August - 25
Acid
Akhir Agustus, sepulang dari jenguk ayah beres UAS, gue balik ke Komet sambil mikirin kata-kata ayah ke gue sama Rara hari itu. Biasanya kalo ayah nasihatin gue sama Rara itu pasti sambil guyon, santai, gak kedengeran kayak nasihatin, tapi tadi... ayah kayak beneran serius banget, terus kata-katanya masih terngiang di telinga gue.
"Raisa, Rasyid, dulu waktu kalian kecil, ayah banyak belajar dari kalian. Dulu kalian sama-sama suka ke game center di mal deket rumah, Raisa suka naik kuda di karusel, Rasyid suka main tembak-tembakan. Kalian selalu sabar nunggu pergi sama ayah kalo ayah udah janjiin hari libur kita main. Gak pernah maksa pergi duluan. Dari situ ayah belajar sabar untuk semua rencana.
"Sekarang kalian udah dewasa, rencana kalian udah gak bergantung sama ayah lagi. Kalian gak perlu nunggu ayah buat kebahagiaan kalian sendiri. Jangan karena ayah sekarang lagi diuji, kalian juga berhenti fokus sama rencana-rencana kalian."
Gue gak ngerti kenapa ayah bilang gitu, waktu itu yang kepikiran sama gue adalah ayah gak mau gue sama Rara sama-sama merasa terbebani dan gak bisa jalanin hidup dengan normal. Tapi setelah itu ayah ngelanjutin.
"Nanti ke depannya, kalian mungkin akan menghadapi masalah yang bisa lebih berat dari ini. Bukannya ayah doain yang jelek-jelek, tapi gak ada satupun yang bisa jamin masa depan kecuali Tuhan. Nanti mungkin bakal ada orang yang menyakiti kalian, yang pikirannya sempit, yang gak segan berbuat jahat, yang menghakimi tanpa berusaha memahami, kalo ketemu yang kayak gitu, sabar, serahin semuanya sama Tuhan. Karena sebenernya Tuhan itu perencana yang terbaik. Selalu ada rencana indah buat kesabaran kalian."
Kata-kata itu masih gue renungkan sambil rebahan di atas kasur ketika terengar suara gubrak-gabruk ribut dari luar kamar. Menyusul pintu kamar yang menjeblak terbuka, memunculkan sosok Wawan. Iyalah, siapa lagi biang ribut.
"Apaan sih, Wan?"
"Ada bidadari!!!!"
"Hah?"
Ni orang salah makan apa kebanyakan ngosek sih? Kok ngocehin bidadari???
"Siapa bidadari? Anak kosan sebelah yang kata lo body gitar itu? Ckck, dasar mata keranjang, gue kasih tau si Violet nih."
Wawan mengeplak gue. Sumpah ya, kalo bukan temen udah gue hanyutin ni orang ke Samudera Pasifik. Gue gak tau apa-apa kenapa dikeplak?????
"Kakak lo dateng, bego!"
Barulah mata gue melotot. Si Rara ngapain????
Gue melompat bangun dan melewati Wawan yang masih kicep, mendapati Rara memasuki ruang tengah, tangannya melambai sok manis.
"Hallo, Dek."
Cih, pencitraan banget, gue melirik Rama dan Jime ada di sisi Rara, seperti pemandu wisata. Pasti si Nyi Blorong itu ingin membangun citra kakak yang baik di depan orang-orang. Ya dia emang baik sih, tapi gue gak mau mengakuinya di depan orangnya langsung.
"Ngapain lo???" Gue masih heran.
"Ada yang mau gue omongin."
Gue makin bengong, apaan sih si Rara kenapa jadi drama banget. Ekor mata gue menangkap Awang yang ngasih kode keras supaya dikenalin.
"Kamar lo yang itu kan?" Rara menuding ke tempat gue keluar tadi, lalu tanpa menunggu lama, dia menarik belakang kerah kaus gue kayak ngangkat anak kucing dan menggiring gue ke kamar gue.
"WOY INI LAGI ADA ORANG DIBULLY DI DEPAN KALIAN LHO. KOK KALIAN DIEM AJA??" Gue memprotes, setengah malu karena keliatan kayak bocah bandel gak berdaya di depan yang lain. Emang kampret si Rara.
"Gak apa-apalah Cid, dibullynya sama kakak lo ini." Gue bisa mendengar Wawan ngikik dan Awang nyeletuk 'Mau dong ditarik' sebelum Rara menutup pintu kamar. Tai, mana kesetiakawanan mereka???
"Apa-apaan sih lo, jir??" Gue melepaskan diri sementara Rara tanpa merasa berdosa beranja duduk dengan sok bossy di kursi putar milik gue di depan meja, ia berputar-putar pelan sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Gue beneran berasa kayak lagi diinspeksi bos besar galak berkuku merah dan bersepatu hak yang haknya bisa buat nyolok mata.
"Lo udah liburan kan?"
"Udah. Lah lo budeg ya? Kan gue bilang tadi, gue udah libur."
"Lo udah punya rencana liburan ya?"
Mendengar itu, gue terdiam. Rencana gue yang udah ada sejak hari pertama gue ngelepas seseorang pergi ke tempat yang jauh. Rencana buat nyusulin dia. Rencana yang nasibnya kayak kayu yang dilahap api jadi abu.
"Ke Jepang kan?" Rara bersuara lagi. Gue mengacak rambut gue asal, menghindari tatapan Rara, kenapa sih dia tau aja?
"Gak jadi kok."
"Kenapa gak jadi?"
"Ya gak jadi?? Masa kondisi lagi kayak gini gue pergi liburan ke Jepang?"
Rara mengembuskan napas, mukanya kayak bilang kalo dia udah menduga gue bakal bilang begitu.
"Pergi aja, Cid."
"Hah?" Gue melongo. "Apaan sih lo?"
"Pergi aja ke Jepang. Lo ke sana kan bukan buat liburan, lo mau ketemu sama orang yang lo sayang, yang lo kangenin, yang lo butuhin sekarang."
Iya Ra, iya bener, gue kangen banget, tapi tetep aja, masa gue ninggalin ayah?? Suara di otak gue teriak frustrasi.
Kayak bisa baca isi pikiran gue, Rara menegakkan punggungnya dari sandaran kursi putar terus menepuk lengan gue agak keras, "Lo gak denger yang dibilang Ayah tadi? Kita juga harus mikirin kebahagiaan kita sendiri, Dek, dengan lo pergi nemuin Dica gak bikin lo jadi anak durhaka yang gak mikirin ayah kok. Kita semua tau lo sayang ayah, lo udah berusaha semampu lo. Sekarang, sama kayak lo kuliah lagi, ngampus lagi, lo juga harus lanjutin hidup dan bahagia." Rara merogoh sesuatu di tasnya lalu menyodorkan amplop putih yang cukup tebal.
"Apaan nih?" Gue mengerutkan kening.
"Tambahan buat lo ke Jepang, uang pribadi gue."
"Yaelah apaan sih, Ra."
"Yaelah apaan sih, Cid." balas Rara dengan sangat rese mengimitasi gue. "Udah, ambil aja, tambahan tabungan lo. Kan lumayan jadi makin banyak."
"Mending buat bantuin ayah lunasin denda."
"Kalo ayah lepas dari tuduhan, ayah gak perlu bayar denda sama sekali."
"Kalo gak lepas dari tuduhan?"
"Kok lo pesimis gitu?"
"Ra, gue tuh realistis, lo liat sekarang ayah di mana, ada tanda-tanda dia bisa keluar dan bersihin namanya dalam waktu dekat gak? Nggak kan?" Mata gue tiba-tiba panas, hati gue pedih banget denger kata-kata gue sendiri.
"Ini mungkin kedengerannya klasik, tapi percaya sama gue, kebenaran tuh gak bakal kalah, ayah pasti bisa bersihin namanya. Lagian ayah juga gak mau bayar buat sesuatu yang gak pernah dia lakukan kok." Rara meletakkan amplop itu di atas meja karena gue gak kunjung menerimanya. "Udah, pokoknya lo pake aja."
"Ra, gue gak apa-apa gak berangkat ke sana. Beneran gak apa-apa. Elah."
"Oh gitu? Lo gak apa-apa gak berangkat ke sana? Terus ini gimana?" Rara meraih sesuatu yang ada di sudut meja gue. Ah sial, celengan gue, celengan yang gue tulisin pake spidol dengan penuh pengharapan, celengan bertuliskan 'Tabungan Nyusul Adisa'. Gue bisa melihat senyuman terbit di wajah Rara. Belum pernah gue semalu ini di depan kakak gue, bahkan digiring kayak anak kucing tadi gak ada apa-apanya.
Rara bangkit dari kursi, menaruh kembali celengan itu ke tempat semula lalu menepuk punggung gue, "Jangan nahan diri buat bahagia, Cid. Lo tau gak sih, ayah yang bilang sama gue tadi pas lo udah keluar duluan. Dia bilang 'Kok Rasyid gak berangkat-berangkat ke Jepang? Kuat banget dia gak ketemu-ketemu pacarnya? Kalo ayah sih udah nyusul. Ah payah Rasyid, Rasyid, mana perjuangannya?'"
Sesuatu menyentak gue mendengar itu dan begitu menatap Rara, dia tersenyum menyebalkan, "Ayah sendiri yang nyuruh lo pergi. Hayo, mau ngomong apa lagi lo?"
Sebelum Rara membuka pintu kamar, dia seperti tersadar akan sesuatu, dia menoleh dan menatap gue menyelidik, "Tabungan lo gak cuma yang di situ doang?"
"Ya kali, nggaklah. Ngandelin tu celengan sih bisa-bisa gue udah aki-aki baru bisa ke Jepang."
Dia tertawa, "Ya udah ah, gue balik."
"Lo ke sini cuma mau nyuruh gue ke Jepang?" tanya gue sambil menyusul langkah Rara ke depan, pandangan anak-anak Komet di ruang tengah langsung beralih dari TV ke arah gue dan Rara.
"Iye. Makasih lo sama gue."
"Sering-sering aja kalo gitu lo ke sini, ntar modalin gue ke Inggris juga ya?"
Rara menjitak gue, "Awas lo, jangan lupa beliin gue kosmetik Jepang!"
"Nggih, Ndoro."
"Pulang, Kak?" Rama berdiri sambil tersenyum ramah yang dibalas Rara dengan senyuman tidak kalah ramah.
"Iya nih, udah beres ngurusin si bocah."
"Gue bukan bocah." desis gue sebal.
"Ati-ati ya pulangnya, Kak Raisa." kata Wawan sok manis. "Hamishnya mana nih, Kak? Kalo belom ada, bisa nih gue jadi Hamish."
"Hamish ilang H-nya elo mah. Amiiiis amiiiis, bau amiiiiis." Awang menutup hidung.
Rara tertawa dan gue bisa melihat Awang jadi senyum-senyum semringah karena udah bikin Rara ketawa.
"Panggil Rara aja, gak apa-apa. Raisa kepanjangan."
"Lebih panjang lagi kalo ditambahin 'Cantik' di belakangnya ya, Kak? Hehe. Padahal emang cantik." Buset, buset, ini si Galang makin jago aja ngalusnya.
"Aduh jadi malu." Rara tersipu sok anggun, gue langsung pura-pura ber-hoek ria.
"Lo semua jangan ketipu, si Rara suka sendawa gede banget." sela gue santai.
"Woy!!!"
"Terus waktu kecil dulu pernah ikut panjat pinang di acara Agustusan kompleks, sebenernya gak apa-apa sih kalo mau ikutan, tapi masalahnya dia masih pake rok sekolah. Edan lo, Ra."
Rara langsung melotot, yang lain juga ikut melotot. Dia mencubit lengan gue kuat-kuat, "APAAN SIH LO? OH, JADI MAU MAIN BONGKAR-BONGKARAN NIH? OK, KALO ITU MAU LO."
Dia menuding gue, "Acid dulu pernah berenang di kolam renang deket rumah terus lupa bawa baju ganti, jadi dia lari-lari balik ke rumah cuma pake celana renang!!!!"
"HEH!!!"
Gue bisa mendengar Galang sekuat mati nahan ketawa dan Wawan sengaja berbisik keras, "Itu sama malu-maluinnya sama cebok di belakang steam motor."
"Oh ya!! Dia juga pernah bikin ibu dipanggil wali kelas gara-gara nyanyi OST Hamtaro tapi liriknya diganti jadi TUKUTUK HAMTARO BERLARI, APA YANG PALING DIA SENANGI?? BIJI ANAK LAKI-LAKI!!!!"
Tawa Wawan dan Satrio meledak, menyusul derai tawa yang lain. Gue langsung pengen bekep Rara pake sarung.
"Eh gak gitu ya!!!! Gue nyanyinya BIJI BUNGA CAMPUR TAIIII."
"Sama aja gak senonoh!!"
"Lo kan yang ajarin???"
"Sembarangan lo!!!"
Baru beberapa menit gue bersyukur punya kakak kayak Rara, sekarang gue rasanya pengen tuker kakak sama Iqbal aja.
*
Menjelang keberangkatan gue ke Jepang, anak Komet juga ikutan pada heboh, bantuin gue packing sampe titip segala macem, apalagi si Jime rempong banget, banyak banget yang mau dititip. Ni gue buka jastip aja kali ya lama-lama.
"Nyet!!! Gue ada tambahan titipan lagi nih!" Wawan meluncur ke kamar gue pas gue lagi ngecek bawaan gue terakhir kali sebelum berangkat besok ditemenin Rama, Galang, Opang sama Satrio. Gak sih, sebenernya Satrio lagi ngegame dan Opang cuma numpang ngadem karena dia kekunci, kunci kamarnya dibawa Fariz. Gue biasanya tipe orang yang kalo pergi ke tempat yang jauh, packingnya last minute, tapi berhubung ini ke Jepang, mau ketemu orang terkasih, persiapannya udah beberapa hari sebelumnya, gue juga ke rumah Dica dulu, ketemu ayah bundanya sekalian silaturahmi terus bilang gue mau ke Jepang.
"Nitip apaan lagi sih, Wan? Titipan lo udah banyak banget nih!" protes gue sambil melempar catatan titipan anak Komet yang udah kayak catatan utang. Mana aneh-aneh pula titipan si Wawan, ngapain dia nitip air kuil coba???? Dikira air zamzam apa? Gak sekalian dia nitip udara Tokyo di plastik? Ntar gue jabanin deh, selipin aroma kentut sekalian.
"Si Vio bentar lagi ulang taun. Gue lupa banget. Gue titip tamagochi asli dari negaranya dong Cid, buat kado."
Gue mendecak. "Masa dibeliin tamagochi doang?"
"Tau, Wan, effort kek lo, buat cewek sendiri juga." Satrio ikut nimbrung, jari jemarinya tetap menekan-nekan layar hp.
"Ya udah, lo beliin sekalian kartu ucapannya, Cid."
Gue mengangkat satu alis, "Terus?"
"Sekalian tulisin juga, lo tulis puisi kek, kan lo suka baca-baca puisi sok-sokan Rangga AADC tuh." Wawan melirik sekilas koleksi buku-buku kumpulan puisi di rak gue, "Ntar lo balik ke sini gue traktir soto deh."
Gue melayangkan kertas catatan itu ke kepala Wawan, "Lo sendirilah yang tulis, apa artinya buat cewek lo kalo gue yang nulis?"
"Bang Wawan mana bisa nulis puisi," timpal Opang, "Nulis pantun aja remed."
"Eh, gue pernah ngasih ke Vio tau, gini nih: Mawar itu merah, violet itu ungu. Aku harus pergi ke kamar mandi."
"Yaela goblok." Satrio mendengus. "Itu lo ngutip puisinya Patrick ya?"
Opang menggeleng-geleng dengan wajah datarnya, "Harusnya 'Mawar itu merah, violet itu ungu. Semuanya salah, Violet itu kamu."
"Itu maknanya apaan sih, Pang?" tanya Rama sabar.
"Nama panjang pacarnya Bang Wawan kan Violet?"
"Oh ya, bener juga, jenius lo Pang." Wawan berkata kagum.
"Selama lo kenal Vio biasanya lo kasih kado apa emang?" tanya gue penasaran, yang ditanya kontan nyengir.
"Hehe. Selama ini gue selalu ngasih kupon."
"Hah? Kupon apaan?"
"Jangan bilang...." Rama berkata ngeri.
"Iya Ram, yang pernah gue kasih pas lo ulang taun! Hahaha."
Gue mengalihkan pandangan ke Rama, "Kupon apaan, Ram?"
"Kupon Cinta Wawan," cara Rama mengatakannya seperti dia bisa muntah kapan saja.
"Tapi gak pernah lo pake, Ram. Itu ada expired datenya tau. Cih, sok gak butuh cinta gue, lo?"
"YA NGAPAIN DIPAKEEE KUNYIIIIT??? Gue juga ogah kalo jadi Rama." Gue pura-pura merinding. "terus kalo kuponnya dipake, apa yang lo lakuin? Melukin Rama seharian gitu?"
"Tau, taun depan ganti aja jadi kupon lo ngosek. Gue dengan senang hati pake tu kupon." Rama menambahkan.
Wawan merengut sebal, "Sama Vio suka dipake kok kalo gue kasih tu kupon, misalnya pas dia sedih, gue hibur."
"Itu emang udah seharusnya, toliiil. Ngapain pake kupon? Dasar gak modal."
Bener-bener kasian Vio. Banyak sabar aja ya pacaran sama kendi gompal ini.
"Eh, Bang Acid juga kan bentar lagi ulang tahun!" seru Galang yang tadinya hanya tidur-tiduran mager di atas tempat tidur gue. "Asiiiik, ngerayain ulang tahunnya di Jepang bareng Kak Dica. Cieeee, cieee."
"Aduh mantul nih, mantap betul." komentar Satrio sambil senyum-senyum penuh arti.
Gue juga jadi ikutan senyum-senyum.
"Bang Acid mau kado apa dari Kak Dica niih?" goda Galang lagi.
"Hmmm, gue dikasih peluk aja udah seneng sih." Gue gak sadar kuping gue udah merah.
"Utuk-utuk, sini areng batok gue peluk sini."
"Bukan sama lo, Wan."
"Yakin tuh peluk doang?" ledek Satrio. "Duh mana kata Ayu kalo musim panas gini di Jepang udaranya lembab gitu, gerah, biasanya ngapain ya yang enak, seger."
Tai. Bang sat memang.
"Maksud gue nonton film horor sama ke festival, Cid. jangan ke mana-mana dulu mikirnya."
Gue menarik risleting koper kecil gue, masih sambil senyum-senyum, ketika Wawan iseng membuka-buka buku percakapan sederhana bahasa Jepang yang gue letakkan di dekat ransel.
"Cid, sebelom lo berangkat, sini gue tes dulu. Ini penting, lo gak mau kan di sana diculik Yakuza?"
Apaan sih ni gendeng.
"Ayo! Gimana kalo mau ngenalin diri pake bahasa Jepang?"
Gue menjentikkan jari, "Gampil. Hajimemashite. Watashi wa Acid desu. Douzo yoroshiku."
Wawan menoleh pada Opang, "Hajimemashite siapanya Haji Bolot. Pang?"
Opang melengos.
"Ok, terus, Cid. Kalo mau nanya stasiun kereta di mana, gimana ngomongnya?"
"Sumimasen, eki wa doko desuka?"
Galang bertepuk tangan mendengar aksen Jepang yang gue buat-buat.
"Kalo nanya dia bisa bahasa Inggris apa nggak gimana?"
"Anata wa eigo ga hanasemasu ka?" Gue mulai memasang ekspresi menyombong.
"Boleh juga lu. Ok, terakhir nih! Kalo bahasa Jepangnya 'Tolong! Aku cepirit!' apa?"
Gue melempar kamus Bahasa Jepang ke kepala Wawan.
"EH!! INI PENTING CID!!! SIAPA TAU DI SANA LO KEBURU BABLAS PREPET-PREPET PAS LAGI NAIK KERETA YANG PENUH!! GIMANA COBA??"
"Ya ke toiletlah bego! Ngapain nyerocos pake bahasa Jepang?? Emangnya gue mau minta dicebokin????"
*
Gue menghentikan langkah di antara lalu lalang orang di bandara untuk menatap sekeliling. Ada yang datang, ada yang pergi, ada yang baru menempuh perjalanan untuk menuntaskan rindu.
Itu gue.
Hallo Tokyo! Hallo kampungnya Kobochan dan kawan-kawan!
Di sinilah gue sekarang. Di tempat yang katanya melatari banyak pertemuan dan perpisahan, yang di ruang tunggunya terkumpul rindu kolektif yang baginya cuma ada dua pilihan: dituntaskan atau disimpan.
Ujung bibir gue refleks menciptakan senyuman cerah sebelum melanjutkan langkah di antara keramaian. Menuju ke suatu tempat, di mana ada seseorang yang menjadi alasan gue datang ke sini. Menurut jadwal kuliahnya, dia pasti masih di kampus.
Seperti yang pernah gue katakan ke dia di telepon waktu itu, gue bakal dateng tanpa ngasih tau dulu sebelumnya.
Ca, sebentar lagi aku datang ke kamu, sebentar lagi kita ketemu, sebentar lagi tembok yang namanya jarak itu runtuh, sebentar lagi rindu itu reda, rindu yang cuma bisa diredam mata kamu.
Gue melanjutkan langkah lagi, siap menyambut perayaan dua orang yang selama ini berusaha mengelabui jarak.
Di antara keramaian yang seharusnya asing ini, di tempat yang pertama kali gue datangi ini, anehnya gue merasa seperti pulang. Pulang pada seseorang.
Sometimes we nail it
Sometimes we don't
Sometimes we're lost
Sometimes we make it
Sometimes we fail
Sometimes we share
I have a found a decent girl
That I want to live with everyday
She lights me up and says
That I can't stop, not today
Sing some songs of thousand lives
Spread the words, tell the world
She never gives up
She will always shine like a million suns
When she gets too tired
She closes her eyes but she can see us anyway
She's given her life
Sometimes she can't get herself into her life again
When she falls asleep
She wakes up when we're asleep and then we dream away
Someday we'll go there
And it will take us anywhere
To some places we've never been before
(Bandara Terbesar di Tokyo – Semenjana)
*
Semuanya serasa berjalan cepat kayak film yang diforward dari sejak gue nungguin Yang Tersayang di depan kampusnya. Gue buka lagi foto jadwal kuliah Dica yang waktu itu pernah gue minta. Bener kan ya di gedung sini. Bisa gagal nih surprise gue kalo gue salah, mana gue gak bisa bahasa Jepang, paling gue ngandelin bahasa Tarzan aja ntar atau nunjuk-nunjuk foto Dica kayak nyari orang ilang. "MY GIRLFRIEND, MY GIRLFRIEND!!!" gitu kali ya, tapi ntar disangkanya pamer, bukan nyariin.
Imajinasi gue mulai ke mana-mana, ngebayangin gue nyari Dica sampe ke Tokyo Tower.
Terus tau-tau Yts muncul, syukuuur Ya Tuhan, gue mengurungkan niat pinjem toa buat ngumumin: "Yang Tersayang Adisa, ditunggu Yang Tertampan di depan, sekali lagi, Yang Tersayang Adisa,"
Eh, tapi kok mukanya pucet? Dia lagi sakit?
Pas dia ngeliat gue, gue otomatis senyum. Air mukanya keliatan campur aduk antara bingung, ragu, gak percaya, kaget? Tapi yang ganggu pikiran gue adalah dia keliatan pias banget.
Dia pelan-pelan nyamperin gue, masih dengan ekspresi yang sama.
Jangan-jangan dia ngira gue hantu.
Ca, ini pacar kamu beneran Ca, alhamdulillah bukan jin tomang.
"Nih, akunya udah di sini." kata gue sambil mengembangkan senyum dan merentangkan tangan, menunggu dipeluk.
Tapi....
"Hei, kenapa Ca? Kok nangis?" gue berhati-hati merenggangkan pelukan untuk melihat wajah Dica lebih jelas. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan airmata, rambut bagian depannya bisa jadi menutupinya tapi jejak air yang merembes ke jaket gue sudah cukup jadi bukti.
Gue menyibakkan rambutnya hati-hati sementara satu tangan gue yang lain tetap memegangi pundaknya.
"Ca, kenapa?" Gue bertanya lagi, cemas karena isakannya semakin menjadi, dia bahkan gak menatap gue.
Harusnya gak begini, harusnya sekarang waktu yang tepat buat bilang: "Surprise, Ca! Kapten Rasyid sukses mendarat di Jepang!!"
Gue terperanjat ketika berusaha menyeka airmatanya menggunakan ibu jari, menyadari suhu tubuhnya yang ternyata jauh lebih panas daripada pas dia di pelukan gue tadi. Gue menyentuh pipinya lalu mengusapnya perlahan, berusaha meredakan tangisannya yang bisa memperparah demam. "Ca, kamu sakit ya? Udah yuk, pulang. Kamu harus istirahat."
Tahu-tahu tangannya menarik ujung jaket gue, seolah takut gue bisa tiba-tiba ke balik jaket. "Rasyid, ini beneran kamu kan?"
Gue terdiam, ada sesuatu yang mengiris di hati gue begitu denger pertanyaan itu. Dengan gerakan lambat gue mengusap pipinya lagi, kali ini lebih lembut. "Iya, ini aku beneran, Ca. Aku di sini."
Sebegitukah efeknya buat dia setelah gue menghilang dan sembunyi dari semua orang termasuk dia? Seketika gue merasa bersalah. Seharusnya gue gak sembunyi juga dari dia.
Matanya yang kuyu dan terlapisi airmata mengerjap-ngerjap menatap gue, meyakinkan dirinya sendiri kalau Rasyid Ananta emang ada di Jepang, di depan dia.
"Ca," tepat setelah gue memanggilnya lagi, mata gue membelalak dan sel otak gue kayak berhenti berfungsi melihat tubuh Dica terkulai lemas, untungnya tangan gue dengan cepat menyangganya sebelum ia jatuh.
*
Adisa itu orang yang apa-apa beneran dipikir dan dirasa. Selama kenal dia, gue tau dia pernah sampe sakit gara-gara mikirin sesuatu yang harusnya gak mempengaruhi dia sebegitunya. Kali ini juga kayaknya begitu, dan lagi-lagi dia cenderung nyimpen semua kekhawatiran dia sendiri, yang akhirnya ngaruh ke badan dia. Dia pasti bener-bener kepikiran soal gue dan bokap gue, ditambah gue sempet menghilang dari dia. Hati gue nyeri, kita berdua sama-sama sedih dan sakit, ini ngingetin ke satu waktu, waktu gue sama dia pernah putus.
Gue membalikkan handuk kecil yang gue gunakan buat mengompres dahinya dengan air hangat setelah tadi heboh ngechat Rara sama Grup Komet pake capslock: 'KALO NGOMPRES ORANG DEMAM PAKE AIR ANGET APA DINGIN? BALES CEPET!!!!!!!'
Untung Rara sama si Rama bales cepet, coba si Wawan malah bingung, katanya: 'Bukannya sama aja, Cid? Bokap gue kalo ngompres gue pake air panas malah.' Parah, untung gak melepuh jidat lo, Wan.
Setelah tadi gue kayak orang kesetanan nanya-nanya orang di kampus di mana pastinya letak klinik terdekat dengan kemampuan bahasa Jepang gue yang minim—ujung-ujungnya gue pake bahasa isyarat—akhirnya gue bawa Dica pulang ke dormnya.
Tadi di klinik kampus, Dica sempet kebangun tapi belum sadar sepenuhnya, tapi dia terus-terusan megangin lengan jaket gue, kayak beneran takut gue bisa ilang di balik asap pas dia meleng. Dokter di klinik itu bilang, dia demam terus tekanan darahnya rendah banget. Setelah dikasih beberapa obat, gue nuntun Dica—yang jalannya juga masih lemes banget—pulang ke dorm.
Dia tidur abis makan dikit dan minum obat, badannya masih panas banget. Gue sendiri juga panik, tapi gue mutusin buat percaya sama dokter tadi, ini cuma demam biasa aja. Semoga besok pagi udah baikan.
Gue menghalau helai-helai rambut di sekitar kening Dica yang gue kompres sambil melamun. Gue kangen banget sama dia. Rasanya baru tadi gue girang di airport karena akhirnya gue di Jepang, karena akhirnya gue bisa ketemu dia.
"Kalo kamu minta aku jangan ilang, aku juga minta kamu jangan sakit, Ca." gue berbisik, gue baru mau berdiri buat ganti air kompresan ketika mata gue menangkap sesuatu yang biru menyembul di bawah selimut Dica yang tidak gue sadari keberadaanya sejak tadi.
Dengan hati-hati gue menarik benda itu. Jaket gue. Jaket denim kesayangan gue yang dibawa Dica ke sini. Seketika muka gue juga ikut panas. Dia pasti melukin jaket ini pas tidur.
Mata gue kembali menatap Dica yang tertidur.
Gue meletakkan jaket gue kembali ke dekat Dica. Gue duduk lagi di lantai, di samping tempat tidur Dica yang tidak terlalu tinggi, menggenggam lalu mengusap punggung tangannya dan tidur menelungkup.
Aku gak jauh lagi sekarang, Ca.
*
Suara seseorang menyadarkan Irham, selama sepersekian detik ia menghentikan goresan pensil di atas sketsa yang tengah digambarnya. Suara itu berasal dari ketukan sepatu seorang laki-laki berpakaian kantoran yang melintasi jalan di depan Irham. Sudah jam pulang kantor, itu berarti sudah tiga jam dia duduk di sini, ditemani sekaleng soda, bersama teman-teman sejatinya, pensil, penghapus, dan buku sketsa.
Ini bukan kali pertama ia bolos kelas untuk pergi keluar dan menggambar. Ia melakukannya karena ia ingin, berdasarkan spontanitas. Waktu itu ke Osaka, di hari lain ia bisa berjam-jam duduk di peron untuk menggambar suasana stasiun, sekarang ia duduk di seberang toko buku tua. Tiga jam yang dilewatinya tadi menghasilkan sketsa kasar tampak depan toko buku itu dengan seseorang berdiri di depan jendelanya, seseorang yang bukan pertama kalinya ia gambar.
"Lo pasti suka banget sama cewek ini ya, Ham?" begitu pertanyaan senior kampusnya yang berasal dari negara yang sama dengannya setelah berkali-kali melihat Irham menggambar perempuan di dalam sketsa berbagai tempat di Jepang yang tadinya ia gambar untuk keperluan riset.
Ditanya seperti itu, Irham tidak menjawab, ia hanya menatap sosok yang ia gambar itu dengan mulut terkunci. Dia sendiri tidak sadar sejak kapan dia memasukkan wujud Adisa dalam objek yang ia gambar. Seolah perempuan itu mengikutinya ke manapun ia pergi, bahkan mengikuti sampai ke lembaran sketsanya.
Adisa menyelinap di antara guratan pensilnya bahkan sebelum Irham sempat menyadarinya.
Irham meneguk sodanya sebelum membuang kaleng soda itu ke tempat sampah terdekat. Matanya menatap lurus ke arah kucing berbulu kelabu yang bergelung tidur tidak jauh dari pintu masuk toko buku.
Dia tidak ingat bagaimana persisnya perkenalan pertamanya dengan Adisa di kampus waktu itu, yang pasti mereka anggota divisi yang sama dalam himpunan, Adisa sering menulis untuk mading, Irham sering menggambar untuk mading. Mereka juga sering berada dalam satu tim, baik ia maupun Adisa sama-sama tidak banyak bicara, sampai mereka dijuluki anak kembar.
Pada dasarnya Irham memang lebih suka sendirian, ia masuk himpunan karena himpunan memberikan akses baginya untuk mempublikasikan gambarnya tanpa benar-benar dikenal. Kalau bukan karena itu, Irham yang tidak suka bersosialisasi pasti tidak akan mau masuk ke dalamnya.
Irham sudah terbiasa disebut 'freak' sejak ia masih sekolah, ia tidak punya banyak teman, ia juga cenderung menutup diri karena masalah keluarganya yang tidak pernah selesai sejak ia kecil hingga sekarang ia beranjak dewasa. Masalah yang tidak pernah ia bagi dengan siapapun. Awalnya temannya hanya buku-buku, sampai kemudian ia mulai mencoba menggambar dan akhirnya menemukan kenyamanan yang selama ini dia cari.
Selama bekerjasama dengan Adisa dalam himpunan, Irham tersadar, Adisa sedikit banyak memang mirip dengannya, dari segi sifat, sikap, sampai kesukaan. Tapi semua itu tidak pernah tersuarakan, mereka saling berinteraksi dalam sunyi. Irham juga tidak pernah mengusahakan lebih dari itu.
Sampai akhirnya terjadi satu momen dengan Adisa yang paling ia ingat sampai sekarang. Waktu itu ketua himpunan, Razil, mengajak seluruh panitia festival makan bersama setelah acara besar jurusan itu selesai, makan besar pembubaran panita katanya.
Irham biasanya anti ikut-ikutan acara seperti itu, apalagi bisa dibilang dia masih anak baru di himpunan, ia biasanya pulang lebih dulu tapi waktu itu ia tidak bisa melarikan diri karena Razil sudah menariknya dan melarangnya pulang.
"Mau ke mana sih, Ham? Masih sore juga, kalo pergi, gak gue pesenin nih ya ke anak jurnalistik kampus soal komik lo."
Irham terpaksa ikut walaupun enggan, dan semakin enggan ketika mengetahui tempat makan yang dipilih Razil adalah restoran seafood.
Dia alergi seafood.
Alhasil dia hanya duduk diam di kursi pojok, mendengarkan orang-orang ribut berceloteh, saling meledek, tertawa-tawa. Hal-hal yang seharusnya wajar dalam interaksi sosial, tapi masih terasa asing bagi Irham. Ia berdiam dengan tatapan kosong, hanya minum segelas air dan menolak makanan apapun yang ditawarkan padanya. Tapi ia juga tidak berusaha menjelaskan ia alergi, hanya buang-buang waktu, begitu pikirnya. Ia hanya ingin segera pulang.
Kemudian saat matanya mengamati seisi meja dan satu demi satu orang yang mengelilinginya, ia tersadar bahwa ada satu orang yang sama seperti dirinya. Tatapan dan gerak-gerik kaku yang tidak asing itu membuatnya seperti melihat dirinya sendiri, bedanya adalah dia perempuan. Dia adalah Adisa.
Saat akhirnya acara makan-makan itu selesai, satu persatu orang-orang pulang dengan kendaraan masing-masing, Irham mengurungkan niat untuk langsung menstarter motornya melihat Adisa masih berdiri di samping pintu masuk restoran, mengetik sesuatu pada ponselnya, mungkin sedang minta dijemput.
"Lo alergi seafood juga, Dis?" Irham menghampiri Dica, membuat Dica sedikit terkejut. Matanya berkedip cepat, mengira Irham mengajaknya bicara—bahkan memanggilnya 'Dis'—hanyalah halusinasi.
"Ngg, iya."
"Pantes tadi gak makan apa-apa."
"Lo juga ya?" tanya Dica, kali ini Irham yang tertegun.
"Iya." jawabnya setelah menelan ludah, sedikit gugup.
"Jadi kita sama-sama belum makan ya," Dica tertawa singkat.
"Makan di situ aja tuh." Irham menunjuk kedai sate ayam, tidak jauh dari depan restoran. "Lo mau?" ia menoleh pada Adisa, kerutan di kening gadis itu menumpuk di tengah, mungkin ajakan Irham terdengar sangat ganjil. Seorang Irham, yang disebut-sebut gunung es yang bikin kapal Titanic tenggelam..
"Atau lo mau langsung pulang?" Irham terlihat berusaha menguasai diri. Bola matanya bergerak-gerak gelisah ke arah lampu kerlap-kerlip yang menggantung rendah di depan mereka.
"Belum sih, ini dari tadi belum dapet-dapet gojeknya." jawab Dica, masih sedikit bingung. "Ya udah, boleh deh makan sate dulu. Gue juga laper."
Akhirnya mereka berdua duduk berhadapan dipisahkan meja kayu kedai sate itu, dengan kepulan asap dari panggangan sate yang menguarkan aroma ke mana-mana.
"Sebenernya gue alergi udang doang." ujar Dica membuka obrolan setelah beberapa menit mereka hanya diam dan Irham hanya mengaduk-aduk sedotan ke es teh tawarnya dalam sunyi.
"Oh, terus kenapa gak makan ikannya aja?"
"Gue suka ngerasa bersalah makan ikan, suka sedih sendiri, soalnya gue suka ikan." Alis Dica sekilas melengkung turun.
'Ini sekarang lo juga makan sate ayam, dari ayam, kok gak sedih juga?' Itu yang ada di benak Irham, tapi ia menahan diri dan memutuskan tidak melontarkannya, mungkin Dica lebih merasakan ikatan yang mendalam antara dia dan ikan. Sebagai orang yang sering berpikir dia ingin jadi ikan di kehidupan selanjutnya, entah bagaimana, Irham paham.
Lalu pembicaraan itu bercabang ke mana-mana dan Irham menikmati setiap cabangnya. Mereka saling bercerita tentang ketertarikan mereka pada Jepang, pada komik, pada anime. Mata Irham juga bersinar tertarik waktu Dica bercerita tentang keinginannya mendongeng di depan anak-anak tapi tidak pernah bisa karena dia malu dan tidak nyaman bicara di depan banyak orang.
"Kalo anak-anak semua audiensnya, gak ada orang dewasa semua, mungkin gue mau."
Itu pulalah yang dipikirkan Irham selama ini, dulu waktu ia sering menggambar hewan-hewan dalam ukuran besar, dia berpikir, pasti gambarnya bisa dipakai untuk media mendongeng di depan anak-anak. Tapi dia tidak pernah merealisasikannya karena alasan yang sama dengan Dica.
Semakin banyak obrolan mereka malam itu, semakin Irham sadar, mereka berdua terlalu mirip, dan seingat Irham, itu adalah pertama kalinya, ia tidak merasa lelah dan ingin kabur saat berinteraksi lama dengan orang lain. Ia merasa nyaman. Perasaan yang sama yang ia rasakan setiap kali ia menggambar.
Sampai akhirnya piring mereka kosong, menyisakan tusuk-tusuk sate dan sisa es batu dalam gelas yang mengembun.
"Gue sebenernya harus pulang cepet, besok sepupu gue nikah." ujar Dica ketika kembali membuka aplikasi gojek.
Irham ingin menawarkan diri untuk mengantarnya, tapi lidahnya terasa kelu. Bahkan setelah obrolan satu jam yang mengasingkan dirinya dan Dica dari dunia luar seolah mereka baru saja menciptakan pulau sendiri, Irham masih belum bisa mengutarakan maksudnya dengan ringan.
"Gue pulang duluan ya, Ham." ujar Dica setelah ia membayar satenya, Irham hanya mengangguk lalu memandangi Dica sampai gadis itu hilang dari pandangan, meninggalkannya yang menggemakan 'Hati-hati, Dis' dalam sepi.
Irham masih sering merasa menyesal, mungkin kalau waktu itu ia memberanikan diri untuk mengajak Dica pulang bersama, mungkin mereka bisa jadi lebih dekat, mungkin ia tidak akan menjauhi Dica setelah gosip-gosip di antara mereka menyebar di jurusan, mungkin Irham tidak akan berpikir kalau Dica tidak nyaman digosipkan dengannya. Satu dari sekian banyak sifatnya sendiri yang membuat Irham benci adalah kecenderungannya untuk menghindar setelah termakan spekulasi-spekulasi.
Kalau waktu itu ia mengajak Dica pulang bersama, ia masih punya kesempatan untuk berbagai cerita, berbagi mimpi, atau mungkin mendongeng di depan anak-anak bersama, dengan media gambar yang dibuat Irham.
Semua itu sekarang hanya menjadi sesuatu yang terbentur kata 'mungkin', dan yang menyakitkan dari 'mungkin' adalah kita dibuat meragu, tidak ada kepastian, semuanya hanya 'mungkin'.
Apa yang Irham tidak tahu adalah, tepat keesokan harinya, setelah mereka makan sate bersama di kedai pinggir jalan samping restoran seafood, Dica bertemu dengan seseorang di pernikahan sepupunya. Seseorang yang akhirnya bersamanya sampai sekarang.
Irham menenteng buku sketsanya lalu beranjak pergi dari tempatnya duduk setelah merenggangkan tubuhnya yang pegal kebanyakan menggambar. Dalam perjalanannya ke stasiun, ia menghentikan kakinya di depan apotek. Untuk beberapa saat, ia mendebat dirinya sendiri dalam hati, sampai akhirnya kakinya melangkah memasuki apotek itu.
*
Dica
Tanganku yang tadinya berada di tepi tempat tidur menggapai ke samping beberapa detik setelah aku terbangun, mencari sesuatu yang yang semalaman kugenggam, mencari tangan Rasyid.
Aku terpukul menyadari bahwa di sampingku hanya ada ruang kosong, tidak ada Rasyid yang kukira akan ada di sana dan menyapaku selamat pagi. Semuanya cuma mimpi? Lalu siapa yang mengompresku? Mataku berpindah cepat dari handuk kecil, air kompresan dalam mangkuk, dan obat-obatan dari klinik yang terletak di meja di samping segelas air.
Jangan-jangan aku keliru, kemarin bukan Rasyid? Tapi wangi yang samar-samar kuhirup, hangat tangannya yang kugenggam, itu milik Rasyid. Jantungku berdegup cepat karena kalut yang menyerbuku dalam sekejap setelah aku membuka mata. Tanpa pikir panjang, aku menyambar cardigan yang tergantung di balik pintu lalu aku keluar kamar dengan napas terengah. Aku sampai tidak sadar ada sesuatu yang menggantung di luar pintu kamarku.
Aku tidak tahu aku akan ke mana tapi satu yang ingin dan harus aku lakukan: mencari Rasyid. Aku yakin beberapa menit lalu Rasyid masih ada di kamarku. Kepalaku mulai terasa berputar ketika aku mencapai jalanan di depan bangunan dorm dan terik matahari pagi menyorot langsung ke mataku.
Aku menoleh ke kanan kiri setengah terisak, mencari-cari Rasyid dengan putus asa. Tepat ketika aku hendak berlari ke arah belokan, suara yang amat kukenal memanggilku.
"Ca?"
Aku menoleh cepat, betapa leganya aku ketika melihat Rasyid berdiri di sana, membelakangi sinar matahari yang jejaknya menyisakan motif celah ranting pohon.
"Ngapain keluar? Masih sakit juga kamu." Rasyid menghampiriku, matanya menyorotkan kecemasan.
"Aku pikir kamu pergi...." jawabku, suaraku agak bergetar ketika mengatakannya. Aku tidak mengerti kenapa aku jadi cengeng begini di depan dia. Tapi aku sangat lega karena aku tidak sedang bermimpi, Rasyid memang berada di dekatku.
Rasyid tersenyum, senyuman sudut persegi yang selalu kurindukan itu. Ia mencubit pipiku, "Aku cuma keluar sebentar nyari sarapan, Caaa. Sayang di sini gak ada gerobak bubur ayam, padahal aku pengen nyabu, nyarapan bubur. HEHEHEH. Di sini adanya shabu-shabu ya?"
Aku semakin yakin, dia memang Rasyid betulan.
"Akhirnya aku beli ini buat sarapan, gak apa-apa ya?" Rasyid mengangkat bubur instan yang sepertinya ia beli di minimarket. "Maaf ya, aku bego malah beli ginian."
Aku menahan tawa melihat wajah polosnya, kuambil plastik itu dari tangannya, "Sarapan ini juga gak apa-apa kok."
Sarapan apapun tidak masalah selama dia tidak ke mana-mana. Jangan ke mana-mana, Rasyid. Jangan menjauh lagi.
Tanpa dikomando, Rasyid menggamit lenganku lalu kami berjalan bersisian kembali ke dorm. Banyak sekali yang ingin kuceritakan padanya, begitu banyak yang selama ini tertahan, yang dihempas jarak.
"Takut ya?" tanyanya setengah menggoda, "Tenang, aku gak ke mana-mana kok."
Aku menunduk menendang kerikil di sekitarku, "Hmm. Kamu kenapa gak bilang-bilang sih mau ke sini?"
"Kan udah aku bilang, aku pasti datengnya surpriseeee. Eh pas kamunya lagi sakit," bibirnya melengkung sedih, "tapi gak apa-apa, mungkin aku emang sengaja harus dateng pas kamu sakit, biar bisa bikin kamu sembuh."
Aku tersenyum, mengaitkan jemariku di sela jemarinya.
"Terus bawaan kamu ditaro di mana?"
"Bawaan apa ya? Aku cuma bawa kangen."
"Rasyid..."
"Ehehe, iyaaa, di hotel. Aku gak sempet ganti baju nih dari kemaren, pasti bau."
Aku menggeleng, "Kamu wangi, wanginya persis kayak yang di jaket kamu."
"Oh, yang kamu pelukin setiap malem?" Alisnya naik turun jahil.
"Rasyid..."
"Aku kangen kamu juga." katanya, padahal aku belum bicara soal kangen, "Ntar kalo kamu udah sehat, kita ke festival kembang api ya!!! Terus ajakin aku ketemu Kobo, Shinchan sama Doraemon dong!!"
Saat kami kembali ke kamarku, barulah aku menyadari apa yang menggantung di depan pintu kamarku, Rasyid juga melihatnya, ia mengambil plastik putih itu dan mengecek isinya.
"Obat demam," gumamnya, "siapa yang naro ya? Perasaan pas aku keluar tadi pagi belom ada."
Aku tertegun, apakah itu dari....
"Temen kamu kali ya, Ca?"
Aku tidak bisa menjawab, tapi sesosok bayangan muncul di kepalaku.
*
Ini adalah pertama kali aku pergi ke festival kembang api, setelah selama ini aku hanya membayangkan suasananya lewat manga dan anime, sekarang aku benar-benar berada di antara keriuhannya.
Orang-orang kebanyakan datang bersama keluarga, gadis-gadis banyak yang mengenakan yukata, rata-rata menggenggam kipas atau minuman dingin di tangan mereka.
"Aku tebak, pasti kamu mau permen kapas." ujar Rasyid di sebelahku, mataku diam-diam meliriknya untuk kesekian kali hari ini. Dia mengenakan kaus hitam dan jaket denimnya yang biasa, yang akhirnya bisa ia kenakan lagi. Rambutnya yang tersisir rapi tersibak, menunjukkan dahinya, menegaskan garis alisnya.
Setelah seharian, akhirnya aku sembuh dari demam. Sebelum festival kembang api selesai, aku mengajak Rasyid pergi. Awalnya Rasyid tidak mau pergi sebelum benar-benar memastikan kalau aku sudah sembuh.
Grogi, aku mengalihkan pandangan ke tempat lain, ke lampion kecil yang tergantung di bentangan benang, ke mana saja, bukan ke Rasyid. Hari ini aku juga mengenakan yukata setelah puluhan rengekan Rasyid yang bilang ingin melihatku memakai yukata.
"Buat apa kamu beli kalo gak pernah dipake, Caaa? Ayo doooong pake yukata." begitu katanya tadi sebelum berangkat. "Nanti kamu pake yukata, aku pake yukate deh." Apa coba, Rasyid, Rasyid.
"Ca, mau permen kapas gak?" tegurnya lagi. "apa mau mainan nangkep ikan tuh? Barengan sama bocah-bocah?"
"Bilang aja kamu yang mau."
"HAHA TAU AJA."
Setelah menemani Rasyid memperebutkan ikan-ikan mas koki menggunakan kawat berlapis kertas tipis dengan anak-anak kecil menggemaskan, akhirnya kami berdua memutuskan mencari tempat yang strategis untuk menonton kembang api, tempat yang tidak terlalu ramai, tapi juga tidak terlalu sepi.
Karena sudah kehabisan tempat di antara orang-orang yang juga ingin menonton kembang api, aku dan Rasyid akhirnya harus cukup puas menonton kembang api dari kursi taman yang lumayan jauh dari lokasi festival.
"Gak apa-apa, masih keliatan kok," Rasyid menghibur diri, "yang penting duduk. Kamu juga pasti pusing kalo berdiri kelamaan di tengah rame-rame gitu."
"Aku udah sembuh kok."
"Belum." Rasyid menimpali dengan nada protektif.
Aku diam-diam tersenyum. Sudah tiga hari Rasyid di Jepang dan aku masih merasa seperti bermimpi. Mungkin ini adalah penangkal dari semua mimpi burukku selama ini, selama jauh dari orang-orang yang kusayangi.
Kutatap profil wajahnya dari samping, dia belum sempat menceritakan lebih jauh tentang bagaimana kabar ayahnya karena aku sakit, dia hanya bilang kalau keluarganya baik-baik saja, Rara pulang, dan dia juga sudah jauh merasa lebih baik. Katanya juga, ayah, ibu, Rara, anak Komet sampai si Dongker titip salam.
Aku tidak memaksanya untuk bercerita lebih jauh kalau itu hanya membuka lagi lukanya.
Kembang api pertama meluncur malam itu, ledakan indahnya merekah di langit seperti bunga cahaya dengan berbagai macam warna. Warna-warna itu terpantul di bola mata kami berdua.
"Woaaah." Rasyid bergumam kagum di sebelahku saat lebih banyak lagi kembang api dilepas ke layar langit malam. Sinar dari kejauhan itu berpendar di wajahnya sementara aku kesulitan membungkam isi kepalaku yang dipenuhi olehnya.
Tangan Rasyid tahu-tahu memegang pergelangan tanganku, aku rasa dia bisa merasakan denyut nadiku ketika dia menarikku supaya duduk lebih dekat.
Matanya sudah tidak memandangi kembang api lagi melainkan ke arahku, aku merasakan tanganku dingin karena gugup. Tangannya yang lain merogoh saku jaketnya lalu mengeluarkan setangkai bunga kecil berwarna merah muda yang sudah layu. Itu.... bunga geranium?
"Ini sebenernya mau aku kasih dari hari pertama aku sampe, tapi karena kamu sakit, baru bisa aku kasih sekarang."
Aku mengerjap-ngerjap, kenapa bunga?
"Ini bunga dari depan rumah kamu."
Aku membeku.
"Sebelum berangkat ke sini, aku ke rumah kamu dulu terus aku liat bunga ini, aku inget kamu pernah nunjukkin foto kamu waktu kecil pake bunga ini di telinga. Gemes banget. Jadi aku minta izin metik dua buat kamu, yang satu udah kering, tapi yang ini masih bagus lumayan." Dia menjelaskan antusias, membuatku tercekat.
"Buat apa... Rasyid..."
"Buat kamu." Tanpa menunggu reaksiku selanjutnya, Rasyid menyelipkan bunga mungil itu di telingaku, di antara helaian yang tersisa dari cepolan rambutku, pastilah bunga itu—meski layu—cocok terselip di telingaku karena aku memakai yukata berwarna merah muda juga.
Tatapan Rasyid yang dirambati cahaya samar dari langit itu melembut. "Supaya kamu ngerasa di rumah. Aku tau kamu kangen rumah."
Aku tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk bisa kuucapkan apalagi di tengah debaran jantung yang kembali berorkestra. Apalagi ketika Rasyid membetulkan letak bunga itu di telingaku, kami bertukar tatapan, napasnya terasa hangat dan dekat di wajahku. Lalu ia menghentikan semua keributan di kepalaku dengan cara yang tidak kuduga namun tetap sangat lembut.
"Kata kamu kan aku belum sembuh, nanti penyakitnya pindah ke kamu." Aku mencoba menahannya saat wajahnya tinggal beberapa inci di depan wajahku.
"Justru ini bakalan bikin sembuh." bisiknya serius, tanpa melepaskan tangannya di pergelangan tanganku.
Seiring bunyi kembang api yang bersahut-sahutan di atas sana, Rasyid mengusap pipiku sebelum mendekat dan mempertemukan bibirnya dengan bibirku. Membuatku teringat kembali pada suatu malam di parkiran. Pada permen mint, pada permen susu, pada suhu udara di dalam mobil.
Kali ini pun dia melakukannya tanpa terburu-buru, seperti seseorang yang dengan tenang kembali mengirimi tepi pantaiku dengan ombak, menerjemahkan semua huruf-huruf rindu di antara mata kami yang sama-sama terpejam, dan membuktikan bahwa jarak sebenarnya hanyalah kesempatan-kesempatan tertunda bagi dua orang yang saling menyayang.
Saat ia perlahan menarik dirinya, ia tersenyum malu-malu, seperti dulu, hanya bedanya kali ini tidak ada setir untuk dia peluk. Jadi dia mengusap-usap bagian belakang kepalanya dengan canggung sambil mengerjap berkali-kali.
Sama-sama dikuasai rindu, aku mengarahkan wajahnya kembali menatapku. Matanya melebar kaget ketika aku melakukannya. Kukecup pipinya sebelum tersenyum dan berkata, "Happy birthday, Rasyid."
Saat itu, satu kembang api tidak meluncur dan mekar di langit, melainkan di dalam diriku, bunga cahaya terangnya sambung menyambung tanpa bisa kuredakan. Rasyid benar-benar membuatku merasa pulang.
*
Irham sedang melamun memandangi langit-langit kamarnya saat terdengar ketukan di pintu.
'Siapa yang bertamu lewat tengah malam begini?' batinnya. Seingatnya juga, teman-teman satu dormnya bukan tipe yang akan mengetuk pintu kamar tengah malam. Ia bahkan lupa nama tetangga sebelah kamarnya.
Ketukan itu berulang.
Masih dengan heran, Irham menyeret langkahnya ke pintu, ketika membukanya ia mendapati seseorang yang pernah bicara dengannya di bandara berdiri di sana. Ekspresinya sulit ditebak.
Irham sekilas terlihat kaget, ia ingat jelas siapa orang yang berdiri di depannya ini, tapi wajah Irham dengan cepat kembali berubah tanpa emosi.
"Ada apa?" tanyanya dingin.
"Gue boleh nginep di sini? Gue kemaleman mau balik ke hotel."
Dahi Irham berkerut bingung.
*to be continued*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top