August - 26
Jakarta
Perempuan itu larut dalam lamunan yang biasanya selalu bisa tersela, kali ini tatapannya berkelana jauh dan menembus dinding dan kaca kafe, bersama angin, bersama kekalutan, dan lelaki yang duduk di depannya tahu ke mana renungannya terbang. Pasti ke satu ruangan di balik bui, tempat ayahnya kini menjalani hidup. Ian sudah mengenal Raisa sejak lama, ia tahu persis waktu-waktu saat Rara gundah tapi berhasil menyembunyikannya dan waktu ia tidak bisa, kali ini tidak.
Ian tahu meskipun 'penjara' yang ditempati ayah Rara tidak seseram yang dibayangkan-tidak kotor, suram apalagi berbau parit seperti di film-film-tetap saja ini sudah hampir satu bulan sejak ayahnya ditahan, dirampas kebebasannya, sudah satu bulan sejak ayahnya tidak bisa lagi menikmati dunia luar. Dan setelah sebulan, usaha Rara untuk memulihkan nama baik ayahnya dan membebaskan ayahnya-yang sebisa mungkin selalu dibantu dan didampingi Ian-belum juga menemukan titik terang.
Optimisme mereka yang terbangun beberapa pekan belakangan setelah menyelidiki kasus ayahnya secara hati-hati sampai membutuhkan banyak bantuan dari teman-teman ayah Rara di kampus seketika menguap perlahan. Pengusutan mereka yang membuka beberapa pintu harus rela terbentur pada satu pintu yang gelap, tertutup dan tidak ada kuncinya. Apa yang Rara takutkan, yang menjadi mimpi buruknya, mulai ia takutkan akan menjadi kenyataan.
Mungkin pintu itu tidak akan bisa terbuka dan mungkin ayahnya tidak akan bisa mencecap keadilan yang ia usahakan. Rara mengembuskan napas, ia sudah tertarik kembali dari lamunan, namun matanya tetap terlihat pedih. Mereka baru pulang dari lapas untuk menjenguk ayah dan melihat ayah yang begitu tegar, membuat hati Rara hancur untuk kesekian kalinya.
Rara memohon Ian yang menemaninya supaya mereka mampir dulu ke suatu tempat, alasannya karena dia lapar dan mereka perlu makan siang, tapi Ian tahu itu bohong. Rara hanya tidak sanggup pulang ke rumah dan menghadapi ibu lalu meyakinkan semuanya baik-baik saja saat semuanya tidak baik-baik saja. Ia butuh suatu tempat di mana ia bisa menangis setelah menahan sekian lama, dan tempatnya adalah di sebelah Ian yang sudah begitu ia percaya.
"Yan, ini gak bisa kita cari-cari lagi celahnya?" tanya Rara frustrasi, suaranya terdengar parau seperti kaset yang memutar berulang-ulang, matanya menelusuri kertas-kertas di atas meja, tulisan-tulisan, nama-nama, fakta-fakta dan garis panah di dalamnya yang merupakan sketsa kasar rencana-rencana mereka selama ini. "Mungkin ada cara lain?" suara parau itu bertanya putus asa.
Ian menggigit lidahnya yang kelu, ia ingin sekali menenangkan Rara, ia ingin sekali memeluk perempuan itu, perempuan yang pernah dan masih akan selalu dia sayangi. Tapi Ian sama tidak berdayanya seperti Rara, ia juga tidak bisa melakukan apa-apa dan Ian takut apapun yang ia katakan saat ini untuk meredakan kegelisahan besar dalam diri Rara hanya akan berbunyi penuh keraguan dan menambah kacau gadis itu. Jadi Ian diam saja sambil menggenggam tangan Rara, berusaha mengalirkan ketenangan.
"Satu-satunya cara adalah cara yang paling berisiko. Sumpah Ra, kalo aku bisa, aku bakal coba, tapi kamu tau sendiri aku itu siapa, latar belakang aku gimana, sebelum mulai nyoba, aku pasti udah dihalau. Kemungkinan berhasilnya cuma sedikit." Ian mengusap punggung tangan Rara, berupaya keras supaya kalimatnya selanjutnya tidak terlalu kentara keraguannya, "tapi kita coba sama-sama ya, Ra, jangan pesimis dulu."
"Kalo aku doang yang nyoba gimana? Gak ngelibatin kamu? Soalnya nanti pasti kamu jadi keseret-seret, aku gak mau kayak gitu, Yan, kamu udah cukup nerima perlakuan gak adil dari dulu." Ucapan Rara meluncur keluar seperti air bah, Ian tahu semua ucapan itu berdasarkan kepanikan, jadi ia tidak menyetujui maupun menyangkal, ia hanya menggenggam tangan Rara, erat.
"Itu kita pikirin bareng-bareng nanti, Ra. Pokoknya kita sama-sama usaha."
Perlahan Rara melepaskan tangannya dari genggaman Ian, ia menunduk dan menutup wajahnya, air mata merembes di antara sela jemarinya membuat hati Ian seperti tertusuk.
"Kalo emang jalan ini gak bisa, mungkin aku harus udah mulai ngumpulin semua tabungan aku, ibu, adek, sama ayah sendiri, terus pinjem sodara sana-sini." Dia masih bicara sesenggukan, airmatanya semakin deras membuat Ian tergesa menarik tisu banyak-banyak. "Atau mungkin aku gak bakal bisa bantu ayah..."
"Ra, jangan ngomong gitu."
Ketika wajah Rara terangkat kembali tanpa telapak tangannya yang menutupi, Ian bisa melihat mata gadis itu merah karena air mata, tapi bukan hanya itu, Ian bisa melihat luka yang begitu mendalam di bola mata Rara, yang selama ini dengan apik ia samarkan, ia simpan rapat-rapat demi menenangkan ibu dan adiknya sendiri.
Rara adalah perempuan kuat, sejak Ian mengenalnya saat mereka sama-sama masih mahasiswa baru, sampai mereka menjalin hubungan cukup lama, sampai putus, sampai Rara bilang dia akan melanjutkan S2 ke New York, sampai akhirnya ia kembali ke sini karena apa yang menimpa ayahnya dan meminta bantuan Ian, Rara tidak pernah berubah di mata Ian.
Sejak dulu perempuan itu selalu memposisikan diri sebagai seseorang yang mandiri, punya pendirian kuat, dan di balik keceriaannya, ia mengatur supaya perasaan sentimental apapun dalam dirinya tidak pernah terlihat dari luar. Tapi Ian tahu, Ian selalu bisa merasakan. Bagaimanapun Rara adalah perempuan biasa, yang walaupun dibesarkan sebagai anak pertama di dalam keluarga yang baik ayah dan ibunya adalah seorang dosen, tetap bisa lemah dan jatuh.
Perempuan itu sudah terlalu kuat, sejak ia pulang ke Indonesia, sejak ia menceritakan tentang kasusnya dan minta bantuan pada Ian yang sekarang sudah bekerja di stasiun televisi berita dan punya kenalan staff LSM dan LBH, Rara tidak pernah kelihatan menangis atau lelah, atau sedih. Baru kali ini.
Bahkan saat pertama kali ia menceritakan tentang ayahnya di depan orang-orang dari LSM, pembawaan Rara sangat tenang, tidak meledak-ledak, apalagi bercucuran air mata. Dia malah masih bisa bercanda.
"Tadi sebelum pulang, ayah bilang sama aku," Rara berkata terbata-bata, "Katanya, 'Maafin ayah ya, ayah gak kepingin nyusahin anak ayah. Maaf.'" airmata mengalir lagi dari mata Rara yang biasanya jernih dan seperti langit malam berbintang kesukaannya. Kini langit itu mendung dan muram.
Akhirnya Rara melepas topeng itu setelah satu bulan, setelah berpura-pura kuat, setelah menjadi penyangga bagi ibu dan adiknya selagi ayahnya tidak bersama mereka. Ian tahu, setelah ini Rara akan memasang topeng itu lagi, jadi sebisa mungkin ia tidak ke mana-mana, ia akan bersama Rara, baik saat mantan pacar sekaligus sahabatnya itu mengenakan topeng itu maupun tidak. Untuk saat ini, hanya itu yang bisa Ian lakukan.
Ian memutuskan untuk pindah ke sebelah Rara, membiarkan gadis itu menangis di bahunya. Matanya balas melirik mata orang-orang lain di sekitar meja mereka yang terlihat bingung karena tangisan Rara. Mereka pasti tidak tahu apa-apa. Berita tentang ayah Rara dan jajaran petinggi kampus lainnya yang diduga korupsi mungkin hanya dibaca atau disimak sambil lalu, dianggap tidak sepenting berita politik lainnya.
Sebagai orang yang berkecimpung dalam jurnalistik sejak lulus, Ian paham tipe-tipe berita seperti apa yang mengisi pikiran masyarakat, berita mengenai ayah Rara ini hanya akan berarti bagi keluarga dan pihak-pihak yang memang terlibat.
Seperti berita internal, penderitaan yang dialami 'keluarga' dan pihak-pihak yang terlibat itu tidak akan terlalu disorot.
Mereka hanya sekilas membaca kata demi kata dalam berita tanpa tahu sudah berapa banyak airmata yang tumpah, seberapa banyak keadilan dalam kasus itu diotak-atik. Selama itu tidak menimpa mereka, maka mereka akan cenderung apatis, berbeda dengan Ian yang terbiasa dengan pekerjaannya.
Apapun beritanya, ia harus tenggelam di dalamnya, ia akan ikut terlibat di dalamnya, apalagi sekarang objek dalam pemberitaan adalah ayah dari seseorang yang ia sayangi. Mengingat sudah berapa malam Ian dihantui dan tidak bisa tidur, ia ngeri membayangkan bagaimana Rara bisa mengatasi semua ini dengan bersikap baik-baik saja, meski sekarang tembok pertahanannya itu runtuh dan porak poranda.
"Adek kamu udah dikasih tahu soal..." Ian sengaja menggantung pertanyaannya sembari menunjuk satu nama yang tertulis di atas kertas coretan-coretan penyelidikan mereka.
Rara yang telah mereda tangisnya, mengusap sisa air mata di wajah, tertegun sejenak melihat nama yang ditunjuk Ian. Ia perlahan menggeleng, "Gak usah."
"Tapi dia harus tau Ra, siapa tau dia bisa-"
"Jangan sekarang Yan."
"Kenapa?"
Rara menghela napas, mata sembabnya menatap ke luar jendela kafe, "Dia lagi bahagia di sana. Cerita ini bisa nunggu sampe dia pulang."
"Tapi Ra, di sana kan-" Ian mengatupkan mulutnya ketika melihat wajah Rara.
Sejenak bayangan adik Rara, Rasyid berkelebat di benak Ian. Lelaki tampan yang matanya bersinar ramah dan jenaka itu, yang dulu sering mengangkat telepon Ian kalau Ian harus menelepon ke rumah lalu dengan iseng bertanya dengan meniru suara robot, 'Passwordnya apa? Hah? Kodok Keselek Kelereng? Sorry nih Mas Ian, itu password minggu kemaren, sekarang udah ganti. Kodoknya udah sehat.'
Rasyid yang sering membuat Ian jengkel, sering meledek dan menjahilinya setiap Ian datang ke rumah Rara di Malam Minggu, yang antusias begitu tahu Ian penggemar MU dan band Naif juga seperti dirinya, yang mengajaknya nobar bola dan diakhiri dengan game konyol siapa yang paling cepat memasukkan kacang sukro ke mulut (membuat Rara menatap mereka dengan tatapan kesal dan menyergah gusar: "Yan, kamu kenapa mau aja sih diajakin aneh-aneh sama Acid? Ah kalian sama aja tololnya.")
Sekarang, Rasyid juga pasti sama terlukanya seperti Rara, apalagi setelah ini dia harus dihadapkan pada fakta lain. Tapi satu hal, Rasyid harus bersyukur ia punya kakak perempuan seperti Rara, yang dari luarnya saja terlihat manja tapi aslinya sangat tangguh, bahkan sampai keadaan sudah menjadi seperti ini, Rara masih berusaha keras menjaga perasaan adiknya dan mengorbankan perasaannya sendiri.
Tiba-tiba lagu Ode to My Family bergema di kepala Ian. Kalau ada yang bisa dia lakukan untuk membantu keluarga Rara, ia akan melakukannya. Karena keluarga Rara juga yang pernah menerimanya dengan tangan terbuka saat Ian merasa ia tidak punya tempat di manapun.
Lagu itu belum selesai terputar di benak Ian ketika bayangan seseorang menghampiri meja mereka, membuat Rara di sebelahnya juga berhenti menyesap tehnya yang sudah dingin. Mata Ian sedikit memicing melihat seorang perempuan berambut pendek dan berkacamata berdiri di depan mereka, mengenakan id press ber-strap merah. Ian mengerjap-ngerjap, rasanya ia pernah melihat perempuan ini. Di mana? Dan mau apa dia?
Perempuan itu mengangguk sopan, "Maaf ganggu, maaf juga karena saya tadi lancang ngikutin mas sama mbak dari lapas. Mbak putrinya Pak Adi kan?"
Sekarang Rara yang mengerjap-ngerjap, "Ada apa? Kamu siapa?"
Perempuan itu mengulurkan tangan memperkenalkan diri, "Saya Shilla Kinanti."
*
Jepang.
Untuk beberapa detik Irham sempat berpikir untuk membanting pintu tapi ia mengurungkannya. Masih dengan tatapan dinginnya-meskipun tidak membantu menghilangkan keheranan dari wajahnya-Irham sedikit bergerak mundur. Isyarat bahwa Rasyid boleh masuk ke dalam teritorialnya, yang bahkan teman satu kampusnya saja tidak ada yang pernah masuk ke kamarnya.
Irham tidak bodoh, ia tahu 'kemalaman' itu hanya alasan. Mana ada orang tidak bisa pulang ke hotel karena kemalaman? Hotel kan bukan kos-kosan yang punya jam malamnya sendiri. Irham tahu ada sesuatu yang membuat lelaki itu datang ke sini malam-malam begini dan ingin menginap, mengabaikan fakta bahwa praktisnya mereka tidak benar-benar saling mengenal untuk berbagi kamar sampai pagi nanti.
Irham sendiri tidak mengerti kenapa akhirnya ia memutuskan mengikuti apapun yang sedang dimainkan Rasyid. Pasti ada yang mendesak yang ingin dibicarakan Rasyid yang tidak bisa menunggu sampai besok, dan pasti tentang Adisa. Perasaan tidak enak menyergap Irham.
"Sorry ya, ganggu lo nih jadinya." ujar Rasyid, setelah dipersilakan masuk oleh Irham yang tidak mengatakan apa-apa, ia langsung duduk di lantai seraya mengipas-ngipas kegerahan, sorot mata tenang namun mengancam dan ekspresi kaku yang tadinya ada di wajah Rasyid seperti lenyap, ia terlihat jauh lebih santai sekarang, atau memang dia sengaja mengatur wajahnya seperti itu. "Panas banget ya Jepang bulan Agustus gini."
Irham masih tidak mengatakan apa-apa, keningnya masih sedikit mengerut saat ia menutup kembali pintu kamar, ia terdiam sejenak sebelum menunjuk remote AC di dekat bantal, "Kecilin lagi aja suhunya."
Tanpa menunggu dipersilakan dua kali, Rasyid menyambar remote itu dan menekan tombolnya seraya menengadah ke arah AC.
"Sejak kapan lo di sini?" tanya Irham hampir tidak kedengaran, seakan dia susah payah melontarkan pertanyaan itu.
"Tiga hari."
"Sampe kapan?" tanya Irham lagi, yang langsung membuat Rasyid merengut, merasa seperti sedang diinterogasi, padahal seharusnya dialah yang bersikap intimidatif.
"Gue seminggu di sini."
"Oh." Irham masih mematung, banyak yang harus ia pikirkan dan ia tidak bisa berpikir di dekat Rasyid yang kedatangannya begitu tiba-tiba dan menyeruak seperti badai ini.
Sejak tiga hari lalu? Berarti dia datang waktu Irham bolos kelas untuk menggambar, Rasyid sudah ada waktu Adisa sakit? Jadi kemarin dan hari ini Adisa tidak masuk kuliah ditemani Rasyid? Berbagai gagasan berkejaran di kepala Irham.
"Asli deh panas banget, kalo ntar gue buka baju gak apa-apa kan?" pertanyaan jahil Rasyid memecah pikiran Irham.
Irham melirik Rasyid tajam seolah kalau Rasyid mengatakannya lagi, ia akan langsung melempar Rasyid keluar kamar.
"Gak apa-apalah ya, gue sama temen-temen gue di kosan aja sering buka-bukaan kalo gerah."
"Gue bukan temen lo." Ucapan Irham tidak kalah tajam dari tatapannya.
Rasyid mengangkat alisnya, selama sedetik Irham melihat sorot santai itu menghilang tapi kemudian kembali lagi, tertutupi oleh kekehan aneh, "Yaela, terus kita apa? Musuh?"
Irham mengangkat bahu, ia meletakkan kunci di meja belajarnya tepat di samping Rasyid dan Rasyid mengerling ke arah kertas putih kecil yang tergeletak di atas meja itu.
"Adisa udah tau lo nginep di sini?" tanya Irham sedatar mungkin, tapi Rasyid menangkap intonasi yang berbeda saat Irham menyebut Adisa.
Rasyid menggeleng membuat Irham menatapnya, berusaha menebak apa sebenarnya yang mau dilakukan Rasyid. Langkah apa ini? Kalau ini adalah permainan catur, apakah Rasyid baru saja menjalankan langkah pion pertamanya tanpa memberitahu Irham?
"Besok gue kasih tau, sekarang dia udah tidur."
Sama seperti Rasyid, Irham juga menangkap intonasi yang berbeda saat Rasyid menyebut 'dia', lebih lembut dan lebih menegaskan kalau 'dia' adalah miliknya. Pacarnya.
"Lo baru aja ke sini, masa dia udah tidur?" Irham tanpa sadar mendengus, "Paling dia baru mau siap-siap tidur."
Rasyid menatap Irham dengan tatapan anak kecil yang seakan berkata: 'Tau apa lo?', lalu dengan nada aneh seperti memang sengaja ingin bersaing dan ingin menyombong, Rasyid berkata, "Gue sama dia abis dari festival kembang api, terus dia masih rada gak enak badan, jadi pulang-pulang kecapekan, langsung tidur, abis itu gue balik."
"Tapi kamarnya udah lo kunci?" Irham menggigit bibir, seketika sadar kalau pertanyaannya sangat aneh, dan ia menempatkan kekhawatirannya pada situasi yang salah.
"Gak usah khawatir." suara Rasyid terdengar tegas meskipun wajahnya tetap terlihat santai.
Irham mendeham lalu berbalik menuju kamar mandi, bermaksud menggosok gigi sebelum menjatuhkan badannya ke tempat tidur, berharap sinar matahari pagi datang lebih cepat supaya Rasyid segera pergi dari sini.
"By the way, gue tidur di mana nih? Di lantai aja?" tanya Rasyid setengah berteriak sebelum Irham menutup pintu kamar mandi. Melihat Irham memicing, Rasyid menambahkan, "Gue gak keberatan sih tidur di lantai, abis gerah banget gila. Tapi lo jangan protes gue buka baju ya."
Irham terlihat memutar bola mata. Ia masih belum mengerti apa tujuan Rasyid menerobos ruang pribadinya seperti ini, dan lebih tidak mengerti pada dirinya sendiri, kenapa ia membiarkan ini semua terjadi.
"Lo gak keluar nonton kembang api tadi, Ham?" Rasyid bertanya sok akrab, padahal Irham sudah menutup pintu kamar mandi dan sengaja mengucurkan air dari keran supaya suara Rasyid teredam.
Tanpa Irham tahu, sambil mencerewetinya, Rasyid perlahan berdiri dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar Irham dengan sorot menyelidik.
'Harusnya gue totalitas nih, bawa kaca pembesarnya detektif conan.' gumamnya dalam hati sambil memindai buku-buku yang berderet di rak Irham. Sesekali ia menoleh ke pintu kamar mandi, telinganya menajam mendengar bunyi air dari keran sebagai petunjuk kapan ia harus menghentikan penyelidikan kecilnya. Ide yang muncul di kepalanya saat ia tidak sengaja menemukan sesuatu dari ransel Dica kemarin, sewaktu Dica demam.
Awalnya Rasyid hanya bermaksud mencari obat di tas Dica waktu Dica tertidur dengan suhu tubuh panas, tapi kemudian selembar kertas mencuat di antara lembaran buku dalam ranselnya. Jika dilihat dari guratan biru samar yang menembus ke belakang kertas dapat diduga kertas itu berisi gambar, jadi Rasyid yang tidak tahu menahu membuka lipatan kertas itu, mengira itu adalah gambar buatan Dica.
Ternyata bukan. Gambar itu adalah gambar seorang gadis yang tanpa perlu Rasyid teliti lebih dalam adalah Dica, sedang berdiri di depan akuarium besar berisi ikan berbagai jenis. Rasyid sempat menahan napas menatap gambar itu, apalagi begitu membaca tulisan kecil di ujungnya.
Tidak ada nama pembuatnya, tidak ada nama siapa-siapa, tapi Rasyid dengan segera menduga bahwa Irham-lah yang membuatnya. Si komikus brengsek itu. Rasyid sempat mengumpat dalam hati sebelum melipat kembali gambar itu dan mengembalikannya ke tengah lembaran buku. Dia tahu gambar ini pasti baru diberikan dan Dica belum sempat menceritakannya pada Rasyid karena Rasyid belakangan 'menghilang' dan Dica juga sedang sakit.
Gambar itulah yang akhirnya mengantarkan Rasyid ke sini, ia merasa harus bertanya pada Irham. Apa tujuan laki-laki itu? Kalau Rasyid tidak mendapatkan jawaban, ia tidak akan bisa pulang ke Indonesia dengan tenang, mengetahui bahwa pacarnya di sini berada lebih dekat dengan Irham.
Sial. Rutuk Rasyid dalam hati. Setiap membayangkan itu dia menjadi gelisah dan berharap ia bisa menetap di sini. Karena ia tidak ingin pulang tanpa bersama Dica, ia tidak ingin pulang dan kembali merasa sepi, apalagi di sini ada seseorang yang Rasyid khawatir, bisa menggantikannya.
Rasyid mengamati benda-benda di kamar Irham sebelum pemiliknya keluar dari kamar mandi. Meski kamar itu seukuran dan sejenis dengan kamar lainnya di dorm ini, suasana di kamar Irham jauh berbeda, lebih gelap dan lebih muram, mungkin karena tidak ada kaktus-kaktus dalam pot yang berderet seperti di kamar Dica, tidak ada juga pajangan apapun di mejanya, yang ada hanya beragam alat gambar, buku-buku sketsa dan komik-komik referensi.
Laptop hitam Irham yang polos tanpa stiker apapun tertutup dan diletakkan rapi di sebelah wacom di atas meja. Rasyid tahu berapa harga benda itu, jadi dia menggumam kagum sebelum mengalihkan pandangan ke arah lain.
Buku-buku Irham selain komik, sebagian besar adalah novel-novel misteri, ada Sherlock Holmes seri lengkap dan banyak novel-novel karangan penulis Jepang, semuanya bersampul plastik rapi, kentara sekali Irham menjaga koleksi berharganya itu dengan baik. Ia juga memisahkan rak novel tersebut dengan rak buku-buku kuliah.
Rasyid menelan ludah memandangi judul-judul novel itu, berbeda dengan dirinya yang lebih suka membaca buku-buku kumpulan puisi dan menggarisi kata-kata yang ia suka, koleksi Irham lebih mengingatkannya pada.... Dica. Rasyid menggeleng enggan menyadari kemiripan Irham dengan Dica.
Selain perlengkapan menggambar dan buku-buku, selebihnya tidak ada lagi yang terlihat menonjol, seakan dua hal itulah yang menjadi jantung kehidupan Irham. Ia tidak memajang foto bersama keluarga, pacar, maupun teman seperti Dica. Di boardnya hanya tertempel sketsa kucing berbulu cokelat dan beberapa memo berwarna putih berisi tugas kuliah.
Entah mengapa, hanya dengan menyusuri sudut demi sudut kamar Irham, Rasyid bisa menyimpulkan bahwa Irham sangat kesepian. Kalau ini kamar Rasyid, sudah bisa dipastikan ia akan memasang banyak poster band sampai slogan hidup dari penyair favoritnya.
Mata Rasyid lalu tertumbuk pada kertas putih yang terletak di sebelah kunci kamar, yang tadi sempat menarik perhatian Rasyid. Ia menengok ke pintu kamar mandi sebelum perlahan meraih kertas putih yang merupakan selembar struk itu. Rasyid menyipitkan mata membaca barisan huruf kecil yang ada dalam struk dan seketika ia terdiam.
Itu adalah struk dari apotek, Irham membeli obat penurun panas dan pereda demam yang sama persis seperti obat di kamar Dica, yang tergantung di pintu kamarnya dan dilihat Rasyid kemarin.
Tanpa sadar tangan Rasyid mengepal, sudah sejak kapan ini berlangsung? Mulai kapan Irham memberikan perhatiannya pada Dica lewat benda-benda yang ia kirimkan ke kamar Dica? Setelah gambar sekarang obat?
Rasyid menoleh pada jaket kulit yang tergantung di belakang pintu kamar Irham, perasaan aneh itu kembali menjalarinya, tapi ia masih berusaha menyangkal.
Tepat ketika suara kucuran air berhenti, Rasyid segera meletakkan kembali struk apotek itu ke tempatnya semula dan kembali duduk di lantai di samping tempat tidur sebelum pintu kamar mandi terbuka dan Irham muncul dari baliknya dengan titik-titik air di wajah sampai ke rambut. Ia terlihat seperti baru saja mencelupkan kepalanya ke dalam bak berisi air.
"Gelar aja selimut gue buat alas tidur." kata Irham seraya menyodorkan selimutnya yang tidak terpakai selama musim panas.
Rasyid menerimanya tanpa berkomentar, pikirannya disibukkan dengan sesuatu.
Lampu kamar sudah mati dan Irham sudah merebahkan tubuhnya di tempat tidur dengan posisi menyamping menghadap dinding, sementara Rasyid tidak tenang berganti-ganti posisi, akhirnya ia telentang dengan kedua tangannya terlipat di belakang kepala sebagai bantal.
Suasananya hening sekali saat itu, seolah tidak baru saja dinyalakan banyak kembang api di luar sana, seolah tidak ada seekorpun jangkrik maupun nyamuk, hanya terdengar tarikan napas mereka masing-masing membentuk notasi, dan keduanya sama-sama tahu mereka belum ada yang tidur.
Di tengah kesunyian yang terasa menggigit itu, setelah menghentikan kegaduhan dalam benaknya sendiri, Rasyid berdeham dan berkata lambat-lambat namun tajam.
"Lo suka cewek gue ya?"
Tidak ada jawaban meski Irham kini tidak lagi pura-pura memejam, ia menatap dinding, menunggu Rasyid mengajukan pertanyaan lagi tapi tidak. Kembali, hanya terdengar tarikan napas mereka dan atmosfer kembali menusuk. Keduanya membenamkan diri dalam pikiran masing-masing tanpa tahu bahwa di dalam kepala mereka, mereka memikirkan perempuan yang sama.
Menit berikutnya getaran yang ditimbulkan dari ponsel Irham di sebelah bantalnya membuyarkan suasana dingin yang meliputi mereka. Masih tetap membisu, Irham meraih hpnya, begitu melihat nama yang tertera di layar, air muka Irham berubah, ia segera beranjak tanpa melirik Rasyid.
Irham memutar kunci, membuka lalu menutup pintu kamarnya, meninggalkan Rasyid sendirian di kamar yang gelap. Menurut pendengaran Rasyid, sepertinya Irham menerima telepon itu di ujung lorong.
Rasyid sedikit penasaran, siapa yang menelepon Irham malam-malam begini? Dan kenapa ia terlihat tegang? Tapi ada sesuatu yang lebih meresahkan Rasyid. Rasyid tahu, tadi Irham belum tidur, Rasyid yakin Irham mendengar pertanyaan Rasyid tadi, tapi ia tidak bisa menjawab.
Rasyid bangun dengan perasaan tidak keruan, di tengah kegelapan yang hanya diterangi cahaya remang dari balik gorden, Rasyid menyeret langkahnya ke meja Irham lagi. Mungkin jawabannya ada di sini.
Tangan Rasyid terulur pada sebuah buku sketsa polos yang berada di tumpukan paling bawah. Ada tulisan 'Her' di ujung bawah sampul buku, yang juga langsung menarik perhatian Rasyid saat kegiatan mengamati sebelumnya, yang belum sempat ia lihat karena Irham bisa muncul kapan saja dari kamar mandi.
Jantung Rasyid sedikit berdebar, entah mengapa ia tidak suka membayangkan isi buku sketsa ini padahal ia belum tahu apa isinya. Rasanya seperti membuka kotak Pandora. Perlahan Rasyid membuka sampul bukunya dan terpampanglah lembar pertama, disinari cahaya minim dari balik gorden, gambar itu terlihat samar.
Hati Rasyid mencelos, gambar di halaman pertama adalah gambar perempuan yang sama seperti di gambar akuarium di ransel Dica, sedang duduk di depan meja yang di atasnya tersaji piring sate, di belakangnya tampak spanduk warung tenda yang bertuliskan 'Sate Ayam' dengan pengejaan terbalik karena diambil dari belakang. Gambar itu mengisyaratkan bahwa si penggambar duduk di depan si perempuan.
Rasyid membuka lembaran berikutnya, gambar perempuan yang sama, sedang memakan takoyaki di tengah-tengah matsuri kampus, lembaran berikutnya, perempuan itu sedang berjalan di antara hujan, di bawah lindungan payung biru bermotif bintang. Lalu ada gambar perempuan itu bersepeda di jalanan yang Rasyid kenali sebagai jalanan di kampus Dica di sini, masih banyak gambar lainnya, gambar perempuan itu meminum teh di kafe kecil, perempuan itu bermain dengan anak kecil di kafe yang sama, perempuan itu duduk di ayunan sambil memakan es krim, gambar perempuan itu membaca komik Gals, gambar perempuan itu bicara dengan ikan di dalam akuarium. Dan walaupun ada juga beberapa gambar yang tidak diwarnai, hanya berupa sketsa kasar putih abu, itu tidak mengubah kenyataan bahwa si penggambar tidak hanya melibatkan tangannya, dia juga menyertakan hatinya saat menggambar ini semua. Hingga Rasyid sampai di lembaran terakhir, ia dilanda keinginan kuat untuk membanting buku itu.
Kemarahan yang ganjil menyebar di sekujur tubuh Rasyid sebelum ia meletakkan kembali buku sketsa itu di tumpukan terbawah. Ia baru saja memasuki rahasia Irham yang membuatnya ingin meledak dan menghajar lelaki itu begitu ia kembali setelah menelepon. Bayangan Irham memandangi Dica diam-diam dan merekam pandangan itu untuk kemudian menuangkannya ke dalam gambar membuat Rasyid semakin kesal, rahangnya mengeras. Apalagi lewat gambar-gambar itu Rasyid merasa Irham juga mengenal Dica sebaik Rasyid.
Sisi rasional dalam diri Rasyid memberitahu bahwa ia sebaiknya pergi tidur, ia tidak boleh ribut di sini, ia tidak boleh gelap mata karena cemburu padahal belum tentu Dica merespons Irham. Rasyid memutuskan untuk percaya pada Dica, karena itu dia mematikan nyala kemarahannya dengan memejamkan mata, berusaha tidur.
Sampai ketika Irham kembali ke kamar-kira-kira sejam ia menelepon-Rasyid masih berusaha tidur. Tarikan napas mereka kembali menyatu di udara.
Tidur Rasyid sama sekali tidak tenang malam itu, ia akhirnya tahu jawaban dari pertanyaannya yang tidak dijawab Irham.
Irham bukan menyukai Dica.
Irham menyayangi Dica.
Dan Rasyid tidak tidur sampai pagi.
*
Acid
"Kamu semalem begadang ya?" tanya Dica waktu gue jemput dia di depan dormnya siang itu. Dia gak tau sama sekali kalo gue nginep di kamar Irham semalem, gue sengaja gak bilang dan gue sih pengennya Irham juga gak bilang ke dia.
Gue kayaknya cuma tidur setengah jam, pas gue bangun, Irham juga udah bangun-atau bahkan dia juga gak tidur-mukanya tetep datar sambil masak air di dapur kecilnya yang gue pikir gak pernah dia sentuh.
Kayaknya dia mau bikin teh, dan ada dua cangkir. Gak tau buat gue juga atau itu kebetulan aja. Tapi serem juga sih dibikinin teh sama dia, takut gue diracun. Ha. Gakdeng.
Sebelum gue tau jawabannya, gue mutusin buat pamit pulang, bilang makasih dan pergi dari kamar dia, masih dengan pikiran dipenuhi gambar-gambar dia. Kepala gue pening sampe sekarang. Dica bisa langsung mendeteksi kalo gue kurang tidur.
"Iya, aku gak bisa tidur semalem." jawab gue jujur.
Dica menatap gue lekat, "Apa kita gak usah jadi aja hari ini? Kamu tidur aja gih."
"Eits apaan sih." gue langsung memprotes, "Gak bisa, hari ini harus tetep jadi."
Tiga hari lagi gue pulang dan gue gak mau melewatkan satu hari di Jepang cuma tidur doang. Setelah ke festival musim kembang api sama Dica, gue sama dia udah mengatur jadwal hari ini mau ke Asakusa naik kereta. Selain mau beli perbekalan buat besok gue sama dia mau berangkat ke Osaka, ke akuarium impiannya, gue juga mau beliin semua titipan sama oleh-oleh hari ini, biar pas mau pulang ntar gak ribet, apalagi mengingat titipan anak Komet yang seabrek-abrek.
Dica yang ngatur semuanya, dia emang orangnya ter-planning banget, semuanya dia catet di jurnal, dari mulai jadwal dan rute kereta sampe toko-toko yang bakal dikunjungin di Asakusa ntar. Setelah gue tetep bersikeras mau pergi sekarang sesuai rencana, dia ngeluarin pulpen dari saku dan ngasih tanda ceklis di lembaran jurnalnya. Gue langsung senyum-senyum gemes. Kebalikannya dia, gue orangnya spontan banget, semacem lets go anywhere, don't worry about a thing, let the wind guide us. (asik)
"Tour guide pribadi aku sibuk banget sih," gue nyengir, "Kan kamu memandu aku selama di Jepang, nah, aku memandu masa depan kamu ya, Ca?"
"Apa sih Rasyiiiid."
Kangen banget gue di-'Apa sih Rasyiiiiid'-in manja gitu sama dia. Ihiy. Untuk sejenak gue lupa sama hal yang mengganggu pikiran gue dari semalem.
"Jadi nih kita naik sepeda ke stasiunnya?" tanya gue antusias. Ide naik sepeda sampe stasiun emang gue yang ngusulin begitu liat banyak sepeda-sepeda punya mahasiswa di area dorm, itung-itung gantiin si Dongker yang gak bisa gue bawa ke sini.
"Iya, aku yang di boncengan apa kamu?"
"Becanda nih, ya kamulaaah. Masa aku?"
Dica ketawa, gue langsung menyentil poninya, "Kamu pengen aku yang di boncengan biar kamu bisa ngerasain dipeluk ya?"
"Nggaaak." pipinya langsung merah dikit, bukan karena udara panas Jepang pasti.
Terkesan buru-buru mengalihkan perhatian, dia narik salah satu sepeda di antara sepeda-sepeda lain di parkiran.
"Nih, sepeda aku."
"Lucuuuu ada keranjangnya." gue langsung naik ke atas sepeda dengan semangat dan langsung membunyikan dering belnya berkali-kali. "Ayo naik."
Dica menyelipkan rambut ke belakang telinganya sebelum naik ke boncengan.
"Pegangan dong."
"Iyaaaaaaaaa, gak usah dikasih tau." gerutu Dica lucu sembari memegangi kaus hitam gue.
"Ca, tapi aku udah lama gak naik sepeda lho karena selama ini sama si Dongker mulu ke mana-mana, kalo ntar jalannya zigzag maklumin ya?"
Dica mencubit pinggang gue, "Udah ah cepetan."
Gue baru akan mulai mengayuh ketika suara-sedikit ribut-terdengar dari belakang kami. Irham terlihat mengeluarkan sepedanya sendiri dari parkiran dan seketika senyum gue lenyap.
Ekspresi cowok itu masih gak ada bedanya sama pas gue balik dari kamar dia tadi pagi. Dia naik ke sepedanya dengan ransel hitam di gendongan lalu mengayuhnya pelan melewati gue sama Dica, mata yang ada di balik kacamata hitam itu sama sekali gak ngelirik gue sama Dica.
Sementara gue bisa merasakan cengkraman tangan Dica di kaus gue mengencang ketika Dica buka suara, "Lo mau ke kampus? Kan libur?"
Tangan gue menggenggam stang lebih erat, gue bisa tau kalo itu pertanyaan basa-basi yang wajar ditanyain temen sekelas tapi gue tetep mangkel. Apalagi kalo inget apa yang gue liat semalem.
Irham mengangguk, "Ada urusan di kampus." jawabnya, masih tanpa melirik. Udah gue duga, dia juga gak bakal bilang ke Dica kalo semalem gue numpang di kamar dia. Sebelum dia melanjutkan mengayuh, dia memiringkan kepalanya seperti bicara pada bahunya sendiri. "Duluan, Dis."
Dis???????? Gue melotot. Apaan sih, iya gue tau namanya Adisa tapi kok gue kesel denger dia manggil 'Dis?' kayak gitu. Ada yang lain dari cara dia manggil Dica. Rasanya gue pengen nerjang sepeda dia aja tapi gak lucu ah.
Setelah Irham berlalu, kayaknya Dica menyadari perubahan suasana hati gue, apalagi karena dari tadi gue gak mulai-mulai ngayuh. Dia perlahan melepas pegangannya di kaus gue dan memeluk gue sebagai gantinya.
Kalau itu adalah upaya buat meredakan kecemburuan gue, dia berhasil. Gue membunyikan dering bel sepeda lagi beberapa kali untuk mengembalikan mood dan mulai mengayuh sepeda.
"Yang kenceng meluknya, Ca, abis ini aku lepas tangan."
"Rasyiiiid."
*
Begitu sampe di Asakusa, tepatnya di Nakamise-dori, pikiran tentang Irham langsung jadi gak penting karena gue sibuk nyari oleh-oleh. Setelah makan monjayaki yang kata Dica enak-ternyata emang beneran enak!-gue sama dia muter-muter, datengin satu demi satu toko suvenir. Dica yang megang kertas catatan titipan orang-orang dan memberi tanda ceklis satu persatu di benda yang udah kita beli.
"Kaos buat ayah kamu udah, kipas sama tas buat ibu udah, kosmetik Rara belinya di Donki-hote aja, gak jauh dari sini. Hmmm, terus..." Dica mengetuk-ngetukkan ujung pulpen ke jurnalnya, "Magnet kulkas udah kan tadi? Buat di rumah sama di Komet, terus kaos kaki titipan Krucils, sumpit titipan Rama sama Jime, furin buat Galang, ini siapa yang nitip replika sushi?"
Gue mendekat buat ikut membaca daftar titipan, gue mendengus, "Titipan Bang Awang itu, buat ngejailin si Wawan pasti."
Kening Dica lalu berkerut lagi, membaca kelanjutan daftar yaitu barang-barang titipan Wawan.
"Dia nitip air kuil juga?"
"Emang gendeng tu orang," gue berdecak.
"Tapi ada sih Cid, kuil deket sini, tuh Kuil Sensoji. Kamu mau ambil airnya? Dibotolin apa gimana?" Dica nahan ketawa.
"Dikira air zamzam kali ya, si tolol. Terus dia nitip apalagi Ca? Aku gak sempet ngecek, abis banyak banget tu kunyit kisut nitipnya."
"Tamagochi?"
"Terus?"
"Jimat..."
"Jimat apaan??"
"Gak tau, tulisannya di sini jimat doang." Dica ketawa lagi. Emang bener-bener si Wawan Surawan ini.
"Sini deh, aku video call aja orangnya." Gue ngipas-ngipas pake kipas yang baru gue beli sambil nunggu kesambung, di sana kan hari Sabtu, jadi harusnya Wawan ada di Komet, jadwal ngosek.
Di luar dugaan, dia muncul di layar hp gue tanpa kosekan.
"WOY ARENG BATOK? BELOM BERUBAH JADI PATUNG HACHIKO LO?"
Tai amat.
"Eh hallo, Neng Adicaaa Adeciiii." Wawan menyapa dengan nada yang sama sekali lain dibanding pas ngomong sama gue begitu Dica keliatan di layar.
"Hai Dicaaa!!" kedengeran suara riang Satrio juga, gue makin yakin selama gue di sini, Wawan nempatin tempat tidur gue di Komet. Dasar bejat, awas aja gue pulang berantakan.
"Kayaknya fresh banget kalian? Abis ngecharge ya?" Satrio sampah, untung Dica diem aja.
"Heh! Ni aer kuil beneran? Gila lo ya?" gue langsung misuh ke Wawan.
"Yaela tinggal ambil aja Cid apa susahnya."
"Susah! Lagian apa faedahnya sih, Wan?"
"Kan siapa tau kalo gue minum, gue jadi mirip Kentaro Sakaguchi, Cid."
"Hah. Guci pecah kali lo mah."
Dica menunduk untuk menyembunyikan tawanya sembari pura-pura lebih tertarik pada gantungan yang dijajarkan di bagian depan toko.
"Udah gak usah segala aer kuil deh, gue beliin lo ini aja ya?" gue mengarahkan kamera hp ke arah topeng hyottoko yang tergantung. "Tapi mirip lo Wan, lo pake gak pake juga gak ada bedanya."
"Bangke."
"Tapi boleh juga tuh buat nakut-nakutin krucils." Satrio yang ikut gabung di belakang Wawan berkomentar. Gak tau diri banget mau nakut-nakutin krucils, padahal dia sendiri penakut.
"Atau nggak ini?" gue bergeser lagi, "Lampion mini! Lucu kan? Beliin nih buat si Vio."
"Iya, mini chochin lucu, bisa dilipet juga, praktis." gumam Dica mendukung gue, tapi Wawan mengernyit.
"Ngapain gue beliin dia lampion?"
"Buat ngehias kamar lah?"
"Alah, dia dikasih lampu teplok juga seneng." timpal Wawan asal. "Ya udah dah gak usah ambilin aer kuil, Cid."
Gue mengembuskan napas lega.
"Tapi jimatnya tetep jadi ya."
"Jimat apaan nih? Jimat lancar jodoh?"
"Jimat keberuntungan!"
Dica menjawil bahu gue dan menunjuk ke salah satu deretan gantungan kayu berukir aksara Jepang yang dihiasi bel krincingan kecil, "Nih, ini Suzutsuki Omamori, jimat juga kok." katanya.
"Ya udah, ini aja ya, Wan?"
"Iye, ntar gue gantung di kunci si Rizqullah. Beliin dua ya!"
"Suka-suka lu dah." Heran, ini lebih ribet daripada dititipin oleh-oleh sama ibu-ibu.
"Cid, titipan gue jangan lupa!" seru Satrio.
"Titipan lo makanan doang kan? Gampang."
"Gue nitip Mayuyu eks AKB, Cid. Lupa lo?"
"Bangsat."
"HAHAHAHAHHAHAHAH."
"Eh anjir ini siapa yang nitip pedang samurai???" Mata gue membelalak begitu membaca ulang daftar. Buset temen-temen gue tuh pada kenapa sih.
"Oh itu gue juga," kata Wawan tanpa dosa, "Buat nebas lo."
Tut. Sambungan gue putus.
Jangan lama-lama ngomong sama rempah-rempah, mendingan lanjut pacaran.
*
Gerbong kereta yang gue dan Dica duduki di perjalanan pulang gak terlalu rame, jadi gue sama dia dapet tempat duduk setelah mastiin gak ada lansia atau ibu hamil di sekitar kita.
Gue akhirnya bernapas lega setelah hampir semua daftar titipan udah kebeli, kecuali pedang samurai ya, lagian ngapaiiiiin, si Wawan emang monyeeet.
"Capek ya, Ca? Seharian muter-muter?" tanya gue sambil ngerebahin punggung ke bantalan kursi kereta.
Dica merapikan kembali kantong-kantong belanjaan di dekat kaki kami berdua sebelum ikut menyandarkan punggungnya, bahunya bersentuhan sama bahu gue.
"Nggak capek ah, aku malah seneng, selama aku di sini aku cuma pernah ke Asakusa sekali sama temen, itu juga buru-buru, makanya tadi seneng bisa sekalian nyobain monjanya, dangonya.."
"Sama temen, bukan sama Irham kan?" pertanyaan itu keluar gitu aja dari mulut gue. Udara musim panas di Jepang dan panas cemburu emang bukan kombinasi yang bagus, tapi ya udahlah, udah terlanjur keluar. Gue merhatiin reaksi Dica sambil melipat tangan di depan dada.
"Bukan sama Irham, aku gak pernah pergi sama dia."
"Beneran?"
"Kamu kenapa? Kok kayaknya sewot terus sama dia?" Dica menoleh, tapi wajahnya menyiratkan geli, pasti karena gue gak sadar mengerucutkan bibir.
Gimana gak sewot, Caaaa, kamu harusnya liat buku sketsa diaaaaa. Gue ngedumel dalem hati.
Api cemburu semakin panas. Padahal Dica udah jelas-jelas bilang dia gak pernah pergi-pergi sama Irham. Gue jadi inget pas Dica nelepon gue ngasih tau Irham ngajakin dia ke akuarium Osaka. Hati gue jadi makin kecut.
"Aku gak suka aja sama dia, dari pas kamu bilang dia ngajakin kamu ke Osaka itu."
"Lho kan aku gak pergi sama dia? Aku perginya sama kamu besok."
"Tapi pasti dia sering ngajak kamu pergi kan??" nada merajuk itu keluar begitu saja tanpa bisa gue cegah. "Dia pasti sering nyari alesan biar bisa deket-deket kamu di kampus, di luar kampus, di-"
Serta merta Dica mengaitkan jari jemarinya di sela jemari gue sehingga tangan kami saling menggenggam. Sebelum gue sempat berpikir sambil menatap lekat pergelangan tangannya yang dilingkari ikat rambut hitam, dia menyandarkan kepalanya di bahu gue, harum sampo bayi yang sangat gue hafal merebak ke hidung gue.
"Udah, bobo aja, kamu kan kurang tidur."
"Aku kan-"
"Sssst." Dica merapatkan genggamannya. Lagi-lagi dia meredakan apapun yang meledak-ledak di hati gue, lagi-lagi dia menenangkan gue dengan caranya.
Akhirnya gue berhenti merajuk dan menyandarkan kepala gue ke kepalanya.
"Ca,"
"Hm?"
"Kamu kan sering bilang kamu suka naik kereta. Selama di sini, kalo kamu naik kereta, kamu inget aku gak? Kayaknya aku pernah bilang aku jadi pegangan tangan di kereta, abis itu jadi stang sepeda."
Gue bisa merasakan senyum gadis itu mengembang teringat kebiasaan gue mengibaratkan diri jadi benda-benda di sekitar dia selama kami LDR. Untung gue bisa nyusulin ke sini sebelum nyamain diri jadi pengki.
"Soalnya ini aku liat ke luar jendela kereta kok kebayangnya kamu terus padahal kamunya ada di sebelah aku."
"Kamu juga selalu ada kok, Rasyid, setiap hari." kata Dica pelan.
Dan mata gue perlahan memejam, gue tertidur selama gue dan dia saling bersandar. Sementara pemandangan dari jendela kereta terus membentuk fragmen acak, menemani perjalanan pergi maupun pulang para penumpang. Menyimpan bayangan senyuman.
*
Gue keluar dari kamar mandi di dorm Dica, sengaja mandi dulu di sini sebelum balik ke hotel selagi Dica memisahkan barang-barang belanjaan. Gue mengacak rambut basah yang meneteskan air ke kaus hitam gue sambil memperhatikan Dica yang kelihatan sibuk membuat sesuatu.
Sementara kantong-kantong belanjaan terlihat sudah dilabeli dengan nama, dari mulai 'Rara' sampe punya 'Wawan' yang kantongnya paling gendut, penuh sama benda-benda titipan gak penting.
"Kamu ngapain, Ca?"
Dica menoleh, wajahnya cerah, "Aku bikin teru-teru bozu."
"Hah? Teru-teru bojo?"
"Teru-teru bozu, Rasyiiid." koreksi Dica sabar.
Ketika dia bangkit berdiri, gue baru ngerti apa itu teru-teru bozu. Boneka dari kertas tisu putih yang sekilas kayak hantu. Kepala botak, putih, dan badannya melayang. Tapi bikinan Dica lucu banget, dia ngegambar mata dan senyum di wajah boneka itu dan menggantungnya di jendela, menghadap ke luar.
"Teru artinya bersinar, bozu artinya bocah lelaki. Ini boneka pemohon cuaca cerah."
"Oooh," Gue pernah liat kayaknya di komik, "Kamu pengen cuaca besok cerah, gitu?"
"Iyaa," jawab Dica, matanya berkilat-kilat senang, "kan besok kita mau ke akuarium."
Gue langsung ikutan senyum.
"Kan kita ke akuarium? Indoor, gak bakal kerasa juga kalo hujan?"
"Tapi kan biar pas di perjalanannya juga gak hujan, terus bisa makan es krim."
Gemes banget cewek gue, Ya Tuhan, dia gak tau ya ada yang lebih manis dari es krim... Bibir dia...
Ok, stop, Rasyid.
Matahari sore menjelang malam itu kayak kelambu, gue memandang teru-teru bozu yang digantung Dica tertimpa sinar temaram matahari, membuatnya jadi terlihat tersenyum sedih.
Tiba-tiba gue kepikiran ayah.
Seandainya.... selain penangkal hujan, ada juga penangkal sedih.
*
a/n:
aku akan double update karena kepanjangan hehehehe.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top