetik ia terdiam sebelum melangkah masuk dan berdiri menghadap pintu, kereta kembali bergerak meninggalkan Stasiun Shinjuku.
Tangan Irham yang tidak terulur ke pegangan kereta meraih benda yang sedari tadi tersimpan di saku jaketnya. Selembar kartu pos Osaka yang di bagian belakangnya telah ia gambar. Gambar siluet seorang perempuan dan laki-laki menghadap akuarium besar yang di dalamnya banyak ikan dalam segala ukuran berenang-renang. Kedua orang itu berpegangan tangan dan di sudut gambarnya, Irham menulis dengan huruf-hurufnya yang kecil dan halus:
'Happy Wedding.'
Kartu pos itu akan ia kirimkan besok, sekaligus mengirimkan sedikit hawa Jepang yang selalu disukai perempuan itu, dan juga sebagai tanda bahwa Irham selalu berharap ia bahagia.
Terima kasih, Dis karena pernah membuat bahagia dan pernah membuat seseorang yang awalnya tidak punya nyali kini bisa mencicipi indahnya memperjuangkan mimpi.
Irham memasukkan kembali kartu pos itu ke saku jaketnya saat ponselnya bergetar. Pesan masuk dari Ian yang juga membuat Irham mau tidak mau membaca pesan lainnya di chatroom yang belum ia baca.
[Ian]
Am, serius nih lo gak pulang?
Irham mendenguskan tawa kecil sebelum membalas,
[Irham]
Gak. Titip salam aja buat pengantinnya
[Ian]
taun dpn harus pulang lho ya
inget lo bakal punya ponakan
rara jg ngancem kalo lo gak pulang ntar si adek gak boleh manggil lo 'Om'
Irham menggeleng-geleng sekilas, akhirnya ia juga membuka pesan lain yang belum ia buka sejak pagi.
[Shilla]
HEH gimana jadinya???
terima gak tawaran dari gue??
kantor gue beneran butuh illustrator nih, bisa kok jarak jauh jugaaa!!
udh bagus jg lo gue tawarin
heh! bls kek buset jd orang dingin bgt, gak takut ditangkep tukang es serut lo ya?
ntar diserut hiiiy
GAK USAH SOK YA. GUE JG GAK NGEDEKETIN LO KOK
GUE UDH PUNYA PACAR.
Masih banyak pesan Shilla lain yang memang belum dibalas Irham karena bicara dengan Shilla sama melelahkannya seperti naik ke puncak Tokyo Tower menggunakan tangga bagi Irham. Perempuan itu terlalu banyak merepet seperti petasan dan energi Irham dibuat habis karenanya. Membuat Irham selalu terngiang perkataan Charles Bukowski, 'People empty me, I have to get away to refill.'
Sebelum ponselnya kembali masuk ke saku, ada getaran pesan baru lagi. Irham sempat mengira Ian lagi atau Shilla lagi, ternyata bukan.
Himeko, anak kecil cucu obaa-san pemilik kafe yang dulu (dan sekarang) sering didatangi Irham itu menelepon menggunakan nomor ibunya. Senyuman seketika terbit di wajah kaku Irham saat ia mengangkat teleponnya.
"Iam-kun??" Suara gadis kecil itu terdengar sangat lucu di telinga Irham. Dulu waktu Irham ke Jepang masih berstastus sebagai mahasiswa pertukaran, Himeko masih kecil sekali, sekarang ia sudah masuk SD dan sudah pintar bicara. Himeko mungkin satu-satunya perempuan yang teleponnya akan langsung Irham angkat.
Gadis kecil itu menyerocos panjang lebar dalam bahasa Jepang sampai-sampai Irham tidak sempat menangkap apa yang sedang dibicarakannya, tapi senyuman itu masih awet di wajahnya mendengar Himeko.
"Iam-kun, kalau pulang mampir dulu ke kafe!" Suara Himeko berganti menjadi suara ibunya yang juga sangat kenal baik Irham, ia juga bicara dalam bahasa Jepang. "Himeko heboh karena ada dia datang ke kafe."
"Dia?" Irham mengerutkan kening.
"Dia... gadis yang kata Hime-chan naksir kamu."
Seketika kuping Irham memanas. Ia tahu siapa yang dimaksud Ibu Himeko, seorang gadis Jepang yang sepertinya satu kampus dengan Irham, yang beberapa kali duduk di satu meja di sudut kafe, diam-diam memperhatikan Irham menggambar namun setiap Irham mengangkat wajahnya, ia langsung dengan malu-malu menunduk. Kata Hime-chan gadis itu menyukai Irham.
Irham menguasai diri dan berkata kalau ia akan mampir ke kafe dulu dari stasiun tapi bukan karena gadis itu meski tentu saja Ibu Himeko tidak percaya. Telepon ditutup dengan lengkingan antusias Himeko.
Irham menghela napas, matanya menatap gerakan kota yang terlewat dengan begitu cepat dari balik pintu kereta.
Dia mungkin belum ingin memulai apapun lagi dan masih begitu nyaman dengan semua sunyi dan sendirinya, tapi dia juga tidak ingin terlambat lagi.
*
Dica
Aquarium Jakarta
Biru gelap sejauh mata memandang bersama halusnya gerakan sirip penghuni tangki-tangki akuarium berbeda bentuk dan ukuran. Berada di sekitar akuarium yang menjanjikan ketenangan masih menjadi favoritku sampai sekarang.
Dua anak kecil menunjuk-nunjuk ikan pari yang melintas dalam akuarium di bawah kaki mereka dengan antusias. Terdengar suara shutter tanda kalau dua anak yang sedang berjongkok itu baru saja dipotret, tepat saat si anak laki-laki memekik melihat ada penyelam yang menyapa mereka dari bawah.
Menggemaskan.
Aku berjalan lagi ke akuarium yang lebih besar setelah melewati sederetan akuarium ubur-ubur yang membuat mereka seperti tinggal dalam sebuah bingkai lukisan.
"Diem di situ bentar, Ca." Ujar seseorang yang sedari tadi berjalan bersamaku, yang juga memotret dua anak kecil yang tidak kami kenal tadi, sebenarnya dia memotret apapun sejak baru datang tadi. Lengkap dengan ocehannya: 'Ca, ikannya masa senyum ke kita, liat, hahahaha.' atau 'Ca, foto ala-ala Romeo & Juliet yuk, yang pas mereka pertama ketemu dipisahin akuarium itu.', 'Ca, piranha kalo difoto marah gak?', 'Ca, akuarium yang ini kayak punya kita di rumah ya?'.
"Di sini?" Aku menoleh padanya.
"Iya, di situ, nyamping, ngadep depan. Yakkkk...." Terdengar suara shutter lagi. Dengan senyuman lebar di wajah, ia menghampiriku dan memperlihatkan hasil foto di kameranya. Siluet aku yang berdiri di depan akuarium biru besar, menghadap samping, ikan-ikan dari dalam akuarium bersama sihir magis mereka menjadi latar yang cantik.
"Ntar minta tolong fotoin orang deh, biar kita foto berdua." Gumam Rasyid sebelum sibuk memotret lagi. Aku diam-diam menatapnya dari samping, menatap wajahnya yang ditimpa sinar kebiruan dari akuarium di depan kami.
Seperti dulu, waktu ia datang ke Jepang untuk mengikis jarak dan kami berdua pergi ke akuarium di Osaka, aku diliputi rasa syukur yang mengalir tidak habis-habis.
Sudah setahun setelah pernikahanku dengan Rasyid, melewati kehidupan baruku bersamanya, hari-hari sebagai suami istri, hari-hari sederhana yang Rasyid ubah menjadi kesederhanaan yang manis.
Dimulai dari sapaan 'Pagi sayaaaaaaaaaaaaaaang.' di pagi hari yang ia ucapkan tentunya sambil menguap lebar-lebar dan berpura-pura memasukkan bantal ke mulutnya karena katanya semua benda ikut terisap. Lalu rambut dan dasi yang minta kurapikan sebelum ia berangkat, kecupan di kening dan kehebohan semacam ketinggalan kunci mobil dan dompet, sampai sepatu terbalik.
Kemudian kejutan yang tidak jarang ia berikan saat ia pulang, misalnya beberapa waktu lalu tahu-tahu ia pulang membawa akuarium dan semalaman mencoba memasang serta mengatur salurannya sendirian. Untuk seulas senyuman puas dan bangga keesokan harinya seraya berkata, 'Hadiah dari mas, suka gak? Gak usah dijawab deng, dicium aja masnya.'
Ia juga hafal nama-nama bumbu dapur lebih banyak dari aku dan sering tiba-tiba memelukku saat aku sedang—mencoba—memasak hanya untuk berbisik: 'Itu namanya jahe, sayang.' lalu tertawa di tengkukku.
Rasyid yang tidak pernah absen memelukku saat tidur, Rasyid yang alih-alih memberondongku dengan pertanyaan saat aku sedih, malah mengusap-usap pipiku, menyelipkan rambut ke belakang telingaku dan berkata kalau ia tidak ke mana-mana, ia di sini, akan mendengarkan kalau aku mau cerita, dan akan menawariku ovaltine hangat kalau aku belum bisa membagi gundahku.
Rasyid yang kalau kami bertengkar kecil pasti tidak tahan lama-lama tidak bicara dan pada akhirnya menggunakan pertanyaan 'Handuk di mana ya, Ca?' padahal sudah ia lingkarkan di leher atau terbungkus di kepalanya, semata supaya kami tidak diam-diaman lagi dan berbaikan lagi karena aku pasti tertawa. Ia selalu tahu cara supaya aku tersenyum lagi. Selalu.
Rasyid yang rajin mencuci vespa biru dongkernya yang menolak ia pensiunkan, bahkan vespa itu juga ia ajak dalam foto-foto sebelum pernikahan kami karena foto yang menyambut di gedung resepsi pernikahan kami adalah foto aku dan dia naik si Dongker. Rasyid yang selalu mencantumkan hashtag #lebihbaiknaikvespa dan #salammesinkanan pada setiap fotonya bersama vespa-vespa di instagram. Rasyid yang sering diam-diam memotretku bahkan saat aku sedang tidur.
Rasyid yang selalu ingat tanggal saat dia melamarku dan mengulang lamaran itu setiap tahun di pangkuanku, mengulang adegan yang sama persis. Katanya 'Aku gak mau cincinnya kadaluarsa, jadi lamarannya diulang terus tiap taun.'
Mungkin aku tidak akan bisa merasakan kebersamaan bersama Rasyid yang seperti itu kalau jarak dan masalah menyerang kami bertubi-tubi dahulu itu berhasil memisahkan kami.
Benar kata Rasyid waktu dulu saat melamarku.
'Aku, kamu, hubungan kita, gak ada yang sempurna. Gak apa-apa, soalnya yang namanya sempurna itu kalo Harry Potter gak dikejar Voldemort, Jerry di Tom & Jerry dimakan Tom, Andy di Shawsank Redemption divonis gak bersalah, itu baru sempurna, karena apa? Gak ada masalah, cerita selesai. Finish.'
Seperti yang dia bilang, aku, dia, hubungan kami, tidak sempurna tapi itu tandanya kami masih selalu punya cerita bersama. Dia berhasil meyakinkanku bahwa kami bisa melewati cerita yang tidak sempurna itu bersama-sama dengan saling memiliki dan menguatkan satu sama lain.
Karenanya, aku tidak bisa berhenti bersyukur setiap melihat senyuman kotaknya. Senyuman kotak lelaki yang tulus dan baik bersama semua keajaibannya yang membuatku kepalang jatuh hati berkali-kali. Rasyid Ananta, Rasyidku.
Terima kasih Rasyid karena tidak menyerah dan masih berusaha memperjuangkanku bahkan di titik aku tidak lagi melihat ada harapan untuk kita berdua.
Terima kasih karena sudah selalu berusaha kuat selama ini, mengesampingkan kebahagiaan kamu sendiri demi orang-orang yang kamu sayangi, demi ayah, demi bunda, demi Kak Rara, demi aku, demi sahabat-sahabat kamu. Kalau dunia sudah mulai membuat kamu lelah lagi, kamu selalu punya aku.
Terima kasih karena kamu berhasil tidak membalas kejahatan yang orang lain lakukan ke kamu dengan kejahatan yang sama. Gak semua orang bisa kayak gitu, Rasyid.
Terima kasih karena selalu memilih untuk menjadi materi pengisi ruang kebahagiaanku yang kadang tidak dipahami orang lain.
Terima kasih karena tetap konsisten menyayangiku lewat berbagai macam hal sederhana yang kusukai.
Sepertinya aku tahu kenapa aku suka datang ke akuarium. Karena akuarium bagaikan representasi kehidupan di bawah laut yang begitu biru dan sunyi, seperti aku. Rasyid-lah yang selalu berhasil menyelaminya.
Lelaki yang sedang kupikirkan itu menoleh, tidak lagi bercengkrama dengan kameranya. Seraya menyisipkan senyuman kotak di wajah, ia mengulurkan tangannya padaku.
Aku membalas uluran tangannya, kami berpegangan tangan melewati lebih banyak akuarium, lebih banyak ikan dan makhluk laut lainnya yang menimbulkan cahaya dari balik sirip mereka.
"Nanti kita harus ke sini lagi kalo udah punya anak." Katanya. "Atau nggak ke pasar ikan hias."
"Kenapa?"
"Anak kita mau aku ceritain kalo dulu ayahnya nembak bundanya sambil bawa-bawa ikan. Untung diterima. Hehe. Ntar kita ke sini sekeluarga pake jaket denim ya."
"Hmmmm oke."
"Atau aku pake kostum Bikini Bottom ya? Jadi Patrick?"
"Rasyid..."
Dulu aku pernah bilang setiap orang punya ruang kebahagiaannya masing-masing dan cuma kita yang tahu materi pengisinya.
Materi pengisi ruang kebahagiaanku sekarang dan seterusnya adalah Rasyid yang kini berjalan di sisiku, dan...
Rasyid junior yang masih di perut.
*
Acid
Yts. Adisa
It was a long difficult road, thank God we finally got here.
:]
Tau gak, aku rasanya mau bilang makasih, gak cuma sama Tuhan dan semua mansukripnya buat cerita umat manusia termasuk kita.
Aku juga mau bilang makasih sama semua orang yang bisa aku bilangin makasih.
Ayah dan ibu aku yang udah membesarkan aku jadi lelaki yang kuat da gak gampang nyerah.
Ayah dan bunda kamu yang karena merekalah kamu ada di dunia dan aku sayangi.
Ikal dan Vanya karena memutuskan nikah dan pesta pernikahannya bikin aku ketemu sama kamu.
Ikal yang gak ragu ngasih tugas pagar bagus ke aku.
Vanya yang dadakan nunjuk kamu karena temennya yang harusnya jadi pasanganku lagi sakit.
Penyelenggara event matsuri karena lewat event itulah aku bisa ketemu kamu lagi buat makan takoyaki bareng.
Almarhum Kemiri, ikan yang aku bawa buat nyatain perasaan aku ke kamu.
Vino yang dengan baiknya tidur waktu pulang dari Seaworld.
Dongker yang selalu dalam kondisi terbaiknya waktu bonceng kamu.
Jaket denim aku yang kamu pake buat jadi payung di kencan pertama kita dan jadi selimut kamu di Jepang.
Rara yang lewat kepintarannya itu bisa membukakan jalan buat aku balik ke kamu lagi.
Semuanyaaaaa.
Kapan-kapan kita makasihin satu-satu yuk?
Kalo dipikir-pikir lucu ya, waktu kita pertama ketemu di nikahan dan aku ngenalin diri aku sebagai Romeo terus kamu nawarin aku cokelat, aku unjuk kebolehan main drum pake tusuk sate, kamu ketawa karena tebak-tebakan bahasa Jepang dari aku, udah kepikiran belum kalo nantinya kita yang nikah?
Ca,
Dulu mungkin aku gak ngerti kenapa kok kayaknya takdir jahat banget sama aku.
Pertama, kamu mutusin aku, aku sampe jadi gak suka hujan gara-gara kamu mutusin aku pas hujan.
Kedua, pas udah balikan kamu harus kuliah ke Jepang.
Ketiga, aku harus jadi jahat dan mutusin kamu. Kesiksa banget rasanya aku tuh, Ca.
Apalagi pas kamu udah pulang dari Jepang, bukannya memendek, jarak kita malah makin menjauh.
Ironis di mana jarak selang beberapa jam waktu kita ke warung nasi goreng langganan, jarak satu meja di perpustakaan, justru malah jadi lebih jauh daripada jarak Jakarta – Tokyo.
Tapi sekarang aku udah ngerti sepenuhnya, Tuhan tuh baik banget sama aku.
Kalo gak pake rintangan-rintangan itu dulu, kalo kita gak putus dua kali, aku gak bakal tahu kalo aku beneran sesayang itu sama kamu, aku mungkin gak tau rasanya memperjuangkan kamu.
Ternyata Tuhan lebih baik lagi kan, aku sama kamu dibikin sekantor dan kita jadi deket lagi.
Terus ada nikahan Rama yang nyatuin kita lagi.
Dua orang yang nyatunya di pernikahan ternyata punya potensi besar melangsungkan pernikahan juga ya, Ca? Hehehe.
Tapi, tahunan adalah waktu yg gak srbentar untuk mempertahankan seseorang di hidup kita dengan semua ketidaksempurnaannya, kan?
Jadi kita terusin ya sampe bertahun-tahun-tahun-tahun lagi.
Ca, gak ada yang berubah, aku masih selalu sayang kamu.
Biarin aku disebut presiden kaum bucin asalkan bucinnya sama kamu.
Kamu yang senyum malu-malu dan bilang aku bangunin t-rex di perut kamu (sekarang bukan t-rex lagi ya? ehehehe)
Kamu yang membiarkan aku rebah di pangkuan kamu, ngelus-ngelus rambut aku.
Ah, kayaknya kalo bisa aku pengen berhentiin waktu pas itu aja, terus dengerin cerita kamu sambil dielus-elus rambutnya.
Kamu yang bikin seorang Rasyid Ananta yang (tadinya) liar dan brengsek ini belingsatan dan panik pas bibir lembut kamu yang abis makan permen susu itu nyentuh bibir aku.
Kamu yang bisa bikin aku berhenti ngerokok karena gak mau kamu juga jadi bau rokok.
Kamu yang bikin aku takluk dan jatuh cinta berkali-kali.
Kamu yang bikin aku jadi lebih sabar.
Kamu yang bikin aku nurut tiap kamu bilang 'Rasyiiid.' sambil nunjuk handuk yang aku taro sembarangan.
Kamu yang paling jago rapiin dasi sama kerah kemeja aku.
Kamu yang dengan lucunya nempelin sensus akuarium di akuarium kita di rumah supaya kita tau ada berapa banyak ikan peliharaan kita dan apa aja jenisnya.
Makasih karena kamu juga gak menyerah dan melepas aku sampe sekarang.
Ca, menurut penelitian di Oxford, kalo pas pacarannya udah pernah putus dua kali, maka pernikahannya pasti aweeet sampe kakek nenek sampe rambut kita putih semua.
Beneran, itu kata Profesor Oxford, bukan kata aku.
Tapi Oxford yang di buku tulis anak SD hehe.
Nggak, beneran.
Kita udah pernah ditempa sebelumnya, kalo kata lagu Float: 'Percayalah hati, lebih dari ini pernah kita lalui.' jadi ke depannya bisa kita lewatin bareng-bareng.
Selama aku masih punya kamu, kamu masih punya aku.
Selama aku rela tanganku kebas buat jadi bantal kamu, selama kamu rela paha kamu kebas buat jadi bantal aku.
Ayo lewatin semuanya bareng-bareng. Lebih kuat lagi.
Ca,
Gak ada satu detik pun kelewat yang akunya gak sayang kamu. Gak ada.
Aku masih pengen pulang ke rumah, kamu urusin, kamu colek pundaknya pas aku kerja sampe larut gak inget bobo, atau pas pulang liat kamu yang nanya 'Mas, udah makan?' atau pas aku kemaleman dan liat kamu udah bobo duluan sambil nyelimutin perut kamu, terus otomatis keputer lagu Anugerah Terindah-nya Sheila on 7 di kepala aku.
Ah, itu rasanya pulang.
Sekali lagi, terima kasih, Ca, udah jadi tempat pulang dan jadi Yts-nya Rasyid Ananta selamanya.
Sebentar lagi ada Yts satu lagi yang bakal jago main drum. :]
-Yts-mu, mas-mu, suamimu
Rasyid.
ps: ada puisi, tapi kamu jangan nangis ya bacanya
kalau di antara hidup manusia dan semua konsepnya tidak pernah ada kesempurnaan, gak apa-apa.
kalau itu berarti aku bisa terus belajar merakit cerita kita.
kalau itu berarti aku bisa terus rebah dan terikat di matamu yang setenang laut biru,
yang selalu menyelamatkan aku.
ps lagi: aku lupa belom beli ovaltine, yang bungkus terakhir aku seduh pas nonton bola.
***
a/n:
setelah setahun lebih
setelah banyak senyuman, tangis dan tawa dan t-rex di perut terlibat di dalamnya.
terima kasih kalian untuk tetap ada dan ikut membuat cerita ini menyala.
jangan dihapus dulu dari reading list kalian ya :") siapa tahu sewaktu-waktu aku kangen dan update sesuatu di sini
terima kasih juga untuk yang sudah mengirim Surat Cinta untuk Rasyid Ananta! nanti aku upload yang terrrrrrrrbaik di instagram komet. tapi semuanya sudah terbaik kok.
terima kasih sudah menyayangi seorang Rasyid, seorang Adisa, seorang Irham, dan tokoh-tokoh lainnya di sini.
hugsssss.
sampai jumpa di cerita-cerita lainnya.
loves,
rns.
(aku juga balik ke twitter, ayo sering-sering mengobrol di sana :"))
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top